Lusindo Tobing
(Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta)
Making Room
Buku Making
Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition adalah karya Christine D. Pohl, seorang profesor Etika
Sosial Kristen di Seminari Teologi Asbury (Asbury Theological
Seminary), Wilmore, Kentucky, Amerika Serikat. Isi buku ini terbagi menjadi sembilan bagian pelajaran, yang
disusun Pohl ke dalam tiga cakupan besar yaitu: I. Remembering
Our Heritage; II. Reconsidering The Tradition; III. Recovering The Practice. Hampir
setiap bagian dimulai dengan pengenalan singkat, kisah tentang hospitalitas, atau perjalanan sejarah dan
kemudian menyoroti
poin-poin utama tentang hospitalitas.
Sedangkan untuk struktur laporan buku, saya bagi menjadi
hanya dua bagian besar yakni: Hospitalitas dalam Making
Room dan Catatan Kritis Sebagai Tanggapan.
Pohl menggambarkan hospitalitas seperti satu jembatan,
“hospitality as a framework provides a bridge which connects our theology with
daily and concerns” (Pohl 1999, 8). Jembatan antara teologi dengan kehidupan
manusia sehari-hari. Buku ini mungkin juga bisa dilihat sebagai jembatan yang
menggugah dan menghubungkan semua pembacanya untuk menuju hospitalitas
kekinian. Pohl menggabungkan pengalaman hidup pribadi, pendalaman beberapa ayat
Alkitab, serta pemikiran beberapa tokoh seperti Henri Nouwen, Martin Luther, John Calvin, John Wesley dan
lainnya. Kemudian menghadirkan beberapa contoh komunitas (Kristen) kontemporer
yang sudah berpengalaman melayankan hospitalitas yaitu L'Abri Fellowship,
L'Arche, Annunciation House, The Catholic Worker, Good Works, Inc., Jubilee
Partners, The Open Door Community, St. John dan juga St. Benedict’s
Monasteries. Dengan beberapa pendekatan tersebut, Pohl berusaha membuat pembaca
bukunya mendapat pemahaman penting tentang menyambut dan menerima stranger (orang asing), juga semakin kaya inspirasi untuk
mempraktikkan hospitalitas.
Gagasan utama (thesis statement) Pohl sebagai penulis buku, mungkin bisa dijabarkan sebagai
berikut: Menghadirkan kembali hospitalitas sebagai tradisi Kristen, untuk
menemukan jalan baru menuju praktik hospitalitas bersama-sama, “as guests and
hosts to one another, and as hosts together to persons outside the community,
we can learn new ways of hospitality” (Pohl 1999, 124). Sebagai “reflects and
anticipates God’s welcome” (Pohl
1999, 187) hingga bisa menjadikan hospitalitas menjadi milik semua, karena
“hospitality is good for everyone” (Pohl 1999, 186) dengan formula setia memberi
ruang (making
room) bagi orang asing.
Pohl menggabungkan kasih dengan kegigihan memberi keramahan
di berbagai keterbatasan, kemudian mengajak
semua pembacanya membuka “pintu” hati dan pintu rumah dengan ramah (hospitable) menyambut orang asing, yaitu mereka yang dianggap berbeda,
terpinggirkan, miskin, terbuang dan lemah. Secara etimologi, hospitalitas
berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani “philoxenia.” “One of the key Greek
words for hospitality, philoxenia,
combines the general word for love or affection for peolple who are connected
by kinship of faith (phileo),
and the word for stranger (xenos)”
(Pohl 1999, 31). Pohl selalu menganjurkan pembaca bukunya ini untuk menjadikan
hospitalitas sebagai gaya hidup, wujud cinta kasih dan ekspresi dari iman
sehari-hari. Menurutnya hospitality atau hospitalitas adalah cara hidup yang mendasar dari
kekristenan. Pohl menegaskan bahwa, “Hospitality is a way of life fundamental
to Christian identity. Its mysteries, riches, and difficulties are revealed
most fully as it is practiced” (Pohl 1999, x).
Hospitalitas dalam Making Room
Pohl dalam buku Making Room menghadirkan ulang tradisi yang sudah sejak lama ada dalam
kehidupan komunitas kristen, yaitu: Hospitalitas. Disertai penjabaran,
penegasan serta tantangan untuk mempraktikkan hospitalitas yang menurut Pohl
bukanlah lagi sebagai pilihan. “Hospitality is not optional for Christians, nor
is it limited to those who are specially gifted for it. It is, instead, a
necessary practice in the community of faith” (Pohl 1999, 31). Kemudian Pohl
mengemasnya dengan konteks yang lebih baru, bertaut erat dengan sejarah
hospitalitas, juga berbagai pandangan teolog, dan tokoh gereja. Teranyam
bersama testimony para pelaku hospitalitas yang merupakan kristalisasi
pengalaman nyata mereka, dengan beberapa ayat Alkitab yang mendasari konsep
hospitalitas. Semua konsentrasi tentang hospitalitas tersebut, diawali Pohl
dengan membagikan pengalaman hidupnya sendiri. Pohl mengajak pembacanya
mengingat kembali dan menyadari pentingnya memberlakukan hospitalitas.
Khususnya sebagai pengikut Yesus, untuk bersedia selalu menyambut serta
menerima orang asing dengan menyediakan ruang bagi mereka.
Because
Hospitality is basic to who we are as followers of Jesus, every aspect of our
lives can be touched by its practice. If we
use hospitality as a lens through which to examine our homes, churches,
jobs, schools, health care, and politics, might we see them differently? Can we
make the places which shape our lives and in which we spend
our days more hospitable? Do current practices within these settings
distort hospitality or shut out strangers? (Pohl 1999, 150)
Hospitalitas dalam bukunya ini, berangkat dari pengalaman
hidup Pohl bersama para pengungsi dan orang-orang miskin di gereja lokal tempat
ia bekerja. Sekitar 20 tahun sebelum ia menulis buku ini, Pohl mengaku sudah
tersentuh dengan sesuatu yang sangat penting yaitu “hospitalitas,” walaupun
bertahun-tahun sebelumnya Pohl mengaku sama sekali tidak mengenal kata
hospitalitas itu. “During those years I did not have access to the vocabulary
of hospitality” (Pohl 1999, ix). Pengalaman tersebut memperkaya pengetahuannya,
sekaligus mengubah dirinya menjadi pribadi lebih baik khususnya dalam hal
menerima mereka yang terabaikan.
My journey into
hospitality began twenty years ago as I worked with refugees and poor people in
my
local church. Even before then, however, I had felt specially drawn to people
with disabilities and to those troubled folks who
simply needed a friend. I noticed how they were frequently overlooked
in the busyness of everyday life and sensed that their invisibility was a loss
to everyone. Often, as my life intertwined with theirs,
I found myself enriched and changed. During those years I did not have
access to the vocabulary of hospitality, but I knew intuitively that I had touched
on something very important. (Pohl 1999, ix)
Keteladanan kakek-nenek dari Pohl rupanya juga sangat
mempengaruhi dirinya. Hal itu ditulis Pohl pada bagian awal buku ini, yaitu
pada halaman penghargaan dan ucapan terima kasih (sebelum halaman daftar isi) yang
bunyinya demikian, “In memory of my grandparents whose door was always open to
family, friends, and strangers.” Dalam
tulisan selanjutnya, Pohl menyediakan beberapa contoh
hospitalitas di peradaban kuno sampai kepada hospitalitas yang kontemporer. Para
pembaca
dapat mempelajari lebih luas tentang
hospitalitas sebagai praktik sentral dalam sejarah perjalanan kehidupan Kristen. Bagi Pohl, tradisi Alkitabiah menjadi sumber yang kaya untuk dipelajari.
Misalnya, tentang gambar Allah sebagai tuan rumah yang ramah dan murah hati, dapat ditemukan hampir di seluruh Alkitab. Konteks Perjanjian
Lama, menggambarkan Allah sebagai tuan rumah yang mencipta dan memberkati semua
manusia. Lalu para penulis dalam Perjanjian Baru, melukiskan Yesus sebagai tamu yang rentan, orang asing yang membutuhkan, tetapi sekaligus tuan rumah yang ramah.
“Like Jesus, the best hosts are not completely ‘at home’ themselves. But still
make a place of welcome for others” (Pohl 1999, 119). Keteladanan Yesus
adalah yang
menyambut dan disambut. Lebih lanjut Pohl mengajak baik orang Kristen dan siapa saja untuk memperjuangkan
hospitalitas. Berupaya akrab dengan pemaknaan Alkitab, teologi,
misiologi, gereja dan sosial, untuk
mempraktikkan keramahan kepada orang
asing, mereka yang terabaikan, kelaparan, haus, telanjang, sakit dan
membutuhkan penerimaan. “Orang asing” menurut Pohl, adalah mereka yang terputus dari hubungan yang memberi ruang aman untuk
hidup di dunia. Orang-orang yang rentan terlepas dari keluarga, komunitas, gereja, pekerjaan, dan bahkan
sosial masyarakat. Pohl mengajak tiap pembaca untuk betul-betul melacak serta
menyadari, apakah ada orang asing seperti itu di lingkungan sekitar rumah dan
gereja kita? Berupaya menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan, menyambut dan membantu mereka menemukan ruang. Saling berbagi hospitalitas, bukan sekadar entertainment tetapi membuat orang asing menjadi at
home.
Homes can be
very modest, with little space to spare and few amenities, but they can be the
site for wonderful hospitality. Making
people feel welcome and “at home” is not the same as entertainment. One couple, with years of experience offering
hospitality to countless people every day, commented,
”When hospitality is viewed as entertainment, the house is never ready.” (Pohl
1999, 154)
Oleh karena itu Pohl menantang para pelaku hospitalitas dan
komunitas hospitalitas. Misalnya kepada gereja dengan para pendeta/pastor
bersama pelayan lainnya yang berkepentingan, untuk mengadopsi "program hospitalitas"
menjadi salah satu alat pembangunan dan pertumbuhan jemaat gereja.
Much
entertainment, especially in the business world, is tied to gaining advantage.
But churches face temptations as well.
Faithful Christians are encouraged to entertain neighbors and coworkers because
hospitality is a good setting for the latest outreach project. Concerned
pastors are challenged to adopt a
comprehensive “hospitality program” as a means to church growth. Hospitality
sometimes seems little more than another marketing tool. (Pohl 1999, 144)
Sehingga hospitalitas bukan sekadar
tentang keramahan “tuan rumah kepada orang asing,” atau “yang kuat kepada yang
lemah.” Tetapi menyadari kita semua adalah stranger, demikian Pohl memberi uraian yang berbentuk pertanyaan
untuk mencerahkan pembaca tulisannya:
Does every
stranger need hospitality? What makes someone a stranger? Aren’t we all
stranger at some level? If welcoming
strangers is important, how do we reduce the possible risks; how can we get beyond some of the strangeness?
Was it easier to offer hospitality in the past? Who needs welcome
today? (Pohl 1999, 15)
Dengan pengalaman pastoral dan pelayanan sosialnya bersama
banyak pihak, Pohl realistis tentang adanya kerapuhan hospitalitas. Begitu pula
berbagai tantangan dan godaan yang bisa menggagalkan sikap dan praktik
hospitalitas. “Practicing hospitality always involves risk and the possibility
of failure, but there is greater risk and loss in neglecting hospitality”
(Pohl 1999, 14). Cara penulisan Pohl yang jujur seperti itu
justru membuat pembaca semakin tertarik menelusuri tulisannya. Pohl juga berani
menyatakan keadaan banyak gereja yang memprihatinkan dalam berhospitalitas,
“today we face this danger as many churches ignore the urban poor or never
notice the elderly or disabled people in their own communities”
(Pohl 1999, 79).
Oleh karena itu Pohl
mengajak semua komunitas pelaku hospitalitas untuk tidak sekadar puas mengeksplorasi
hospitalitas, namun berani merevitalisasi hospitalitas, terus bergerak melampaui
tantangan yang ada dan saling memberi berkat dalam mempraktikkan hospitalitas.
“They recognize personal practices that they will need to change in order to
make welcoming strangers more possible” (Pohl 1999, 113). Menurutnya revitalisasi hospitalitas tidak
cukup berfokus pada seluk-beluk hospitalitas keluarga, gereja dan komunitas
kristen, Pohl sekaligus mengharapkan perhatian dari institusi lebih luas.
Termasuk peran pemerintah untuk semakin berkomitmen melakukan
hospitalitas “person-oriented” (Pohl
1999, 58), hospitalitas dari hati yang semakin manusiawi.
It is crucial
for us to recover both house hold and church as key settings for hospitality.
However, some hospitality concerns cannot be handled
adequately by home or church; we must also recognize the important role
government and large institutions now play in provision and protection.
Nor should we minimize the necessity of some structural supports for poor
people and aliens. But personal hospitality
has an important place in contemporary life, and the central tenets of Christian hospitality still challenge
contemporary institutions to make their practices more humane and person-oriented. (Pohl 1999,
58)
Buku Making Room juga menjadi buku pengingat agar pembaca bersedia menyambut
mereka yang disebut orang-orang “the least” (Pohl 1999, 67) atau “yang paling hina.” Ungkapan Yesus
dalam Matius 25:31-46 ini digunakan Pohl untuk menunjukkan keteladanan Yesus,
selalu menyambut
orang asing atau mereka yang rentan dan dianggap paling hina. Lebih menarik lagi,
menurut Pohl, Allah di dalam Yesus tidak hanya menyambut mereka, tetapi sebenarnya disambut mereka. Pohl mengharapkan para pembaca bukunya menjadi
lebih peka terhadap kehadiran Allah melalui orang asing, “we are more sensitive
to what the guest is bringing to us, to what God might be saying or doing
through her or him” (Pohl 1999, 68).
Salah satu wujud nyata dari hospitalitas menurut Pohl adalah
makan bersama. Makan malam bersama misalnya, bergiliran menyediakan makanan di rumah, kegiatan gereja, atau di komunitas lokal.
Menurut Pohl, “Most cultures, eating together expresses mutuality, recognition,
acceptance, and equal regard” (Pohl 1999, 73) dan “shared meals are central to
every community of hospitality - central to sustaining the life of the
community and to expressing welcome to strangers” (Pohl 1999, 73). Pohl
mengalaminya ketika berinteraksi dengan orang-orang asing di beberapa komunitas
hospitalitas, menjadi sukarelawan, juga ketika
bersama badan dan lembaga yang secara khusus melayani para pengungsi. Makan malam bersama tentu mengekspresikan peristiwa
jamuan makan Yesus bersama para murid, atau juga saat Yesus makan bersama
pemungut pajak, “He was a guest in the home of tax collectors, dined with
sinners, and taught hosts to welcome those most likely to be excluded”
(Pohl 1999, 73). Baik sebagai tamu atau sebagai tuan rumah,
hospitalitas dapat jelas ditemukan pada pengalaman makan
bersama.
Offering food
and drink to one’s guests is central to almost every act of hospitality. Next
to that, the most important expression
of welcome is giving someone our full attention. Over and over, guests and practitioners noted the importance of
taking time to talk and to listen to people’s stories. Even if it is only a brief encounter, giving
someone our focused attention communicates welcome. (Pohl 1999, 178)
Dalam mempraktikkan hospitalitas, Pohl juga memastikan bahwa
proses making
room atau proses menyediakan ruang menerima orang asing, itu dimulai di pintu gerbang, di ambang
pintu, ada jembatan antara ruang publik dan ruang
pribadi.
Menurut Pohl sangat penting untuk tetap menentukan dan menciptakan tempat di pintu gerbang
sebagai awal ekspresi
hospitalitas.
Hospitality
begins at the gate, in the doorway, on the bridges between public and private
space. Finding and creating threshold places is important
for contemporary expressions of hospitality. Several communities of
hospitality approach this issue in creative ways. In one case they established
a large urban household easily accessible to strangers. (Pohl 1999, 95)
Kesadaran adanya pintu gerbang atau jembatan tersebut, menurut
Pohl justru mengingatkan bahwa yang dulu sebagai orang asing, di kemudian hari
bisa menjadi bagian dari komunitas dan masyarakat tersebut. Oleh karena itu
menurut Pohl penting untuk, “such persons can interpret and discern situations,
needs, and resources effectively” (Pohl 1999, 95).
Selain itu, Pohl juga memaparkan beberapa “kriteria” yang
berlaku dalam praktik hospitalitas. Misalnya bahwa orang asing yang datang
dengan keterampilan berharga, apalagi membawa sejarah hidup terkoneksi dengan
tuan rumah, atau memiliki nilai-nilai diri yang baik, menurut Pohl kemungkinan
lebih bisa diterima.
Strangers with
some resources such as marketable skills, supportive family, or finances are usually
easier to welcome than those who have no resources or connections. Strangers
who bring with them a history, values,
and commitments that are shared by their hosts usually find a more ready welcome. (Pohl 1999, 100)
Sebaliknya
untuk tuan rumah, Pohl menghadirkan kembali teladan Yesus.
Sosok host yang tidak sepenuhnya ada “di rumah” sendiri, marginal namun tetap membuat tempat, setia menyediakan ruang menyambut dan mengasihi orang asing. Pohl
juga menekankan bahwa orang-orang
di posisi marginal seperti Yesus cenderung lebih peka terhadap kebutuhan orang asing.
When we try to
hide from the reality of human vulnerability and weakness, whether our own or others’,
we shut out the people who manifest that condition most acutely. We certainly
find it hard to imagine that we can receive help from
the most marginalized people. Hosts who recognize the “woundedness” in themselves and their ongoing need for grace and
mercy, but continue to care for others,
find in God their sufficiency. Like Jesus, the best hosts are not completely
“at home” themselves. But still make a
place of welcome for others. (Pohl 1999, 118-119)
Indikasi bahwa hospitalitas berlaku atau tidak, digambarkan
Pohl bagai pintu yang dibuka atau ditutup. Pintu yang dibuka, menggambarkan
penerimaan dan keramahan. Pintu yang ditutup bahkan dikunci, menggambarkan
penolakan orang asing. Pohl menjadikan gambaran pintu yang
terbuka atau tertutup ini sebagai salah satu gambaran paling kuat dari hospitalitas.
In offering
hospitality, practitioners live between the vision of God’s Kingdom in which
there is enough, even abundance, and the
hard realities of human life in which doors are closed and locked, and some needy people are turned away or
left outside. A door -- open or closed -- is one of the most powerful images of hospitality. Responses of
“Yes, of course we have room - please, come in,” and “No, there’s no room
tonight,” may be daily fare for hosts and guests, but these phrases also distill difficult questions about
boundaries, scarce resources, and a place within community. (Pohl 1999,
131)
Pohl juga menguraikan beberapa hambatan, misalnya soal waktu
dan prioritas manusia di masa kini, kesibukan yang begitu banyak dan harus
dilakukan, membuat hospitalitas tidak mudah masuk dalam agenda kegiatan
seseorang. Pohl mengajak pembaca bukunya untuk memastikan ulang prioritas
hidup. “To offer hospitality we will need to rethink and reshape our
priorities” (Pohl 1999, 171). Terlebih lagi, menurut Pohl, masih ada
gereja-gereja yang cenderung menolak melakukan hospitalitas. Sulit menerima
orang asing yang datang bahkan di saat dan dalam pelaksanaan ibadah mereka.
“Churches have generally done better with offering food programs and providing
clothing closets than with welcoming into worship people significantly
different from their congregations” (Pohl 1999, 160). Pohl mengingatkan juga tentang adanya risiko dan bahaya,
yang bisa muncul dalam praktik hospitalitas kepada orang asing. Para pembaca
dan semua pelaku hospitalitas diajaknya memilih untuk bertanggungjawab
melindungi sekitarnya. Baik orang-orang dalam keluarga, komunitas dan kehidupan
masyarakat, khususnya melindungi anak-anak, serta siapapun yang rentan dari kemungkinan
bahaya dan risiko. Pohl mengajak pembaca bukunya bukan cuma khawatir, tetapi
bersedia untuk “with less fear and more confidence” (Pohl 1999, 103) hadir
melindungi orang lain. “We worry about risk and danger not only because of
concerns about our own safety. Because of responsibilities to protect others in
our families and communities from harm, especially children and other vulnerable
persons, we must attend to the possible dangers” (Pohl 1999, 93).
Di bagian akhir Making Room, tulisan Pohl memastikan bahwa: Hospitalitas itu
sesungguhnya baik untuk semua orang dan semua pihak. “Hospitality is good for
everyone” (Pohl 1999, 186). Testimony banyak orang yang setia untuk terus
melakukan dan membagikan hospitalitas sehari-hari, dihadirkan Pohl hingga akhir
bukunya, mereka yakin berkata, “received more than they gave”
(Pohl 1999, 186). Karena tanpa hospitalitas, menurut mereka,
maka jiwa bisa menjadi layu, “without hospitality our souls would wither” (Pohl
1999, 186).
Catatan Kritis Sebagai Tanggapan
Usai membaca Making
Room, selain lebih mendalami tentang hospitalitas, juga membuat
pandangan saya terhadap ayat-ayat dalam Alkitab jadi semakin masuk akal dan
semakin mungkin untuk dilaksanakan. Termasuk ketika Pohl menggambarkan
hospitalitas seperti jembatan yang menghubungkan teologi dengan kehidupan nyata
sehari-hari, “a bridge which connects our theology with daily and concerns”
(Pohl 1999, 8). Membuat saya sebagai pembaca teringat, misalnya tentang misi
dari Tuhan kepada semua orang kristen dan gereja untuk menjadi “garam dan
terang dunia” (Mat 5:13, Mark 9:50 dan Luk 14:34), mungkin jika semua
penafsiran ayat-ayat tersebut “disatukan” lalu dipraktikkan, maka wujudnya
adalah upaya, sikap, gerak dan perbuatan nyata dengan menggunakan “jembatan”
yang bernama: Hospitalitas.
Tetapi Pohl
kurang tajam untuk memastikan apakah hospitalitas itu hanya tanggungjawab
bersama? Kumpulan beberapa orang pengikut Yesus, misalnya dalam format
keluarga, atau yang lebih banyak jumlahnya yakni dalam gereja, dan komunitas
penggiat hospitalitas lainnya. Seperti tulisan Pohl yang bunyinya, “because
Hospitality is basic to who we are as followers of Jesus, every aspect of our
lives can be touched by its practice” (Pohl 1999, 150). Atau sebaliknya? Pohl
melihat hospitalitas itu sesungguhnya milik dan tanggungjawab pribadi juga
(tiap satu orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus). Ataukah malah
keduanya? Semakin saya mendalami tulisan Pohl dalam Making
Room, semakin saya menemukan bahwa secara mendasar, hospitalitas
adalah milik dan tanggungjawab pribadi. Tiap satu orang adalah satu orang asing
untuk menerima satu orang asing yang lain. Saling menjadi orang asing, memberi
ruang satu dengan lainnya, yang kemudian baru kemudian bisa disebut sebagai dan
dalam hospitalitas (bersama).
Dalam perjalanan
hidupnya, Pohl menemukan “hospitalitas” dengan cara yang unik dan penuh
misteri, “in mysterious way” (Pohl 1999, 187) atau “in the mysteries of
hospitality to strangers” (Pohl 1999, 113). Pendapat Henri J.M. Nouwen dalam
bukunya Reaching
Out mungkin dapat membantu menjelaskan proses penerimaan
tersebut, ia menuliskan, “from loneliness to solitude and from hostility to
hospitality” (Nouwen 1975, 109). Pohl mengakui bahwa hospitalitas ditemukan
dalam kebersamaan. Baik kebersamaan keluarga, dalam jemaat gereja dan berbagai
komunitas penggiat hospitalitas. “As guests and hosts to one another, and as
hosts together to persons outside the community, we can learn new ways of
hospitality” (Pohl 1999, 124). Hospitalitas bersama, isinya saling menyambut
satu orang asing atau beberapa orang asing. Kemudian bersama menjadi tuan rumah
yang baik, terus bersedia memberi ruang kepada orang asing selanjutnya.
Beberapa
komunitas penggiat hospitalitas yang dihadirkan Pohl yaitu L'Abri Fellowship,
L'Arche, Annunciation House, The Catholic Worker, Good Works, Inc., Jubilee
Partners, The Open Door Community, St. John dan St. Benedict’s Monasteries,
menurut saya, di satu pihak mendukung uraian Pohl tentang apa dan bagaimana
praktik-praktik hospitalitas saat ini. Khususnya tentang adanya hospitalitas
yang dilembagakan. Namun Pohl kurang menjelaskan lebih lanjut, kekurangan
atau juga kelebihan komunitas hospitalitas yang melembaga tersebut. Karena
kemungkinan besar, ada hal-hal yang “tambah” atau “hilang” bila dibandingkan
dengan hospitalitas pribadi, hospitalitas dalam keluarga juga gereja, yang
sebelumnya sudah ada. Apalagi jika masyarakat terlanjur menyamakan komunitas
hospitalitas tersebut, dengan pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh
departemen atau kementrian negara pada umumnya. Pohl juga masih kurang menyentuh dimensi
perempuan dalam bukunya ini. Di perjalanan hospitalitas sebagai tradisi, peran
perempuan sangatlah besar dan penting. Arthur Sutherland dalam buku yang
berjudul I Was a stranger: a Christian theology of
hospitality, menegaskan bahwa, “During the
time of emerging New Testament church, hospitality put women at the center of
theological discourse and conflict” (Sutherland 2006, 41). Tetapi dalam buku Making
Room, Pohl kurang menguraikan wacana seputar perempuan dalam
sejarah dan praktik hospitalitas.
Belum lagi di
kenyataan praktik hospitalitas, masih banyak stigma yang berpendapat bahwa
urusan menyambut dan keramahan adalah melulu tugas perempuan.
Bahkan dengan konotasi yang “merendahkan,” hanya seputar urusan di dapur,
kesibukan seperti pelayan dan bahkan soal melayani kebutuhan seksual laki-laki.
Itu bukanlah hospitalitas yang sebenarnya, sebab hospitalitas itu milik dan
tanggungjawab perempuan dan laki-laki. Bersama memberi ruang dari tiap hati dan
pikiran yang tulus, menerima orang asing (perempuan atau laki-laki) bergabung
menjadi bagian dari keluarga. Seperti Letty M. Russell yang mencoba melihat
hospitalitas dengan melakukan “a feminist hermeneutic of hospitality” (Russel
2009, 43) dalam bukunya yang berjudul Just Hospitality. Letty menggunakan ungkapan itu untuk mengajak melakukan
hospitalitas dalam dan dengan keadilan (justice hospitality) di tengah berbagai perbedaan. Making
Room oleh Pohl seharusnya juga “menyediakan atau menambahkan
ruang” bagi perempuan dalam tulisannya. Semakin menyadarkan pembaca serta
berbagai pihak, khususnya para laki-laki, bahwa kehadiran dan peran perempuan
berperan besar bagi pemahaman juga praktik hospitalitas.
Jika membandingkan tulisan Pohl dengan (misalnya) salah satu
tulisan Henri J.M Nouwen dalam buku berjudul Tuhan Tuntunlah
Aku, maka akan tampak Pohl langsung menempatkan konteks dan
sosok Yesus sebagai contoh tuan rumah yang terbaik, “like Jesus, the best hosts
are not completely ‘at home’ themselves. But still make a place of welcome for
others”
(Pohl 1999, 119). Hal ini bisa dimengerti karena Pohl
berupaya mengajak pembaca bukunya untuk langsung mencari dan menemukan bentuk
juga praktik hospitalitas kontemporer. Khususnya mempraktikkan hospitalitas
seperti yang pernah dialaminya dan yang dijalankan oleh berbagai komunitas
hingga sekarang. Tetapi agak berbeda dengan Nouwen, yang mengajak kembali
terlebih dulu ke hospitalitas lama/semula atau yang sebenarnya. “Hospitalitas
harus dikembalikan kepada makna yang sebenarnya” (Nouwen 1994, 23). Jika ini
sudah dilakukan, maka menurut Nouwen, baru bisa ditemukan bentuk hospitalitas
kontemporer, “sehingga dari situ akan terjelma kemungkinan-kemungkinan hidup
yang baru.” (Nouwen 1994, 23). Bagi saya, pendapat Pohl dan Nouwen jika
disatukan akan sangat menarik dan menghadirkan hospitalitas yang lebih bisa
diterima banyak orang lain. Hospitalitas yang di satu sisi berakar kuat pada
warisan tradisi kristen, sekaligus di sisi lain sangat mantap dalam praktik
hospitalitas kontemporer yang selalu berupata mencari kemungkinan dan solusi
baru dalam menjawab pergumulan-tantangan tiap zaman.
Hal lain yang juga menarik, Pohl menegaskan tentang adanya
batas dalam hospitalitas, yaitu perbedaan antara ruang publik dan ruang
pribadi. Di antara kedua ruang (tempat atau locus) tersebut, terdapat pintu masuk-keluar. “Hospitality begins
at the gate, in the doorway, on the bridges between public and private space”
(Pohl 1999, 95). Soal locus,
sebenarnya sudah cukup banyak disinggung Pohl, baik sebagai dimensi, maupun
menyebutkan keterangan ruang, atau menunjuk tempat tertentu (misalnya keluarga,
gereja dan tentang komunitas). Seperti ada tulisannya yang menyatakan,
“hospitality practiced in the homes of Christian peolple is a key foundation
for hospitality in the church” (Pohl 1999, 157). Tetapi hanya sedikit
penjelasan Pohl tentang praktik hospitalitas, yang berhadapan adanya ketegasan
batas dan terjadinya pembedaan. Penjelasan dari Pat Ennis dan Lisa Tatlock
dalam buku Practicing Hospitality
yang menekankan rumah dan keluarga menjadi awal proses hospitalitas, mungkin
bisa menambah pemahaman dan pemaknaan para pembaca atas penegasan Pohl tadi.
Bahwa sesungguhnya dalam praktik hospitaltas, prioritas utama adalah keluarga,
fondasi awal dari hospitalitas adalah keluarga.
We see this
modeled in the example of the Proverbs 31 woman. She fed, clothed, and managed
her household before extending her
hand to the poor and needy (Prov. 31:10-31). The needs of her own
family were met before she journeyed out into her community. (Ennis and Tatlock
2007, 74)
Selain itu penggambaran Pohl tentang rumah (atau gereja atau
locus manapun) yang memiliki “pintu tertutup atau terbuka,”
tampaknya tidaklah semudah mengucapkan, “A door -- open or closed -- is one of
the most powerful images of hospitality” (Pohl 1999, 131). Karena untuk menutup
atau khususnya membuka pintu, memerlukan kemampuan tuan
rumah membedakan
kapan dan bagaimana menutup atau membuka
pintu, khususnya dalam rangka menghormati tamu dan dirinya (tuan rumah) sendiri. Pendapat Jessica Wrobleski dalam buku
The
Limits of Hospitality tampaknya bisa
melanjutkan penjelasan dan makna tentang batasan dalam pintu yang terbuka atau
tertutup, dan tentang kapan tuan rumah menutup atau membuka pintu, antara lain:
Hospitality is
not always a matter of simply opening a door; it is also requires the host’s
ability to discern when and how to close it in order to respect
others - and herself - as persons rather than simply providers and recipients. This does not mean that there are not
times when it is appropriate to extend oneself
beyond what is comfortable or convenient. (Wrobleski 2012, 143)
Mungkin bisa semakin dilengkapi dengan pendapat Russell yang
secara realistis menegaskan bahwa dalam hospitalitas memang ada batas-batas dan
ada perbedaan. Tetapi semua itu tetap bersama, maksud Russell semua bersama
disambut oleh Allah. Bersama terjalin dalam hubungan saling menerima, peduli
dan berbagi.
When we think
in a dualistic and hierarchical way about who is in or out, we also are more concerned
about boundaries than about center and meaning of our common life. There are
limits, but they are ours. We need to be
realistic, so we can part of these relationships of care, but we also do not need to limits God’s welcome.
(Russell 2009, 117)
Sumbangan pendapat Russel ini membuat pembaca semakin jelas
memahami bahwa tidak ada yang bisa membatasi hospitalitas Allah kepada semua.
Hospitalitas justru menghubungkan manusia dan ciptaan yang berbeda-beda.
“Hospitality builds relationships across difference and in this way ia a
catalyst for community that is built out of difference” (Russell 2009,117).
Dalam rangka “hospitalitas untuk semua” tersebut, Pohl tidak
banyak menghadirkan hospitalitas untuk atau kepada tuan rumah. Hospitalitas
dalam buku Making Room ini
sepertinya hanya untuk orang asing atau tamu. Pohl pernah bertanya, “Who needs
welcome today?” (Pohl 1999, 15) Jawaban singkat dari pertanyaan ini adalah
tentu semua orang sesungguhnya butuh disambut dan diterima. Termasuk penerimaan
orang asing terhadap tuan rumah, sebagai pantulan hospitalitas yang dilakukan
tuan rumah ke orang asing/tamu. Sebenarnya Pohl sudah menyinggung hal tersebut
ketika ia menulis, “we are more sensitive to what the guest is bringing to us,
to what God might be saying or doing through her or him” (Pohl 1999, 68).
Tetapi lanjutan uraiannya belumlah mencukupi, akan menjadi indah dan bermanfaat
jika Pohl juga menguraikan lebih luas tentang hospitalitas dari orang asing
kepada tuan rumah. Hospitalitas kepada tuan rumah.
Terlebih ketika Pohl menuliskan kriteria-kriteria tertentu,
yang menyatakan bahwa ada orang asing yang akan lebih mudah diterima, dan
sebaliknya ada orang asing yang akan lebih sulit diterima oleh tuan rumah.
“Strangers with some resources such as marketable skills, supportive family, or
finances are usually easier to welcome than those who have no resources or
connections” (Pohl 1999, 100). Hal seperti itu menurut saya, kurang bijaksana,
walau mungkin Pohl pernah melihat atau mengalaminya di satu atau beberapa
kejadian nyata. Karena ungkapannya itu bertentangan dengan gagasan, pengalaman,
teori, pendapat dan bahkan ajakan yang ditulisnya sendiri sebelumnya. Pohl
memang langsung (di alinea berikutnya dalam halaman yang sama hal. 100)
menyatakan hal tersebut tidaklah mengikat. Tetapi dari sisi para pembaca,
minimal bagi saya, Pohl telah melakukan “pengotak-ngotakan” bahwa sepertinya
ada orang asing yang layak diterima dan ada orang asing yang layak ditolak. Itu
juga bisa berarti bahwa tuan rumah dapat “pilih-pilih” siapa yang diterima dan
siapa yang harus ditolak. Padahal sepanjang perjalanan tradisi, teori-konsep
dan praktik hospitalitas, yang ada hanyalah kasih dan semangat menerima
siapapun orang asing atau tamu yang datang, kapanpun waktunya dan bagaimanapun
keadaan orang asing itu.
Melakukan hospitalitas memang tidaklah mudah. Menjadi tuan
rumah memang memiliki risiko, bahkan risiko yang besar. Namun di titik risiko
itulah, maka iman, pengharapan dan kasih dalam Tuhan diuji dan dipertaruhkan.
Menjawab tentang risiko dalam praktik hospitalitas, Pohl mengajak para pembaca
bukunya untuk bertanggungjawab menjaga orang-orang yang ada di sekitar kita:
“Because of responsibilities to protect others in our families and communities
from harm, especially children and other vulnerable persons, we must attend to
the possible dangers” (Pohl 1999, 93). Ketika ada keberanian mengambil risiko,
barulah hospitalitas bisa terjadi. Jika tidak, maka hospitalitas hanya akan menjadi
pengharapan dan angan-angan saja. Hal tersebut ditegaskan Septemmy Lakawa, di
bagian akhir disertasinya yang berjudul Risky Hospitality bahwa tanpa keberanian mengambil risiko baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain, maka penerimaan dan pelayanan penuh kasih kepada
orang asing tidak akan pernah terjadi, bahkan hospitalitas kemungkinan bisa
hilang.
This final
section of this chapter offers two images of mission as remaining and
breathing. Both images reflect the fragility and
the riskiness of practicing hospitality, of welcoming the Other into the space of the self, in the aftermath of
violence. The witness has to be able to enter the space of remaining, the space where suffering
remains yet love and the promise of life persists. In this space, a witness must relearn how to breathe, how to be reconnected to
her/his own body. The reconnecting to one’s
own breath requires the capacity to witness to the Spirit who breathes the
breath of life from the space
where the breath of death remains and must be witnessed to. In this space,
risky hospitality manifests in
two intertwined directions: toward the self (in opening a vulnerable space of
trauma while protecting it from
being harmed again) and toward the Other (in welcoming the Other into the
sharing space of pain and healing).
(Lakawa 2011, 486)
Tuan rumah harus berani “ambil risiko.” Di sisi lain, tamu
atau orang asing juga memiliki risiko, ketika ia mengharapkan penerimaan untuk bisa
menjadi bagian dari keluarga, jemaat gereja dan komunitas tertentu. Sehingga hospitalitas
sesungguhnya menuntut tuan rumah dan orang asing bersedia saling menerima apa
adanya, tanpa kriteria-kriteria tertentu, tak bersyarat, tanpa apriori, bahkan
sesungguhnya tanpa mengharapkan kompensasi apapun.
Seluruh tulisan Pohl dalam buku Making
Room, dengan kekurangan serta kelebihannya (mungkin termasuk
dengan beberapa catatan saya sebelumnya di laporan buku ini), menurut saya
berhasil mengajak para pembacanya untuk mewujudkan hospitalitas bersama yang
saling memberi dan menerima rahmat. “This is an important insigh for both hosts
and guests - the hospitality relationship allows people to give of themselves
and doing so they find own gifts” (Pohl 1993, 180). Serupa dengan itu, Nouwen
juga pernah mengingatkan hospitalitas dapat menjadi “keuntungan besar” bagi
kedua belah pihak, baik tuan rumah dan tamu/orang asing, juga termasuk bagi dua
pihak yang sedang bermusuhan.
Kalau sikap
bermusuhan diubah menjadi hospitalitas, orang-orang asing akan menjadi tamu
yang menyatakan
janji-janji yang dibawanya serta kepada tuan rumah. Lalu pemisahan antara tamu
dan tuan rumah hilang, tidak ada
lagi dan muncullah satu ikatan kesatuan yang baru. Dengan demikian
kisah-kisah dan Kitab Suci ini tidak hanya menyadarkan kita bahwa hospitalitas
adalah keutamaan yang penting, tetapi juga bahwa dalam
rangka itu tamu dan tuan rumah dapat saling memberikan rahmat dan saling
memberikan kehidupan yang baru. (Nouwen 1994, 24)
Karena itu hospitalitas penting untuk terus dilestarikan
dalam konsep tradisi dan praktik nyata. Pada locus yang selama ini sudah digunakan, yaitu hospitalitas mulai
dari keluarga, berlanjut melakukan hospitalitas dalam gereja dan kemudian
hospitalitas dalam masyarakat luas. Misalnya dalam gereja, seharusnya gereja
semakin menjadi locus atau tempat yang ramah menyambut
orang asing. Mengembangkan semua pelayanan jemaat gereja untuk terus berada
pada tema dan praktik hospitalitas. Termasuk mewujudkan nilai dan
praktik hospitalitas dalam Ibadah Minggu. Untuk hal ini, perlu juga diakui
bahwa Pohl dalam bukunya Making Room masih kurang menguraikan tentang hospitalitas dalam ibadah
gereja. Bukan sekadar hospitalitas sebelum atau setelah ibadah, cukup ada
penerimaan di pintu atau di luar gedung gereja. Tetapi benar-benar penyambutan
dan penerimaan orang asing dalam liturgi, di pelaksanaan Ibadah Minggu
misalnya. Padahal Pohl pernah mengkritisi, “Churches have generally done better
with offering food programs and providing clothing closets than with welcoming
into worship people significantly different from their congregations” (Pohl
1999, 160).
Menurut saya, ibadah Minggu bisa menjadi salah satu momen
terpenting bagi orang asing atau siapa saja yang baru pertama kali datang
menghadiri ibadah di satu gereja lokal tertentu. Gereja tidak boleh hanya puas
dengan meningkatkan sikap penerimaan para ushers (penyambut umat). Tetapi serius meningkatkan “hospitable” dalam setiap ibadahnya, bersinergi dengan berbagai kegiatan
anggota jemaat dalam program hospitalitas komisi dan wilayah. Misalnya
melakukan doa dan berdoa dalam Ibadah Minggu (atau kesempatan jemaat berdoa
kapanpun dan di manapun) dapat melakukan aktivitas liturgi dalam doa dengan topik hospitalitas.
Menjadikan doa
sebagai praktik hospitalitas, khususnya mendoakan orang asing.
Termasuk (mungkin bisa saya sebut sebagai) “hospitalitas
khotbah,” yaitu hospitalitas dalam isi dan penyajian khotbah di ibadah Minggu.
Hubungan penerimaan “tuan rumah dan
tamu,” yaitu antara pengkhotbah dengan pendengar khotbah/jemaat, itulah
hospitalitas. Sesungguhnya tidak hanya pengkhotbah yang berbicara kepada
pendengar khotbah, tetapi seperti Fred B. Craddock pernah menegaskan dalam
bukunya yang berjudul Preaching
bahwa, “the listeners speak to the preacher before the preacher speaks to
them.” (Craddock 1985, 25). Sehingga antara si pengkhotbah dan jemaat pendengar
khotbah dapat membangun hospitalitas
bersama, yang menurut Pohl bisa saling memberi dan menerima rahmat, “so they
find own gifts” (Pohl 1993, 180).
Kemudian bersama-sama mengembalikan hospitalitas mereka itu sebagai
hospitalitas Tuhan. Semakin bersedia menyambut-Nya, menyembah, mensyukuri kasih
dan mengasihi Firman dan membagikan cinta kasih penerimaan Allah. Muaranya
adalah mempraktikkan hospitalitas, lebih bersedia menerima, peduli dan berbagi
kepada orang asing lainnya yang ada dalam kehidupan jemaat dan gereja, juga ke
dalam keluarga dan ke luar yaitu lingkungan dan masyarakat.
Selain itu teringat juga Elizabeth Newman yang dalam bukunya
Untamed
Hospitality pernah menegaskan, “Hospitality
is a practice and discipline that asks us to do what in the world’s eyes might
seem inconsequential but form the perspective of the gospel is a manifestation
of God’s kingdom” (Newman 2007, 174). Apapun bentuk praktik hospitalitas,
sekecil atau sederhana bagaimanapun yang diberikan melalui jemaat gereja kepada
masyarakat sekitar lingkungan gereja misalnya, itu adalah manifestasi kerajaan
Allah. Hospitalitas kepada petugas parkir di sekitar gedung gereja, para
penjaja makanan-minuman, tukang koran, gojek dan lain-lain, dan terus meluas kepada mereka yang lapar,
haus, miskin, sakit, terbuang, terkena bencana, terisolasi dan tidak berdaya.
Intinya berupaya terus menghadirkan program hospitalitas
yang lebih kreatif, dipersiapkan dengan baik dan yang terpenting dilakukan. Membangun
hospitalitas dari apa yang ada, apa yang dimiliki,
mengidentifikasi
layanan apa yang telah dan sedang diberikan, juga
apa yang sesungguhnya bisa lebih disediakan (oleh rumah dan)
oleh gereja lokal kepada orang asing. Karena itu menurut Pohl,
hospitalitas tidak bisa instan.
Sebaiknya dimulai dari hal yang sederhana, di proses waktu terus-menerus,
setiap hari memperjuangkan hidup bersama dari hal-hal kecil untuk menjadi
semakin baik. Pohl menegaskan bahwa, “we do not become good at hospitality in
an instant; we learn it in small increments of daily faithfulness" (Pohl 1993, 176).
Dengan proses waktu yang panjang, terus-menerus dan tidak
mudah tersebut, menurut saya justru mengkondisikan hospitalitas semakin
diterima orang lain dan pihak lain. Hospitalitas akan semakin mungkin menjadi
gaya hidup, disadari, dibutuhkan dan dilakukan oleh semakin banyak orang lain
yang berbeda-beda. Seperti ungkapan Amos Yong dalam bukunya Hospitality
and the Other bahwa, “we need to go beyond this
to work with people of other faiths so that such ministries can be jointly
envisioned, owned, and operated” (Yong 2008, 157). Di keberlangsungan jauh ke
depan, harapan saya, juga mungkin harapan semua pembaca, didasari pengharapan
dari Russell melalui tulisannya bahwa, hospitalitas nanti bukan lagi sebagai
tradisi kristen saja, tetapi akan bisa menjadi “tradisi universal.” Seperti Pohl
pernah menegaskan pendapatnya (dan saya setuju dengan Pohl) bahwa: “Hospitality
is good for everyone” (Pohl 1999, 186).
Daftar Acuan
Craddock,
Fred B. 1985. Preaching.
Nashville: Abingdon Press.
Lakawa,
Septemmy Eucharistia. 2011. Risky Hospitality: Mission in the aftermath of religious communal violence in
Indonesia. Disertasi Th.D., Boston University School of Theology.
Newman,
Elizabeth. 2007. Untamed Hospitality: Welcoming God and
Other Strangers. Michigan: Brazos Press.
Nouwen,
Henri J.M. 1975. Reaching Out: The Three Movements of the
Spiritual Life. New York: Image Books.
Nouwen,
Henri J.M. 1994. Tuhan tuntunlah aku: Renungan harian
dalam Masa Prapaska. Yogyakarta:
Kanisius.
Pohl,
Christine D. 1999. Making Room: Recovering Hospitality as a
Christian Tradition.
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
Russel,
Letty M. 2009. Just Hospitality: God’s Welcome ia a
World of Difference. Louisville: Westminster
John Knox Press.
Sutherland,
Arthur. 2006. I was a stranger: a Christian theology of
hospitality. Nashville: Abingdon
Press.
Tatlock,
Lisa and Pat Ennis. 2007. Practicing Hospitality: The Joy of
Serving Others. Illinois: Crossway
Books.
Yong,
Amos. 2008. Hospitality and the Other: Pentecost, Christian
Practices and the Neighbor. New York: Orbis Books.
Wrobleski,
Jessica. 2012. The Limits of Hospitality. Minnesota: Liturgical Press.
(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak tidak rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar