Misi Pewartaan Dan
Kesaksian Sebagai Sebuah Model Berteologi Dan Bergereja Kontekstual Di
Indonesia Saat Ini
Oleh: Lusindo Yosep
Tobing
Konteks Berteologi Dan Bergereja Kini.
Berteologi
dan bergeraja tidaklah boleh, bahkan sesungguhnya tidaklah bisa lepas dari
konteks lokal di mana Tuhan menempatkan kita: Umat, para pelayan dan gereja-Nya
berada. Mewartakan dan memberikan kesaksian tentang Iman, Pengharapan dan Kasih
ke dalam bentuk bahasa dan gaya hidup sesuai kekinian. Sehingga ada proses
spiritual, kognitif bahkan pemulihan
sikap tingkah laku, masuk dalam proses penyelamatan Allah bagi manusia dunia
yang terus berlangsung, serta bagi seluruh ciptaan yang tiada henti.
Dan
inilah misi gereja sebenaranya, dilaksanakan pada lingkungan konkret di satu
konteks tertentu, namun juga dalam kesetiaan kepada Injil (Kabar Baik – Kabar Keselamatan).
Serta tradisi teologi, praktik liturgi dan kehidupan kristiani di lingkungan Indonesia
yang kaya budaya tiap lokal, sejarah, sosial, sangat beragam identitas
masyarakatnya dan bersamaan dengan itu semua: Semakin maju.
Ya,
kalau boleh dikatakan saat ini, manusia Indonesia (rakyat dan bangsa Indonesia),
tidak terlepas Gereja dan jemaat, bersepakat untuk menerima kemajuan teknologi
dan media. Dengan menggunakannya di tidak lagi “hampir di semua”, tetapi sudah
di semua aspek kehidupan Indonesia kita. Termasuk khususnya Gereja-gereja di
Indonesia. Di banyak pelosok desa dan tentu hingga kota-kota. Pergaulan dengan
dunia luar memang tidak terbantahkan lagi. Satu sisi sangat menggoda rayu,
sehingga beberapa pihak memandang sangat negatif dengan konteks keterbukaan
informasi serta komunikasi saat ini.
Namun
di sisi lain, seperti di setiap fase dan langkah durasi kehidupan manusia
adanya, terbukti Indonesia juga mampu mempengaruhi keadaan. Bahkan mengundang
dunia untuk datang ke konteks Indonesia. Bersamaan serta –dengan semangat
misiologia- Gereja dan jemaat dari hal paling sederhana kesehariannya mampu
memberi sumbangsih. Dalam pelestarian nilai-nilai luhur tiap lokal Indonesia, dengan
diisi terang Sabda pewartaan dan kesaksian bagi kehidupan.
Dipengaruhi
juga untuk mempengaruhi, mendengar banyak untuk akhirnya dimampukan Tuhan
mewartakan lebih banyak bahkan lebih baik. Di dan ke konteks di dalam Indonesia
di mana kita masing-masing berteologi dan bergereja, bahkan dari Indonesia
kepada dunia luar, luas tak terbatas melalui media yang kian pesat maju.
Inti
yang konstan, yang harus ada dan paling penting adalah Pemerintahan Allah
(mencuplik istilah dari Stephen Bevans dan Roger Scrhoeder, di buku mereka Constans in context: A theology of mission
for today). Yakni mewartakan, melayani dan bersaksi mengenai
Injil tentang dan dari Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Komitmen
Gereja untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Pemerintahan Allah
inilah yang memastikan Gereja menerima dan melestarikan jati dirinya. Hidup
bergereja dan berteologi di konteks Indonesia, bergumul serta berjuang dalam
penantian eskatologis sampai kedatangan Tuhan kembali. Dengan misi pewartaan
dan kesaksian yang terus-menerus menawarkan penyembuhan dan keutuhan kepada semua
manusia juga seluruh ciptaan.
Termasuk
(contoh) misalnya dalam berkhotbah dan mewartakan melalui berbagai bentuk
pengajaran dan tuntunan. Sepanjang durasi sekitar 14 tahun penulis melayani
sebagai pendeta (juga pengkhotbah), konteks dan perkembangan menuntut Ilmu
berkhotbah (homiletika) yang lebih baru. Dan ini sangat berhubungan dengan
berbagai unsur berteologi, bergereja, bahkan hidup nyata menjadi “garam dan
terang dunia” berbangsa-bernegara dan bermasyarakat kita. Sekali lagi bentukan
baru pewartaan dalam penyampaian Firman Allah, terlebih melalui khotbah atau
pewartaan lainnya dengan menggunakan multi media (media tulisan, gambar, suara
dan bentukan lainnya).
Misi
pewartaan dan kesaksian yang lebih baru, yang muncul dari proses memahami
perubahan masyarakat Indonesia serta jemaat yang kian modern. Khususnya soal
teknologi dan kaitannya dengan gaya berkomunikasi. Ini menjadi salah satu model
berteologi dan bergerja saat ini, mengkomunikasikan benih-benih Kebenaran serta
mengajarkan (Pemerintahan) Kerajaan Allah kepada “pemerintahan dunia, keluarga
bahkan tiap pribadi manusia”. Sebab Gereja menjadi benar-benar Gereja jika
mengarahkan pewartaan kesaksiannya hanya tentang Kerajaan Allah, selalu
mengewajantahkan pelayanan Yesus Kristus sebagai wajah Roh Kudus. Kepada jemaat
dan umat Tuhan di era ini, yang memang lahir dalam dunia multi media serta
teknologi. Hidup dalam konteks media kreatif, komunikatif serta penuh
interaktif yang tampaknya sudah makin menyatu dalam diri manusia juga jemaat
Indonesia.
Melakukan Pewartaan Baru Dan Kesaksian Baru
Para
teolog primer (Stephen Bevans dan Roger Schroeder, Peter C. Phan dan Bryan P.
Stone) tentulah sama-sama sepakat bahwa Gereja pada hakikatnya bersifat
misioner. Dan jemaat seluruhnya adalah misioner, oleh karena diutus Tuhan ke
dalam dunia. Dan secara autentik mengambil bagian dalam misi Allah.
Selalu
terjadi dalam satu konteks tertentu. Bahkan konteks kekinian. Di konteks yang
akan selalu juga semakin baru. Selalu berjuang mengkomunikasikan Injil dalam
bingkai kebudayaan tertentu. Dalam bahasa tertentu. Dan lengkap dengan berbagai
keunggulan serta keterbatasan dari satu kurun tertentu. Peter P. Chan misalnya
menampilkan perjuangan misi pewartaan dan kesaksian seperti yang dilakukan Alexandre
de Rhodes di Asia, khususnya misinya di Vietnam.
Mewartakan
teologi misi dalam konteks Vietnam , menerjemahkan Kristus dan kekristenan ke
dalam bahasa masyarakat asli yang menerima khotbah-khotbah dan pelayanannya.
Disertai banyak sekali tantangan, pergumulan dan perjuangan lainnya. Hingga
mungkin pantas jika de Rhodes diproklamirkan sebagai pendiri Kekristenan di
Vietnam. 1
Selalu
fokus kepada konteks masyarakat Vietnam, bagaimana mereka dalam kebersamaan
hidup sehari-hari. Dan aktual dalam pewartaan dan kesaksian, dibandingkan cuma
berkutat tentang teks dan tulisan kekristenan, serta teks agama-agama lainnya
di sana.2 Ini sangat menarik. Misi kita adalah manusia. Mewartakan
Injil kepada manusia. Semua ini dapat berlangsung sejauh kita dan Gereja setia
kepada misi Allah, yang peka terhadap konteks demi konteks. Yang baru tiap
bagian dan masa. Hingga kita saat ini, sekarang ini, tarik langsung di konteks Indonesia
khususnya, misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah modal haruslah terus
diberlakukan, bahkan dikembangkan.
---------------------------------------------------------
1.
1. Peter
C. Phan, 2003. In Our Tongues:Perspectives from Asia on Mission and
Inculturation. Maryknoll, N.Y.: Orbis Books. (Page/hal. 156 & 161)
2.
2. Ibid.
166-167.
Berteologi
dan bergereja yang lebih rendah hati. Berteologi dan bergereja yang semakin
maju dan canggih tetapi diawali dan terus lebih semakinlebih lagi untuk
mendengar dan “mendengarkan” (dengan hati dan pikiran baru). Memantulkan
berbagai nilai, penemuan, prasangka dan impian dari zaman dan situasi di mana
pun kita berada. Konteks baru namun dengan isi pewartaan dan pusat kesaksian
yang tetap, konstan sama: Pemberitaan Injil Yesus Kristus.
Di
corak kontekstual yang radikal sekalipun, di rupa-rupa konteks yang tak
tersangkakan, misalnya apakah di konteks Persia kuno, di Cina abad ke-8, taua
konteks Italia abad ke-12, Paraguay di abad ke-16 atau di Afrika pada abad
ke-19, tetaplah pusat pewartaan dan misi adalah Injil. Pelayanan dan kesaksian
tentang Pemerintahan Allah itu adalah senantiasa Yesus Kristus.
Stephen
Bevans dan Roger Schroeder bahkan menilik ke belakang serta memaknai kedalaman
konteks Kisah Para Rasul misalnya.3 Roh Allah membimbing jemaat bahari ke luar
dari berbagai prasangka dan pra-andaiannya agar merangkul sebuah konteks baru, tentu
sesudah konteks yang lain. Sebuah praktik religius yang sama sekali tidak
pernah terbayangkan. Menjadi jemaat yang diwartakan tetapi juga siap mewartakan
dan bersaksi nyata tentang penyelamatan dan pemerintahanNya.
Terlebih
lagi dengan tumbangnya kolonialisme, renaisans agama-agama dunia, merosotnya
agama Kristen di Eropa, juga perpindahan penduduk Dunia Ketiga ke Dunia
Pertama. Walau sejujurnya untuk konteks Indonesia belumlah seluruhnya. Ditambah
transportasi yang kian cepat, komunikasi satelit dan dunia maya, komunikasi
tembus batas, dan globalisasi yang
dilengkapi dengan meroketnya sistem multi media dunia, maka sesungguhnya era
baru misi dimulai! Misi dengan sebuah konteks yang baru lagi!
.
--------------------------------------
3. 3. Bevans, Stephen B. and Roger P.
Schroeder. 2004. Constants in context: A theology
of mission for today. Maryknoll,
N.Y.: Orbis Books.
Teologi
misi dalam kuartal terakhir abad ke-20: Misi sebagai partisipasi dalam hidup
dan misi Allah Tritunggal; misi sebagai kesinambungan misi Yesus untuk
mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Pemerintahan Allah yang “sudah” namun
sekaligus “belum” terwujud; dan misi sebagai pewartaan tentang Kristus sebagai
satu-satunya penyelamat dunia.4 Ketiganya menjadi unsur-unsur dari
sebuah sintesis yang melayani dana sekaligus melandasi teologi misi untuk abad
ke-21 dan juga milenium ketiga. Misi
sebagai dialog profetis.
Secanggih
apapun situasi kondisi. Sentral tetaplah
Yesus Kristus, hakikat misioner Gereja tidaklah berubah, karunia rahmat Allah
tetap dicurahkan untuk Gereja, untuk semua manusia dan untuk segenap ciptaan.
Namun cara misi itu dilaksanakan mesti berubah.
Terlebih di konteks majemuk namun
sangat cepat meningkat teknologi medianya. Namun tetap dengan misi yang
mesti dan pastilah bercorak: Dialogis dan Profetis. Dialog-Profetis (Prophetic
Dialogue). Dan inilah inti kekuatan misi pewartaan dan kesaksian itu.
Dialogis
karena partisipasi Gereja atau jemaat dalam hakikat dialogis Allah Tritunggal
yang misioner tadi, di berbagai konteks dunia dan kehidupan yang kian berubah. Dan
Profetis karena kebenaran harus diungkapkan dan dirumuskan dengan tegas juga
jelas!
Yang
menurut Bryan P. Stone tentulah sangat membutuhkan waktu, proses panjang dan
pengalaman yang perlu dipelajari, diingat dan dijadikan bagian pengembangan
misi pewartaan dan kesaksian yang baru. Bahkan terus baru. Yang selalu memungkinkan
pemberian tempat yang luas kepada unsur budaya, sejarah, dan berteologi serta
bergereja dengan semangat mengabarkan Injil sebagai kabar baik dan kabar
keselamatan akan semakin kuat.
--------------------------
4. 4.Bevans, Stephen B. and Roger P.
Schroeder. 2004. Constants in context: A theology
of mission for today. Maryknoll,
N.Y.: Orbis Books. (Pages/hal. 351).
Misi
pewartaan dan kesaksian dalam praktiknya dialogis dan profetis yang
terus-menerus mengikuti perkembangan jaman tentulah tidak sederhana dan
tidaklah mudah.5 Namun harus
terus kita berlakukan. Di sepanjang kehidupan berteologi dan bergereja, di
manapun, terlebih di Indonesia yang sangat plural namun sangat sepakat untuk
canggih dalam bermulti media tadi.
Sehingga
Gereja, jemaat dan bahkan keluarga hingga tiap pribadi kita punya sebuah model
berteologi yang kuat. Relevansinya adalah semakin berpegang dan berisi Injil
maka semakin kuat pewartaan dan kesaksian kita bahkan semakin maju. Mengikuti
dan mengantisipasi kemajuan kehidupan manusia. Bahkan berhasil memberi jawaban
atas berbagai pertanyaan, pergumulan dan “kehausan” insan manusia di dalam
Indonesia juga dunia, di dalam Gereja maupun khususnya di luar Gereja.
Dan
diingatkan lagi dengan kuat oleh teolog Stephen Bevans dan Roger Schroeder
bahwa kita sebagai umat Tuhan hanyalah insan biasa dan malahan berdosa, tetapi
sekaligus adalah “yang dirahmati kehadiran Allah yang tersembunyi”. Allah yang
bertindak secara universal. Yang sejak halaman-halaman pertama Alkitab, kita
sudah dijabarkan dengan karya serta perbuatanNya terhadap seluruh dunia. Dan
kitalah alat dalam proses penyelamatan-Nya bagi dunia tiap waktu.
Teranyam
dalam sejarah tentang orang-orang Kristen yang tulus berjuang, bersekutu dan
bersama-sama (di tiap bagian masing-masing) selalu memperbarui pewartaan dan
kesaksian kepada hidup anggota gereja juga kepada semua kehidupan manusia, untuk
tetap setia kepada Roh Allah tatkala Roh itu menyatakan diriNya dalam aneka
cara baru.
-------------------------------------------
5. Bryan P. Stone, 2007 Evangelism after Christendom – The Theology
and Practice Christian Witness. BrazosPress, Grand Rapids, Michigan.
(Introduction, page/hal. 10).
Kritis-Reflektif Pewartaan Dan Kesaksian
Dan rupanya, pewartaan serta
kesaksian yang unggul adalah Firman dan pelayanan dapat berjalan khususnya
berfungsi di dalam kebersamaan persekutuan hidup sehari-hari. Dan untuk itu
tidak lain dibutuhkan model berteologi dan bergereja yang baru. Model
berteologi dan bergereja yang kontekstual di Indonesia sekarang ini. Dan akan
terus maju juga berkembang lagi. Struktur Gereja yang berisikan jemaat Tuhan
yang benar-benar misioner tadi sudah seharusnya sesuai dengan struktur
lingkungan dan manusia sekitarnya.
Sehingga
pewartaan dan kesaksian kita (sebagai Gereja dan jemaat) tentang Pemerintahan
Allah, Kerajaan Allah dan Kesalamatan dalam Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan
Juruselamat, benar-benar memasuki tempat di mana manusia sekitar kita berada.
Bahkan Pewartaan dan kesaksian kita benar-benar memasuki, nge-link, dengan pikiran dan hati lingkungan di mana kita berada.
Di sini barulah misi kita akan berhasil.
Kabar baik dan keselamatan (Injil)
harus tetap menjadi inti. Pewartaan dan kesaksian kita bukanlah untuk
menyesuaikan Injil kepada keadaan
sekitar. Bukan! Tetapi agar kita mau dan
mampu (lebih tepatnya akhirnya dimampukan Allah) untuk mencari bentuk-bentuk
baru yang cocok dengan situasi kondisi tanah dan manusia Indonesia. Sehingga
Injil yang sudah teruji berabad-abad lamanya dalam pewartaan dan kesaksian
Gereja, akan terus in context (ada
dalam konteks). Baik dalam dan dari jemaat desa, maupun jemaat di daerah
perkotaan, yang konteks sekarang ini sudah mengalami perubahan kebiasaan dan
struktur hidup. Semakin terbuka dan sangat menggunakan berbagai pilihan media.
Bahkan
kesaksian (melalui hidup kita sehari-hari dengan sesama manusia) dan pewartaan
(pengajaran kepada umat khususnya melalui khotbah) sekarangpun, di era multi
media ini, tetap dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai satu-satunya
penyelematan dunia yang sejati. Pewartaan selalu tentang penerobosan
Pemerintahan Allah, yakni pemerintahan penyelamatan yang penuh belas kasih dan
keadilan serta perdamaian.
Terlebih
misi pewartaan dan kesaksian kita di Indonesia dengan kemajuan media dunia
sekarang ini. Misi kita sebaiknya kita upayakan selalu mengakui martabat dan
tragedi pribadi manusia. Misalnya (dalam khotbah atau bentuk pengajaran lain) menampilkan
gambar atau video pembakaran mesjid dan beberapa rumah di Papua beberapa saat
lalu, bukanlah untuk memanaskan hubungan sosial masyarakat dan antar umat
beragama di Indonesia. Apalagi dilanjutkan dengan berita pembakaran pintu salah
satu gereja di Purworejo, tidaklah untuk menuju perseteruan apalagi saling
membenci. Tetapi hal-hal seperti itu, jika berani kita gunakan adalah
benar-benar untuk intropeksi Gereja, para pelayan misi-Nya juga seluruh jemaat
untuk lebih berani dan rendah hati mewartakan syalom.
Pewartaan
dan kesaksian kita yang lebih terbuka selanjutnya akan menjadi indikasi, tetapi
juga model yang akan terus kita perbarui. Pewartaan dan kesaksian yang canggih
adalah misi menggunakan berbagai kemajuan zaman serta berbagai unsur media yang
kian tersedia. Tidak berhenti berinovasi, agar akhirnya berhasil bukan sekadar
meninggalkan kekolotan soal-soal material dan lahiriah. Tetapi bisa berhasil
menarik perhatian jemaat dan siapapun manusianya, untuk mendengar, membaca,
merefleksikan Injil. Bahkan semakin diundang untuk bergabung ke dalam suatu
persekutuan iman, pengharapan dan kasih.
Di
sinilah akhirnya kita semakin sadar dan tercerahkan pentingnya “mendengar”,
mengetahui dan benar-benar ada di konteks. Agar kesaksian dan pewartaan kita
sesungguhnya wajib ditunaikan sebagai dialog profetis. Berjuang menuju dan
memberlakukan misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah model berteologi dan
bergeraja kontekstual di Indonesia yang semakin multi media, tetap berisi Injil
Kebenaran itu, yang diberlakukan dialog profetis yang juga multi media.
Mari
jangan menutup mata terhadap masyarakat sekitar kita di Indonesia (khususnya)
dan kehidupan dunia secara global. Terbukalah dan fleksibel terhadap tiap-tiap
tempat dan keadaan sekarang ini hidup, bekerja, belajar dan bertumbuh. Mari
jadilah Gereja dan atau jemaat yang misioner, dengan bersedia menjadi anggota
juga pelayan misi Gereja dan jemaat yang sejati lagi. Tidak sekadar berpangkal
pada manusia, tetapi pada Injil. Hanya saja kita menuju kepada keselamatan
manusia seluruhnya.
Bahkan
seorang teolog tentang Missiologia, Arie de Kuiper berkata sampai pada hal yang
konkrit: Misalnya produksi dan penyebaran bacaan Kristen, termasuk
penterjemahan, penyebaran dan penerangan Kitab Suci; kehadiran Kristen di dalam
mass-media (bidang persurat-kabaran,
radio dan TV); tetapi juga perkunjungan rumah tangga; percakapan perorangan
maupun mass-meetings.6 Dan
berbagai media dan tempat lainnya. Pewartaan dan kesaksian Injil bisa kita
jadikan sebuah model berteologi dan bergereja yang kontekstual. Di Indonesia
bahkan dunia secara luas, saat ini.
Akhirnya,
hanya dengan mewartakan, melayani, memberi kesaksian tentang Injil dan Pemerintahan
Allah dalam dialog profetis yang berani, mau mendengar, penuh kerendahan hati
dan selalu baru serta berinovasi hanya dalam tuntunan Roh-Nya. Maka Gereja yang
misioner dan kita semua sebagai jemaat, serta pelayan-pelayanan misi-Nya, akan
senantiasa konstan dalam memberlakukan misi di konteks kekinian. Khususnya
pewartaan dan kesaksian kita di masa Tahun 2015 ini, misi pewartaan dan kesaksian
sebagai sebuah model berteologi dan bergereja kontekstual di dunia media era
millenium ke-3 juga seterusnya, khususnya di Indonesia yang sudah berada di abad
ke-21 kini dan selamanya.
------------------------------------------------
6. Lih. De Kuiper, Arie, Missiologia Ilmu
Pekabaran Injil. (Cet. 23 Jakarta, BPK-GM, 2014), hal.104-105.