Lusindo Tobing (Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta)
Just Hospitality
Buku Just
Hospitality: God’s Welcome in a World of Difference adalah buku terakhir (tertera di cover belakang buku) dari
Letty M. Russell, seorang teolog feminis terkemuka di dunia dan anggota dari fakultas Yale Divinity School. Buku ini baru
terbit (Tahun 2009) sekitar 2 tahun setelah Russell meninggal dunia (Tahun
2007), ketika dua orang editor buku yang juga adalah kolega Russell (yaitu J.
Shannon Clarkson dan Kate M. Ott) berkeinginan mengumpulkan tulisan-tulisan
Russell. Mereka sempat bercerita, “Kate Ott and I turned on Letty’s computer to
see what was there. Not surprisingly, we found many files and folders related
to hospitality. We found speeches, articles, class lectures, and notes”
(Russell 2009, xvii). Kemudian dengan dibantu beberapa murid Russell, mereka
mengerjakan penyusunan buku ini dan akhirnya, terwujud menjadi buku Just
Hospitality.
Isi buku dibagi menjadi lima cakupan besar yaitu: 1. Why
Hospitality?; 2. The New Hospitality; 3. Riotous Difference as God’s to the
Church; 4. Reframing a Theology of Hospitality; 5. Just Hospitality. Russell mengajak semua pembacanya memikirkan kembali apa
artinya menjadi orang Kristen di konteks saat ini, yakni berani hidup bersama
dalam berbagai perbedaan dengan orang lain. Kemudian ia menunjukan bahwa di
hadapan Allah, sesungguhnya tidak ada orang yang “lain/berbeda.”
Sedangkan untuk struktur laporan buku, saya bagi menjadi
tiga bagian besar yakni: 1.
Hospitalitas dengan Just
Hospitality; 2. Justice
dengan Just Hospitality; dan 3. Catatan Kritis Sebagai Tanggapan.
Gagasan utama (thesis statement) Russell mungkin bisa dijabarkan sebagai berikut: Membentuk ulang definisi dan praktik
hospitalitas menjadi, “Hospitality is the practice of God’s welcome by reaching
out across difference to participate in God’s actions bringing justice
and
healing in our world of crisis and our fear of the ones we call ‘other’”
(Russell 2009, 53), menantang kesediaan hati, rasional dan perbuatan untuk
benar-benar terbuka menerima cara pandang dan sikap orang asing bahkan yang
sangat jauh berbeda. Menuju kemitraan yang saling menerima, antara orang
kristen bersama semua pihak (yang berbeda-berbeda tadi) bergabung dalam
perjuangan keadilan: Hospitalitas dengan Keadilan atau Just
Hospitality.
1. Hospitalitas dengan Just Hospitality
Russell di awal bukunya langsung menampilkan definisi
hospitalitas yang sudah ada sebelumnya, dengan mengutip pendapat Christine D. Pohl
dalam buku Making Room yang
bunyinya demikian, “Hospitality is not optional for Christians, nor is it
limited to those who are specially gifted for it. It is, instead, a necessary
practice in the community of faith” (Pohl 1999, 31). Kemudian Russell
mendefinisikan ulang bahwa hospitalitas adalah praktik dari penyambutan Allah
yang menjangkau dan merangkul berbagai perbedaan, “Hospitality is the practice
of God’s welcome by reaching across difference to participate in God’s actions
bringing justice and healing to our world in crisis” (Russell 2009, 19). Bahkan
Russell menampilkan ulang uraian senada, hingga beberapa kali, antara lain:
I understand
hospitality as the practice of God’s welcome, embodied in our actions as we
reach across difference to participate with God in bringing
justice and healing to our world in crisis. (Russell
2009, 2)
I suggest that
hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out across difference
to participate in God’s actions bringing justice and
healing in our world of crisis and our fear of the ones
we call “other.” (Russell 2009, 53)
Sedangkan kata “Just” pada Just Hospitality, adalah singkatan dari “Justice” atau “Keadilan.” Definisi
yang mungkin lebih lengkap dari Russell sebagai berikut:
Just hospitality
is the practice of God’s welcome by reaching out across difference to
participate in God’s actions bringing
justice and healing in our world of crisis and fear of the ones we call
“other.” To live out God’s welcome
as just hospitality is a calling and a challenge. As strangers ourselves, and strangers to so many other people, we have
the possibility of partnering with others as a sign of God’s concern for us all, and for all creation.
Hospitality is not the only answer to difference, but it is a challenge
to us, pointing us to a future that God intends, where riotous difference is
welcomed. (Russell 2009, 101)
Russell ingin menegaskan bahwa perjuangan keadilan, tidak
bisa dilepaskan dari upaya penyambutan serta praktik penerimaan tamu/orang asing,
“The sort of hospitality that makes this possible would be one that sees the
struggle for justice as part and parcel of welcoming the stranger” (Russell
2009, 106). Perjalanan tulisannya memberi pengetahuan dan inspirasi kepada
pembaca, untuk mengeksplorasi hospitalitas sebagai tradisi Kristen, menuju
“hospitalitas dengan keadilan” sebagai jawaban atas panggilan hospitalitas yang
sudah ada sebelumnya. Bahkan Russell bersyukur jika memang Just
Hospitality dapat menjadi kelanjutan
panggilan Allah untuk melakukan hospitalitas bagi semua orang. “I give thanks
for the continuing experience of God’s call to hospitality to all” (Russell
2009, 22). Karena itu, setiap pembaca bukunya diharapkan lebih maju dari
pengetahuan hospitalitas yang ada sebelumnya, kemudian lebih berani menerima
tantangan hidup di tengah perbedaan yang sangat tajam (riotous
difference), untuk terus memberi ruang dan
menjamu orang asing: “Hospitality is not the only answer to difference, but it
is one way to respond to this challenge. It points us to the future that God
intends, where riotous difference is welcomed” (Russell 2009, 74).
Sebab menurut Russell segala perbedaan itu sesungguhnya bisa
diterima di dalam proses hospitalitas. Semua berkedudukan sama, bukan untuk
dijadikan sama, tetapi sebagai mitra satu dengan lainnya dalam memberlakukan
keadilan. Hospitalitas dengan keadilan membuat semua pihak untuk bersama-sama melihat
perbedaan dan keanekaragaman itu adalah anugerah dari Allah, bahkan bagi
Russell, bisa disamakan dengan anugerah iman, pengharapan dan kasih.
Hospitality is
a gift of God to us, one that we need to practice, so that we are more open to
its blessing. Like the gifts of faith, hope, and love,
hospitality has to be used. It is a relationship to be shared,
not buried in a field, or in our studies, or in our jobs. Hospitality builds
relationships across difference and in this
way is a catalyst for community that is built out of difference. (Russell
2009, 117)
Praktik hospitalitas dijadikan Russell sebagai isu sentral,
yang ditawarkan kepada jemaat atau gereja untuk lebih peduli kepada orang asing
di locus berbeda, dan dengan budaya yang lebih beragam. Walaupun Russell
tahu persis, baik dari perjalanan sejarah hospitalitas maupun pengalamannya, gereja
tidak selalu bersedia menjadi tempat praktik hospitalitas dengan keadilan.
Namun hal tersebut malah semakin menguatkan upaya ia berteologi, Russell
berkata, “I seek to connect action and reflection by asking about all the
ingredients in our theology: experience, social reality, tradition, and action”
(Russell 2009, 1).
Kemudian dengan pertanyaan seperti, “Who is missing?” (Russell
2009, 14) juga pertanyaan, “Siapa yang belum diterima dan diberi ruang?”
bahkan, “Siapa yang suaranya selama ini tidak didengarkan?” Russell berupaya
mengubah pendapat yang sudah umum tentang hospitalitas. Sekaligus menantang
pembaca di tiap komunitasnya masing-masing, untuk memastikan kembali apa arti
sesungguhnya memberi ruang kepada orang asing. Russell juga ingin menunjukkan sambungan
antara realitas sosial yang ada, berbagai fenomena dan dimensi manusia,
termasuk gerakan feminisme dan berbagai upaya kepedulian kepada kaum marginal,
dengan hospitalitas yang sudah lama telah menjadi tradisi kristen. Menjadi bahan
penting bagi para pembaca bukunya untuk berefleksi, dan berjuang melakukan just
hospitality di keseharian, sebagai praktik
nyata dari God’s hospitality.
Practicing
God’s hospitality means that I am constantly looking for ways to empower other
outsiders in the institutions where I
work and live. I always have to ask myself as I gather with group.”Who is missing? Who are the ones whose voice is
not heard?” As a Christian I learned to do this from the gospel message of Jesus Christ, and I have
found that these question also help to make sense of the rhetoric of feminist movement. (Russell 2009,
14)
Dengan bersyukur karena bisa terus menghadirkan hospitalitas
Allah yang menerima semua, Russell sungguh-sungguh menegaskan bahwa
hospitalitas adalah proses yang membutuhkan solidaritas dengan "yang lain".
Bersama-sama menghadirkan panggilan Allah untuk memperjuangkan keadilan dan
kedamaian bagi dunia, meminta gereja dan semua pihak bergabung dalam perjuangan
melakukan hospitalitas dengan keadilan, hospitalitas untuk semua.
I give thanks
for the continuing experience of God’s call to hospitality to all. As we pray
for the renewal of the church as an instrument of justice and
peace in the world, we must stand in solidarity with strangers by
working against the oppressive structures that make them outsiders within their own societies. In the process
we may discover God’s hospitality in our own communities. (Russell 2009, 22)
Dua bab pertama buku ini
menjadi cukup penting dalam rangka menjelajahi pemikiran Russell. Ada semacam otobiografi dan dilengkapi dengan ringkasan dari tema-tema
yang umum seputar hospitalitas, juga hospitalitas dengan keadilan
(just hospitality). Berlanjut
bersama uraian Russell yang menulis tentang kolonialisme, imperialisme, kebijakan
politik yang meremehkan dan menindas masyarakat termasuk
gereja. Dari berbagai sudut hermeneutika termasuk hermeneutika feminisme,
Russell juga coba menjawab berbagai perubahan dunia dan tantangan untuk
menerima orang lain yang berbeda: “In
facing the challenge of a world of abundant difference and more than abundant
experiences of exclusion and suffering, often rooted in a disdain for the ‘other,’
a feminist hermeneutic of hospitality can make it clear that in God’s sight no
one is ‘other’” (Russell 2009, 43).
Berdasarkan hermeneutik hospitalitas dan dengan dinamika
kekuatan teologi yang konstruktif dari berbagai perbedaan itu, Russell
mengusulkan agar pembaca bukunya membuat strategi konkret agar lebih banyak mempraktikkan
hospitalitas dengan keadilan, dan dengan berani Russell menyatakan bahwa, “God’s
concern to welcome all persons and seek unity through the practice of
hospitality. Hospitality is an expression of unity without uniformity. Through
hospitality community is built out of difference, not sameness; there is no
“either/or,” “right/wrong,” “win/lose” (Russell 2009, 65). Sebab sesungguhnya komunitas
hospitalitas dibangun dari perbedaan, bukan dari kesamaan. Sehingga tidak ada “baik
/ atau tidak baik,” “benar / salah,” dan “menang / kalah” dalam praktik
hospitalitas dengan keadilan. Hospitalitas dengan keadilan adalah ekspresi dari
kesatuan tanpa keseragaman.
2. Justice
dengan Just Hospitality
Sebagai seorang teolog, Russell mengajak pembaca bukunya
lebih melakukan reframes hospitalitas, ”We
turn now to reframing the idea of hospitality through identifying
characteristics of God’s gift of welcome” (Russell 2009, 77). Russell menggunakan pemaknaan
beberapa tema dan kisah yang ada dalam tradisi Ibrani, di konteks Perjanjian
Lama, dan hubungannya dengan tradisi Kristen,
lalu misalnya menyerukan “the meaning
of safe space” (Russell 2009, 86) dalam kehidupan manusia. Berbarengan dengan
itu Russell membahas juga aspek penerimaan
dari Allah di konteks Perjanjian Baru, ia menyatakan bahwa, “In both the Hebrew
Bible and the New Testament, God’s hospitality also involves welcome of and
advocacy for the marginalized” (Russell 2009, 83). Selain itu, Russell juga
menampilkan tentang mutual welcome di konteks Perjanjian Baru, tepatnya dalam dimensi
Surat-surat Rasul Paulus:
Mutual
welcome is another characteristic of hospitality. Hospitality is a particular
theme in Paul’s letters as the apostle seeks to
create community in his little house churches. Whether within the community
or between the community and those outside, the hospitality he speaks of is to
be one of mutual welcome. He
urges members to live in harmony with one another, in particular, overcoming the disagreements between
Gentile and Jewish Christians over the requirements of the Jewish Law. (Russell 2009, 83-84)
Russell mengupayakan keterbukaan untuk menempatkan hospitalitas ke dalam frame/bingkai
yang baru. Juga seperti Paulus, Russell mendesak
para pembacanya untuk bersedia hidup dalam harmoni satu sama lain, khususnya untuk
mengatasi berbagai perbedaan (sekali lagi, bahkan di perbedaan yang sangat
berbeda sekalipun), dengan terus
berjuang mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan, “The solution is to reframe the way we practice hospitality
and thus deform, re-form, or reshape our previous notions” (Russell 2009, 80).
Hal lain lagi yang menurut Russell sangat mendasar bisa dilakukan
adalah men- "decolonizing" (Russell 2009, 82) pikiran. Menolak
pandangan bahwa Kekristenan adalah kebenaran yang paling dominan, dan berbagai ajaran
serta tradisi yang berbeda perlu untuk "diselamatkan, didominasi, dan
dikendalikan". Kembali Russell serius mengajak semua pembacanya membingkai
ulang format hospitalitas, menjadi hospitalitas yang lebih tulus untuk siap bermitra
dengan siapapun yang “berbeda” atau “lain”, dan bukan lagi hanya sebagai hospitalitas
berbentuk amal atau hiburan belaka / entertainment:
When we
decolonize our minds, we begin thinking from the margins rather than as from
the center. We reframe hospitality as
a form of partnership with the ones we call “other,” rather than as a form of charity or entertainment. One way to go about
this metanoia, or conversion in our thinking, is to reexamine the biblical tradition in order better to
understand what God’s welcome and hospitality are all about. (Russell 2009, 82)
Russell kemudian menjabarkan “Just” (pada topik dan judul
bukunya: Just Hospitality)
yang kepanjangannya adalah “Justice” (keadilan) dengan lebih mendalam diuraikan
pada bab paling akhir (bab 5). Kemudian dilengkapi Russell dengan peninjuan
Kitab Amos, yang berlanjut menjelaskan tentang keadilan sebagai hospitalitas
dalam ibadah kristen. Serta tentang adanya “batasan” atau “limits” (Russell 2009, 116) , Russell mengakui bahwa dalam hospitalitas antar manusia
tetap ada batas. Namun ia sekaligus memberi pencerahan bahwa perbedaan,
pembatasan dan halangan apapun, tidak boleh dan tidak akan bisa membatasi
hospitalitas Allah kepada semua manusia dan ciptaan-Nya. “There are limits, but
they are ours. We need to be realistic, so we can be part of these
realtionships of care, but we also do not need to limit God’s welcome” (Russell
2009, 117).
Semakin menarik ketika pembaca menyadari adanya metode
“pembatasan” juga dalam gaya penulisan Russell,
yang kerap menjelaskan sesuatu dengan runtut, menggunakan poin-poin dan pola
tertentu. Misalnya ketika ia dengan yakin menjelaskan bahwa sesungguhnya ada
empat “underlying
understandings essential” (Russell 2009, 118)
untuk mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan di dalam dunia yang penuh
perbedaan, yaitu: “1. Clarity of mission; 2. Reexamination of the Bible and
traditions; 3. Partnership and power; dan 4. The goal of justice” (Russell
2009, 118-124). Kemudian tidak
ketinggalan seperti pada akhir tiap bab sebelumnya, dengan konsisten Russell
menutupnya dengan pertanyaan-pertanyaan, untuk lebih menggugah makna di seputar
tantangan mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan.
Salah satu ungkapan yang bagus dari Russell dalam buku Just
Hospitality ini adalah, “Perbedaan adalah anugerah.” Menurut Russell,
“Difference is the gift that challenges us to practice such hospitality by
resisting oppression and working for full human life and dignity for those with
whom we stand in solidarity” (Russell 2009, 106). Hospitalitas membangun
hubungan solidaritas manusia di seluruh perbedaan, dan Russell selalu menempatkan
dirinya (minimal) sebagai seorang perempuan kulit putih, teolog feminis,
seorang pendeta dan pengajar serta aktivis yang terlibat dalam begitu banyak
program ekumenis dan perjuangan keadilan. Termasuk dalam pembahasan tentang pembatasan
orientasi seksual, Russell dalam bukunya ini juga mengkritik adanya “textual
harassment,” bahwa sejak lama ada teks tertentu dari Alkitab yang digunakan
untuk membatasi atau merugikan seseorang dalam hal orientasi seksualnya.
Termasuk lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang menurut Russell
seharusnya juga mendapatkan ruang lebih luas dalam hospitalitas dengan
keadilan.
“Textual
harassment” describes situations in which a particular Bible text is used to
limit or harm someone. Particular interpretations of Scripture
have been used to force women, people of racial/ethnic
groups, and LGBT persons to adopt specific behaviors and restrict them from
others. The Bible has been
used as justification for racism, sexism, heterosexism, ableism, and colonialism,
(Russell 2009, 89)
Walaupun Russell seperti masih sembunyi-sembunyi, misalnya
ketika ia berupaya “menyelundupkan” tema gay dalam interpretasinya atas beberapa
ayat Alkitab:
One place to
look for this vision is Paul’s emphasis on the unity of the resurrected body of
Christ and the variety of gifts of the Spirit (1 Cor. 12).
This new model is a vision from Act 2:6 or Galatians 3:28 that includes
women and men, slave and free, Jew and Greek, Anglo and Arab, gay and
straight, young and old, persons with disabilities and abilities, rich and
poor, and so much more, as those who speak in the
power of the Holy Spirit (Gal 3:28). (Russell 2009, 65).
Satu hal lain yang lebih menarik, Russell menampilkan
Indonesia di salah satu halaman bukunya ini. Dalam rangka membagikan cuplikan
pengalamannya dengan Shannon Clarkson saat berada di Makasar, Sulawesi. Mereka
mengalami pengalaman hospitalitas dengan keadilan yang penuh kesederhanaan,
dengan seorang pemudi dan sepuluh orang pemuda berkebangsaan Indonesia, yang
berbeda agama. Demikian cuplikan tulisan Russell tentang pengalaman mereka:
Shannon
Clarkson and I went with a student from the Theological Seminary of Eastern
Indonesia in Makassar on what was to be
an interfaith exchange among students. When we three arrived at a small house for the discussion, we found ourselves,
two older white women and a young Indonesian
woman, with ten young men from
Lapar, a Muslim education group, sitting together on the floor around a low round table. Lapar had, in
collaboration with the local Muslim boys’ schools, developed a program that trained teachers
to respect differing religious beliefs. The goal of the program was to overcome the hatred and violence
between Muslims and Christians in their area. (Russell 2009, 30)
Berdasarkan pengalaman-pengalaman seperti itu, Russell
kembali menantang semua pembaca Just Hospitality untuk mengajak orang lain, siapapun mereka dan dengan
perbedaan yang bagaimanapun, untuk bersama-sama mempraktikkan hospitalitas di
“meja” komunitasnya masing-masing, dan untuk “meja” yang lebih lebar dan luas. Russell
menggunakan citra pelayanan meja hospitalitas Allah yang memastikan bahwa:
Everyone
is welcome here because they gather around the Table of God’s hospitality. The welcome
Table is a sign of the coming feast of God’s mended creation, and its guest
list is inspired by the announcements of the jubilee year in
ancient Israel - “But when you give a banquet, invite the poor, the
crippled, the lame, and the blind” (Luke 14:13). (Russell 2009,16)
Dan tentunya karena ada kasih, sebab menurut Russell, kasih
itu termasuk keadilan, dan keadilan itu termasuk kasih: “Rather, love includes
justice in the care for other persons, and justice includes love in our
relationships” (Russell 2009, 106-107). Hospitalitas dengan keadilan akan terus
mendorong diwujudkannya kasih saling menerima, yang menghubungkan
perbedaan-perbedaan dan mengatasi berbagai pembatasan.
3.
Catatan Kritis Sebagai Tanggapan
Catatan saya yang pertama atas buku
Just Hospitality adalah, buku ini
tidak benar-benar murni karya seorang Letty Mandeville Russell. Tetapi
sesungguhnya diprakarsai dan dikerjakan oleh dua sahabat Russell, yaitu J.
Shannon Clarkson dan Kate M. Ott, yang menjadi editor dalam proses pengumpulan
tulisan dan penyusunan buku, dibantu beberapa murid Russell. Tetapi ide tentang
“Just Hospitality” yang kemudian dijadikan judul buku dan seluruh bahan baku
dari isi buku ini adalah memang tulisan-tulisan Russell.
When Stephanie
Egnotovich, Letty’s editor, phoned asking the same question about Letty’s book
on hospitality, I modified my response
and said I would check and see. Kate Ott and I turned on Letty’s computer to see what was there. Not
surprisingly, we found many files and folders related to hospitality. We found speeches, articles,
class lectures, and notes. I had forgotten about the technological revolution that had transformed writing!
Yet we still did not have an outline or those ever-important
chapter titles and headings. (Russell 2009, xvii)
Namun pengakuan dari para editor buku yang mengatakan bahwa,
“In the end, we have sometimes combined examples and elaborated explanations to
provide a fuller treatment of the subject, but when possible have not changed
her sentences” (Russell 2009, xviii), menurut saya (pembaca), hal itu dapat
mempengaruhi keaslian ide Just Hospitality dan versi murni tulisan Russell. Karena itu catatan
berikutnya, khususnya untuk para editor, mungkin perlu untuk memberi tanda dan
keterangan, mana saja bagian tulisan Russell yang sudah mengalami penambahan
atau bahkan mungkin perubahan. Sebaliknya juga, bagian tulisan mana yang
benar-benar asli. Hal ini minimal sebagai pengakuan profesionalitas, serta
penghargaan akademis, kepada ide dan pemikiran seorang Russell. Terlebih lagi,
ketika nama beliau yang dicantumkan sebagai penulis tunggal buku Just
Hospitality ini.
Kemudian dari segi teknik dan isi, Russell “dijadikan”
seperti kurang yakin dengan tulisan dan teorinya sendiri. Karena sampai
berulang-ulang ia menuliskan definisi hospitalitas di beberapa tempat dalam
buku. Seperti yang sudah pembaca sampaikan di awal laporan buku ini, misalnya
definisi di halaman 2, 19 dan 53. Selain itu, juga ada beberapa pengulangan uraian
lain yang ditulis Russell, bahkan dengan kalimat yang cukup panjang dan sama. Contoh
kalimatnya, “Hospitality will not make us safe, but will lead us to risk
joining in the work of mending the creation without requiring those whom we
encounter to become like us” (Russell 2009, 74 & 123). Masih bisa dimengerti
jika itu sebagai upaya editor untuk menegaskan hal-hal sangat penting. Namun sebaliknya, akan menjadi “tidak
penting,” ketika kalimat tertentu diulang-ulang dalam satu buku.
Pada bab 1 buku Just Hospitality, Russell cenderung lebih dulu melihat hospitalitas datang
dari luar diri seseorang, secara mendasar tentu datang dari Allah, “hospitality
is a gift of God to us” (Russell 2009, 117). Termasuk juga pengaruh-pengaruh
dalam bentuk pengalaman pribadi yang dialami, dan pengaruh dari lingkungan
keseharian seseorang. Semua itu dipandang Russell sebagai langkah awal
terjadinya praktik hospitalitas. Setelah itu, barulah Russell membangun
hospitalitasnya, tampak saat kemudian ia menggiring pembaca bukunya membangun
hospitalitas dengan keadilan. “I want to look at the various social locations
of my own life and work, asking in what way they pushed me to keep moving to
the margin as part of my commitment to share in Christ’s welcome of all persons
into God’s household or reign” (Russell 2009, 3).
Tetapi Delia Halverson dalam buku berjudul The
Gift of Hospitality berpendapat
sebaliknya, bahwa hospitalitas sesungguhnya sudah ada di dalam hati setiap
orang, lalu ke luar berbentuk sikap dan tingkah laku menerima orang asing.
“Hospitality has been interpreted in many ways, but I feel that true
hospitality comes from the heart without expectation of anything in return”
(Halverson 1999, 11). Bahkan menurutnya, hospitalitas sesungguhnya anugerah
dari Allah kepada manusia, yang sudah ada sejak lahir (Halverson 1999, 6). Mungkin
jika antara pendapat Russell dan pendapat Halverson, bisa “saling menerima
perbedaan” (ini merefleksikan juga proses saling menerima dalam hospitalitas)
dan “digabungkan,” maka perbedaan akan bisa saling melengkapi dan jadi sangat
bermanfaat.
Begitu juga definisi dan makna dari justice (keadilan), menurut pembaca, tidak banyak dijelaskan dalam
buku ini. Terkesan seperti ingin segera mengakhiri dan menutup proses penulisan
atau penyusunan buku, contohnya hanya dengan kalimat, “In other words, justice
and love flow into each other and are necessary components of each other. God’s
welcome is then an act of both love and justice through the offer of unbounded
hospitality” (Russell 2009, 107). Apalagi “justice” yang dihubungkan dengan
“healing”, sangat kurang dijelaskan Russel, hanya sebatas menggunakan misalnya
kalimat, “Just hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out
across difference to participate in God’s actions bringing justice and healing
in our world of crisis and fear of the ones we call “other” (Russell 2009,
101). Pendapat Amos Yong yang disebut dengan istilah the
eschatological hospitality, mungkin dapat
menguatkan makna just hospitality yang benar-benar adil dan nyata merangkul berbagai batas
juga perbedaan: ”Christian mission participates in what I call the
eschatological hospitality of God that anticipates the redemption of every
nation, tribe, tongue, and people. Hence, Christian mission engages in the
practices of the kingdom of God” (Yong 2008, 140).
Juga praktik nyata hospitalitas dengan keadilan, yang
“menyembuhkan/memulihkan” sehingga membuat orang asing yang sangat berbeda,
bahkan bisa membuat “musuh” sekalipun, berpindah masuk ke dalam kehidupan
“Spirit of Peace,” dan bertranformasi menjadi sahabat. Seperti dalam buku The
Limits of Hospitality, penulisnya Jessica
Wrobleski dengan lugas menegaskan, “It is my deep conviction in writing this
book that the ability to open one’s heart in hospitality to God and to other
people is not only a challenge but also a gift given to all - a gift that
allows us to move beyond loneliness and hostility into the life of Spirit of
Peace - and that our capacity to receive this gift grows in proportion to our
gratitude for it” (Wrobleski 2012, 150).
Juga tentang kaum marginal, yaitu mereka yang “kalah” karena
dipaksa minggir, jadi orang asing yang rentan karena terpinggirkan, buku Just
Hospitality kurang banyak menyentuh dan
mengangkat mereka. yang menjadi korban kekuasaan, kerakusan, kejahatan,
kekerasan dan bahkan perang. Bila kembali dibandingkan dengan buku Making
Room misalnya, Pohl cukup banyak membicarakan keterpinggiran,
baik marginal sebagai orang asing sebagai tamu, juga sebaliknya, marginal
sebagai tuan rumah:
Vulnerable
strangers is need of welcome are usually marginal to the society because they
are detached from significant human
relationships and social institutions; often they are overlooked and
undervalued by people more centrally situated. The marginality of hosts is
somewhat different; it most often
involves a certain distance rather than detachment from important social
institutions. It may also involve a
deliberate withdrawal from prevailing understanding of power, status, and possesions. Such hosts are often
distinguished from the larger society by their practices, commitments, and distinctive ways of life.
(Pohl 1999, 105)
Menerima mereka yang marginal, layaknya menerima Kristus,
dalam praktik hospitalitas dengan keadilan. Elizabeth Newman dalam bukunya yang
berjudul Untamed Hospitality,
Newman berkata, “Rather, since hospitality names a way of being, Christian
hospitality names a way of seeking to be Christ to another and to receive the
other as Christ, even when the other is hungry, thirsty, in prison, or naked
(Matt. 25)” (Newman 2007, 103). Tentu dengan risiko yang ada, seperti Russel
mengingatkan bahwa, “Hospitality will not make us safe, but will lead us to
risk..” (Russell 2009, 74), risiko yang sama-sama diambil baik oleh tuan rumah
atau orang asing, mereka yang mungkin sama-sama marginal dan jadi korban. Septemmy
Lakawa mengangkat hal seperti itu dengan konteks terjadinya konflik dan
kekerasan. Disertasi Lakawa yang berjudul Risky Hospitality menegaskan
pentingnya risiko hospitalitas diambil dengan jalan menyediakan space, akan terkait ke dua arah secara bersamaan. Risiko
mempraktikkan hospitalitas (dengan keadilan), baik ke dalam maupun ke luar: “In
this space, risky hospitality manifests in two intertwined directions: toward
the self (in opening a vulnerable space of trauma while protecting it from
being harmed again) and toward the Other (in welcoming the Other into the
sharing space of pain and healing)” (Lakawa 2011, 486).
Saya suka sekali ungkapan Russell yang bunyinya, “Rainbow of
difference!” (Russell 2009, 124). Penegasan sekaligus tantangan bahwa perbedaan
adalah ciptaan Allah, dan Allah menyukai perbedaan itu, sebab perbedaan itu
indah seperti pelangi. Russell mengajak semua pembaca tulisannya menerima
(orang asing) siapapun, bahkan menyukai (orang asing) siapapun mereka. Christine D. Pohl dalam Making
Room juga pernah menantang hal “perbedaan” pada perspektif “orang
asing,” dengan bertanya, “Aren’t we all stranger
at some level? If welcoming strangers is important, how do we reduce the
possible risks; how can we get beyond some of the strangeness? Was it easier to
offer hospitality in the past? Who needs welcome today?” (Pohl 1999, 15).
Siapapun orang asing itu di kemudian hari bisa menjadi tuan rumah. Dengan
hospitalitas, tampaknya semua bisa menjadi keduanya, dan keduanya menjadi
semua. Sehingga tidak ada lagi “orang asing” atau “orang lain,” Russel
mengangkat seraya menegaskan hal tersebut dari perspektif feminis bahwa, “a
feminist hermeneutic of hospitality can make it clear that in God’s sight no
one is‘other’” (Russell 2009, 43).
Perspektif perempuan dan feminisme juga masih kurang dalam Just
Hospitality, di tengah uraian Russell yang
tampaknya mayoritas membicarakan berbagai “difference” atau “perbedaan.” Salah
satu yang mungkin bisa ditambahkan misalnya, tentang Yesus dan perempuan
Siro-Fenisia. David Lose, presiden dari Lutheran Theological
Seminary di Philadelphia, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa
tindakan Yesus kepada perempuan Siro-Fenisia tanpa nama (Markus 7: 24-30),
sebagai bentuk hospitalitas: “Let's face it: Hospitality, for most of us, means
being patient and polite while we wait for newcomers to become more like us.
But can we understand hospitality as a willingness to be open to the distinct
gifts and perspectives of someone who is different? Can we even imagine that
hospitality is an openness to receiving people who are different from us as
gifts of God given to change and stretch us?” (Lose 2012). Orang asing yang
kita sambut dalam hospitalitas dengan keadilan itu adalah anugerah dari Allah
untuk mengubah dan membuka hati kita menjadi lebih luas.
Begitu juga sebaliknya, tidak melulu hospitalitas dengan
keadilan untuk perempuan, tetapi juga oleh perempuan, misalnya perspektif
perempuan yang membuka hati, sehingga dapat memberi pengertian baru kepada dan di
pihak laki-laki, juga berbagai pihak lain yang berbeda. Seperti dalam bukunya I
Was Stranger, Arthur Sutherland coba
menjelaskan hal tersebut melalui hospitalitas sosok Lydia dalam misi pelayanan
yang dilakukan Rasul Paulus:
Lydia's open
heart led Paul to a new understanding of place. By her persistent appeals,
Lydia goes beyond the accepted tradition that a woman should
only be host to those with whom she is familiar. Her reception of Paul opens her home to the public; a home that was
once hidden becomes visible. Prior
to her meeting Paul, Lydia’s home was hidden from society and from view in the
sense that her status as a
God-fearer, a migrant, and a member of despised trade contributed to her not
being seen. To enter into her
household was to enter a world of complete otherness and only someone who was willing to accept the
marginalization of Lydia’s existence could cross over. (Sutherland 2006, 49)
Namun cukup disayangkan, Russel juga masih malu-malu
menampilkan tema dan hal lain, yang tajam berbeda dan cukup peka. Misalnya
tema-tema seputar lesbian, gay, biseksual dan transgender dalam tulisannya di
buku ini. Mungkin sebaiknya Russell lebih berani dan jujur untuk mengkritisi
berbagai praktik yang unhospitable, baik di dalam gereja, juga dalam keluarga dan kehidupan
masyarakat. Christine Marie Smith, seorang pendeta, bisa menjadi contoh yang
lebih berani menyatakan “just” sebagai “justice” (keadilan) dalam hospitalitas
gereja. Dalam tulisan berjudul A Lesbian Perspective: Moving
toward a Promised Place, di bukunya Preaching
Justice, Smith membicarakan serta membagikan pengalamannya
berkhotbah tentang keadilan kepada mereka yang kerap tidak didengarkan
suaranya. Khususnya dalam mempraktikkan hospitalitas di perspektif LGBT:
Perhaps the
context to which I am most indebted is my own congregation, Spirit of the Lakes
United Church of Christ, in Minneapolis. It was
birthed in 1988 as achurch that would particularly serve and respond to the lesbian, gay, bisexual, and
transgender community. It is one of the few congregations
in the country within mainline Christianity where gay and lesbian people are
the majority of the congregation. In
this context I have been fortunate to have a supportive and challenging
place to discover some aspects of my lesbian preaching voice and to observe
many other
gay and lesbian preachers. (Smith 1998, 136)
Oleh karena itu Russell sebagai penulis, menurut saya, tidak
perlu malu-malu, apalagi sampai menghadirkan “penumpang gelap” dalam kendaraan
tulisannya. Contohnya tentang “Textual harassment” (Russell 2009, 89) yang
sudah pembaca sampaikan di uraian sebelumnya. Juga penekanan tentang gay dalam
tulisan Russell (Russell 2009, 65), begitu pula ketika Russel menuliskan
pertanyaan (seperti yang biasa dilakukannya di setiap akhir bab) di no.1 dari Questions
for Thought, akhir Bab 1 yang bunyinya, “1.
Where do you most often find yourself, based on your gender, race, class,
sexual orientation, age, and ability: in the center, at the margin, or moving
in between?” (Russell 2009, 22).
Sebab hospitalitas adalah untuk semua, sebab Allah menerima
semua, seperti Russell yang menegaskan pendapatnya bahwa, “God’s concern to
welcome all persons and seek unity through the practice hospitality” (Russel
2009, 65). Pohl punya pendapat yang senada yaitu, “Hospitality is good for
everyone” (Pohl 1999, 186). Selain itu, “kesamaan” mereka (Russell dan Pohl)
adalah tentang wujud hospitalitas dalam makan bersama di atas satu meja Allah.
Russel menulis, “Everyone is welcome here because they gather around the Table
of God’s hospitality” (Russell 2009, 16). Russel menantang para pembacanya melakukan
hospitalitas yang saling berbagi makanan di antara semua manusia, bahkan segala
ciptaan Allah. Dunia adalah meja yang lebih besar, sebagai tempat kesempurnaan hospitalitas
Allah dinyatakan. Begitu juga pendapat Pohl, yang menyatakan hospitalitas berwujud
makan malam bersama, adalah praktik saling memberi ruang di satu meja besar dan
yang terpenting saling menerima dan berbagi. “Shared meals are central to every
community of hospitality -central to sustaining the life of the community and
to expressing welcome to strangers” (Pohl 1999, 73).
Menambahkan daya tarik “sajian” hospitalitas yang
disampaikan Russel dan Pohl, saya (pembaca) menambahkan pendapat Shawna Songer
Gaines dan Timothy R. Gaines, yang juga tentang makan bersama di meja besar.
Dalam buku mereka yang berjudul A Seat at The Table, Gaines menambah makna baru untuk praktik hospitalitas
dengan keadilan, dengan bunyi ajakan mereka, “Set another place at the table”
(Gaines 2012, 161). Mengingatkan pembaca dan semua pihak untuk tidak lupa,
selalu bersiap sedia menyediakan tempat dan ruang di “meja hospitalitas”
keluarga, gereja, masyarakat dan bahkan di “meja hospitalitas” dunia.
Sekaligus saya tambahkan pendapat dari Rebecca Blair Young
dalam orasinya di Ibadah dan acara Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta (pada tahun 2011). Mungkin akan semakin menambah “kelezatan hidangan”
makna keramahan Allah, berdasarkan pendapat Russel, Pohl, dan Gaines, yang
semuanya mengajak mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan di satu meja
Allah. Demikian cuplikan orasi Young, “When we come and repose at the table
that the Lord offres us, at the same time we are putting into practice the best
ways to love, to pray and to eat. We come to the table that is overflowing with
God’s generosity to us, with all kinds of delicious food and drink for us to
enjoy and indulge in as we feast together” (Young 2011, 67). Lalu semakin
lengkap dengan catatan teologis Russell dalam bukunya yang lain, berjudul Church
in The Round: Feminist Interpretation of The Church, refleksi kehadiran Kristus yang “melayani bukan dilayani”
di satu meja besar kehidupan dunia, Russell menuliskan, “We move forward with whatever piece we have received in
expectation that Christ will be present among us as we crowd together around
the table with the one who comes to serve and not to be served (Mark 10:45)”
(Russell 1993, 45).
Karena itu tidaklah berlebihan, jika Russell dalam buku Just
Hospitality ini, bisa lebih banyak
menghubungkan konsepnya dengan usulan konkret dan contoh praktik yang dapat
diaplikasikan. Misalnya menghubungkan hospitalitas dengan karakter manusia yang
mempraktikkan hospitalitas. Dalam buku Practicing Hospitality karya Pat Ennis and Lisa Tatlock, mereka menguraikan setiap
huruf dalam kata H O S P I T A L I T Y, mengajak setiap pelaku hospitalitas
menjadi: “Humble, Obedient, Sincere, Prayerful, Integreted in Integrity, Trustworthy,
Adopted into God’s Family, Led by the Spirit, Instrumental in Producing
Righteousness, Thankful, dan Yielded” (Tatlock 2007, 20-43). Juga seperti Pohl
yang menampilkan komunitas-komunitas hospitalitas kontemporer dalam bukunya Making
Room. Hal ini penting, agar perspektif hospitalitas Allah yang
menerima semua, akan lebih cepat diketahui dan tepat “ditangkap” maknanya oleh
lebih banyak orang, dan segera nyata dilakukan.
Satu catatan terakhir yang sangat menarik, adalah Russell
juga menampilkan Justice sebagai
bentuk hospitalitas dalam ibadah, khususnya Ibadah Minggu. Dengan mengacu
beberapa pertanyaan di konteks Nabi Amos, ketika
nabi Allah itu menemukan ibadah Betel, di Israel utara,
yang mencerminkan ketidakadilan dalam masyarakat Israel saat itu, Russell menghadirkan pertanyaan-pertanyaannya:
To illustrate
the connection between justice and hospitality further, picture the Sunday
worship in your church. Are
the women singing in the choir and caring for those who need prayer? Are the
men preaching
and counting the offering? Who decides about the worship service or liturgy and
the language
used for God and men and women? Who is not there and not welcome in the
service? How many people of different
classes, races, or community groups attend worship? These are questions many
of us ask for our worship services as we seek to reflect God’s way of justice
and hospitality. And we begin to discover that
our worship usually reflects our community’s culturally assigned roles of gender, race, and class. These
are also the sort of question that the prophet Amos was asking long ago when he found that the worship at Bethel in
northern Israel reflected the injustices in the Israelite community, rather than God’s way of
justice and hospitality. (Russell 2009, 107)
Pendapat Red B. Craddock dalam bukunya yang berjudul Preaching, mungkin sangat berhubungan dengan pendapat Russell
tersebut. Craddock menjelaskan tentang posisi jemaat dalam ibadah (sebagai para
pendengar khotbah) dalam hubungannya dengan pelayaan ibadah (khususnya sang
pengkhotbah). Mereka disebut sebagai strangers, yang berbeda satu dengan lainnya, “to think of the
listeners as an audience is to regard them as an assembly of men, women, youth,
and children who will hear the sermon. It is to think of them as strangers, as
if an usher were to say to the minister, ‘The people have gathered and are
waiting, and I have never seen any of them before today” (Craddock 1985, 86).
Dengan berbagai perbedaan yang ada, jemaat adalah orang asing yang semua
disambut Allah, melalui pendeta atau pengkhotbah sebagai tuan rumah.
Sang pengkhotbah menyambut dan menerima semua jemaat yang
berbeda-beda itu dengan menyajikan khotbah (dalam kesatuan liturgi Ibadah
Minggu). Hal ini menjadi refleksi yang kuat tentang hospitalitas dengan
keadilan, dan menurut saya, juga bisa dilihat dan direfleksikan dengan
penggambaran sebaliknya. Sang pegkhotbah sebagai orang asing yang disambut dan
diterima, oleh jemaat sebagai tuan rumah. Sehingga sangat penting untuk tamu
dan orang asing saling terhubung dalam kasih hospitalitas Allah, di dalam
perayaan Ibadah Minggu, khususnya dalam sebuah penyajian khotbah.
If these
listeners can leave the service with no sense of having been put down ; if
their self-worth has been affirmed or
restored; if God’s love and grace are seen as realisties; if they are convinced
that repentance and trust
are acceptable to God ; if there is more awareness of other persons and more hunger for convenanted life; then even
strangers will likely say to the preacher, “You understand us quite well.” (Craddock 1985, 90)
Hospitalitas melalui penyajian khotbah yang baik, akan
membuat orang asing (jemaat) merasa “at home” (Craddock 1985, 90). Jadi
teringat dengan pendapat Pohl yang menegaskan bahwa, “Homes can be very modest,
with little space to spare and few amenities, but they can be the site for
wonderful hospitality. Making people feel welcome and “at home” is not the same
as entertainment” (Pohl 1999, 154). Khotbah dalam Ibadah Minggu bukanlah entertainment, tetapi salah satu wujud hospitalitas Allah untuk menjadi
berkat bagi semua jemaat, baik isi maupun cara penyajiannya.
Russell pernah mengingatkankan, “Hospitality is a gift of
God to us, one that we need to practice, so that we are more open to its
blessing” (Russell 2009. 117). Semakin dilatih dan dilakukan, maka ibadah dan
khotbah juga akan semakin mengekpresikan hospitalitas keadilan Allah, mengajak
jemaat pendengar khotbah untuk setiap hari membagikan berkat Allah, kepada
semua yang berbeda namun tidak terpisahkan. Sangat mencerahkan, Russell menulis
demikian, “We all have a long way to go to have our worship and our lives
express God’s just hospitality, .. we can still know deeply that there is no
separation between things spiritual and material, religious and political,
sacred and secular in our lives. God is in all of it, calling us to make
connections and work on mending our lives, churches, and world” (Russell 2009,
111). Hospitalitas yang membuat tidak ada lagi pemisahan, memastikan Allah ada
di dalam dan untuk semua, merangkul semua perbedaan dan menghubungkan semua.
Hospitalitas dengan keadilan / just hospitality.
Daftar Acuan
Craddock,
Fred B. 1985. Preaching.
Nashville: Abingdon Press.
Gaines,
Shawna Songer & Timothy R. Gaines. 2012. A Seat at The
Table: A Generation Reimagining Its Place in the Church. Kansas City: Beacon Hill Press.
Halverson,
Delia. 1999. The Gift of Hospitality: In Church - In the Home -
In All of Life. Missouri: Chalice Press.
Lakawa,
Septemmy Eucharistia. 2011. Risky Hospitality: Mission in the aftermath of religious
communal violence in Indonesia. Disertasi Th.D., Boston University School of Theology.
Lose,
David. Working
Preacher. September 02,
2012.http:/www.workingpreacher.org/craft.aspx? post=1625
(diakses 10 Oktober 2016).
Newman,
Elizabeth. 2007. Untamed Hospitality: Welcoming God and
Other Strangers. Michigan:
Brazos Press.
Pohl,
Christine D. 1999. Making Room: Recovering Hospitality as a
Christian Tradition.
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
Russell,
Letty M. 2009. Just Hospitality: God’s Welcome ia a
World of Difference. Louisville: Westminster John Knox Press.
Russell,
Letty M. 1993. Church in The Round: Feminist
Interpretation of The Church. Louisville:
Westminster John Knox Press.
Smith,
Christine Marie. 1998. Preaching Justice: Ethnic and Cultural
Perspectives. Oregon: Wipf and Stock Publishers.
Sutherland,
Arthur. 2006. I was a stranger: a Christian theology of
hospitality. Nashville: Abingdon Press.
Tatlock,
Lisa, dan Pat Ennis. 2007. Practicing Hospitality: The Joy of
Serving Others. Illinois: Crossway Books.
Yong,
Amos. 2008. Hospitality and the Other: Pentecost, Christian
Practices and the Neighbor. New York: Orbis Books.
Young,
Rebecca Blair. 2011. Love Pray Eat: God’s Love, Christian
Prayer, and The Lord’s Table.
Orasi Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: STT Jakarta.
Wrobleski,
Jessica. 2012. The Limits of Hospitality. Minnesota: Liturgical Press.
(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak tidak rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar