22 November 2011

refleksi minggu kedua November 2011


70 TAHUN

Mazmur 90


Ini doa Musa, abdi Allah itu. Ketika Allah membuat Israel mengembara sekitar 40 tahun di padang gurun sebagai hukuman atas ketidaksetiaan mereka. Setelah mengakui semua pelanggaran mereka di hadapan hukum Allah, Musa berdoa memohon pemulihan perkenan dan berkat Allah. “Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Dialah Allah.”
Seraya mengingatkan umat Tuhan itu (dan kini tentu kita juga, sekarang ini) bahwa Tuhan akan mengembalikan kita semua ke debu (ayat 3). Yang mengingatkan kita kembali dengan ungkapan Allah sejak awal, “..dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3: 19)

Ya, kita ini debu. Akan kembali kepada debu. Betul, kita ini hakikinya tanah. Akan kembali kepada tanah. Tuhan sajalah yang membuat, menjadikan bahkan memelihara sehingga bisa hidup! Yang di perikop ini FirmanNya melalui pemazmur jelas menyebutkan durasi hidup kita 70 tahun dan jika kuat 80 tahun, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan, sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. Dan di mataNya, seribu tahun sama seperti hari kemarin. Sehingga kekuatanNya yang Maha Besar, Allah sesungguhnya mampu menghanyutkan kita, manusia penuh cacat cela dosa ini, seperti mimpi! (ayat 5).

Sehingga di ayat 7-9 misalnya, terasa sekali dengan kata “sungguh” penyesalan dan permohonan ampun dari Musa dalam doanya. Sekaligus ajakan kepada bangsa Israel dan sekali lagi, juga kita di konteks zaman kian banyak godaan bahkan tekanan dosa, untuk kita malu dan sadar. “Sungguh, kami habis lenyap karena murkaMu.. Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemasMu, kami menghabiskan tahun-tahun kami sperti keluh.”

Menghabiskan hari-hari kita di bumi, yang paling lama 70-80 tahun (bandingkan dan baca ulang ayat 10). adalah jangka yang pendek dibandingkan dengan kekekalan. Kita harus berdoa memohon pemahaman yang memadai tentang singkatnya hidup kita ini supaya mempersembahkan hati yang bijaksana kepada Allah dalam memanfaatkan setiap hari yang diberikan-Nya kepada kita. Hidup ini harus menjadi persiapan untuk hidup “selanjutnya” di Sorga abadi kekal!, Apa yang Allah inginkan dari hati, diri dan kehidupan kita bagi diri-Nya, bagi keluarga kita dan orang lain. Melalui kesetiaan pelayanan di hidup sehari-lepas sehari.

Coba maknai sekali lagi dan lebih dalam, ketika waktu kita di dunia ini sudah habis dan kita sampai di sorga, bagaimana kita hidup atau tidak hidup dalam pengabdian Kasih kepada Allah akan dinilai. Mengingat hal itu, kita harus berdoa memohon hati yang bijaksana, ketakutan yang benar akan Allah. “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana (ayat 12). Agar Allah sungguh berkenan atas hidup, pekerjaan juga pelayanan kita.

Sehingga Dia mau kembali. Dan kita juga kembali. Kembali pada apa? Kembali ke jalinan manusia dengan Tuhan, kita dengan Allah dalam link simpul kekuatan Kasih Sayang dan Kasih Setia. Lalu akibatnya kita yang rapuh ringkih bisa dibuatNya kembali kenyang, diteguhkanNya kembali dan lebih kuat dalam Iman, Pengharapan dan Kasih. Jadi saluran berkat bagi sesama dan kehidupan. Menjalaninya hingga 70 atau 80 atau berapa puluh tahun pun hanya dengan sukacita dan sorak sorai. Ada “keseimbangan” antara duka-suka, sakit-sehat, lemah-kuat dan menangis-tertawa. Indah!

Semuanya jadinya makin lebih indah, sungguh amat indah! Hidup yang kita jalani jadi benar-benar semarak, ketika kita sebagai pengikut dan hambaNya, mempersilakan Allah bekerja menggenapkan janji dan segala perbuatan tanganNya yang Besar. Bahkan hingga anak cucu kita (baca renungkan sungguh lagi ayat 16 & 17). Minimal yang pasti, atas dan melalui tangan-tangan kita yang “kecil”, yang berusia “kecil/singkat” kurang-lebih tadi - menurut versi pemazmur-: 70 tahun. Amin.




tulisan & foto: Lusindo Tobing.

03 November 2011

refleksi minggu pertama November 2011


HARI TUHAN

Amos 5: 18-20



Walau semua hari adalah hari Tuhan, hari ini harinya Tuhan, besok dan kapanpun adalah harinya Tuhan. Sering dimaknai bahwa istilah “hari Tuhan” itu adalah “hari kedatanganNya ke dunia kedua kali”. Yang beredar cukup hangat belakangan adalah Tahun 2012 adalah tahun “hari Tuhan” tersebut. Armagedon, kiamat?

Tetapi “harinya Tuhan” bagi bangsa Israel di konteks perikop Amos adalah hari ketika Allah akan menghukum semua musuh mereka dan mereka sendiri akan dimuliakan (maknai ayat 19) . Yang sangat menarik, Nabi Amos mengejutkan mereka dengan menegaskan bahwa ketika hari itu tiba, itu akan berarti hukuman bagi bangsa Israel (juga kini berlaku untuk kita semua) yang berdosa.

Hal “hari Tuhan” di beberapa konteks dan pemahaman berbeda di atas sesungguhnya menorehkan satu refleksi kuat bagi kita. Soal kedatanganNya kedua kali, itu kepastian. Tentu tidak boleh ada keraguan mengenai itu. Kapan waktunya? Itu hak dan kuasa Allah yang menentukan, satu-satunya hanya Allah yang tahu. Ingat Firman yang berkata,” Aku akan datang seperti pencuri” (Matius 24: 43 & Wahyu 3: 3). Begitu pula tentang hal yang lebih “kecil atau sederhana” yakni hari Allah akan menghukum musuh-musuh Israel, prerogratif waktu penentuannya Allah! Namun di kedua perbandingan ini, bukankah kita yang harus bersikap lebih takut kepada Allah. Lebih mau melihat diri kita ke dalam. Lebih mau jujur mengakui dosa dan kesalahan, yang telah dan mungkin masih saja bercokol di hati, pikiran bahkan sikap tingkah laku keseharian?

Singkatnya, hikmat dari Tuhan tentang “hariNya” di tiap hari demi hari yang Tuhan beri setiap hari untuk kita jalani kini, apakah kita sudah lebih dilayakkan. Layak untuk menyongsong kedatangan Tuhan. Menyambut setiap penggenapan janji-janji dan rancangan Tuhan diberlakukan bagi dunia. Termasuk bagi hidup kehidupan kita di hari ini. Tiap hari menanti, tiap hari menunggu, tiap hari menanti menunggu dengan hikmat. Tidak pasif tetapi aktif! Aktif menjalani hari-hari dengan iman percaya, pengharapan tiada henti bahkan dengan terus melayankan Kasih bagi sesama.

Di dalam kitab ini, sesungguhnya Amos menyampaikan kesedihan Tuhan karena dosa-dosa Israel. Nyanyian yang berbentuk ratapan hati ini mengatakan bahwa malapetaka mereka itu sudah pasti, kegelapan dan bukannya terang (ayat 18 & 20) bahkan seakan-akan sudah terjadi. Tetapi dengan penuh hikmat dari Tuhan, Amos masih mengimbau umat itu untuk berbalik. Berbalik bertobat kepada Allah. Agar minimal "sisa-sisa keturunan" mereka dapat diselamatkan (baca ulang satu pasal 5 ini, juga khususnya ayat 15). Hal ini tentu harus menjadi sapaan HikmatNya yang menguatkan iman kita juga.

Mari lebih berhikmat menghadapi dan menjalani hari-hari kita sekarang juga khususnya besok. Mau lebih membuang ego dan kesombongan diri. Lebih berani meminta maaf dan memaafkan sesama. Tidak bosan-bosan lebih peduli, kepada anggota keluarga terdekat kita, tetapi juga bagi tetangga dan sesama. Dimanapun dan walau bagaimanapun keadaannya, tiap waktu tiap hari! Sehingga kita lebih bersemangat agar Keselamatan dari Allah adalah juga bagian kita. Tidaklah sekadar untuk generasi kita berikutnya. Tetapi sekarang. Sehingga anak-anak, dan anak-anak dari anak-anak kita berikutnya boleh lebih memiliki kepastian sungguh menjadi pewaris Keselamatan Sorgawi. Dan hidup kehidupan kita bersama hari inipun, kita sudah boleh mengecap “Keindahan Damai Sorgawi” Allah, Sang pemilik hari. Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing.

25 Oktober 2011

refleksi minggu kelima Oktober 2011


KELUARGA PEMIMPIN SEJATI

Matius 23: 1-12


Di perjalanan hidup keluarga kita selama ini. Khususnya di tiap ibadah, doa keluarga, juga khususnya saat teduh, saling sharing, bersama belajar di Pendalaman atau pemahaman Alkitab (PA) tiap keluarga juga kelompok kecil, jemaat umat dan di hidup sehari-hari dengan banyak orang yang kita lakukan, sudahkah hati kita “dibongkar”Nya? Maksudnya, diubah dan dipulihkan dari dalam hati menjadi lebih baik. Lebih saling mengerti satu dengan yang lain. Lebih peduli antar anggota keluarga. Lebih mau mengasihi dengan melayani dan menjadi keluarga yang benar-benar tulus mempersembahkan yang terbaik bagi kemuliaan Allah.

Ketika kita dan keluarga kita berhasil terus setia mempersembahkan yang terbaik. Maka itu akan terwujud bagi lingkungan lebih luas, bagi gereja, sesama, bangsa negara dan kehidupan. Peduli kepada penderitaan tetangga juga sesama, mau tulus mengasihi mereka yang membutuhkan, menolong yang perlu pertolongan, membantu yang perlu dibantu, melakukan yang baik dan benar dalam kehidupan masyarakat dan tidak pernah lelah menempatkan kepentingan bersama jauh lebih utama dari kepentingannya sendiri. Keluarga yang mengkondisikan lahirnya pemimpin.

Dan Tuhan Yesus Kristus “membongkar” topeng kebohongan mereka (kaum Farisi dan Ahli Taurat) yang menganggap dirinya pemimpin, padahal sama sekali tidak. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang takut akan Tuhan dan memberlakukan FirmanNya. Sehingga terbiasa melakukan apa yang dikatakan dan diajarkannya (baca lagi ayat 3). Tidak hanya pandai mengikat beban-beban aturan, peraturan dan hukum lalu menaruh semua beban itu di pundak orang lain, tetapi tidak untuk dirinya (baca jug ayat 4). Pemimpin sejati adalah pemimpin yang memberi perintah, dan ketika perintah itu dilakukan maka orang yang melakukannya tidak merasa dipaksa atau terpaksa. Pemimpin yang rendah hati walau hingga berjabatan tinggi. Pemimpin yang selalu memperhatikan kepentingan orang lain dan orang banyak. Pemimpin yang melayani (baca ulang ayat 5-12). Pemimpin yang roh kepemimpinannya adalah benar-benar Roh Mengasihi.

Mari kita hidup nyata menjadi komunitas atau khususnya keluarga yang berkecenderungan menjadi tempat asal lahirnya pemimpin-pemimpin seperi itu. Keluarga pemimpin sejati! Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing.

20 Oktober 2011

refleksi minggu keempat Oktober 2011


KELUARGA SIANG DAN MALAM

Mazmur 1


Anda ingin berbahagia? Terlebih, rindu sekali keluargamu hidup bahagia? Jawaban telak kita dapati di bagian awal Kitab Mazmur: Hiduplah dalam FirmanNya, siang dan malam! “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Tetapi yang kesukaannya ialah Taurat (Firman) Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” (ayat 1-2).

Mari kita dan keluarga kita melakukan itu. Ya, ungkapan “siang dan malam” menunjukkan kepenuhan hari yang kita jalani. Tiap hari, di semua hari. Kapan, di mana dan bagaimanapun mari jadi pribadi dan keluarga yang menyukai FirmanNya, merenungkan Ajaran Allah dan sungguh berjuang melakukan segala sesuatu RencananNya berlaku di dalam dan melalui kita.

Sehingga di tantangan bahkan tantangan pergumulan zaman yang kian berat di “siang” dan jahat di “malam” . Kita bisa semakin menjadi “pohon yang ditanam yang di tanam di tepi aliran air” -karena air sering digunakan sebagai lambang Roh Allah- bertumbuh dengan akar-akar di dalam realitas kasih Abadi, bukan realitas ketakutan. Tiap kita selalu memiliki vitalitas iman, tidak akan layu dalam pengharapan, selalu berbuah-buah Kasih yang manis (baca lagi ayat 3).

Sekali lagi di bagian penutup perikop kali ini, pemazmur menegaskan ulang. Bagi yang berjuang menjauhi kefasikan dan memberlakukan hidup benar, ada jaminan Tuhan bahwa apa saja yang kita dan keluarga kita lakukan akan berhasil. Siang dan malam! Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing.

12 Oktober 2011

refleksi minggu ketiga Oktober 2011


KELUARGA YANG DIPAKAINYA

Yesaya 45: 1-8


"Akulah Tuhan, tidak ada yang lain." Ini adalah kalimat yang berulang kali ditegaskan dalam bagian ini (baca lagi ayat 5 & 6). Umat Tuhan termasuk kita sekalian, sesungguhnya diingatkan bahwa hanya Kasih Tuhan yang dapat menciptakan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan itu, Allah berkenan mengurapi Koresy yang walaupun bukan seorang Yahudi (Raja Persia yang menaklukkan Kerajaan Babilonia), dan tidak mengenal-Nya, namun Allah memakainya untuk melaksanakan kehendak-Nya. Dan dipakaiNya, dijadikan alat dalam Tangan Tuhan.

Melalui Koresy, Allah melakukan tindakan pembebasan terhadap umat-Nya dari tekanan bangsa-bangsa lain. Mendemonstrasikan kedaulatan-Nya. "Dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, tidak ada yang lain di luar Aku." Melalui tindakan penyelamatan yang Allah kerjakan ini, bangsa-bangsa lain di luar Israel menyadari dan mengakui Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dari dulu sampai sekarang, tindakan penyelamatanNya itu ditujukan kepada semua bangsa, semua orang.

Gerejalah kini pengemban kehendak Allah itu. Dan kembali kita diingatkan, sel terkecil dari GerejaNya adalah: Keluarga. Keluarga kita masing-masing dan keluarga besar Jemaat GKJ Nehemia dengan semua simpatisan. Apakah Allah sudah dan sedang “campur tangan” terlibat di semua perkara kehidupan keluarga kita.

Mari jadi keluarga yang mau mendirikan bangunan Rancang Penyelamatan Tuhan. Keluarga yang mampu bertahan dalam iman percaya, setia taat melakukan perintah Firmannya. Keluarga yang selalu mempersilakan Tuhan memberkati dan menyalurkan berkat-berkatNya bagi semua orang, siapapun walau bagaimanapun. Sungguh-sungguh menjadikan kita sebagai alat penyebar Kasih dan Damai yang tidak pernah habis di bumi. Keluarga yang senantiasa dipakaiNya! Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing.

06 Oktober 2011

refleksi minggu kedua Oktober 2011

KELUARGA KEBAIKAN

Filipi 4: 1-9


Maksud judul refleksi kali ini “Keluarga Kebaikan” tentu bukan artinya “Keluarga yang terlalu baik”. Tetapi lebih sebuah penggugahan bagi rasional khususnya iman kita untuk berjuang memberlakukan lebih banyak kebaikan, di dan dari keluarga. Selalu memulai dari keluarga. Tuhan Yesus Kristus sendiri memulai tanda karya mujizatnya pertama kali adalah di keluarga (air jadi anggur pada pernikahan di Kana).

Dan Rasul Paulus menegaskan ulang hal tersebut kepada “keluarga besar” jemaat di konteks kota Filipi. Betapa pentingnya untuk bersehati sepikir. Dengan orang-orang yang terdekat di kehidupan sehari-hari kita. Yang merupakan persekutuan, kebersamaan dan saling melayani dari hati limpah Kasih sukacita! (baca kembali ayat pertama, Filipi 4: 1).

Hanya dengan formula inilah membuat tiap kita, yang pastinya anggota dari satu keluarga, benar-benar teguh bertahan di zaman kian berat dan jahat sekarang ini! Malahan akan bisa terus bertumbuh, tidak berhenti melakukan banyak kebaikan hati, yang langsung tidak langsung pasti akan diketahui lebih banyak orang (ayat 5).

Jadi keluarga yang rajin mendoakan, lebih peduli, sedia mengampuni, sering memberi pujian juga semangat, menjadi teladan kebenaran kebaikan, dengan tetap rendah hati dan makin senang jika bisa melakukan yang baik, tulus menolong, membantu dan melayani sesama.

Pertumbuhan iman kepada Allah sudah seharusnya bertumbuh di keluarga. Bunga-bunga spiritual dalam Kristus sebaiknya bermekaran dalam keluarga. Apa yang telah keluarga kita pelajari, terima, dengar dan lihat, mari sekarang dilakukan! (ayat 8-9).

Sehingga buah-buah percaya dalam Kuasa Roh Keluarga Kerajaan Allah benar-benar berwujud: Perbuatan-perbuatan yang baik bagi sesama di dunia. Oleh sel terkecil dari GerejaNya yakni keluarga. Keluarga yang memancarkan kebaikan bagi semua orang. Keluarga kebaikan! Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing.

28 September 2011

refleksi minggu pertama Oktober 2011


BATU PENJURU

Matius 21: 33-46


Bom yang meledak Minggu lalu (25 September 2011) di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunten, Solo – Jawa Tengah. Yang mengakibatkan 1 (satu) korban tewas yakni si pelaku bom bunuh diri. Sedangkan korban dari pihak GBIS tercatat 22 orang jemaat, baik dirawat jalan maupun harus mendapat perawatan serius RS. Dr. Oen dan RS. Brayat Minolyo, Solo. Menurut informasi di beberapa media rupanya sangat murah. Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abbas menjelaskan untuk membuat satu unit bom di GBIS Solo, karena daya ledak bom tersebut tergolong kecil, “Hanya 200 ribu sudah jadi!”

Lanjut ujar Nasir karena itu tidak membutuhkan donatur, “Dana untuk membuat bom kecil, tidak perlu donator, cukup patungan dengan teman maka akan jadi.” Kejahatan makin mudah terlaksana. Menyakiti dan membunuh semakin gampang saja! Ini sangat mengena dengan perikop kita kali ini. Kental refleksinya saat menelusuri Perumpamaan Penggarap-penggarapan Kebun Anggur. Bahwa penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hamba tuan pemilik tanah itu: Mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu. Kemudian tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi merekapun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka.

Akhirnya ia menyuruh anaknya kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani.
Tetapi ketika penggarap-penggarap itu melihat anaknya itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita. Mereka menangkapnya dan melemparkannya ke luar kebun anggur itu, lalu membunuhnya. (baca lagi ayat 35-39).

Bangsa Israel menolak Mesias dan kerajaan-Nya. Oleh karena itu, Kerajaan Allah dan kuasa-Nya diberikan kepada orang lain, kepada mereka yang menerima Injil, baik orang Yahudi atau bukan. Prinsip ini masih berlaku. Kerajaan Allah dan kuasa-Nya akan diambil dari orang yang tidak setia kepada Kristus serta menolak ajaran KasihNya.

Sebaliknya, kerajaan itu akan diberikan kepada kita semua yang bersedia hidup di dunia namun tetap mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Inilah sesungguhnya yang dimaksud Tuhan Yesus Kristus untuk kita lakukan dengan firmanNya di ayat 42,”.. Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: Hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita! Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing.