Hospitalitas
Gerak Tubuh dalam Penyajian Khotbah
Abstrak
Makalah ini berupaya menawarkan satu perspektif baru, hasil
kolaborasi dua hal penting yaitu: “Hospitalitas”
dan “Gerak tubuh dalam Penyajian Khotbah.” Hospitalitas (hospitality)
adalah tradisi kuno kristen tentang penyambutan dan penerimaan komunitas
kristen sebagai tuan/nyonya rumah (host) terhadap tamu/orang asing (stranger).
Tradisi ini adalah respons sekaligus refleksi dari kasih Allah yang menerima,
menjangkau, dan merangkul semua. Salah satu wujud respons rangkulan Allah itu
ada di ritual ibadah komunitas kristen, termasuk diantaranya adalah: Khotbah. Sedangkan
penyajian atau penyampaian khotbah (preaching performance) merupakan
bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keutuhan khotbah, khususnya gerak tubuh (body
performance) dalam penyajian khotbah. Tujuan penulisan makalah adalah
berupaya menghadirkan sekaligus menyadarkan semua pihak tentang pentingnya nilai
hospitalitas dalam gerak tubuh saat menyampaikan khotbah kepada jemaat, mungkin
bisa saya sebut sebagai “hospitalitas khotbah,” artinya perspektif hospitalitas
yang tidak hanya pada pemilihan kata atau kalimat, namun khususnya hospitalitas
gerak tubuh dalam penyajian khotbah.
Gagasan
utama (thesis statement) saya adalah: Hospitalitas dalam gerak tubuh
penyajian khotbah berdampak kuat memengaruhi dan memampukan pendengar khotbah
(jemaat) untuk semakin “berkhotbah” melalui gerak tubuh yang hospitable
kepada semua orang dengan berbagai perbedaan, tantangan dan krisis di kehidupan
nyata sehari-hari.
Kata-kata kunci: Hospitalitas, Khotbah, Penyajian
Khotbah (Preaching Performance), Gerak tubuh, Jemaat, Pendeta, Pengkhotbah,
dan Penerima khotbah.
Pendahuluan
Ibadah adalah salah satu wujud
respons dan refleksi gereja atas hospitalitas Allah. Beberapa gereja (khususnya
di Indonesia) sudah mempraktikkan hospitalitas, misalnya dalam bentuk saling
memberi salam damai antar anggota jemaat, baik yang dikenal maupun tidak
dikenal. Kegiatan lain adalah penyambutan oleh usher (penyambut tamu) di
pintu masuk gedung gereja menjelang ibadah dimulai, dan melakukan jamuan kasih
(bersama-sama menikmati makanan kecil, minum teh dan kopi) di luar ruang ibadah
setelah ibadah Minggu.
Lalu bagaimana dengan unsur atau bagian
lainnya dalam liturgi ibadah Minggu? Lebih spesifik bagaimana dengan penyajian
khotbah? Apakah khotbah sudah merespons dan merefleksikan hospitalitas Allah?
Lalu bagaimana dengan penggunaan gerak tubuh dalam ibadah kepada Tuhan dan
khususnya dalam sebuah penyajian khotbah kepada jemaat? Todd Farley dengan
tulisannya yang berjudul “The Use of the Body in the Performance of
Proclamation” dalam buku Performance in Preaching, mengutip sekaligus
menghadirkan pendapat Martin Luther yang menekankan pentingnya ibadah dengan
seluruh tubuh:
Worship is not function of the
mouth but of the whole body. It is to bow the head, bend the body, fallon
the knees, prostrate oneself, and so forth, and to do such things as a sign and
acknowledgement
of an authority and power; just as people bow in silence before secular princes
and
lords. From this understanding of outward worship you will also understand what
Christ meant by true spiritual worship. It is the adoration of
bowing of the heart (and) where worship is offered from the heart, there
follow quire properly also that outward bowing, bending, kneeling, and adorattion with the body. (Childers 1998,
118)
Cukup ironis jika kita melihat
dalam perkembangan gereja-gereja Protestan, tidak terlalu dikenal misalnya
tradisi tubuh yang berlutut, dan lain-lain dalam liturgi. Termasuk dalam
penyajian khotbahnya, dimana pusat kognisi sangat besar dalam kotbah. Semoga argumentasi
saya tentang pentingnya gerak tubuh dalam penyajian kotbah, dapat menjadi salah
satu dimensi teologis yang cukup penting dalam menubuhkan firman Allah. Leonora
Tubbs Tisdale dalam buku Preaching as Local Theology and Folk Art bahkan
menyatakan bahwa khotbah adalah sebuah karya seni: “Khotbah tidak hanya sebagai
konstruksi teologis, tetapi juga sebagai karya seni” (Tisdale 1989, 122).
Untuk makalah ini saya akan
membatasi hanya dua bagian terbesar komunikasi gerak tubuh dalam penyajian
khotbah yaitu: 1. Wajah dan; 2. Tangan. Sebagai upaya mengusulkan dimensi lain,
yakni dimensi afeksi dan motorik dalam khotbah Minggu sebagai respons dan wujud
hospitalitas Allah. Agar kata dan kalimat sang pengkhotbah menghadirkan hospitalitas
firman Allah, demikian pula gerak tubuh pengkhotbah diharapkan benar-benar
menjadi perwujudan Allah yang hospitable kepada semua.
Hospitalitas
Secara
etimologi, hospitalitas berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani: “Philoxenia.”
Christine D. Pohl dalam bukunya Making Room menjelaskan demikian, “One
of the key Greek words for hospitality, philoxenia, combines the general
word for love or affection for people who are connected by kinship of faith (phileo),
and the word for stranger (xenos)” (Pohl 1999, 31). Uraian dari Henri
J.M. Nouwen dalam bukunya Reaching Out mungkin membantu menjelaskan
proses hubungan dan penerimaan tuan/nyonya/pemilik rumah kepada orang asing
tersebut yaitu, “from loneliness to solitude and from hostility to hospitality”
(Nouwen 1975, 109). Selain itu menurut Pohl, hospitalitas adalah cara hidup yang mendasar dari kekristenan, ia
menegaskan bahwa, “Hospitality is a way of life fundamental to Christian
identity. Its mysteries, riches, and difficulties are revealed most fully as it
is practiced” (Pohl 1999, x).
Hospitalitas
yang tidak berwujud atau tidak dipraktikkan, itu bukan hospitalitas. Mewujudkan
hospitalitas adalah dengan mempraktikkan hospitalitas oleh semua anggota
jemaat, misalnya baik oleh jemaat perempuan dan jemaat laki-laki dalam
kebersamaan ibadah, dan berlanjut mempraktikkan hospitalitas di kehidupan
sehari-hari. Arthur Sutherland dalam bukunya I was a Stranger: A Christian Theology
of Hospitality bahkan menegaskan posisi perempuan dalam hospitalitas sudah
ada sejak konteks Perjanjian Baru. Demikian pendapatnya, “During the time of
emerging New Testament church, hospitality put women at the center of
theological discourse and conflict” (Sutherland 2006, 41). Di konsep dan
contoh yang lain, misalnya Nouwen dalam buku Tuhan Tuntunlah Aku pernah
mengingatkan bahwa hospitalitas bisa menjadi “keuntungan besar” bagi kedua
belah pihak yaitu baik tuan rumah dan tamu/orang asing, bahkan lanjut Nouwen,
hospitalitas bisa menjadi keuntungan besar bagi dua pihak yang sedang
bermusuhan:
Kalau
sikap bermusuhan diubah menjadi hospitalitas, orang-orang asing akan menjadi
tamu yang menyatakan janji-janji yang dibawanya serta kepada tuan
rumah. Lalu pemisahan antara tamu dan tuan
rumah hilang, tidak ada lagi dan muncullah satu ikatan kesatuan yang baru.
Dengan demikian kisah-kisah
dan Kitab Suci ini tidak hanya menyadarkan kita bahwa hospitalitas adalah keutamaan yang penting, tetapi
juga bahwa dalam rangka itu tamu dan tuan rumah dapat saling memberikan rahmat dan
saling memberikan kehidupan yang baru. (Nouwen 1994, 24)
Jika
dimaknai lebih luas lagi, maka hospitalitas menghubungkan teologi dengan
kehidupan dan keprihatinan sehari-hari, demikian pendapat Pohl yang
menggambarkannya seperti satu jembatan: “Hospitality as a framework provides a
bridge which connects our theology with daily life and concerns” (Pohl 1999, 8).
Menghadirkan kembali hospitalitas akan membuat teologi
semakin
masuk akal dan semakin mungkin untuk dilakukan. Karena itu tidak berlebihan
jika menurut Nouwen, dalam rangka merespons berbagai masalah dan tantangan
kontemporer, penting untuk kembali dulu ke makna awal hospitalitas:
“Hospitalitas harus dikembalikan kepada makna yang sebenarnya, yakni
hospitalitas Allah yang menghubungkan dan menyambut semua” (Nouwen 1994, 23).
Serupa dengan pendapat Pohl yang menegaskan bahwa hospitalitas sebaiknya, “reflects and
anticipates God’s welcome” (Pohl 1999, 187). Kemudian hospitalitas juga dikembangkan menjadi
“Justice hospitality” oleh Letty M. Russell dalam buku Just
Hospitality: God’s Welcome in a World of Difference, buku terakhirnya yang
mencoba membentuk ulang definisi dan praktik
hospitalitas menjadi: “Hospitality is the practice of God’s welcome by reaching
out across difference to participate in God’s actions bringing justice and
healing in our world of crisis and our fear of the ones we call ‘other’”
(Russell 2009, 53). Tradisi dan praktik hospitalitas yang membuat tidak ada
lagi ketertutupan, sebaliknya hospitalitas adalah keterbukaan menerima
orang-orang yang berbeda dari kita sebagai karunia Allah, memastikan bahwa Allah
ada di dalam dan untuk semua, merangkul semua perbedaan dan menghubungkan
semua.
Pat
Ennis dan Lisa Tatlock dalam buku Practicing Hospitality menekankan
rumah dan keluarga sebagai awal dari proses hospitalitas: “We see this modeled
in the example of the Proverbs 31 woman. She fed, clothed, and managed her
household before extending her hand to the poor and needy (Prov. 31:10-31). The
needs of her own family were met before she journeyed out into her community”
(Ennis 2007, 74). Hospitalitas selalu memiliki dimensi gender, hal ini memperlihatkan
kompleksitas hospitalitas dalam kehidupan komunitas kristen. Berawal dari rumah
keluarga lalu bersamaan dengan itu berlanjut kepada dimensi Gereja sebagai
“rumah” yang lebih besar, berproses meneruskan hospitalitas bagi lingkungan
masyarakat dan dunia luas. Penggambaran Pohl tentang “pintu tertutup atau terbuka” pada rumah
(atau gereja atau locus manapun) sebagai indikasi terwujudnya
hospitalitas kepada orang asing, tampaknya tidak semudah mengucapkan, “A door
-- open or closed -- is one of the most powerful images of hospitality” (Pohl
1999, 131). Jessica Wrobleski pada buku The Limits of Hospitality
mengingatkan juga bahwa tetap ada batasan dalam praktik hospitalitas:
”Hospitality is not always a matter of simply opening a door; it is also
requires the host’s ability to discern when and how to close it in order to
respect others - and herself - as persons rather than simply providers and
recipients” (Wrobleski 2012, 143).
Mempraktikkan
hospitalitas tidaklah mudah, apalagi selalu ada risiko saat menjadi tuan/nyonya
rumah yang menyambut dan menerima orang asing. Namun di titik risiko itulah,
iman, pengharapan dan kasih dalam Tuhan diuji. Menjawab tentang risiko dalam
praktik hospitalitas, Pohl mengajak untuk memiliki, “responsibilities to
protect others in our families and communities from harm, especially children
and other vulnerable persons, we must attend to the possible dangers” (Pohl
1999, 93). Ketika ada keberanian mengambil risiko, barulah hospitalitas bisa
terjadi. Hal tersebut ditegaskan Septemmy Lakawa di bagian akhir disertasinya
yang berjudul Risky Hospitality bahwa:
This final section of this
chapter offers two images of mission as remaining and breathing. Both images
reflect the fragility and the riskiness of practicing hospitality, of welcoming
the Other into the space of the self,
in the aftermath of violence. The witness has to be able to enter the space of remaining, the space where suffering
remains yet love and the promise of life persists. In this space, a witness must relearn how to breathe,
how to be reconnected to her/his own body. The reconnecting
to one’s own breath requires
the capacity to witness to the Spirit who breathes the breath of life from the space where the breath of
death remains and must be witnessed to. In this space, risky hospitality manifests in two intertwined
directions: toward the self (in opening a vulnerable
space of trauma while protecting it from being harmed again) and toward the Other
(in welcoming the Other into the sharing
space of pain and healing). (Lakawa 2011, 486)
Tanpa
keberanian mengambil risiko baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, maka
penerimaan dan pemberian ruang kepada orang asing tidak akan pernah terjadi. Hospitalitas
sebatas konsep dan akan bisa hilang lenyap. Namun sebaliknya, jika keberanian
mengambil risiko itu dilakukan dan terwujud dalam perjuangan menghadirkan
hospitalitas yang menghubungkan berbagai perbedaan siapapun, di manapun,
kapanpun dan bagaimanapun, maka hospitalitas Allah akan memanifestasikan diri-Nya hadir
melalui kata dan kalimat yang dipilih seorang pengkhotbah, namun khususnya
melalui hospitalitas gerak tubuh pengkhotbah dalam menyajikan dan mendaratkan
sabda kepada jemaat.
Penyajian
Khotbah
Penyajian
khotbah adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari satu kesatuan khotbah. Definisi
“penyajian khotbah” menurut saya adalah cara menyampaikan khotbah yang efektif
kepada jemaat. Teks Alkitab harus dibaca dan diwartakan. Ketika konsep khotbah
(tertulis) sudah disiapkan dengan baik, maka gerak maju berikutnya adalah
mewujudkannya melalui penyajian khotbah. Konsep khotbah itu disuarakan,
ditampilkan, dilakukan, disampaikan dan disajikan supaya “mendarat” kepada
jemaat. Jana Childers dan Clayton J. mengungkapkan dalam buku mereka yang
berjudul Performance in Preaching -Bringing the Sermon to Life bahwa,
“The sermon must move, must be driven the way the text is” (Childers 1998,
41).
Thomas H. Troeger
dalam buku Ten Strategies for Preaching in a Multi Media Culture menegaskan
perlunya
menggunakan “strategi-strategi berkhotbah” dengan tulus dan kreatif (Troeger
1996, 7-8). Penyajian khotbah sesungguhnya bersumber dari segala potensi yang
Tuhan sudah berikan ke tiap pendeta/pengkhotbah. Potensi dan kemampuan
digunakan secara kreatif sesuai takarannya, selaras antara gerak tubuh dengan
kata dan kalimat yang diucapkan dalam menyajikan khotbah. Sehingga pesan
khotbah bisa benar-benar sampai di hati dan semua indra jemaat. Red B. Craddock
pernah bertanya dalam buku Preaching, bunyinya demikian, “Apa yang akan
menjadi pengalaman pendengar khotbah atas apa yang disampaikan oleh pengkhotbah
pada kesempatan ini?” (Craddock 1985, 211) Ruthanna B. Hooke di bukunya Transforming
Preaching tampak seperti menjawab pertanyaan Craddock, bahwa pengalaman itu
adalah pengkhotbah “shows” adanya jembatan -juga jadi tersambung dengan
definisi hospitalitas oleh Pohl yaitu: “a bridge which connects our theology
with daily life and concerns” (Pohl 1999, 8) - yang saling menghubungkan semua,
antara Allah dengan jemaat, serta jemaat dengan manusia lainnya:
A sermon is the moment in the
worship service when the preacher takes the word of Scripture and the elements of the liturgy and seeks not only
to explain them, but to make them relevant to the world
today. In the sermon the preacher
shows why we should care about the Bible verses that have been
read and the traditional words and actions of the liturgy. Why does all of this
matter to us
today? The preacher’s task is to bridge
a gap between the texts and tradition of the church, and the world that we lives in now, and to
show why the Christian faith is the best way to make sense of this world and to give meaning to our
lives. (Hooke 2010, 5)
Penyajian
khotbah yang baik akan meningkatkan hubungan
penerimaan dan saling memberi ruang di antara “tuan/nyonya rumah dan tamu,” dalam
hal ini yaitu: Antara pengkhotbah dengan penerima khotbah / jemaat, dan inilah
hospitalitas penyajian sebuah khotbah. Membangun hospitalitas
khotbah bersama dan mengembalikan penyajian
khotbah
benar-benar sebagai respons dan refleksi hospitalitas
Allah. Bermuara pada jemaat yang semakin mempraktikkan
hospitalitas sehari-hari. Jemaat lebih bersedia menerima, peduli dan berbagi kepada
orang asing dalam kehidupan nyata keluarga mereka, dalam gereja, juga ke lingkungan
dan masyarakat. Para penerima sajian khotbah (yaitu jemaat) tidak hanya
menerima, tetapi juga akan menyajikan “khotbah,” melalui hospitalitas gerak
tubuh sehari-hari yang menerima dan merangkul semua perbedaan.
Gerak
Tubuh dalam Penyajian Khotbah
Gerak tubuh atau bahasa tubuh (gesture/body
language) tidak bisa dilepaskan dari kesatuan komunikasi ibadah, khususnya
dalam sebuah penyajian khotbah. Bahkan menurut Delia Halverson dalam buku The
Gift of Hospitality menegaskan, “In reality, communication is 7 percent
verbal content, 38 percent tone of voice, and 55 percent body language”
(Halverson 1999, 27). Jika teori ini dilanjutkan, maka maknanya adalah gerak
tubuh kemungkinan lebih besar membawa dampak yang hospitable, bersama
dengan penyampaian khotbah melalui lisan dan suara. Gerak tubuh pengkhotbah
menjadi “komunikasi untuk semua” yaitu komunikasi yang merangkul semua
perbedaan jemaat serta orang asing yang hadir dalam ibadah. Apa yang dilihat
(bersamaan dengan apa yang didengar) bisa lebih kuat mengajak semua jemaat
merasa diterima untuk mendengar hospitalitas firman Allah. Pohl pernah
mengkritisi hal seperti itu: “Churches have generally done better with offering
food programs and providing clothing closets than with welcoming into worship
people significantly different from their congregations” (Pohl 1999, 160).
Sebab
sebaliknya, gerak pengkhotbah juga bisa sama sekali berbeda dengan apa yang
dikatakan. Hooke kerap merekam video gerak tubuh para muridnya di kelas
khotbahnya: “Ketika mereka melihat rekaman tersebut dengan volume suara
dimatikan, murid-murid dapat melihat bahwa tubuh mereka mengkomunikasikan
sesuatu yang lain daripada apa yang dikatakan oleh Firman yang mereka
sampaikan” (Hooke 2010, 103). Dalam
buku yang cukup tua berjudul Chironomia,
or a Treatise on Rhetorical Delivery karya Gilbert Austin, seorang pendeta
yang juga adalah salah seorang tokoh retorika dunia, menjelaskan gerak tubuh
dalam penyajian khotbah sebagai "tindakan dan posisi dari semua bagian
tubuh" (Austin 1806, 133). Selama abad ke-18, pengkhotbah lebih suka
menggunakan minimal gesture atau gaya kuno dengan sedikit gerak
tubuh. Namun mengikuti pedoman Austin, pengkhotbah-pengkhotbah berikutnya
terinspirasi untuk mensinergikan gerakan tubuh dengan kata-kata. Bisa lihat
pada gambar-gambar (ilustrasi) di lampiran 1-4, Austin mengingatkan bahwa,
“gerakan tubuh sebaiknya digunakan dengan penguasaan diri dan hanya berguna
jika sesuai atau selaras dengan kata dan kalimat” (Austin 1806, 137).
Karena
itu mungkin tepat isi tulisan Hooke bertema “engaging the body
in preaching” dalam buku Transforming Preaching bahwa, “Kita membutuhkan
pengkhotbah dengan kemauan dan kemampuan untuk membawa semua dirinya saat
menyajikan khotbah. Menghadirkan Firman Allah itu dalam dan melalui tubuh,
pikiran, jiwa dan suara” (Hooke 2010, 98). Juga pendapat senada oleh Tan Jin
Huat dalam buku tulisannya Preacher, prepare yourself! bahwa, “Penyajian
khotbah yang efektif seharusnya melibatkan integrasi yang tepat dari sejumlah
faktor, menghasilkan penyajian khotbah yang baik. Ini termasuk penggunaan suara
kita, ekspresi wajah kita, tatapan mata kita, gerak tubuh dari tangan, kaki,
kepala kita dan cara postur tubuh” (Huat 2000, 274). Demikian pula pendapat
James W. Cox dalam buku berjudul Preaching-A Comprehensive Approach to the
Design and Delivery of Sermon menjelaskan, “Tidak hanya suara, tetapi juga
seluruh tubuh dapat mengomunikasikan kebenaran Firman Allah. Gerak tubuh
mengungkapkan jiwa, sebenarnya seluruh tubuh dalam tindakan dapat sangat
meningkatkan efektivitas penyajian khotbah melalui dan bersama voice kalimat
pengkhotbah” (Cox 1985, 253).
Todd
Farley menjabarkan cukup lengkap tentang gerak tubuh yang perlu diperhatikan
dalam sebuah penyajian khotbah sebagai berikut: “The Speaker’s Zero atau
posisi nol/kosong sang penyaji khotbah, di titik ini jemaat mulai melihat
pengkhotbah yang berdiri di depan, semua gerak dan gerakan (perpindahan) berlangsung dari dan kembali ke
nol ini (bandingkan dengan lihat lampiran gambar/ilustrasi 7); The
Head atau kepala sang pengkhotbah umumnya dipahami sebagai
pusat simbol kehidupan, kepemimpinan, dan intelektual. Terkadang gerak kepala
dapat menunjukkan lebih dari satu hal pada suatu waktu, seperti ketika miring
ke samping saat merenung atau mengamati sesuatu yang bisa dimaknai dengan
banyak arti; The Face atau
wajah adalah bagian yang paling komunikatif dari
tubuh. Ekspresi wajah mulai pertama dan terutama di mata, kemudian secara alami
memancarkan ke seluruh wajah; The Chest
atau dada mewakili visual
nafas kehidupan, juga mewakili cinta dan emosi sang pengkhotbah. Pada pria,
dada telah menjadi simbol tradisional tentang kekuatan, dan bagi seorang
wanita, simbol keibuan yang mengasihi; The Arms
atau lengan, memfasilitasi gerakan tangan dan
meluaskan komunikasi tangan. Simbol
kemampuan untuk bekerja dan mencapai tugas (bisa lihat lampiran
7); The Hands atau tangan adalah gesture paling komunikatif kedua
(setelah wajah), simbol konsep
dan kekuasaan, arah, juga detail dari pemikiran pengkhotbah, manipulasi,
kemampuan, dan kontrol. Coba lihat dan cermati ilustari dan beberapa gesture
tangan pada lampiran 4; The Waist
atau pinggang adalah tengah atau pusat dari tubuh. Simbolis jiwa, selera dan keinginan. Gerak
tubuh yang melibatkan pinggang adalah termasuk bernapas dan berkomunikasi
secara umum dengan ‘menarik,’ sekaligus
mendukung gesture dada; The Legs
atau kaki, Farley menyatakan bahwa ‘the legs are primarily used to communicate
concepts of direction, transportation, possession, and dominion;’ Keseimbangan,
Waktu dan Tempat (Equilibrium, Time, and Space), bisa dilihat pada
lampiran (ilustrasi) 7 yang digunakan Farley menegaskan bahwa, “Untuk posisi nol seorang pengkhotbah (speaker’s
zero), keseimbangan harus benar-benar seimbang dengan hanya sedikit ke
depan. .. Dari sudut pemandangan atas yang luas (bird’s-eye), menggambarkan
komunikasi dasar les Equilibre dan pentingnya ruang gerak pengkhotbah
(space) yang berkaitan dengan waktu khotbah (time)” (Childers
1998, 122-130).
Hospitalitas
Gerak Tubuh dalam Penyajian Khotbah
Hospitalitas
gerak tubuh penyajian khotbah sesungguhnya sudah dilihat dan dirasakan jemaat
sejak pengkhotbah berjalan menuju altar (atau panggung), lalu berdiri di depan
semua jemaat penerima khotbah. Postur tubuh yang tegap namun tidak kaku,
natural, tenang dan siap menyajikan khotbah akan membuat kesan yang baik:
Pengkhotbah (apakah ia sebagai pendeta jemaat atau pendeta tamu) yang sudah
dikenal atau belum dikenal sama sekali oleh jemaat, tetap merasa diterima dan
karena sang pengkhotbah siap menerima jemaat, dan begitu pula sebaliknya,
membuat jemaat “memberi ruang,” bersedia menerima penyajian khotbah. Jemaat
sudah mulai menangkap hospitalitas melalui gerak tubuh pengkhotbah yang terbuka
menerima dan berupaya merangkul semua orang yang hadir dalam ruang ibadah, dan
Yesus adalah contoh terbaik menurut Pohl: “Like Jesus, the best hosts are not
completely ‘at home’ themselves. But still make a place of welcome for others”
(Pohl 1999, 119).
Dalam
makalah ini saya membatasi hanya dua terbesar bagian gerak tubuh dalam
penyajian khotbah yaitu: 1. Wajah dan; 2. Tangan. Hospitalitas gerak tubuh
dalam penyajian khotbah khususnya bagian wajah dan tangan, terungkap dalam
pendapat John Wesley yang dikutip Farley berbunyi demikian:
That this silent language of your
face and hands may move the affections of those that see and hear you, it must be well adjusted
to the subject, as well as to the passion which you desire either to express or excite. It
must likewise be free from all affectation, and such as appears to be the mere, natural result, both
of the things you speak, and of the affection that moves you to speak them. And the whole is so to be managed,
that there may be nothing in all the dispositions and motions of your body to offend the eyes of the spectators.
(Childers 2008, 118)
John
M. Rottman dalam buku Performance in Preaching, juga mengingatkan bahwa semua
pengkhotbah perlu memahami betul kekuatan gerak tubuh dalam penyajian khotbah
(Childers 2008, 80). Dilengkapi dengan indah oleh Paul Scott Wilson dalam buku
yang sama, demikian tulisannya, “Penyajian khotbah yang paling signifikan dari
khotbah adalah tindakan Allah yang divina actio. Pengkhotbah, seperti
pemain apapun, memberikan lebih dari tubuhnya sendiri untuk penyajian khotbah
dalam relasi hospitalitas Allah dan dengan relasi hospitalitas manusia” (Childers
2008, 47). Thomas Ryan tambah menegaskan hal tersebut lewat tulisannya, “The
Body Language of Faith” dalam buku Reclaiming the Body in Christian
Spirituality bahwa, ”The human person is not a soul and body, but
inspirited flesh, an animated body. One is one’s body and is one’s soul at one
and the same time. Holistic spirituality challenges us to integrate all aspects
of ourlives into our relationship with God” (Ryan 2004, 78).
Mengenai mimbar yang sering
ditakutkan membatasi gerak tubuh pengkhotbah, sesungguhnya tidak akan
berpengaruh besar, pengkhotbah tetap bisa “berhospitalitas” lewat gesture
penyajian khotbahnya dengan tetap berada di mimbar. Mimbar (pulpit)
memiliki tempat penting dalam arsitektur gedung gereja, Abraham Kuyper dalam
buku Our Worship menjelaskan bahwa:
Lutheran
principles posit an ecclesia docens, that is, there are official persons who
represent the church and who, having been vested with high authority,
bring believers on earth a message from the Holy One of Israel. Because of
that view the pulpit in true Lutheran chuches is always positioned very
high. The minister is to resemble a trumpeting angel from heaven who speaks to the
congregarion from the top of Sinai or Zion. The congregation consists of
“listeners” who have come to listen.
This is their only calling, and a good listener has to be quiet. (Kuyper 2009,
99)
Karena posisi mimbar yang sangat
tinggi, apalagi jika khotbah disajikan selama dua jam, menurut Kuyper, “secara
fisik/tubuh maka pengkhotbah sulit untuk mempertahankan postur, terlebih jemaat
akan kesulitan tetap fokus mendengar khotbah, kebanyakan dari mereka pikirannya
mengembara, ada yang mencari pengalihan, beberapa bahkan tertidur” (Kuyper
2009, 170). Menurut Kuyper hal seperti ini, tentang mimbar, posisi mimbar,
posisi pengkhotbah, jemaat, durasi penyajian khotbah dan berbagai hal lain di
seputar penyajian khotbah masih banyak yang harus dibenahi bersama-sama: ”And
it is precisely that dozing doff in church that you will not find in other
churches where the worship service is better organized, because liturgically
the attention span is until it is time for the sermon. This would be quite an
improvenment for our churches, and sooner or later we will have to adopt this
practice” (Kuyper 2009, 170).
Dalam penggunaan mimbar, sebagian
pengkhotbah mengatakan bahwa mimbar (ukuran besar atapun kecil) membatasi gerak
tubuh dalam penyajian khotbah, tetapi bagi Farley: Pengkhotbah tetap memiliki
seperti fleksible space atau ruang fleksibel menyajikan khotbah, yang
terpenting apakah jemaat berhasil membuat “significant space” bahkan “symbolic
space” (Childers 2008, 133) atas gerak tubuh pengkhotbah di mimbar (ataupun
tanpa mimbar). Kuyper mengingatkan bahwa gedung gereja bukanlah “sanctuaries” atau “tempat suci / tempat
kudus.” Tetapi gereja adalah “places of assembly” (Kuyper 2009, 65) artinya
tempat pembentukan. Segala sesuatu dalam gereja bisa diubah, tetapi segala
sesuatu itu (termasuk mimbar) juga membentuk pengkhotbah dan jemaat.
Pengalaman saya (penulis) ketika
ada mimbar, walaupun hanya setengah tubuh yang dilihat jemaat, pengkhotbah
mesti tetap menyajikan khotbah dengan seluruh tubuhnya. Jaga jarak tubuh dengan
mimbar, jangan mepet mimbar karena memberi kesan ketakutan, atau ada jarak
pembatas dengan “berlindung pada benteng” mimbar. Nyamanlah dengan mimbar dan
altar atau juga panggung tempat menyajikan khotbah. Pengkhotbah boleh menyentuh
mimbar satu-dua kali dan menaruh Alkitab atau catatan kecil atau pointer
di mimbar. Gunakan wajah dan tangan sebagai gesture hospitalitas kepada
jemaat. Hindari menaruh dan menempelkan tangan terus di mimbar. Posisikan tubuh
kita terbuka dengan pendengar khotbah, sehingga dengan gerak tubuh sepertinya
pengkhotbah berkata, “jemaat aku terbuka untukmu, tidak ada penghalang/pembatas
di antara kita” sehingga hospitalitas dapat diwujudkan.
1. Wajah.
“The
facial expression should welcome the audience into the conversation” (Childers
2008, 122) demikian Fairley mengajak wajah pengkhotbah tersenyum atau ramah
menyambut semua jemaat yang akan menerima khotbah. Gerak wajah hospitalitas
adalah seperti gerbang atau pintu masuk jemaat, atau jembatan yang
menghubungkan pengkhotbah dengan jemaat sebagai penerima khotbah. Seperti Pohl
dalam bukunya Making Room berkata, “Hospitality begins at the gate, in
the doorway, on the bridges between public and private space” (Pohl 1999,
95).
Cukup banyak pendeta dengan sikap buruk, langsung
sudah tidak hospitable bahkan di postur awal ia berjalan menuju altar
atau panggung, ia bungkuk, ngawur, tubuhnya seperti mengerut dan
menutup. Saat tiba di preacher zero, tidak percaya diri dan
ketidaksiapan pengkhotbah akan langsung terpancar dan tertangkap jemaat melalui
mimik wajah sang pengkhotbah. Elizabeth Newman dalam bukunya Untamed
Hospitality pernah mengingatkan, “Hospitality is a practice and discipline
that asks us to do what in the world’s eyes might seem inconsequential but from
the perspective of the gospel is a manifestation of God’s kingdom” (Newman
2007, 174). Wajah ramah seorang pengkhotbah akan menjadi simbol dan pesan
paling akurat kepada jemaat bahwa firman Allah yang dikhotbahkan adalah baik,
dibutuhkan dan mengajak semua orang untuk menerima hospitalitas Allah. Seperti
Pohl yang juga pernah menegaskan pendapatnya bahwa: “Hospitality is good for
everyone” (Pohl 1999, 186).
Farley mengingatkan, “Once
the speaking begins, expression flow as needed and should be perceived as natural,
using theatrical expressions only when they are known to be an ‘act,’ or an
obvious representation of characters or their emotions” (Childers 2008, 122).
Tersenyumlah, seorang pengkhotbah dianjurkan memiliki kebiasaan wajah tersenyum
tiap hari dan itu akan terbawa khususnya saat menyajikan khotbah. Senyum
membuat hati gembira, baik bagi jemaat yang melihat dan hati si pengkhotbah
sendiri. Kesegaran hospitalitas dari hati tulus akan saling berbicara lewat
wajah tersenyum, santai dan berkomunikasi antara pengkhotbah dengan jemaat. Selanjutnya pengkhotbah bisa menggunakan mimik
atau gerak wajah yang sesuai emosi kata dan kalimat yang dikhotbahkan. Harap
diingat sesungguhnya tidak hanya pengkhotbah yang
berbicara kepada jemaat, tetapi seperti Fred B. Craddock menegaskan dalam
bukunya Preaching bahwa, “the listeners speak to the preacher before the
preacher speaks to them” (Craddock 1985, 25). Sehingga antara si pengkhotbah
dan pendengar
khotbah dapat membangun hospitalitas bersama,
“saling memberi dan menerima rahmat” (Nouwen
1994, 24) dan “so they find own gifts” (Pohl 1993, 180).
Wajah-wajah dari semua hati yang saling menerima, akan mengembalikan
hospitalitas pengkhotbah dengan jemaat sebagai wujud dari “wajah”
hospitalitas Allah.
2. Tangan. Childers
menekankan pentingnya gerak tangan yang terlibat dalam penyajian khotbah, di
buku Purposes of Preaching ia menggambarkan demikian, “The body language
of the preacher, use of hands, movement in the pulpit space or into the
congregation seating area, stance behind the podium, use of the microphone,
handling of distractions, and energy or engagement with the listeners is also
reviewed” (Childers 2004, 58). Untuk berbagai bentuk gerak tangan, termasuk
makna gerak tangan dan posisi gerak tangan bisa lihat dan perhatikan lampiran
(ilustrasi) 5 dan 6.
Satu hal terpenting tentang
perspektif hospitalitas melalui gerak tangan adalah: Melalui telapak tangan
pengkhotbah. Lebih tepatnya melalui palm atau telapak tangan yang terbuka.
Fairley menegaskan bahwa, “The open palm generally signifies concept of
something being released-toward-another or being open-to receive-from-another”
(Childers 2008, 125). Hospitalitas akan tampil dan dirasakan jemaat melalui
gerak telapak tangan pengkhotbah yang terbuka, bukan punggung tangan atau
telapak tertutup.[1]
Tambah
menarik jika kita memperhatikan gambar “Tangan” Allah yang bisa kita temukan di
mana-mana, dalam buku Performance in Preaching, Farley mengutip kalimat
St. Agustinus demikian, “The souls of the righteous are in God’s hand: in whose
hand are both we and our words” (Childers 2008, 125). Gambar telapak tangan
Allah itu simbol dari penerimaan, memberikan berkat, penyelamatan-Nya dalam
Kristus (dengan simbol tangan berlubang bekas paku), serta segala yang bisa
mewakili berbagai “gerak tubuh” hospitalitas Allah. Tangan pengkhotbah adalah
refleksi hospitalitas “tangan” Allah merangkul dan mengasihi semua orang juga
segala ciptaan-Nya.
Penting diingat juga
catatan Farley bahwa, “The closed fist usually signifies the concept of
retaining or gathering force” (Childers 2008, 125), karena itu hindarilah
menyajikan khotbah dengan gerak telapak tangan tertutup, kepalan tinju dan
membuat jemaat tidak at home, sama seperti ungkapan Pohl tentang
hospitalitas adalah, ”Making people feel welcome and ‘at home’ ” (Pohl 1999,
154). Hindari juga menyajikan khotbah dengan menunjuk-nunjuk dan mengibaskan
jari berkali-kali di depan dan ke arah jemaat, terkesan sangat arogan dan
menghilangkan hospitalitas penyajian khotbah. Tetapi kekuatan hospitalitas akan
tampak dalam gesture lengan tangan yang terbuka, istilah yang kerap saya
katakan pada diri saya sendiri adalah “melebarkan sayap” tangan, mempraktikkan
hospitalitas yang menerima semua dan menyambut semua.
Beberapa catatan tambahan saya yang
lain adalah tangan dan siku jangan seperti terikat. Sebaliknya gerak tangan
jangan sampai kacau balau dan mengganggu fokus jemaat. Hindari tangan di pinggul, akan mengkomunikasikan pengkhotbah
lebih berkuasa atas jemaat. Juga gerak tangan tergenggam bersama-sama dan
terus-menerus, pengkhotbah memberikan rasa penolakan, jemaat merasa “lelah”
melihatnya, pengkhotbah seperti merasa takut dan gugup. Begitu pula gerak
pengkhotbah menempatkan tangannya di saku, walau pengalaman saya ini seperti
membantu merasa santai, namun jika sebaliknya kita memperhatikan seorang
pengkhotbah lain melakukan hal yang sama, sesungguhnya gerakan memasukkan
tangan ke dalam saku celana akan lebih mengkomunikasikan rasa gugup atau
terganggu. Lebih banyaklah menggunakan telapak tangan ke arah jemaat untuk
menggambarkan arah atau posisi sesuatu. Contoh: "Naik ke Gunung
Sinai," dengan gerak telapak tangan menunjuk ke atas.
Gunakanlah juga gerak tangan untuk mengekspresikan “emosi” hospitalitas untuk semua. Seperti Russell menampilkan justice sebagai bentuk hospitalitas dalam ibadah, khususnya Ibadah Minggu. Dengan mengacu beberapa pertanyaan di konteks Nabi Amos, ketika nabi Allah itu menemukan ibadah Betel, di Israel utara, mencerminkan ketidakadilan dalam masyarakat Israel saat itu (Russell 2009, 107). Sebaliknya ketika seorang pengkhotbah mengatakan, "Allah sangat mengasihi Anda semua” sambil tersenyum di wajah, pengkhotbah merentangkan dua tangan lebar-lebar dengan telapak tangan mengarah ke arah jemaat, maka hospitalitas Allah akan benar-benar menjadi milik semua.
Gunakanlah juga gerak tangan untuk mengekspresikan “emosi” hospitalitas untuk semua. Seperti Russell menampilkan justice sebagai bentuk hospitalitas dalam ibadah, khususnya Ibadah Minggu. Dengan mengacu beberapa pertanyaan di konteks Nabi Amos, ketika nabi Allah itu menemukan ibadah Betel, di Israel utara, mencerminkan ketidakadilan dalam masyarakat Israel saat itu (Russell 2009, 107). Sebaliknya ketika seorang pengkhotbah mengatakan, "Allah sangat mengasihi Anda semua” sambil tersenyum di wajah, pengkhotbah merentangkan dua tangan lebar-lebar dengan telapak tangan mengarah ke arah jemaat, maka hospitalitas Allah akan benar-benar menjadi milik semua.
Ketika
di akhir penyajian khotbah, gerak tangan pengkhotbah kembali ke zero
speakers dengan tenang, seperti pendapat Marcel Marceau dikutip Farley
berbunyi, “The speaker’s best zero hand position is naturally relaxed to the
sides or placed on the podium” (Childers 2008, 126), memampukan hati jemaat
semakin terbuka, berwujud di gerak tangan terbuka untuk saling menerima, gereja
memberi ruang dan semua jemaat lebih menyajikan hospitalitas kepada orang asing
yang lainnya.
Catatan
Kritis, Sumbang Pendapat dan Refleksi
Dalam buku Mobilizing Hospitality,
Jennie Germann Molz dan Sarah Bigson
berpendapat bahwa:
Hospitality
is not offered to every stranger, nor does every stranger gratefully receive
the gift (or debt) of hosptality. Similarly, not everyone is able to
give hospitality to the stranger, not everyone is empowered to be
hospitable. It is only to those recognized, identified, familiar, welcome-able
strangers who are generously given hospitality, and this gesture of
hospitableness can only be made by those hosts who
feel at home. (Molz 2016, 12)
Karena itulah dibutuhkan gerak tubuh
pengkhotbah yang bisa membawa jemaat, bersama-sama merasa “at home,” seperti istilah
yang juga ditekankan oleh Pohl dalam buku Making Room (Pohl
1999, 154). Pengkhotbah
mengomunikasikan hospitalitas kepada penerima khotbah, terlebih lagi hospitalitas
di tiap gerak tubuh dalam penyajian khotbah kepada jemaat. Proses persiapan
hingga tahap konsep khotbah (tertulis) adalah penting, namun penyajian khotbah
adalah lebih penting. Mengomunikasikan firman Allah dan mempraktikkan
hospitalitas kerajaan Allah kepada jemaat dari atas mimbar. Gerak atau bahasa tubuh menjadi bagian terbesar dan
terpenting untuk meningkatkan pesan hospitalitas. Pendapat Amos Yong yang
disebutnya the eschatological hospitality dalam buku Hospitality
and the Other mungkin
dapat menguatkan makna hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian
sebuah khotbah yaitu, ”Christian
mission participates in what I call the eschatological hospitality of God that
anticipates the redemption of every nation, tribe, tongue, and people. Hence,
Christian mission engages in the practices of the kingdom of God” (Yong 2008,
140).
Ada
catatan menarik dari John C. Holbert dan Alyce M. Mckenzie dalam buku mereka
yang berjudul What Not to Say, Avoiding the Common Mistakes that can Sink
Your Sermon, menegaskan bahwa: Jangan pernah gerak tubuh seorang
pengkhotbah menjadi “The Underestimator,” memandang rendah orang lain atau
apalagi meremehkan orang-orang yang mendengarkan khotbah:
The ability to respect the
mystery of people’s uniqueness, both as a group and as individuals, is a gift
from God to a preacher. It can come through in phrase: “ I’m guest preacher; I
don’t presume to know all about you and yoursufferings,” or “I’m going
to speak for myself now, and if you recognize yourself in this, then
come on in and join me.” You’ll come up with better phrases, and
that you recognize and respect their uniqueness. (Holbert & Mackenzie 2011,
54)
Hospitalitas
gerak tubuh dalam penyajian khotbah yang menurut Wroblewski terwujud nyata
ketika, “pengkhotbah tahu persis bagaimana menghormati serta menghargai orang
lain - dan dirinya sendiri - sebagai orang yang bukan hanya penyedia tetapi
juga penerima" (Wroblewski 2012, 143). Melalui gerak tubuh saling memenuhi
kebutuhan hospitalitas yaitu saling menerima dan menghargai. Karena itu menurut
saya, hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian khotbah dimulai bahkan sebelum
mulut sang pengkhotbah dibuka. Seorang pengkhotbah yang baik tidak hanya memberitakan dengan bibirnya, tetapi
dengan seluruh tubuhnya. Penyajian khotbah adalah kreasi yang
kreatif, Tisdale menegaskannya dengan ungkapan,
“Sehingga kita bisa mengerti pentingnya penggunaan variasi dan
improvisasi dalam penyajian khotbah” (Tisdale 1989, 122). Oleh karena itu
menurut saya, setiap gerak tubuh pengkhotbah adalah bukan saja sebuah
penyampaian hospitalitas, tetapi juga konfirmasi hospitalitas Allah bagi semua
pendengar khotbah.
Craddock
menyatakan para penerima khotbah menginginkan kepastian dan keyakinan melalui
gerak tubuh pengkhotbah: “Tetapi tanpa kesan mimbar yang terlampau serius,
apalagi terkesan menghakimi. Yang terpenting adalah keyakinan pengkhotbah bahwa
pesan yang disajikan dapat membawa perbedaan yang baik” (Craddock 1985,
218-219). Khususnya keyakinan akan konsep dan praktik hospitalitas dapat “ditangkap” juga dirasakan jemaat dalam
penyajian khotbah. Hospitalitas akan memengaruhi baik pengkhotbah maupun
khususnya jemaat. Karena itu sejak pengkhotbah akan memasuki ruang ibadah atau tempat
menyajikan khotbah, postur tubuh yang hospitable mungkin sudah dimiliki
saat berjalan, memasuki ruangan, duduk dan khususnya saat berjalan menuju altar
atau panggung, hingga tiba di belakang mimbar tempat “the speaker’s zero”
(Childers 2008, 120). Dalam buku Open to
Go (2015) yang ditulis bersama oleh Christina Brudereck dan kawan-kawan dinyatakan
bahwa memperhatikan gerak tubuh sudah menyatu dengan pola pikir manusia dan
kehidupan nyata masyarakat setiap hari: “Kita memiliki tubuh -bukan hanya pikiran,
melainkan juga panca indera, otot dan tulang. Yang mendasari perbuatan kita
adalah gambar dan cerita, bukan kebenaran abstrak. Gambar dan cerita tersebut
menyatu dengan perbuatan jasmani, ‘liturgi’ kita sehari-hari, yang membentuk
kebiasaan dan sikap kita” (Brudereck 2015, 101). Karena itu sebaliknya, menurut
saya penting juga misalnya untuk selalu memperhatikan respons gerak tubuh
jemaat, saat di kehidupan sehari-hari atau di luar ibadah Minggu, atau
khususnya saat penyajian khotbah. Tanggung jawab ini perlu dilakukan
pengkhotbah agar fokus para penerima khotbah (jemaat) tetap terjaga.
Marvin
A. McMickle dalam bukunya Shaping the Claim mengingatkan: “Given the
often unpredictable nature of the people who listen to sermons, who often
manage to hear or think they have heard things not actually intended by our
sermons, it is crucial that preachers deliver sermons that offer a single,
compelling, clearly focused message, that invite a single emotional experience,
that call for a single behavioral outcome, a next step, or a now what in
mind” (McMickle 2008, 76). Jika pendapat
seperti ini dilanjutkan dan dikritisi, maka menurut saya akan tiba pada “tesis”
atau “argumen/gagasan” bahwa mungkin bukan hanya mind (pikiran) yang memengaruhi gesture (gerak tubuh), tetapi
sesungguhnya juga sebaliknya! Saya belum berani mengatakan yang pertama yang
mana, apakah mind dulu ataukah gesture dulu? Tetapi satu yang
mungkin bisa saya ungkapkan melalui makalah singkat ini bahwa: Gerak tubuh yang
hospitable dalam penyajian khotbah, memengaruhi pola pikir hospitalitas
siapapun, baik sang pengkhotbah dan khususnya mereka yang menerima khotbah.
Semua itu mungkin karena komunikasi
penyajian khotbah sesungguhnya mayoritas ada pada gerak, tindakan dan
melakukan. “Yesus Kristus sendiri jauh lebih sedikit berbicara tentang Kasih,
dibandingkan Dia melakukan Kasih itu” (Childers 2008, 43) demikian pendapat
Childres. Contohnya tindakan
Yesus kepada perempuan Siro-Fenisia tanpa nama (Markus 7: 24-30), oleh David
Lose, presiden dari Lutheran Theological Seminary di Philadelphia, Amerika
Serikat, dipastikan sebagai praktik hospitalitas. Lose menyatakan bahwa, “Let's
face it: Hospitality, for most of us, means being patient and polite while we
wait for newcomers to become more like us. But can we understand hospitality as
a willingness to be open to the distinct gifts and perspectives of someone who
is different? Can we even imagine that hospitality is an openness to receiving
people who are different from us as gifts of God given to change and stretch
us?” (Lose 2012).
Pendapat Shawna Songer Gaines dan
Timothy R. Gaines dalam buku mereka A Seat at the Table, menambah makna
baru untuk praktik hospitalitas dalam penyajian khotbah hari Minggu, juga di
kehidupan nyata di hari lainnya, dengan bunyi ajakan: “Set another place at the
table” (Gaines 2012, 161). Mengingatkan semua pihak untuk tidak lupa, selalu
bersiap sedia menyediakan tempat dan ruang di “meja hospitalitas” keluarga,
gereja, masyarakat dan bahkan di “meja hospitalitas” dunia.
Sehingga
hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian seorang pengkhotbah akan semakin kuat
menyampaikan pesan hospitalitas meja besar Allah. Rebecca Blair Young dalam
orasinya di Ibadah dan acara Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (pada
tahun 2011) berkata, “When we come and repose at the table that the Lord offers
us, at the same time we are putting into practice the best ways to love, to
pray and to eat. We come to the table that is overflowing with God’s generosity
to us, with all kinds of delicious food and drink for us to enjoy and indulge
in as we feast together” (Young 2011, 67).
Semakin
lengkap dengan catatan teologis Russell dalam buku berjudul Church in the
Round: Feminist Interpretation of the Church, refleksi kehadiran Kristus
yang “melayani bukan dilayani” di satu meja besar kehidupan dunia, Russell
menuliskan, “We move forward with whatever piece we have received in
expectation that Christ will be present among us as we crowd together around
the table with the one who comes to serve and not to be served (Mark 10:45)”
(Russell 1993, 45).
Hospitalitas akan
semakin mungkin menjadi gaya hidup, disadari, dibutuhkan dan dilakukan oleh
semakin banyak orang lain yang berbeda-beda. Khususnya di konteks Indonesia
yang Bhinneka Tunggal Ika, kaya dengan perbedaan suku, agama dan ras, juga oleh
jemaat dan umat manusia di seluruh dunia. Seperti ungkapan Amos Yong dalam
bukunya Hospitality and the Other bahwa, “we need to go beyond this to
work with people of other faiths so that such ministries can be jointly
envisioned, owned, and operated” (Yong 2008, 157). Agar lebih banyak orang
menerima hospitalitas Allah, karena jemaat terus dimampukan menyajikan
“khotbah” melalui gerak tubuh yang hospitable kepada semua orang dengan berbagai perbedaan, tantangan dan krisis
di kehidupan nyata sehari-hari.
Daftar
Pustaka
Austin, Gilbert. 1806. Chironomia: A Treatise on
Rhetorical Delivery. London: W. Bulmer.
Brudereck,
Christina, dkk. 2015. Open To Go: Bagaimana menjadi gereja masa depan.
Jakarta: Gunung Mulia.
Childers, Jana. 1998. Performing the Word -
Preaching as Theatre. Nashville: Abingdon Press.
Childers, Jana and Clayton J. Schmit. 2008. Performance
in Preaching -Bringing the Sermon to Life.
Michigan: Baker Academic.
Childers, Jana (ed). 2004. Purposes of Preaching.
Missouri: Chalice Press.
Cox, James W. 1985. Preaching-A Comprehensive
Approach to the Design and Delivery of Sermon. San Fransisco: Harper &
Row, Publishers.
Gaines, Shawna Songer
& Timothy R. Gaines. 2012. A Seat at the Table: A Generation Reimagining Its Place in the
Church. Kansas City: Beacon Hill Press.
Halverson, Delia. 1999.
The Gift of Hospitality: In Church - In the Home - In All of Life. Missouri: Chalice Press.
Hooke, Ruthanna B. 2010. Transforming Preaching.
New York: Church Publishing.
Huat, Tan Jin. 2000. Preacher, prepare
yourself!-towards better Preaching. Kuala Lumpur: Good News Resources.
Kuyper, Abraham. 2009. Our Worship.
Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company.
Lakawa, Septemmy
Eucharistia. 2011. Risky Hospitality: Mission in the aftermath of religious
communal violence in Indonesia. Disertasi Th.D.,
Boston University School of Theology.
Lose, David. Working
Preacher. September 02,2012.http:/www.workingpreacher.org/craft.aspx? post=1625 (diakses 10 Oktober 2016).
Molz, Jennie Germann
& Sarah Bigson (ed). 2016. Mobilizing Hospitality - The Ethics of Social
Relations
in Mobile World. London & New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Nouwen, Henri J.M.
1975. Reaching Out: The Three Movements of the Spiritual Life. New York: Image Books.
Nouwen, Henri J.M.
1994. Tuhan Tuntunlah Aku: Renungan harian dalam Masa Prapaska. Yogyakarta:
Kanisius.
Pohl, Christine D.
1999. Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition. Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company.
Russell, Letty M. 1993.
Church in The Round: Feminist Interpretation of The Church. Louisville: Westminster John
Knox Press.
Russell, Letty M. 2009.
Just Hospitality: God’s Welcome ia a World of Difference. Louisville: Westminster John Knox Press.
Ryan, Thomas (ed).
2004. Reclaiming the Body in Christian Spirituality. New York: Paulist Press.
Sutherland, Arthur.
2006. I was a Stranger: A Christian Theology of Hospitality. Nashville: Abingdon
Press.
Tatlock, Lisa and Pat
Ennis. 2007. Practicing Hospitality: The Joy of Serving Others.
Illinois: Crossway Books.
Tisdale, Leonora Tubbs, 1989,
Preaching as Local Theology and Folk Art. Minneapolis: Fortress
Press.
Troeger, Thomas H. 1996. Ten Strategies for
Preaching in a Multi Media Culture. Nashville:
Abingdon Press.
Wrobleski, Jessica.
2012. The Limits of Hospitality. Minnesota: Liturgical Press.
Yong, Amos. 2008. Hospitality
and the Other: Pentecost, Christian Practices and the Neighbor. New York: Orbis Books.
Young, Rebecca Blair.
2011. Love Pray Eat: God’s Love, Christian Prayer, and The Lord’s Table. Orasi Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Jakarta: STT Jakarta.
(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak tidak rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)