10 Mei 2016

Penyajian Khotbah

Lusindo Yosep Tobing 
Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta



Penyajian Khotbah 


Abstrak 

Kata “penyajian” pada judul makalah ini, sesungguhnya diambil dan diterjemahkan dari kata “performance.” Bertaut langsung dengan “penyajian khotbah” atau “preaching performance.” Yang sampai saat makalah ini dibuat, masih belum banyak pihak mau mengangkat topik: Penyajian Khotbah. Karena ungkapan performance, sadar atau tidak, kerap dipisahkan dari khotbah. Di dunia akademis saja (sekolah teologi ataupun sekolah-sekolah yang melahirkan pengkhotbah), khususnya di konteks Indonesia, masih sedikit yang membicarakan, apalagi melakukan studi mendalam tentang penyajian khotbah atau preaching perfomance. Tujuan penulisan ini adalah menelusuri serta menemukan makna pentingnya penyajian khotbah. Sebagai bagian yang tidak terlepas dari khotbah. Baik sejak di proses penyiapan, lalu penyusunan khotbah, hingga performance atau penyajian “mendaratkan” khotbah kepada jemaat, semua itu adalah satu keutuhan khotbah. Kata-kata kunci: Penyajian, Performance, Preaching, Sermon, Suara, Bahasa Tubuh, Jemaat, Khotbah, Pendeta dan Pengkhotbah.   


Pendahuluan   

Hingga kini, masih ada beberapa pendeta dan pengkhotbah yang memandang performance bukan sesuatu yang penting. Sebab yang penting bagi mereka hanyalah penyusunan khotbah yang dituangkan dalam bentuk tertulis saja. Bahkan masih ada yang memahami bahwa penyajian khotbah adalah terpisah dengan khotbah. Semisal masuk dalam bagian daftar isi satu buku preaching / khotbah, maka bab penyajian khotbah, biasanya hanya dapat porsi dan tempat sedikit saja. Padahal di kenyataannya, khotbah yang sudah disiapkan dengan baik secara tertulis tadi, harus delivery atau disampaikan-disajikan sang pengkhotbah juga dengan baik, kepada jemaat, kepada para pendengar khotbah. Jika penyajiannya tidak baik, maka khotbah jadi tidak baik. Ini bukti jelas bahwa penyajian khotbah itu sangat penting. Bahkan sesungguhnya performance tidak bisa kita tampik. Karena penyajian khotbah sesungguhnya bagian dari keutuhan Homiletika itu sendiri. Performance atau penyajian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari khotbah.   


Pemaknaan Teologis Penyajian Khotbah   

Penjelasan mendasar yang pernah disampaikan Jana Childers dalam bukunya Performing the Word (1998, 23) penting untuk kita perhatikan bahwa, “Teologi sesungguhnya mendesak homiletik untuk memperluas jangkauannya. 'Pergilah,' teologi mendorong kita, 'jelajahi negara ini. Orang-orang ini berbicara bahasa Anda. Apakah kamu tidak melihat Anda berhubungan dengan mereka?" Memang, itu benar. Kita semua berhubungan. Apalagi bahasa dari teologi adalah creation language (bahasa mencipta dan berkreativitas) yang kenyataannya tidak hanya milik teolog dan pengkhotbah atau jemaat saja. Tetapi juga milik hampir semua dimensi kehidupan manusia. Bahakan mungkin lebih sering digunakan dalam ruang kelas seni, beberapa penayangan film di gedung bioskop, daripada di dalam kehidupan jemaat dan gereja.   

Bahasa teologis adalah bahasa yang paling tepat untuk memahami penyajian khotbah sebagai proses kreatif. Karena kreativitas manusia adalah gema dari kreativitas Ilahi. Childers di buku Performing the Word tadi, bahkan mengangkat observasi yang pernah dilakukan oleh Dorothy Sayers pada subjek yang sudah sangat dikenal: Trinitas. Sayers (1998, 23) melihat resonansi antara peran dari pribadi Trinitas dan aspek-aspek kunci dari proses kreatif. Termasuk kreativitas dalam penyajian kohobath. Tapi minat Sayers dalam kesejajaran semacam ini sangatlah unik. Melibatkan banyak orang lain, dengan pikiran besar, seperti Paul Tillich dan Jurgen Moltmann di antara mereka, menegaskan adanya hubungan antara agenda teologis dan seni dan khotbah. Menunjukkan bahwa koneksitas antara teologi-khotbah-khususnya kreativitas penyajian khotbah tersebut adalah lebih dari sebuah kebetulan. Childers (1998, 26-27) menyimpulkan bahwa: Teologi adalah kekuatan besar yang membentuk preaching performance. Sehingga dapat menangani tema-tema besar, misalnya tentang hidup dan kematian, yang memberikan daya tarik khotbah. Menjadi seperti tarian antara khotbah dan teologi. Menjadi sumber daya dan kekuatan tampilnya kotbah yang hidup. Posisi sang artis (dalam hal ini adalah sang pengkhotbah) dalam tarian teologi dengan preaching performance (penyajian khotbah), terasa di ungkapan Childers yang demikian:   

Creation, Incarnation, Transformation, Ephiphany, Illumination, Annunciation, Inspiration, Creative Spark, Spirit, Communion. This is the language not only of theologians but of artists. Theological language is the language of creativity. It provides vocabulary and categories for the expression of our experiences with the creative process. Such language suggests that preaching is part of a vast, generative world. (Childers 1998, 22)      


Pentingnya Penyajian Khotbah   

Childers (1998, 47-48) juga berpendapat bahwa, “Performance itu melibatkan presentasi diri kita, melibatkan keberadaan dan pengalaman orang lain. Kita dapat menyajikan khotbah dengan kata serta ungkapan kita sendiri atau orang lain. Dalam performance, diri kita adalah sebuah instrumen bersama dengan hal-hal lainnya yang dapat membawa dorongan dalam hati untuk keluar. Menjadi dorongan untuk berkomunikasi, untuk menyelesaikan tugas, atau untuk menjalankan proses keterlibatan tadi. Ketika kita mewujudkan atau menginkarnasi dorongan kekuatan dari dalam hati kita tersebut, kita performing.”   

Sehingga Ruthanna B. Hooke di bukunya Transforming Preaching menekankan pentingnya posisi dan keberadaan seorang pengkhotbah sebagai performer itu:   

A sermon is the moment in the worship service when the preacher takes the word of Scripture and the elements of the liturgy and seeks not only to explain them, but to make them relevant to the world today. In the sermon the preacher shows why we should care about the Bible verses that have been read and the traditional words and actions of the liturgy. Why does all of this matter to us today? The preacher’s task is to bridge a gap between the texts and tradition of the church, and the world that we lives in now, and to show why the Christian faith is the best way to make sense of this world and to give meaning to our lives. (Hooke 2010, 5)   

Beberapa pertanyaan dan analogi dari Red B. Craddock dalam bukunya berjudul Preaching, mengingatkan betapa pentingnya, untuk kita memberi perhatian terhadap (bahkan studi tentang) performance dan deliveri dalam khotbah (1985, 211), “Apa yang akan menjadi pengalaman pendengar khotbah? Atau lebih tepatnya, apa yang akan menjadi pengalaman pendengar khotbah atas apa yang disampaikan oleh pengkhotbah ini pada kesempatan ini? Mengantisipasi selama beberapa menit. Pikirkan dan berusahalah menjawab dengan bantuan analogi alat musik: Apakah ini sebuah biola, drum, terompet, suling, atau organ pipa? Atau menggunakan analogi gerak: Apakah ini berjalan-jalan, ras, jalan cepat, parade, pawai, atau menari? Atau gunakan analogi cahaya: Apakah ini sebuah lilin, cahaya, neon, lampu baca, matahari terbit, atau tengah hari? Minggu pagi (saat kita akan berkhotbah) segera mendekat dan sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap pengalaman hidup pendengar khotbah kita, perlu lebih diperhatikan. "   

Paul Scott Wilson dalam buku Performance in Preaching (2008, 38) sangat mengingatkan orang-orang di luar studi preaching performance (penyajian khotbah). Karena kata performance sering digambarkan sesuatu yang negatif dalam khotbah, seperti apakah maunya berfokus terutama hanya pada pendeta atau pada teatrikal, atau hiburan, atau pada hal-hal lain yang dapat mengalihkan perhatian dari Firman. Karena sifat hakiki dari Firman itu sendiri adalah eventful and performative. Juga tentang pentingnya penyajian khotbah atau preaching performance ini, Childers dengan lugas menyatakan (1998, 54), “Akhirnya, kita bisa membayangkan ekspresi jujur seorang penyaji khotbah (pendeta/pengkhotbah) berdasarkan teks (Alkitab) yang telah menyajikan kehidupan dan kekuatan, akan membuka dan membuatnya dapat diakses oleh semua pendengar khotbah itu. Performance!”   


Studi Penyajian Khotbah: Kelas, Praktek dan Latihan Lagi!   

Penyaji khotbah haruslah benar-benar memperhatikan, dan mempelajari konteks jemaat dan lingkungan pendengar khotbahnya. James R. Nieman di bagian akhir bukunya Knowing the Context, mengingatkan (2008, 83) bahwa, "Yang terutama, pengkhotbah harus memulai dari kenyataan dan keberadaan (jemaat) lokal, menuju cakrawala yang lebih luas. Hal yang sangat wajar untuk mempertanyakan tentang fokus sosial yang lebih luas dari khotbah kontekstual.” Lalu jika demikian, berapa lama waktu dibutuhkan untuk mempersiapkan sebuah khotbah? Termasuk dengan penyajian khotbah? Jana Childers dalam buku Birthing the Sermon-Women Preachers on the Creative Process, dimana ia juga menjadi editornya, menulis dengan kritis demikian:   

Sometimes I think it might have better if nobody had ever told me how long preparing a sermon is supposed to take. But twenty-some years ago somebody did tell me about the, “one hour in study for every minute in the pulpit” rule. I am sorry to say that not only did it prove true in my experience, but every year now I hand it on as advice to my students. I hope I am not doing them a disservice. It does take me along time to bring a sermon into this world. So far it has seemed better to be honest about that. (Childers, ed. 2001, 35)   


Jadi sesungguhnya preaching perfomance atau penyajian khotbah sangat membutuhkan kelas, praktek dan latihan terus-menerus. Belajar dan terus belajar, latihan dan latihan lagi! Ruthanna B. Hooke (2010, 110-111) dalam bukunya Transforming Preaching menegaskan pentingnya latihan mempersiapakan dan melakukan penyajian khotbah. Karena setiap praktek penyajian khotbah kita menjadi latihan demi latihan perfomance, mengundang kita untuk mengeksplorasi hubungan, antara dan hal-hal lainnya, melalui tubuh kita. Dengan demikian, menyajikan khotbah berdasarkan Teks Alkitab adalah cara alami, hubungan anatara pengkhotbah dengan teks melalui tubuh dan pengetahuan kita, dan membawakan teks dan pengkhotbah bersamaan, sehingga Alkitab terus berlanjut karena itulah praktek penyajian khotbah membutuhkan pemain untuk melakukan proses ketat ekesegese, menafsirkan, serta mewujudkan teks, dan dengan berbuat, “latihan demi latihan” memberlakukan nyata di kehidupan sehari-hari, membawa hidup si penyaji khotbah (pendeta atau sang pengkhotbah) dalam hubungan dengan teks.   

Suara dan Gerak/Bahasa Tubuh   

Suara (voice) dan tubuh/bahasa tubuh (body) sang pengkhotbah, sepertinya hampir tidak bisa dipisahkan khususnya dalam sebuah penyajian khotbah. Namun menurut Childers tidak ada yang lebih penting dalam perfomance khotbah selain suara.   

Nothing is more important in sermon performance than the voice -not the face, not the arms, not the hands. As important as gestures and facial expressions are, the role they play in the preaching moment is a supprting one. While it is true that in most public speaking settings, nonverbal communication -the communication achieved by the face, body, and vocal tone- is stronger than the sheer force of the words themselves, in much preaching the power of voice is stronger still. It is the preacher’s voice, comprised of thought, emotion, instinctive, impulse, sensory response, and vocal/physical action, that sets the stage for the sermon. (Childers 1998, 57)   

Juga pendapat oleh Hooke (2010, 98) yang menegaskan jika khotbah akan menjadi peristiwa anincarnational, atau Firman Allah yang menjadi daging dan tinggal di antara kita, maka hal tersebut membutuhkan pengkhotbah dengan kemauan dan kemampuan untuk membawa semua dirinya saat menyajikan khotbah. Dan menghadirkan Firman Allah itu dalam dan melalui tubuh, pikiran, jiwa dan suara. Metode tertentu seperti pelatihan fisik dan vokal dapat mengajarkan kita bagaimana menjadi lebih lengkap hadir dalam penyajian khotbah kita, melibatkan tubuh serta pikiran dan semangat dalam karya pewartaan kabar baik. Juga oleh Tan Jin Huat (2000, 274) dalam buku tulisannya Preacher, Prepare Yourself! Bahwa penyajian khotbah yang efektif seharusnya melibatkan integrasi yang tepat dari sejumlah faktor, menghasilkan khotbah yang baik. Ini termasuk penggunaan suara kita, ekspresi wajah kita, tatapan mata kita, gerak tubuh dari tangan, kaki, kepala kita dan cara postur tubuh. Juga dibutuhkan keterampilan untuk menggunakan dan menggabungkan mereka secara efektif.   

Ditambahkan oleh Childers (1998, 61) menggambarkan pentingnya proses memproduksi suara dalam penyajian khotbah,pertama-tama adalah fungsi dukungan napas. Seperti seorang penari terus mempelajari ulang kemampuan dasar seperti berdiri dan berjalan, sehingga pengkhotbah harus mempelajari kembali apa yang paling mendasar dari semua kebiasaan manusia - yakni bernapas. Ketika kebiasaan bernapas digunakan secara otomatis dalam kehidupan sehari-hari, yang cukup banyak untuk tugas komunikasi. Suara yang berasal dari proses bernapas biasa di sehari-hari, tidaklah mencukupi untuk durasi penyajian khotbah. Selain itu, bagi pembicara di depan umum (termasuk khususnya seorang penyaji khotbah) harus terus berlatih untuk memperbesar kemampuan voice dan vocal dalam penyajian khotbah. Serta terus memperkecil kebiasaan buruk yang relatif berbahaya dalam penyajian khotbah. Sebab sebuah kesalahan produksi suara dan vokal akan cenderung semakin besar, misalnya saja ketika suara diproduksi keras, monoton keras dan berkelanjutan lebih panjang bahkan terus keras hingga akhir penyajian. Maka tidak hanya mengakibatkan kerusakan mekanisme vokal serta suara, tetapi juga akan mengagalkan penyampain pesan Firman Allah kepada para pendengar khotbah kita.   

Mengenai penggunaan tubuh, Cox juga memberi catatan (1985, 248) bahwa suara dan bahasa tubuh adalah aset pengkhotbah yang paling penting untuk memberitakan Injil. Suara dan tubuh (dan bahasa tubuh) mencerminkan karakter, itu bisa meningkatkan atau mengurangi reputasi. Suara bisa mengalihkan perhatian dan menghilangkan konsentrasi. Juga keanehan vokal, kekerasan, atau volume tidak cukup dapat menyebabkan pesan jadi hilang sebab tidak tertangkap dengan jelas. Cox juga menjelaskan (1985, 253), tidak hanya suara, tetapi juga seluruh tubuh dapat mengkomunikasikan kebenaran Firman Allah. Bahasa tubuh mengungkapkan jiwa. Sebenarnya, seluruh tubuh dalam tindakan dapat meningkatkan sekali efektivitas penyajian khotbah melalui dan bersama voice (suara) pengkhotbah. Juga seorang Ruthanna B. Hooke (2010, 103) yang pernah mengangkat tema seputar “engaging the body in preaching” dalam bukunya Transforming Preaching mengingatkan, “ Membawa tubuh kita dalam keterlibatan penuh dengan momen penyajian khotbah, adalah lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Kadang-kadang kita mendengar pengkhotbah dan merasa bahwa pikiran dan roh mereka berkomunikasi dengan kita, tetapi tubuh mereka sedang tidur atau sedang “mati”. Atau kita mungkin merasa bahwa kata-kata pendeta memang menyampaikan pesan (Firman Allah), tetapi tubuhnya mengatakan sesuatu yang sangat berbeda.”   

Oleh karena itu, lanjut Hooke (2010, 103), ia kerap merekam dengan video para muridnya di kelas khotbahnya. Ketika mereka melihat rekaman tersebut dengan volume suara dimatikan, murid-muridnya dapat melihat bahwa tubuh mereka mengkomunikasikan sesuatu yang lain daripada apa yang dikatakan oleh Firman yang mereka sampaikan. Sehingga benar pendapat juga ajakan Childers, untuk kita lebih melibatkan suara dan gerak tubuh dalam penyajian/performance khotbah:   

In the performance of Scripture, the preacher gives his or her body and voice to the text for the purpose of bringing it to life in a particular context. All the preacher’s physical, mental, and spiritual skills are brought to bear in the task of interpreting and embodying the text. When all goes well, a bodily entelechy is achieved which, as it is blessed by Holy Spirit, may allow those who have ears to hear. When all goes ideally, the preacher and congregation are caught up in a creative process that has the power to transform both sides of the chancel. (Childers 1998, 52)   

Agar penggunaan gerak/bahasa tubuh tetap baik dalam penyajian khotbah, ditambahkan Childers (1998, 73), bahwa selain latihan relaksasi yang terkait dengan pernapasan, pengkhotbah juga harus memberikan waktu dan perhatian untuk latihan meningkatkan otot dan fleksibilitas. Sementara pelatihan dasar meningkatkan pernapasan diafragma dapat dipelajari dalam beberapa bulan dan hanya membutuhkan latihan sesekali setelah periode awal penyesuaian, tidak ada akhir untuk peregangan otot. Setiap pengkhotbah harus melakukan latihan peregangan sederhana, baik peregangan otot kaki, pinggang, dada, bahu, kepala, tangan, jari-jari, leher, mata, mulut dan seluruh tubuh, setiap hari. Yang coba disimpulkan oleh Todd Farley (2008, 138) dalam buku Performing in Preaching bahwa tubuh adalah juga alat komunikatif dalam penyajian khotbah. Dimanapun penonton hadir, pembicara harus selalu menyadari apa yang tubuh komunikasikan sejalan kata-kata yang dikhotbahkan. Banyak pengkhotbah telah melatih suara mereka dalam persiapan untuk berkhotbah dan belajar memilih kata-kata mereka dengan terampil. Tetapi belum menyadari bahwa tubuh mereka sering mendustakan apa yang mereka katakan lewat khotbah mereka. Setiap penyaji Firman (pengkhotbah) harus menyadari tentang memasukan “tinta ke dalam darah,” melibatkan gerak dan bahasa tubuh dalam gerak penyajiam khotbahnya.   


Menggunakan Notes atau Tidak   

Salah satu pertanyaan awal yang sering ditanyakan tentang performance khotbah,”Manakah yang lebih baik, berkhotbah dengan menggunakan catatan, atau tanpa catatan?” Untuk menjawab ini, mungkin pendapat James W. Cox dalam bukunya Preaching-A Comprehensive Approach to the Design and Delivery of Sermons, dapat kita perhatikan:   

Preaching without notes has strong support. To begin with, this is the kind of preaching that the people who listen like best. It suggests to them a direct conversation-that the speaker is talking out of a heart-to-heart feeling. And it is true that there is a kind of electricity that flows between speaker and hearer. They are thinking together, looking each other in the eye, so that the speaker can read from the hearer’s face agreement, disagreement, question, and excitement. This is a powerful stimulus to further creativity. (Cox 1985, 240-241)   

Selain Cox, Craddock juga menjabarkan Pre-delivery, yakni bagaimana kita harus memperhatikan tentang tempat juga kondisi lokasi saat menyampaikan khotbah, liturgi yang di dalamnya ada khotbah bersama unsur lain untuk selalu dimaknai secara utuh, juga tentu materi khotbah, bahkan keadaan si pengkhotbah sendiri (baik mentalnya, emosinya, serta kondisi psikologisnya). Juga berlanjut kepada The delivery itself yang menurut Craddock (1985, 214) seharusnya diperhatikan, baik penyampaian khotbah dengan naskah, catatan atau tidak sama sekali. Beberapa diantaranya, seperti: Bila menggunakan notes atau catatan, sebaiknya sudah dalam bentuk oral atau penyampaian berbicara.   

Dan jangan pernah menggunakan semua buah hasil penelitian dan persiapan kita “dipaksa masuk” ke dalam satu khotbah. Baik menggunakan notes ataupun tidak menggunakan naskah maupun catatan. Hal ini akan sangat memfasilitasi untuk meredakan beberapa gangguan tentang poin-poin khotbah, tema, juga keadaan lokasi dan dalam hubungan komunikasi antara pembicara-pendengar. Memang secara peringkat populer, menurut Craddock (1985, 214-215) , penggunaan naskah untuk berkhotbah berada di bagian terbawah dan berkhotbah tanpa catatan berada di bagian teratas. Namun bagi Craddock ketimbang pengkhotbah hanya berpikir tentang mana preaching performance yang lebih baik atau mana yang lebih buruk, lebih indah jika seorang pengkhotbah merancang dan menentukan sendiri metode penyajian khotbah yang paling efektif (di konteks dan waktu tertentu) untuk membebaskan dirinya dan para pendengar khotbah.   


Variasi-Improvisasi-Inovasi   

Penyajian khotbah adalah kreasi yang kreatif. Kita ingat Tisdale misalnya (1989, 122), yakin menegaskan bahwa khotbah tidak hanya sebagai konstruksi teologis, tetapi juga sebagai karya seni. Penuh dengan variasi dan improvisasi. Sehingga kita bisa mengerti pentingnya penggunaan variasi dan improvisasi dalam khotbah. Demikian juga bagi Hooke (2010,115), improvisasi akan sangat membantu pengkhotbah belajar meningkatkan kemampuannya menjadi otentik dan otoritatif. Kata "improvisasi" seperti kata "performance," bisa saja memiliki konotasi negatif. Dan menggunakan improvisasi dalam menyajikan pengkhotbah, bukan berarti, kita tidak lagi mempersiapkan khotbah. Melainkan memilih untuk tetap berdiri, mempersiapkan penyajian khotbah dengan sebaik-baiknya dan memberitakan apapun yang Roh Allah beritahu untuk kita khotbahkan. Ada inovasi namun tetap memberitakan passion dari Allah, berdasarkan Firman diwartakan melalui persiapan matang penyajian khotbah, yang melibatkan improvisasi serta variasi dan menjadi passion sang pengkhotbah.   Juga ditambah pendapat Craddock (1985, 215) yang mengingatkan untuk jangan perfomance menggunakan metode yang itu-itu saja. Adalah bijaksana untuk tidak terjebak ke dalam penggunaan berulang-ulang metode yang sama untuk setiap penyajian khotbah. Variasi, dalam penggunaan baik dengan naskah, catatan atau tidak, terbukti mendapatkan dan mempertahankan perhatian jemaat sebagai pendengar khotbah kita. Bersamaan dengan kesiapan kita untuk menyajikan khotbah. Yakni ditunjukkan dengan kepastian tema dan tujuan dari preaching performance kita. Childers (1998, 95) memberi catatan tambahan untuk ini, bahwa pengkhotbah yang baik akan tampak dalam teknik bagaimanapun dan berbagai cara penyajian khotbahnya. Termasuk inovasi yang baru bagi jemaat pendengar khotbah. Namun tetap berdasarkan kekuatan menguasai teks Alkitab yang ditafsirkan dengan respek, tetap menghormatinya sebagai Firman Allah. Gerakan, suara dalam rangka variasi dan improvisasi yang harus jelas dari seorang performer, harus serius namun santai. Sebab bagi Craddock (1985, 218-219), pendengar menginginkan ada rasa bahwa pesan yang disampaikan itu penting bagi mereka, juga bagi pengkhotbah. Tetapi tanpa kesan mimbar yang terlampau serius, apalagi terkesan menghakimi.

Yang terpenting adalah keyakinan pengkhotbah bahwa pesan yang disajikan dapat membawa perbedaan yang baik. Dan suasana serta keyakinan itu “ditangkap” dan dirasakan jemaat salah satunya melalui variasi serta improvisasi bahkan inovasi dalam penyajian khotbah.   


Etika Penyajian Khotbah: Siapa yang Mendengar?   

Oleh Arthur Van Seters, kita diajak dalam bukunya Preaching and Ethics agar siapapun yang akan menjadi pengkhotbah atau penyaji khotbah, harus lebih dulu “berdiri di hadapan-Nya,” ia sependapat dengan Craddock yang menekankan pentingnya persiapan khotbah. Karena secara etis, sebuah persiapan performance mutlak diperlukan. Termasuk khususnya proses spiritualitas pengkhotbah menuju penyampaian khotbahnya. Seters (2004,120) mengutip satu ungkapan Craddock yang berbunyi demikian, “proceeding from silence, heard in a whisper, shouted from the housetop.” Salib adalah pusat dari khotbah Kristen, karena Allah merangkul umat manusia dalam ruang cipta-Nya, bahkan dengan tindakan. Inilah salah satu dasar pentingnya penyajian khotbah atau preaching performance kita, bahwa Kristus adalah Allah yang performance, menyajikan-memberi diri-Nya, yang selamanya berproses mengubah etika kehidupan, dari dalam hati manusia.   

Ada catatan menarik dari John c. Holbert dan Alyce M. Mckenzie menegaskan bahwa etika pengkhotbah sangatlah bertautan erat dengan spiritualitas sang pengkhotbah. Dalam buku mereka yang berjudul What Not to Say, Avoiding the Common Mistakes That Can Sink Your Sermon, salah satu contoh penekanan etika seorang pengkhotbah adalah: Jangan pernah menjadi “The Underestimator,” memandang rendah orang lain atau apalagi meremehkan orang-orang yang mendengarkan khotbah kita. Khususnya tentang keadaan dan keunikan jemaat pendengar khotbah kita.   

The ability to respect the mystery of people’s uniqueness, both as a group and as individuals, is a gift from God to a preacher. It can come through in phrase: “ I’m guest preacher; I don’t presume to know all about you and yoursufferings,” or “I’m going to speak for myself now, and if you recognize yourself in this, then come on in and join me.” You’ll come up with better phrases, but signal from time to time that you’re not understimating the differences betwen you and them and that you recognize and respect their uniqueness. (Holbert & Mackenzie 2011, 54)   


Penyajian Yang Tidak Bohong   

Melanjutkan tentang etika sang penyaji khotbah, dalam buku Hooke (2004, 92-95) juga sangat ditekankan pentingnya pengkhotbah untuk tidak berbohong. Sang pengkhotbah haruslah mengatakan hanya apa yang dia tahu dan yakini benar serta menghindari berpura-pura. Benar-benar tulus menyampaikan Firman (khotbah) dengan melibatkan seluruh bagian tubuhnya termasuk khususnya hati, pikiran dan jiwa. Yang berproses menjadi bagian penting mengelola hubungan yang mendalam dengan Allah dan upaya mengubah manusia yang mendengar khotbah kita. Hooke juga meneruskan penegasannya (2010, 111) bahwa: Para pengkhotbah sebaiknya melakukan hal tersebut, tetapi performers haruslah melakukannya. Mereka tidak boleh tampil menyampaikan khotbah tanpa melakukan itu semua. Dan inilah mengapa pengalaman performance akan memperdalam cara berkhotbah. Yang diungkapkan Childers akan menjadi proses lahirnya kesatuan, sebagai khotbah yang jujur dan utuh.   

An actor joins the script, a preacher joins the text, and a third thing is born of the union. The third thing has still absolutely the essential properties of its parents. The actor’s arms, the preacher’s face, they are still the actor’s arms and the preacher’s face. But they are enmeshed now in the something-happening of the play or the sermon. “The dancer is the dance,” as they say. (Childers 1998, 53)   

Yang dalam buku berjudul Hearing the Sermon: Relationship/Content/Feeling. Karya Ronald J. Allen. Di pengantar bukunya, mencoba membagi untuk bagian dan tema utama yang dibangun, atas dasar pemahaman Aristoteles, yaitu : Ethos (tentang pengkhotbah), berkaitan dengan persepsi jemaat tentang karakter pengkotbah dan hubungan mereka dengan pengkotbah Logos (tentang Ide), berkaitan dengan persepsi jemaat tentang ide kotbah dan bagaimana pengkotbah mengembangkan ide tersebut Pathos (tentang perasaan), fokus pada persepsi jemaat tentang perasaan mereka yang tertuang dalam kotbah. Dan ditambah dengan; Embodiment (tentang penyampaian), fokus pada persepsi jemaat tentang deliver atau cara penyampaian sebuah khotbah.   Keempat pemahaman ini diibaratkan seperti sound system, diatur penekannya dalam sebuah khotbah. Dan setiap pendengar juga dapat menerima penekanan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Pemahaman ini juga didasari dengan survey yang dilakukan oleh Allen. Dan adalah baik untuk dicermati, bahwa empat hal pemahaman tersebut diibaratkan sound system, diatur tiap hal penekannya dalam sebuah khotbah. Dan setiap pendengar khotbah menerima penekanan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Sedangkan untuk si pengkhotbah, Allen juga menganjurkan untuk secara berkelanjutan, membuat “diagnostic table” sebagai acuan persiapan dan juga evaluasi khotbah kita:   Pastoral listening may lead a minister to conclude that a particular congregational setting needs particular amphasis in preaching. Consequently, a preacher might develop a sermon or a series of sermons with that setting in mind. For example, a pastor may conclude that a congregation needs to understand the theological rationale for a particular church practice. (Allen 2004, 112)   

Juga seorang Clayton J. Schmit (2008, 181) dalam buku Performance in Preaching menyatakan bahwa, “Kesuksesan seorang pengkhotbah dipelajari melalui pelatihan pikiran, tubuh, dan suara. Juga dengan perhatian terhadap penggunaan lingkungan tempat pemberitaan, termasuk mimbar, microphone, bahan mimbar, ruang mimbar, dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan ini diasah melalui periode pelatihan dan praktek, serta melalui praktek setiap khotbah. Kadang-kadang, kebiasaan khotbah yang baik dapat diperoleh dengan mengamati karya orang lain dan berbagai masukan yang mungkin menginformasikan serta memperkuat penyajian khotbah kita.” Allen (bersama penulis lainnya: Barbara Shires Blaisdell dan Scott Black Johnston di buku yang lain, berjudul Theology for Preaching (1997, 175), mengingatkan bahwa sebagai pengkhotbah, kita jangan lagi hanya mempertanyakan “how do humans listen?” tetapi yang jauh lebih penting, “who listens?” Kita harus lebih mau dan mampu menyelami kedalaman lautan kebutuhan dan keadaan nyata yang sedang ada dan dialami oleh jemaat dan pendengar khotbah kita.   


Media, Musik dan Alat Dalam Penyajian Khotbah   

Penyajian khotbah adalah juga performance dengan menggunakan media, musik dan alat atau pendukung lainnya. Dalam bukunya Envisioning The Word, Richard A. Jensen pernah memaparkan tiga era komunikasi umat manusia, yang terdiri dari: 1. Oral-aural Culture; 2. Literate Culture; dan 3. Postliterate Culture. Dimana setiap era memiliki kebutuhan dan harapannya sendiri. Jensen juga menampilkan sosok dan tokoh-tokoh lainnya -salah satunya- khususnya Marthin Luther, yang menggambarkan penggunaan gambar visual sebagai "Firman yang dilukis."   

Hal ini menjelaskan keadaan pada tahun-tahun awal kekristenan, ketika banyak sekali faktor menghambat ekspresi artistik. Namun, artistik gambar dan media dengan berbagai bentuknya, menjadi sarana penyajian khotbah yang terus dikembangkan. Termasuk tentang media puisi dan lukisan. Pengaruh yang kuat datang dari dualisme filosofis, yang saat itu lebih menghargai puisi daripada lukisan. Sampai kemudian terus berkembang pada kesadaran dan pengkauan akan penggunaan visual dan media dalam pereaching performance mengikuti perkembangan jaman yang terus maju. Begitu juga dengan Jensen yang melakukan penelitian dan dituangkan melalui tulisannya, dengan harapan, memberikan pemikiran cerdas tentang penggunaan gambar visual dalam berkhotbah. Dari pengalamannya, Jensen akhirnya berpendapat tidak ada yang bertentangan tentang penggunaan gambar dan berbagai media dalam penyajian khotbah.   

Begitu juga dengan musik. Salah satu yang cerdas misalnya menyajikan khotbah dengan penggunaan dan refleksi dari musik jazz, Schmit (2008, 182) berpendapat bahwa dengan jazz maka apa yang tak terelakkan adalah bahwa: yang konvensional juga menjadi bagian dari gaya penyajian khotbah. Musisi jazz berkomitmen untuk keyakinan "selalu ada satu juta satu cara" untuk bermain melodi (demikian pula dalam penyajian khotbah). Konvensi jazz menunjukkan variasi jatuh dalam kisaran konvensional. Untuk mendorong melampaui harapan mereka -memainkan melodi terbalik, misalnya, atau untuk menyelinap di luar kemapanan totalitas- akan mendorong melodi di luar pengakuan yang sudah ada.” Hal seperti ini menjadi pantulan bagi kita, tentang penggunaan musik (aliran dan jenis apapun) dalam penyajian khotbah. Juga refleksi tentang preaching performance itu sendiri. Menemukan bentuk penyajian khotbah, seperti ketika mempertimbangkan keniscayaan musik. Ada kualitas-kualitas yang memang yang harus diantisipasi baik oleh musisi dan pendengar musik juga khotbah. Demikian pula dengan pengkhotbah dan bersama pendengar khotbah. Cita rasa dan harapan dalam musik juga berlaku untuk penyajian khotbah, termasuk antisipasi pengambilan signifikansi teologis, sudah tampak dalam cara khotbah disiapkan, disusun rapih dan layak performed. Khotbah disajikan sebaik-baiknya.   

Dan Troeger juga sependapat, tidak hanya menggunakan satu atau dua media dalam penyajian khotbah. Juga memungkinkan penggunaan lebih banyak media atau multimedia. Troeger menambahkan penjelasan kritis yang mengingatkan di akhir bukunya Ten Strategies for Preaching in a Multi Media Culture. Agar setiap pendeta dan penyaji khotbah (pengkhotbah) selalu berupaya mengembangkan strategi preaching performance dalam budaya multimedia yang terus berkembang. Dan hal ini adalah tugas teologis yang besar. Pengkhotbah terus bersedia bertransformasi, berproses menggunakan multi media, untuk lebih dipakai Allah mentransformasi hati. Seraya terus menangkap imajinasi manusia dalam kerangka dan bagi tujuan: Proses penyelamatan Allah bagi dunia.   Developing strategies for preaching in a multimedia culture represents, a great theological task. No one else can tell you exactly how to do this. Then ten strategies in this book will be most fruitful when they set you off to work on your own.To preach this vision to our multimedia culture is to transform the landscape of the heart and to capture the human imagination for the purposes of God. (Troeger 1996, 120-121)      


Mengetahui Kapan Memulai dan Mengakhiri   

Sangat penting untuk mengetahui persis kapan memulai dan mengakhiri khotbah. Secara menyeluruh tahu persis, bagaimana performance khotbah akan berawal dan berakhir. Ini memberikan kepercayaan diri penyaji khotbah / pendeta di seluruh khotbahnya. Serta jangan lupa, ungkapan Craddock (1985, 220), “during delivery has to do with eye contact.” Ya, melakukan dan menjaga kontak mata kita sebagai pengkhotbah dengan jemaat pendengar. Dari awal, isi pesan kuat, tujuan jelas dalam dimensi Firman Allah. Dengan itu semua, maka bagi Craddock, khotbah memiliki integritasnya. Dan nantinya, hingga memiliki “ending” yang harus tepat. Kemudian, setelah diam, saat teduh dengan musik organ, ada transfer pesan untuk ibadah berlanjut. Tetapi juga dilanjutkan dalam perwujudan Firman dalam performance kehidupan para pendengar khotbah (jemaat) nyata sehari-hari. Istilah yang digunakan Craddock (1985, 220-221) untuk ini semua adalah reexperiencing. Penyajian khotbah yang disiapkan dengan baik, tersampaikan dengan konsisten efektif, lalu berdiam di hati dan pikiran pendengar khotbah (jemaat), untuk masih berlanjut ke perbuatan sehari-hari jemaat, sebagai reexperiencing pesan Firman Allah di tiap hari, seperti yang telah disajikan pengkhotbah.   

Dan ketika pengkhotbah harus mengakhiri penyajian khotbahnya. John C. Holbert dan Alyce M. McKenzie dalam buku berjudul What Not to Say memberikan analogi sangat cerdas (2011, 103), "Dua analogi datang ke pikiran saya ketika berpikir tentang mengakhiri khotbah. Yang pertama adalah pecahnya hubungan romantis. Kedua adalah meninggalkan pesta. Dalam kedua kasus, tidak selalu sulit untuk mengakhiri beberapa hal, tetapi sering sulit untuk mengakhiri hal-hal baik.” Karena itulah pengkhotbah sebaiknya terus berlatih tentang kapan memulai atau kapan mengakhiri penyajian khotbah. Agar akhir penyajian khotbah semakin tepat. Tepat waktu dan tepat sasaran, “mendaratkan” isi Firman Tuhan. Kepada telinga, hati dan pikiran jemaat pendengar khotbah.   


Catatan Kritis dan Refleksi   

Penyajian khotbah adalah bagian dari khotbah. Preahing perfomance adalah bagian penting, tidak boleh dilepas dan tidak bisa terlepas dari khotbah. Teks Alkitab harus dibacakan dan diwartakan. Konsep khotbah yang tertulis harus berlanjut: disuarakan, ditampilkan, dilakukan, dikhotbahkan dan disampaikan. “The sermon must move, must be driven the way the text is.” Demikian ungkap Childers (1998, 41). Yang juga dilanjutkannya (1998, 50), “It is not claimed here that everything that needs to be known about a text can be known by way of performance.” Dan performance atau penyajian khotbah itu adalah sebuah proses kreatif. Agar aspek-aspek penting, makna dan konteks teks, dapat diketahui dan diterima jemaat melalui pengkhotbah yang “berbicara kata-kata dari teks” bukan hanya dengan suara keras. Tetapi juga seperti Troeger dengan ungkapannya: Menggunakan “strategi-strategi khotbah,” beserta segala potensi yang Tuhan sudah berikan ke setiap pendeta/pengkhotbah, sesuai takarannya, digunakan secara kreatif dalam preaching performance. Utuh dalam penyajian khotbah dari Allah melalui dirinya dan mendarat ke telinga, mata, (serta hampir ke semua panca indera), juga pikiran dan khususnya hati jemaat pendengar khotbah.   

Baik melalui suara (voice), bahasa tubuh (body), hingga dengan menggunakan alat dan media lainnya. Seorang pengkhotbah tidak boleh tampil menyajikan khotbah tanpa mengerti pentingnya penggunaan berbagai hal yang sudah sediakan-Nya. Baik di dalam diri, maupun dari luar diri si pengkhotbah. Dan inilah mengapa pengalaman performance akan semakin memperdalam isi dan cara berkhotbah, sehingga “si pelukis tampak di lukisan itu sendiri, si penari menjadi tarian itu sendiri.” Si pengkhotbah menjadi khotbah itu sendiri. Yang bagi Childers, preaching performance/penyajian khotbah akan menjadi proses lahirnya kesatuan, yakni kesatuan-keutuhan khotbah.   

An actor joins the script, a preacher joins the text, and a third thing is born of the union. The third thing has still absolutely the essential properties of its parents. The actor’s arms, the preacher’s face, they are still the actor’s arms and the preacher’s face. But they are enmeshed now in the something-happening of the play or the sermon. “The dancer is the dance,” as they say. (Childers 1998, 53)   

“Penyajian khotbah mungkin dapat mencakup baik verbal dan penampilan fisik, untuk mengatakan apa yang harus kita katakan.” Demikian penegasan Marguerite Shuster (2008, 24), salah satu penulis buku Performance in Preaching. Juga oleh Mary Donovan Turner (2008, 97) di buku yang sama, apalagi jika penyajian khotbah itu disampaikan dan menyampaikan tentang suara atau suara-suara yang dibungkam dan tertindas. Saat itu disuarakan tepat dari mimbar, menyajikan-menyampaikan suara-suara tentang Tuhan? Maka penyajian khotbah tidak hanya tentang penebusan misalnya, tetapi suara kenabian secara menyeluruh.    

Sehingga setiap penyajian khotbah menjadi seperti yang disebutkan Childers (1998, 51) sebagai, “honest performance.” Setiap preaching performance, apakah itu diwartakan di atas panggung atau khususnya di mimbar, diupayakan dapat dikatakan dengan jujur dan benar. Ketika sang penafsir (yang adalah sang pengkotbah) membuatnya dengan cermat, menggunakan berbagai pengetahuan serta pengalaman nyata dan jujur. Mulai secara internal. Harus ada passion. Gairah dan semangat yang jujur dari dalam hati dan pikiran si pendeta atau pengkhotbah. Namun kritik Craddock (1985, 221), “Faktanya, beberapa pendeta dan pengkhotbah, karena berbagai alasan, menolak semua demonstrasi passion. Tetapi sama seperti sebuah lukisan di galeri mempengaruhi penikmat lukisan, meskipun sang pelukisnya tidak diketahui atau tidak ada, bahkan mungkin sudah meninggal dunia.” Khotbah, menurut penggambaran Craddock tadi, seharusnya bisa melakukan tugasnya sendiri, tanpa menghilangkan energi dari pengkhotbah. Passion yang ditaruh Tuhan Allah kepada sang pengkhotbah dan khotbah itu sendiri.   

When preaching starves the sensibilities of listeners, driving underground their emotional life, they may be set up as easier prey for the vigorous propagandist. People cannot live by ideas alone; the whole being has to register the value of those ideas. We call this passion. (Craddock 1985, 221)   

Lebih bersemangat dan kritis lagi, Mary Donovan (2008, 94) juga dalam buku Performance in Preaching, mengingatkan bahwa pembebasan Allah akan terjadi jika jemaat dan gereja dapat menciptakan sebuah cerita pembebasan untuk melawan cerita penindasan yang telah dikenal begitu lama sebelumnya. Pengkhotbah bersama jemaat harus menandai perbedaan antara kisah pembebasan dan kisah penindasan dan membuat tonggak pembebasan melalui performance preaching. Yang bagi Leonora Tubbs Tisdale dalam bukunya Preaching as Local Theology and Folk Art, dengan cara memandang penyajian khotbah sebagai sebuah seni. Misalnya, seperti melakukan tarian dalam kemitraan antara pengkhotbah dengan jemaat lokal. Tentu berdasarkan Alkitab, dengan terus melibatkan keadaan, tempat, waktu dan doktrin gereja dimana khotbah disajikan. Pendapat Tisdale tersebut mungkin bisa semakin lengkap dengan meminjam pendapat Eugene L. Lowry, bagaimana semua unsur seperti itu seharusnya dibentuk menjadi satu kesatuan dalam penyajian khotbah? Karena akan selalu ada misteri indah, yaitu khotbah yang membumi di jemaat lokal, namun di dimensi lain tetap bisa menyajikan makna meluas bagi dunia dan kehidupan alam semesta.   

Di buku The Sermon - Dancing the Edge of Mystery (1997, 12-13) Lowry bertanya, “Jika penyajian khotbah memang tidaklah kurang dari ilmu arsitektur dan melebihi seni hortikultura, bagaimana kita bisa belajar untuk melakukannya? Tentunya, pertanyaan ini sangat praksis. Bagaimana mungkin kita, bisa berhubungan dengan isu-isu mendasar yang diangkat? Secara teologis dan terutama mengingat waktu, manusia dan tempat di setiap transisi, khotbah dan berkhotbah menjadi seperti ‘menari di tepi misteri’? ”   

And who conceive of any greater motivation for preaching our very best than this: there is at least one person in the sanctuary listening, one person who, because of this sermon, may have a clearer vision, a brighter hope, a deeper faith, a fuller love. That person is the preacher. (Craddock 1985, 222)   Oleh sebab itu Tisdale menegaskan salah satu unsur penting (kalau bukan yang dikatakan terpenting) dari performance khotbah, yaitu: Hubungan. Yang paling mendasar, tentu hubungan sang pengkhotbah dengan Allah. Lalu hubungan pengkhotbah dengan jemaat lokal. Bahkan hubungan di antara jemaat itu sendiri, dan meluas hingga hubungan dengan sosial masyarakatnya. Kita jadi teringat hasil interview Allen, mungkin bisa melengkapi pendapat Tisdale tadi. Menampilkan salah satu kutipan kemurnian suara jemaat atau pendengar khotbah:   

I Think that preachers are instructors like I’m an instructor. They’re trying to help people see connections. They’re trying to help people fell connected, to have a relationship to God and to Jesus. I would assume they’re also working to create some feeling of community in the church. I hope that the preacher will help me make sense of the readings for the day, of the gospel. That the person will somehow make feel more conncted to God-remind me of things that I often don’t think about in a busy life with lots of competing demands. That somehow I’ll feel inspired afterward, either inspired to change the way I think or the way I act or to reflect more on things that I don’t think about very often. I hope for inspiration. (Allen 2004, 134)   

Ungkapan jernih seperti itu, menantang upaya kita semua. Khususnya bagi para pendeta maupun pengkhotbah, untuk lebih mampu “mendaratkan” Firman Allah, di hati serta pikiran (termasuk ingatan) jemaat. Melalui suara, mimik, gerak dan bahasa tubuh saat menyajikan khotbah kita. Menyanyi dan mengajak menyanyi bersama pendengar penyajian khotbah kita. Juga performance menggunakan gambar dan cerita. Dalam buku Open To Go (2015) yang ditulis dan disusun bersama oleh Christina Brudereck dan kawan-kawan, menegaskan bahwa gambar dan cerita bahkan sudah menyatu dengan kehidupan nyata sehari-hari (Brudereck dan kawan-kawan 2015, 101), “Kita memiliki tubuh -bukan hanya pikiran, melainkan juga panca indera, otot dan tulang. Yang mendasari perbuatan kita adalah gambar dan cerita, bukan kebenaran abstrak. Gambar dan cerita tersebut menyatu dengan perbuatan jasmani, “liturgi” kita sehari-hari, yang membentuk kebiasaan dan sikap kita. Budaya konsumtif sangat menggiurkan dan menarik. Satu cara untuk menangkalnya adalah dengan menarik diri dari dunia - hidup tanpa tv, internet dan shopping. Beberapa kelompok Kristen radikal memang telah memilih untuk hidup seperti itu. Kelompok lainnya memilih untuk sedikit menjauhi - dan inilah salah satu alasan mengapa gereja Protestan sering enggan bercampur dengan budaya populer. Namun, jika ingin tetap menjadi sebuh gereja misioner, kita harus hadir di tengah masyarakat, tanpa terpengaruh keinginan dan kebiasaan yang tidak benar, ‘di dalam dunia’, tetapi bukan di ‘luar’ dunia.”   

Mari merefleksikan tanggung jawab untuk menyajikan khotbah yang lebih baik dan benar dengan hati, diri, juga khususnya: Tingkah laku setiap kita. Baik sebagai pendeta ataupun pengkhotbah. Dan bahkan sebagai jemaat. Ya, sebagai jemaat Tuhan Allah yang sesungguhnya setiap hari bahkan setiap waktu, ditantang mem-performance akan Kasih dan Rahmat-Nya kepada orang lain serta semua ciptaan. Paul Scott Wilson (2008, 38) masih dalam buku Performance in Preaching, dengan mengangkat Yesaya 55:11, mungkin dapat lebih membantu mengendapkan refleksi kita, demikian, ”Sifat Firman itu sendiri adalah kejadian dan performatif. Salah satu yang bisa mengingatkan kita ketika Allah berbicara dalam Yesaya 55:11, ‘demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.’” Sehingga Firman Allah, menggambarkan kehendak Allah, dan tindakan Allah. Pikiran-rancangan Allah adalah peristiwa. Ekspresi kehendak Tuhan adalah janji dan jaminan pemenuhan dan pengenapan janji-Nya. Sehingga Allah memberikan paradigma utama dari proses preaching performance: pikiran dan kata-kata menjadi tindakan dan peristiwa.   

Alyce M. McKenzie pada bagian akhir tulisannya di buku Performance in Preaching (2008, 66) mengingatkan pentingnya penyajian khotbah memperhatikan dimensi jemaat sebagai pendengar. Bahwa, “Khotbah adalah dialog yang tidak membutuhkan perkalian (multiplication) dari sang pengkhotbah, tetapi perkalian dari pendengar. Khotbah terutama melibatkan proses mendengarkan. Ini berbicara tentang tujuan khotbah adalah untuk memudahkan orang lain dapat mendengarkan. Memberitakan isu-isu dari keheningan yang mendalam, keheningan dari Allah.” Yang disajikan kepada umat-jemaat Allah melalui penyajian sang pengkhotbah. Dan oleh karena itu, mari lebih merefleksikan lagi suara-suara murni dari bangku jemaat. Tentu sekali lagi, diawali dengan kesediaan kita sebagai penyaji khotbah (pengkhotbah) bukan sekadar “dengar” tetapi benar-benar “mendengarkan” suara-suara murni, bahkan suara-suara yang mungkin tidak berani disuarakan dan atau sengaja “ditekan” ke bawah sadar karena ada ancaman atau resiko jika mengatakan-menyuarakannya. Contoh sederhana, namun sangat kuat, seperti yang ditorehkan bersama oleh Troeger dan Tisadale (2013, 167) dalam buku A Sermon Workbook:   

There’s a song in the musical “Little Shop of Horrors”   
Sung by Audrey II, the giant Venus-fly-trap-space-plant   
Called “Feed Me!”   
That’s what I would say to a congregation of preachers   
Tha’s what I say every time I sit down in the pews   
Feed Me!   
You can vary my diet   
Make it prophetic or sad   
Or funny or charming   
Full of historical facts, Greek verbs, or stories about your cat   
Just   
Serve me up the Word of God!   
I’m hungry   
I’m just about starved   
For some Good News   
So please, please, please   
Don’t give me junk   
Or empty calories.   
Feed Me!      

Membuat kita kembali ke penegasan seorang Childers (1998, 54) bahwa, “Pada akhirnya, kita mungkin bisa membayangkan ekspresi jujur sang pengkhotbah dari teks yang telah melepaskan kehidupan dan kekuatannya, dapat membuka dan membuatnya bisa diakses oleh jemaat pendengar khotbah.” Di tiap zaman, termasuk khususnya pada masa sekarang ini, kembali lagi bisa “menikmati” khotbah. Penyajian khotbah yang “membumi” dan bisa “mengenyangkan” spiritualitas (iman) jemaat pendengar.   

Agar lebih banyak orang menerima Firman Allah. Percaya, dan lebih percaya. Bahkan jemaat mampu juga mem-performance atau menyajikan khotbah di setiap hari, khususnya melalui perbuatan nyata. Performance khotbah yang membuat jemaat memiliki ketaatan dan keberanian, agar Firman Allah performance di kehidupan sehari-hari. Marvin A. McMickle dalam bukunya Shaping the Claim mengingatkan:   

Given the often unpredictable nature of the people who listen to sermons, who often manage to hear or think they have heard things not actually intended by our sermons, it is crucial that preachers deliver sermons that offer a single, compelling, clearly focused message, that invite a single emotional experience, that call for a single behavioral outcome, a next step, or a now what in mind. When preachers ignore this step in the process and fail to answer the ‘now what’ question, they run the risk of lumping their sermons in with the TV channels that are quickly changed, the junk mail that is discarded, and the unwanted or uninteresting e-mails that are deleted without being read. (McMickle 2008, 76)   

Sehingga John M. Rottman mengingatkan dalam buku Performance in Preaching (2008, 80), bahwa rasa penerimaan akan Suara Allah, sepenuhnya mempertahankan kebebasan radikal Allah untuk berbicara atau diam. Bahkan sebagai pengkhotbah yang berbicara menyajikan Firman Allah, kita perlu memahami betul kekuatan penyajian khotbah. Dilengkapi dengan indah oleh Paul Scott Wilson (2008, 47) dalam buku yang sama, Performance in Preaching, demikian, “Preaching performance yang paling signifikan dari khotbah adalah tindakan Allah, yang divina actio. Pengkhotbah, seperti pemain apapun, memberikan lebih dari dirinya sendiri untuk penyajian atau performance-nya, yaitu, untuk Allah. Pewartaan Injil adalah tujuan yang mencakup semua tujuan penyajian khotbah. Ini bahkan sering sudah tampak secara formal dalam doa pengudusan sebelum khotbah, menggunakan kata-kata seperti Mazmur 19:14, 'Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.’ Pengkhotbah yang setia mendekati mimbar dengan kerendahan hati, berharap bahwa Firman Tuhan akan didengarkan melalui apa yang dikatakan dan dilakukan.”   

Oleh Childers (1998, 43) ditegaskan bahwa, “Khotbah adalah tindakan.” Tindakan, sikap, tingkah laku dan perbuatan yang mengambil serta mengikuti arah dari aliran kehidupan teks Alkitab. Itu merupakan tindakan yang bergerak dari pesan teks sebagai Firman, sehingga ada sambungan antara penggambaran Alkitab dengan hal-hal nyata dalam kehidupan jemaat pendengar khotbah. Dan menurut Childers juga, bahwa Kristus sendiri berbicara jauh lebih sedikit Kasih dibandingkan Dia melakukan Kasih itu. Khotbah yang bertindak, aktif dan tindakan. Para pendeta/pengkhotbah harus terus berupaya menyajikan khotbah, agar bersama dengan para pendengar dan penikmat khotbah berhasil menenun bersama. Bukan menenun dan merangkai hanya ide tetapi roh/inti dari Firman Allah. Sehingga inti setiap khotbah dapat dipegang dan disajikan melalui kehidupan nyata pendengar khotbah. Performace, jemaat menyajikannya untuk orang lain. Berwujud nyata di sikap serta tingkah laku, perbuatan kasih, semakin setia menyajikan kehidupan mereka sebagai “garam-terang dunia.”   

Untuk Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, juga semua kampus dan dunia akademis (sekolah teologi ataupun sekolah-sekolah yang melahirkan pengkhotbah), khususnya di konteks Indonesia, yang belum banyak melakukan studi mendalam, tentang penyajian khotbah atau preaching perfomance sebagai bagian tidak terlepas dari khotbah. Ungkapan “Preaching is an act” oleh Childers tadi juga mengajak kita lebih memaknai lagi pentingnya penyajian khotbah. Karena akan sangat menolong jemaat (dan tidak hanya menolong sang pengkhotbah). Menolong dalam ajakan lebih kuat sehingga jemaat performance dalam perbuatan. Menyajikan iman, pengharapan kasih kepada sesama serta seluruh ciptaan. Preaching performance seorang pengkhotbah, membuat seorang, beberapa orang atau banyak jemaat pendengar khotbah untuk dapat performance perbuatan kasih nyata sehari-hari. Jana Childers dalam buku yang sama ia menjadi editornya, Performance in Preaching, membuat tulisan yang sangat kuat berjudul The Preachre’s Creative Process -Reaching the Well (2008, 168), cuplikannya demikian, ”Khususnya untuk pengkhotbah yang haus memberi perhatian untuk proses kreatifnya, mengembangkan disiplin ilmu untuk mendukungnya, dan untuk bereksperimen secara bebas dalam penggunaan suara dan tubuh dalam upaya mencapai hal baik, karena berita Firman adalah sangat baik.” Karena Tuhan memang memiliki dan memberikan banyak hal baik, untuk dibangun di kedalaman diri seorang pengkhotbah. Menjadi perlengkapan yang diberkati hikmat Roh Allah Yang Kudus. Mendukung serta melengkapi penyajian khotbah yang baik.   

Akhirnya mari kita semua, para pendeta dan penyaji khotbah (pengkhotbah), dengan Rahmat-Nya, terus-menerus memaknai ulang betapa pentingnya preaching performance atau penyajian khotbah. Agar bersama dengan jemaat atau para pendengar khotbah, kita semua ditransformasi. Termasuk terus memaknai seperti yang dibagikan Hooke dalam buku Transforming Preaching (2010,138), dengan pengambaran kelas dalam tulisannya. Mempertanyakan sekaligus mengajak dan menantang kita semua untuk memberlakukan studi tentang, dan meningkatkan, serta mewujudan penyajian khotbah yang semakin baik dalam ibadah, “Sekali lagi, itu seperti ragi dalam adonan; orang-orang yang telah berlatih dan belajar meningkatkan berkhotbah ke tingkat yang baru untuk semua orang, dan bahkan pengunjung seperti Anda merasa terinspirasi oleh itu. Kemudian kadang-kadang orang-orang yang tadinya pengunjung itu memutuskan, mereka tidak ingin menjadi pengunjung lagi, tapi ingin bergabung dengan kami dalam petualangan Firman yang menjadi daging. Jadi bagaimana dengan Anda, pendeta?” Dan lebih luas lagi, bagaimana dengan Anda dan kita semua, penggiat preaching performance, para penyaji khotbah?   




Daftar Acuan 

Allen, Ronald J. 2004. Hearing the Sermon: Relationship/Content/Feeling. Danvers: Chalice Press. Allen, Ronald J., Barbara Shires Blaisdell, Scott Black Johnston. 1997. Theology for Preaching - Authority Truth and Knowledge of God in A Postmodern Ethos. Nashille: Abingdon Press. Brudereck, Christina, dkk. 2015. Open To Go: Bagaimana menjadi gereja masa depan. Jakarta: Gunung Mulia. Childers, Jana. 1998. Performing the Word - Preaching as Theatre. Nashville: Abingdon Press. Childers, Jana and Clayton J. Schmit. 2008. Performance in Preaching -Bringing The Sermon to Life. Michigan: Baker Academic. Childers, Jana (editor). 2001. Birthing the Sermon - Women Preachers on the Creative Process. Missiouri: Chalice Press. Craddock, Red B. 1985. Preaching. Nashville: Abingdon Press. Cox, James W. 1985. Preaching-A Comprehensive Approach to the Design and Deliivery of Sermon. San Fransisco: Harper & Row, Publishers. Hooke, Ruthanna B. 2010. Transforming Preaching. New York: Church Publishing. Holbert, John C. & Alyce M. McKenzie. 2011. What Not to Say-Avoiding the Common Mistakes That Can Sink Your Sermon. Kentucky: Westminster John Knox Press. Huat, Tan Jin. 2000. Preacher, prepare yourself!-towards better Preaching. Kuala Lumpur: Good News Resources. Jensen, Richard A. 2005. Envisioning the Word, The use of visual images in preaching. Minneapolis: Fortress Press. Lowry, Eugene L. 1997. The Sermon - Dancing the Edge of Mystery. Nashville: Abingdon Press. McMickle, Marvin A. 2008. Shaping the Claim-Moving from Text to Sermon. Minneapolis: Fortress Press. Nieman, James R. 2008. Knowing the Context-Frames, Tools, and Signs for Preaching. Minneapolis: Fortress Press. Tisdale, Leonora Tubbs, 1989, Preaching as Local Theology and Folk Art. Minneapolis: Fortress Press. Troeger, Thomas H. 1996. Ten Strategies for Preaching in a Multi Media Culture. Nashville: Abingdon Press. Troeger, Thomas H. & Leonora Tubbs Tisdale. 2013. A Sermon Workbook-Exercises in the Art and Craft of Preaching. Nashville: Abingdon Press. Van Seters, Arthur. 2004. Preaching and Ethics. Missouri: Chalice Press.

(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak kurang rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)

Refleksi Minggu Kedua Mei 2016


Mazmur 97: 1-12 

Mereka yang Mengasihi Tuhan - 
Membenci Kejahatan 


Mengasihi dan membenci rupanya bisa berjalan beriringan? Bersamaan? Maksud penulis Mazmur adalah: Di saat yang satu dan waktu yang juga sama, kita berada di pihak dan dimensi yang berbeda, tetapi juga untuk dua pihak yang berbeda. Mengasihi Tuhan dan membenci kejahatan! “Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan! Dia, yang memelihara nyawa orang-orang yang dikasihi-Nya, akan melepaskan mereka dari tangan orang-orang fasik.” (ayat 10) Kata “hai” di awal ayat 10 bukanlah sekadar sapaan kepada semua orang yang mau dan berupaya setia kepada-Nya. Tetapi lebih terdengar dan terasa sebagai ajakan. 

Mari membaca dan mendengar kata “hai” itu menjadi “mari.” Sebuah ajakan yang kuat dari pemazmur, yang percaya hidupnya dipelihara dan diselamatkan oleh Allah. Menyapa-mengajak semua kita yang juga menjadi “pemazmur-pemazmur di zaman ini,” untuk menjauhi berbagai kejahatan. Bahkan meninggalkan segala hal yang tidak sesuai Firman-Nya dan tidak disukai Tuhan. Dengan tetap menyembah Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Dan dengan urapan Roh Kudus Allah, mengasihi semua Sabda Firman dan terus berupaya menyenangkan-Nya. Memuji dan memuliakan Tuhan di segenap hidup kehidupan kita. Mari jelas bersikap dan berposisi. 

Terlebih dalam menjalani hidup di era kini dengan berbagai perubahan yang terjadi. Dan ketika perubahan akan semakin berlangsung cepat dan ekstrim, mari jangan berubah: Tetap mengasihi Tuhan. Dengan konsisten, tidak terlampau banyak bertanya, mengenal (bukan sekadar mengetahui) dan semakin mengenal Allah dengan Kasih-Nya dalam penyelamatan Sang Kristus, lalu selalu punya kemungkinan untuk mengasihi keluarga dan sesama manusia. Sebaliknya, konsisten membenci berbagai hal yang jahat. Pikiran jahat, sikap yang jahat dan perbuatan-perbuatan kejahatan, membenci semua itu. Walau membenci berkonotasi negatif. 

Tetapi seperti formula/rumus matematika, ketika negatif dengan negatif bertemu maka sama dengan positif, demikian pula membenci hal-hal yang jahat akan menghasilkan kebaikan. Kebaikan dalam Tuhan. Bahkan kita akan terus dimampukan untuk mengasihi Allah dengan segenap (ingat Matius 22: 37-40). Sebaliknya, seperti formula matematika tadi, plus dengan plus maka hasilnya akan plus atau positif. Bahkan dengan refleksi Mazmur ini, ayat 10 tadi, kesadaran bahwa Allah selalu “memelihara nyawa orang-orang yang dikasihi-Nya, akan melepaskan mereka dari tangan orang-orang fasik.” Maka mengasihi Tuhan Allah, mengasihi Dia Sang Sumber segala yang positif, plus dan baik, maka hasilnya? Sama dengan = kita hidup dalam kasih dan dikasihi tambah-tambah, berlimpah-limpah! 

Bahkan proses untuk taat-setia mengasihi Tuhan itu yang membuat kita siap dan sigap mengasihi sesama kita manusia. Mengasihi orang yang belum kita kenal. Yang lebih lagi, mampu mengasihi mereka yang membenci dan pernah menyakiti kita. Ingat firman dalam Mazmur tadi “melepaskan mereka (kita yang mau setia mengasihi) dari tangan orang-orang fasik.” Mengasihi terus dan terus dan semakin terus mengasihi semua ciptaanNya dan kehidupan. Yang diadakan Tuhan Allah, juga hanya dengan Kasih-Nya. Amin. 


Tulisan & Foto: Pdt. Lusindo Tobing.

Pembangunan Jemaat? Pembangunan Jemaat!


Lusindo Yosep Tobing. 
Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta. 



Pembangunan Jemaat? Pembangunan Jemaat! 

Abstrak 
Tujuan penulisan makalah (akhir) semester 2 Kelas Pembangunan Jemaat ini adalah seturut dengan Tujuan Instruksional Umum yang diberikan dosen pengajar dan disepakati bersama mahasiswa sejak awal kelas. Yakni menjelaskan pemahaman secara elaboratif dan kritis mengenai prinsip-prinsip pembangunan jemaat. Juga menguraikan hal mendasar tentang kecakapan melaksanakan pembangunan jemaat. Dan uraian tentang proses-proses transformasi jemaat yang bersifat menyeluruh, terpadu, terarah, dan bersinambung demi pelaksanaan misi jemaat di tengah masyarakat. Penulisan ini juga diharapkan bisa mengajak semua pihak dalam gereja, terus mempertanyakan keadaan yang ada, melihat keinginan yang ingin dituju, dan mengupayakan proses pembangunan jemaat bisa semakin baik di tiap jemaat gereja lokal. Kata-kata kunci: Jemaat, Gereja, Pembangunan Jemaat, Transformasi, Misi, Lingkungan, dan Masyarakat. 


Pendahuluan   

Penggunaan dua tanda baca (tanda tanya dan tanda seru) pada kalimat Pembangunan Jemaat di judul makalah ini, sesungguhnya menjelaskan: Pertama, seluruh proses belajar-mengajar di kelas Pembangunan Jemaat, harus terus dipertanyakan dengan diupayakan benar-benar diterapkan nyata, berlanjut di lapangan pelayanan kehidupan berjemaat. Dan kedua, berarti pasti, dan terus berupaya tiada henti. Karena tidak boleh ada kata puas dalam pembangunan jemaat. Terus-menerus menjadi jemaat serta gereja yang lebih hidup, lebih vital dan lebih menarik. Menuju gereja yang hidup, vital dan menarik dengan proses pembangunan. Pembangunan Jemaat. 

                             Prinsip-prinsip Pembangunan Jemaat   

Jemaat ada karena Allah. Jemaat gereja tidak berada karena dirinya sendiri. Itulah sebabnya, pembangunan jemaat-gereja harus melihat dirinya dalam desain besar “rencana pembangunan” dari Allah. Dalam desain Allah itu jemaat juga tidak berada untuk dirinya sendiri, melainkan berada untuk melaksanakan rancangan dan misi Allah. Proses pembangunan jemaat tidak boleh pada upaya manajerial dan organisasional belaka. Karena itu, kita perlu memahami apa atau siapa jemaat dan gereja itu dan apa misinya secara teologis dan memperjumpakannya dengan realitas dan konteks yang ada. Dan dari sana kita baru bisa melakukan upaya-upaya transformasi. Gereja tidak bisa meninggalkan dunia, namun jemaat-gereja juga tidak boleh menjadi sama atau serupa dengan dunia. Ketika pembangunan jemaat diberlakukan, maka proses transformasi akan berlaku nyata, saat itulah jemaat-gereja menjadi hidup, bukan tertidur (apalagi mati).   

Dan menurut Jan Hendriks, dalam bukunya yang berjudul Jemaat Vital & Menarik, justru dalam relasinya dengan Allah, manusia dengan sepenuh-penuhnya menjadi subjek. Jemaat menjadi subjek dalam pembangunan jemaat itu sendiri! Dalam bukunya yang berjudul Jemaat Vital & Menarik (2002, 59), Hendriks bahkan menulis anggota jemaat dari sebuah gereja, dengan istilah: Anggota jemaat “biasa”. Jemaat “biasa” sebagai subjek. Dengan tanda khusus (tanda kutip) pada kata “biasa” di sana, ia ingin menampilkan respek yang besar kepada seluruh jemaat. Karena maksud Hendriks sesungguhnya tidak ada yang namanya anggota biasa. Tidak ada orang yang “kurang” daripada pimpinan, jabatan, imam, sebagaimana disugestikan oleh istilah anggota jemaat biasa. Karena jika ada anggota biasa maka juga ada anggota luar biasa bukan?   

Benar-benar pembangunan dari yang terdalam, yakni spiritual jemaat yang hidup. Meminjam istilah Eka Darmaputera, jemaat-gereja harus terus memiliki “api.” Dalam tulisannya berjudul “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar” pada buku Penuntun - Jurnal Teologi dan Gereja Vol. 3, No.12, Juli 1997. Darmaputera menegaskan spiritualitas itu ibarat “api” panas menyala yang dialami para tokoh pendiri agama-agama. Tanpa kehangatan “api” itu setiap agama dan kehidupan jemaat akan menjadi “abu” dan “ampas” saja, meskipun dalam hal-hal lahiriah bisa tampak besar dan berkembang. “Awas, hati-hati, bahaya spritualitas narsisme!” demikian tambah Darmaputera (1997, 395) mengingatkan adanya spiritualitas yang bertujuan hanya mencari kenikmatan rohani bagi diri sendiri.   

Pembangunan jemaat juga harus nyata diberlakukan dan dilaksanakan, dalam dan dari kehidupan semua jemaat Tuhan, tiap hari. Bersama dan untuk lingkungan manusia. Juga komunitas dan masyarakat di manapun jemaat itu hidup berkarya serta menjadi saluran berkat-Nya bagi dunia. Gagasan ini berakar dalam dasar teologis bahwa Roh dicurahkan atas semua (Kis 2:17). Sehingga jemaat sebagai subjek benar-benar bisa dilihat sebagai gereja sesungguhnya, yang tidak bisa dan tidak boleh lepas dari masyarakat secara utuh. Oleh Ford (2008, 650), dasar untuk memahami ini sesungguhnya bisa langsung kita temukan di bagian awal Alkitab. Tepatnya di Kitab Kejadian 1: 26-27, yang menjadikan bergandengan baik subjek dan kata kerja, dalam "Tuhan menciptakan." Menciptakan siapa? Perhatikan, mahkota ciptaan Allah itu adalah manusia.   

Community is God’s essence. He not only created community, but He Himself also experiences it as part of His very nature. To say that God exists in community means that He is not isolated but is in reciprocal relationship. He knows others and is known. He gives and receives. For humans, being part of a community means that we are bound together in love and that we are aware of others’ need and put them ahead of our own (Phil. 2: 3-4). Not only do we develop meaningful relationships, but also we are united by a common mission. This is a great mystery. But it is not mysterious at all to say that if we exist in God’s image, and if God exists in community, the we are created for community as well. (Ford 2008, 66)   

Sehingga akhirnya, seperti pandangan Hendriks, jemaat yang menjadi subjek itu bisa benar-benar menerima satu sama lain. Ada kaitan antara jemaat yang satu dengan lainnya (2002, 61). Juga baik ke dalam maupun keluar. Dengan mengulang penekanannya tentang “jemaat biasa,” yaitu jemaat sebagai subjek, bukan sekadar objek. Hendriks (2002, 62) menambahkan bahwa anggota jemaat yang biasa itu sesungguhnya adalah imam. Dan oleh karena itu mereka ikut bertanggung jawab atas pembangunan jemaat. Sekali lagi, karena jemaat adalah subjek. Mereka dipanggil untuk tugas itu dan menerima potensi untuk itu juga. Semua menerima pemberian rahmat, karisma-karisma untuk mengabdikan diri kepada pembangunan jemaat.   

Sekali lagi yang dimaksudkan di sini tentu jemaat dan gereja-Nya di kehidupan nyata. Dengan berbagai perubahan jaman, serta tantangan untuk selalu mengubah diri, serta misinya, mewartakan Keselamatan Allah kepada dunia. Sudah seharusnya selalu ada yang diubah dan ditingkatkan. Tantangannya menurut pendapat Ford (2008, 91), “People will resist change when decisions don’t align with the code.” Yang oleh Hendriks, juga ada beberapa tantangan untuk pembangunan jemaat menjadi “jemaat ber-Misi,” jemaat yang siap dipanggil untuk mewartakan Kabar Baik (2008, 178-182) yaitu: Ketidakpastian mengenai identitas, ketika konsepsi yang jelas selama beberapa dasawarsa terakhir digerogoti (undermind) dan kepastian yang mula-mula ada dalam rumusan itu diganti dengan ketidakpastian yang semakin bertambah; Pluralitas dalam konsepsi identitas, hal ini terjadi ketika dalam satu Gereja atau jemaat/paroki, ada dua atau lebih konsepsi yang berdiri satu di samping yang lain, dan; Konsepsi identitas yang pecah, hal ini sering terjadi misalnya kalau dalam satu jemaat ada satu grup yang mau solider dengan orang marginal, dan grup yang lain menganggap perlu supaya bahasa Alkitab dipelajari oleh jemaat. Terjadilah ketegangan bahkan pecahnya konsepsi identitas jemaat.   Namun jika tantangan tersebut (dan tantangan lainnya) dapat dihadapi dan dijawab oleh jemaat bersama-sama, maka Hendriks meringkasnya demikian:   Jawaban yang jelas dan dimiliki bersama atas kedua pertanyaan siapakah kita dan apa penugasan kita mendorong terjadinya iklim yang menggairahkan, memudahkan perkembangan tujuan yang konkret, memperbesar kemungkinan bahwa struktur akan jernih, -terutama kalau finalisasi distimulasikan- dan memperluas kemungkinan bagi pengembangan serta evaluasi kebijakan. (Hendriks 2002, 189)   

Yang oleh J.B Banawiratma dikenal dengan ungkapannya “melibatkan teman-teman.” Dalam bukunya yang berjudul Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry, Banawiratma menyatakan (2014, 40-41), “Salah satu mimpi pemberdayaan diri jemaat bersama Yesus adalah bahwa semua ikut serta, tidak ada seorangpun yang ditinggalkan, semua dianugerahi karisma untuk pembangunan jemaat.” Sama seperti Hendriks tidak dimaksudkan hanya kepada kategori tertentu, elite, melainkan semua (jemaat). Jemaat adalah dan sebagai subjek penuh, bersama dan utuh.   

Dapat diringkas sebagai berikut: anggota jemaat biasa adalah subjek penuh maka ikut bertangungjawab atas jemaat; setiap anggota mempunyai nilai khas bagi jemaat atas dasar karismanya sendiri, sehingga ia dibutuhkan. Nilai itu perlu diakui dan bagi nilai itu perlu juga diciptakan ruang. Maka perlu menciptakan kemungkinan bagi mereka untuk berpengaruh dan memikul tanggung jawab. Dan kalau dicari rekan sekerja maka harus diperhitungkan -dengan teliti- apa karisma khas mereka. (Hendriks 2002, 62)        

Dan juga seperti harapan Hendriks (2002, 64-65): Semua jemaat dilibatkan dalam menentukan kebijakan jemaat; Semua jemaat mendapat informasi yang mereka butuhkan dan diundang memberikan informasi dalam komunikasi terbuka; Semua jemaat dilibatkan dalam penentuan kebijakan; Semua jemaat dapat mempengaruhi hidup jemaat pada umumnya; Dan semua jemaat diterima dan diperlakukan dengan respek.   

Jika tidak, maka jemaat hanya akan dipandang sebagai tool of management atau gimmick. Dan akan memunculkan problem besar. Jemaat akan berfungsi di bawah kemampuan dan tarafnya. Kemudian vitalitas jemaat menjadi sangat berkurang, perlu kita ingat, menurut Hendriks (2002, 63-64) hal seperti ini akan lebih terasa bagi jemaat daripada organisasi yang lain, karena jemaat sebagai organisasi normatif lebih mudah terluka. Karena itulah, Hendriks mengingatkan betul khususnya untuk iklim yang positif, jemaat harus dilihat sebagai subjek, sebagai manusia yang dipanggil untuk memikul tanggung jawab dalam kebebasan. Tiap anggota jemaat bertanggung jawab tidak hanya atas pelaksanaan kebijakan, namun juga atas perumusan kebijakan.  


  Transformasi Jemaat - Menyeluruh, Terpadu, Terarah dan Berkesinambungan 

  Kevin G. Ford dalam bukunya Transforming Church (2008, 249-250) mengakui bahwa menjadi “transforming church” membutuhkan proses yang tidak mudah dan tidak bisa cepat. Ford bahkan mempertanyakan apakah jemaat dan gereja di mana kita berada, sesungguhnya sudah menuju ke sebuah proses transformasi itu? Benar-benar siap dengan perubahan, siap bertransformasi? Apalagi transformasi yang menyeluruh, terpadu dan terarah?  
 
Is your church ready for a change? Are there problems that need to be addressed? If you have the courage to face the adaptive issues, the tenacity to deal with ine vitable resistance, and the humility to ask for God’s help, then be assured: Your church can and will be transformed into the image of Christ - one step at a time. (Ford 2008, 250)   

Dibutuhkan keberanian menghadapi masalah. Sekaligus keuletan untuk menghadapi perlawanan yang tak terelakkan, dan kerendahan hati untuk meminta bantuan Allah. Setia menegaskan tidak hanya tentang status jemaat sebagai subjek, namun harus bersinergi untuk berlangsungnya proses yang biasa disebut transformasi. Agar selangkah demi selangkah, jemaat serta gereja kita dapat dan akan berubah menjadi sesuai gambar Allah di dalam Kristus.         
Hendriks secara khusus memaparkan relasi antara kelompok-kelompok dalam organisasi. Biasanya kelompok itu dibentuk untuk menjalankan tugas-bagian, maka disebut kelompok fungsional atau kelompok tugas. 

Dan khusus dalam organisasi normatif, seperti Gereja, partai politik, lembaga pendidikan, dsb., di mana kelompok lebih sering dibentuk atas dasar kategori (seks, umur, profesi) atau aliran tertentu, misalnya dalam partai politik (liberal, sosialistis), atau dalam Gereja (gerakan fransiskan, gerakan awam) atau macam-macam pendekatan dalam institut pendidikan. (Hendriks 2002, 111)   

Ditambahkan juga oleh Hendriks (2002, 116), bahwa struktur adalah erat hubungannya baik dengan transformasi, yakni perealisasian tujuan maupun dengan iklim dan kepemimpinan. Oleh karena itu, kiranya relevan menyelidiki bagaimana relasi-relasi kelompok dapat distrukturalisasi sedemikian rupa sehingga vitalitas organisasi bertumbuh.   

Lebih menarik lagi misalnya transformasi yang diuraikan dan diceritakan Diana Butler Bass. Tentang “Imagining A New Old Church” dalam bukunya The Practicing Congregation. Bass mengambil salah satu contoh nyata (2004, 7) yakni proses transformasi yang terjadi pada Gereja Epifani (Church of the Epiphany), berlokasi hanya 3 blok dari White House, Washington D.C., berdiri sejak tahun 1842, lalu hampir tutup di sekitar tahun 1992, namun sepuluh tahun kemudian (tahun 2002) dapat menjadi jemaat yang vital dan semakin menjadi saluran berkat Allah bagi dunia.   

The Prostestant mainline is, to quote plague victims being hauled to the graveyard in an old Monty Python movie, “not dead yet.” Some congregations are sensing the cultural sea change and finding new ways of navigating their life together. In the process, they are expetiencing unexpected vitality, theological deepening, and spiritual growth. Church of The Epiphany is one of those places -an old, establishment church in an establishment city- creating new ways of being authentically Christian in a post Protestant, post-traditional, post-everything age. (Bass 2004, 20)      

Tentang menuju transformasi jemaat, Hendriks juga menambahkan (2002, 121-123), ada empat ciri yang penting bagi struktur organisasi vital. Keempat ciri itu adalah: 1. Sederhana. Struktur organisasi hendaknya sederhana; artinya jelas untuk siapa saja yang ada hubungan dengannya; 2. Desentralisasi. Ada kecenderungan yang jelas ke arah desentralisasi, maka juga ke arah pembagian kuasa; 3. Komunikasi tinggi. Kata kunci untuk komunikasi itu ialah luas, informal, terbuka. Komunikasi itu diharap langsung maka tidak (hanya) lewat pimpinan atau dengan perantaraan organ yang “lebih tinggi.” Hal itu berlaku bagi kelompok-kelompok, tetapi juga untuk anggota-anggotanya; 4. Datar. Jelas ada preferensi untuk struktur yang datar, maka untuk sesedikit mungkin lapisan. Juga yang tidak kalah pentingnya mengolah, keterkaitan “pohon-pohon” (= faktor-faktor) yang berjumlah 5 faktor (iklim, kepemimpinan, struktur, tujuan/tugas dan konsepsi identitas) secara integral “membentuk hutan” (=keseluruhan). Bersama jemaat lokal di mana kita melayani, dengan seluruh jemaat lainnya, bahkan bersama gereja-gereja di Indonesia dan seantero dunia. Berangkat dari konteks jemaat kita masing-masing, tantangan dan pergumulan di tiap jemaat dan terus melakukan transformasi, membantu vitalisasi atau revitalisasi jemaat.(Hendriks 2002, 47)   

Khusus tentang pengertian “konsepsi identitas”, bagi Hendriks dapat dipakai dalam dua arti: dalam arti yang lebih objektif sebagai yang-tetap-sama dalam segala perubahan dan dalam arti yang lebih subjektif sebagai definisi diri. Hendriks (2002, 172) lebih memilih memakai kata identitas dalam arti yang kedua. Dan kata “konsepsi” dipilihnya karena lebih mengungkapkan sekaligus menjelaskan bahwa identitas jemaat sebagai kategori empiris. Bukan sekadar identitas dalam pengertian filosofis ataupun teologis sistematis.   

Istilah konsepsi identitas mengungkapkan dengan baik bahwa kita berbicara mengenai pandangan tentang realitas: sesuatu yang harus dikembangkan oleh grup. Saya memakai kata itu dalam arti kedua, yaitu sebagai definisi diri karena realitas yang di belakang pengertian itu mempunyai fungsi-fungsi yang penting bagi organisasi. (Hendriks 2002, 174-175)   

Bila kita berbicara “konsepsi identitas” gereja khususnya tentang kehidupan jemaat, Kevin G. Ford dalam bukunya Transforming Church pernah mengungkapkan istilah menarik serta kuat makna yang mungkin berhubungan, yakni: Code.   

Code can be tricky to define. We can talk about code as the essence or soul of a church. We can talk about what code does, which is to shape the face of how the church displyas itself to the world. Code shapes tradition, values, and mission. Code is not usually rational. Most often, it reveals itself indirectly and symbolidally, through the myths, heroes, and stories that give a church its texture and flavor. (Ford 2008, 89)   

Dari pandangan Hendrik yang cenderung konseptual dan Ford yang lebih praksis ini, keduanya tampaknya bisa saling mengisi untuk semakin mendukung kita (juga semua pembaca buku mereka), memahami lebih utuh kenyataan yang ada, berusaha dan mampu menjawab pertanyaan siapakah kita? Dan pertanyaan apa penugasan kita? Juga menuju impian dalam dan milik sebuah komunitas jemaat, serta kondisi-kondisi yang dibutuhkan agar proses kehidupan berjemaat di sebuh gereja lokal tertentu semakin ditransformasi menjadi gereja dan jemaat yang vital.   

E. Stanley Ott punya konsep transformasi jemaat yang menarik, berhubungan dengan relasi-relasi seperti Hendriks sajikan. Ott memunculkan ungkapan “Ministry Team” dalam bukunya yang berjudul Transform Your Church with Ministry Teams:   

Just think of a ministry in which face-to-face fellowship, spiritual gift deployment, interpersonal ministry-skill development, leadership expansion, and discipleship growth are all rolled into one experience. A ministry team does all of this while simultaneously accomplishing its vision or task in ministry. For this reason, ministry teams are among the most efficient and effective approaches to ministry available to us today. (Ott 2004, 3)   

Transformasi dalam kehidupan jemaat-gereja menurut Hendrik (2002, 97), dimensi paguyuban atau relasi paguyuban berperan besar dalm Gereja-gereja, baik dalam jemaat lokal maupun dalam macam-macam diskusi. Sebab yang dituntut ialah iklim di mana manusia dilihat sebagai subjek; di mana pendapatnya dianggap penting; dan di mana diusahakan komunikasi terbuka. Perlu juga kepemimpinan yang tidak mau memerintah atau berkomunikasi dari atas ke bawah, melainkan melayani orang dan oleh karena itu memperhatikan apa yang menjadi kemungkinan mereka yang spesifik: suatu kepemimpinan yang melatih diri untuk mendengarkan. Dan mengenai relasi, Hendriks meringkasnya dalam konklusi akhir. Konklusi ini berlaku baik untuk keseluruhan jemaat maupun untuk masing-masing kelompok di dalam jemaat, bahwa (2002, 101): vitalitas jemaat dimajukan kalau tidak ada tipe relasi yang dimutlakkan, melainkan kalau ketiga tipe relasi diiakan bersama: ‘Gemeinschaft’ (paguyuban) beserta aturan mainnya yaitu keterbukaan, pengorbanan dan kelangsungan. ‘Organization’ (organisasi) dengan tersimpul di dalamnya bahwa orang diundang dan diberi ruang untuk mempergunakan bakat spesifiknya demi tujuan bersama. ‘Gesellschaft’ (hubungan lebih sakelek, formal atu yuridis) berdasarkan pengakuan bahwa manusia berhak untuk membela kepentingan diri, asal menurut peraturan main yang berlaku untuk relasi yang diiakan.   Dengan berbagai cara yang bisa jemaat gunakan bersama, lebih effektif dan lebih effisien lagi. Memberlakukan transformasi jemaat di jaman yang sangat sibuk, seperti sekarang ini, haruslah terus berkesinambungan. Untuk itu dibutuhkan cara bahkan inovasi-inovasi baru. Bahkan bagi Ott, tidak masalah jika kita membangun tim atau model kelompok kita, yang ia sebut sebagai “Minsitry Team” itu dengan bertemu dan melakukannya dalam cara yang setiap orang bisa dan biasa melakukannya. Dengan cara atau waktu makan. Ya, santap bersama atau makan bersama.   

When you begin meal, acknowledge the Lord’s presence with you in the prayer of Grace. Then relax and enjoy one another’s company. Spend some time in general conversation, sharing news about recent events in your lives. You may then move on to the ministry issues that your team needs to resolve.. Then do it! (Ott 2004, 105)    


Misi Jemaat di Tengah Masyarakat   

Hendriks (2002, 187) lebih tajam lagi mempertanyakan tentang konsepsi identitas dan misi jemaat, “Dapatkah kita (sebagai jemaat) menolong orang untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tentang makna. Apakah jemaat kita merupakan contoh yang menggairahkan sebagai paguyuban. Apakah kita dapat memberi sumbangan bagi perdamaian dan keadilan. Pendeknya: apakah kita dapat mengaktualisasikan inti keberadaan sebagai jemaat dalam masa dan masyarakat kita sendiri?” Upaya perwujudan misi yang berangkat dari kejernihan konsepsi identitas jemaat. Yang oleh Ford ditegaskan:   

Being missional is simply unleashing the collective passions of the church -its code- into the world. What makes the task difficult is the enormous emphasis on self that leaks from our culture into the church. Our default mode is to think of the church in trems of how it meets each of our or our family’s needs. In moving people’s focus outward, away from self, the church faces enormous obstacles and embedded cultural dysfunction. Transforming churches are figuring out how to overcome these obstacles and unleash the power of passion into their surrounding communities. (Ford 2008, 182)   

Mungkin karena itulah Hendriks memilih kata “menggairahkan” dalam bukunya, membantu kita, untuk mengerti pentingnya misi dari dan bersama jemaat. Dan memang bagi Hendriks (2002, 172), yang juga sangat nyata riil terjadi menurut Ford, bahwa, “Organisasi yang mempunyai konsepsi identitas yang jelas dan yang di miliki bersama lebih menarik daripada organisasi yang tidak mempunyai konsepsi atau konsepsi identitasnya kurang jelas. Namun demikian tidak dapat dikatakan juga bahwa konsepsi yang jelas selalu meningkatkan sifat menarik. Penting isi konsepsi juga dan lebih-lebih kecocokan konsepsi itu dengan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap menariknya organisasi. Organisasi dengan identitas yang jelas dan bersama biasanya berpengaruh positif terhadap vitalitas organisasi.   

Misi jemaat dalam konteks lingkungan dan masyarakat oleh J. Campbell-Nelson pada tulisannya berjudul Sumber-sumber Identitas Gereja: Bahan Baku Eklesiologi Kontekstual (dalam buku Seputar Teologi Operatif, peny. B.A. Abednego, 1994, 56) bebrunyi demikian: “Bila eklesiologi tak berkaitan dengan realitas konkret suatu Gereja di suatu masa dan tempat tertentu, eklesiologi bagaikan layang-layang yang putus. Karena tujuan eklesiologi adalah menolong Gereja agar keberadaannya sesuai dengan panggilan Allah, dan panggilan ini selalu diberikan di dalam konteks waktu dan tempat tertentu, entah di pantai Galilea ataupun di jalan-jalan kota Jakarta.”   

Menjalankan misi jemaat dengan cara baru, menjadi jemaat yang dinamis, bahkan semakin terbuka mengaktualisasikan misinya. Termasuk tentang dimensi spiritual, misi Allah di dalam misi gereja dan jemaat berlaku nyata pada kehidupannya sehari-hari, dengan lingkungan dan semua orang. Nancy Tatom Ammerman dalam bukunya Sacred Stories Spiritual Tribes, menegaskan bahwa:   

Are people who are most actively engaged in spiritual practices and religious participation too busy with other-wordly concerns to pay attention to public life? Do religious organizations absorb all the social energies of their participants, leaving nothing for the larger community? Do highly religious people think that only God can change the world? We will look for the limits that may be present on the power our participants perceive themselves to have and the constraints they experience. (Ammerman 2014 , 212)      

Sekali lagi yang dimaksudkan di sini tentu misi jemaat dan Gereja-Nya di kehidupan nyata. Dengan berbagai perubahan jaman, serta tantangan untuk selalu mengubah diri, serta misinya, mewartakan Misi Keselamatan Allah kepada dunia. Sudah seharusnya selalu ada yang diubah dan ditingkatkan. Tantangannya menurut pendapat Ford (2008, 91), “People will resist change when decisions don’t align with the code.” Yang oleh Hendriks, juga ada beberapa tantangan untuk pembangunan jemaat menjadi “jemaat ber-Misi,” jemaat yang siap dipanggil untuk mewartakan Kabar Baik (2008, 178-182) yaitu: Ketidakpastian mengenai identitas, ketika konsepsi yang jelas selama beberapa dasawarsa terakhir digerogoti (undermind) dan kepastian yang mula-mula ada dalam rumusan itu diganti dengan ketidakpastian yang semakin bertambah; Pluralitas dalam konsepsi identitas, hal ini terjadi ketika dalam satu Gereja atau jemaat/paroki, ada dua atau lebih konsepsi yang berdiri satu di samping yang lain, dan; Konsepsi identitas yang pecah, hal ini sering terjadi misalnya kalau dalam satu jemaat ada satu grup yang mau solider dengan orang marginal, dan grup yang lain menganggap perlu supaya bahasa Alkitab dipelajari oleh jemaat. Terjadilah ketegangan, dan ini menjadi tantangan dalam jemaat melakukan misi. Apalagi misi dari jemaat bagi lingkungannya dan masyarakat luas.   

Dan bagi Ott (2004, 89), cara undangan secara pribadi atau individu untuk bergabung dalam misi jemaat di tengah masyarakat sangatlah penting. Yesus tidak berkata, “mohon bergabung ke dalam grup yang terdiri dari 12 orang.” Tetapi Ia berkata, “Ikutlah aku.” Mengundang orang untuk bergabung ke dalam tim atau grup kita sebaik mungkin. Undangan tidak hanya untuk mencapai target pendaftar. Tetapi yang paling pertama dan terpenting adalah menjadi bagian dari persekutuan (a band of brothers and sisters) yang saling berkomitmen dalam misi Kristus, satu dengan lainnya dalam hubungan yang personal dan individu. Diharapkan konsisten dalam misi yang berlanjut menjadi jemaat bergerak maju, mengikuti konteks dan situasi masyarakat. Bahkan seharusnya misi kita bisa “selangkah lebih maju” dari tantangan dan perkembangan keadaan dunia. Terus melakukan bersama pembangunan jemaat untuk mewujudkan gereja yang hidup, gereja yang vital dan gereja yang menarik. Gereja yang hidup, vital dan menarik!      


Catatan Kritis dan Refleksi   

Dibutuhkan pembangunan jemaat yang berlaku nyata. Pada kehidupan jemaat-gereja sehari-hari, juga nyata dengan lingkungan di mana konteks jemaat lokal ada dan nyata juga bagi semua orang. Nancy Tatom Ammerman dalam bukunya Sacred Stories Spiritual Tribes, menegaskan bahwa:   

Are people who are most actively engaged in spiritual practices and religious participation too busy with other-wordly concerns to pay attention to public life? Do religious organizations absorb all the social energies of their participants, leaving nothing for the larger community? Do highly religious people think that only God can change the world? We will look for the limits that may be present on the power our participants perceive themselves to have and the constraints they experience. (Ammerman 2014 , 212)      

Veli-Matti Karkkainen pernah memaknai hal ini melalui dimensi ekklesiologi, di bukunya An Introduction to Ecclesiology bahwa (2002, 233), ”Gereja dan jemaat di jaman yang semakin maju seperti sekarang, dalam terang dari teologi Kristen, menghadapi tantangan bagaimana berhubungan dengan banyak orang, bahkan dengan agama-agama lain dan teologi, eklesiologi tidak bisa lagi mencapai tujuannya berdasar isolasi diri dari kehidupan luas dunia.”   Pembangunan jemaat bukan waktunya lagi hanya menjadi milik para “pemimpin gereja” saja. Sesungguhnya gereja dengan kepemimpinannya, harus menyesuaikan diri dengan kemerdekaan dan tanggung jawab jemaat sebagai subjek tersebut. Artinya pimpinan Gereja tidak boleh mengambil oper tanggung jawab itu dari jemaat, melainkan sebaliknya harus menolong jemaat untuk menerima tanggungjawab itu. Kevin G. Ford dalam bukunya Transforming Church menegaskan tidak hanya tentang status jemaat sebagai subjek, namun harus bersinergi untuk berlangsungnya proses yang biasa disebut transformasi. Transformasi dalam jemaat yang adalah subjek tadi. Dan ini tidaklah mudah. Ford misalnya menampilkan contoh perjalanan transformasi dari “consumerism to community” di konteks masyarakat Amerika, tepatnya di wilayah California. Konsumerisme sudah berakar dalam masyarakat, dan karenanya, proses transformasi jemaat tidak bisa berlangsung dengan singkat:   

A “successful” church can offer outstanding programs and ministries, but if its members are not being transformed, it is not a healthy church. The church in California scored well on several parts of the Transforming Church Index. But their lowest scores, compared to national norms, were all related to how people perceived their level of connection to the church.. The quality of the community is the quintessential test of the health of a church. But few church leaders are skilled at developing an environment where meaningful and transforming relationships will occur. They desire community but often don’t know how to build it, and they fail to recognize the impact the American consumer culture has on the church. The journey from consumerism to community is not a quick one, because the problem of consumerism has deep roots. (Ford 2008, 56-57)   
Transformasi harus berlangsung. Dan untuk itu, sekali lagi, tidak bisa kita hanya mengandalkan “kemampuan” pendeta dan majelis beserta para aktifis gereja yang terlibat. Proses transformasi haruslah kembali dalam upaya kita memaknai jemaat sebagai subjek. Semua jemaat harus terlibat dan terus dilibatkan. Karena di dalamnya mereka semua diterima dalam kategori jabatan yang paling religius yaitu imamat. Seperti Petrus menyapa jemaat sebagai “Kamulah imamat rajani” (1 Ptr 2:9).   

Bahkan Lazarus Purwanto dalam Buku Orasi Dies Natalis STT Jakarta Ke-70, Menjadi Batu Hidup, juga mengangkat konteksnya dalam 1 Petrus 2: 4-10. Yang secara mendasar menekankan terjadinya dan memang harus terjadi “peralihan” atau bisa juga kita maknai terjadinya transformasi teologis jemaat, dalam peta lokasi gerejanya, sebagai rumah rohani di tengah kehidupan nyata dunia, yang isinya adalah “batu-batu hidup” yakni orang-orang percaya, di mana jemaat dan gereja tertentu (lokal) berada:   

Dengan demikian gereja sebagai persekutuan iman adalah rumah rohani yang dibangun oleh Allah dengan orang-orang percaya sebagai batu-batu bangunannya. Meskipun tidak dikatakan secara eksplisit, Allah adalah Pembangun rumah rohani itu. Rumah ituu disebut sebagai “rumah rohani” karena Roh Allah diam di sana. Yang hendak ditekankan di sini adalah karakteristik mendasar dari gereja sebagai yang berada di tengah dunia: ia adalah satu persekutuan yang dibentuk dan dibangun oleh Allah di sekitar Kristus, yang terdiri dari orang-orang percaya sebagai batu-batu bangunannya. (Purwanto 2004, 9)   

Semakin jemaat dibangun, sebagai “batu-batu yang hidup,” maka jemaat harus semakin dipersilakan berkembang. Sesuai dengan keadaan dan kebutuhan jemaat lokal bersama lingkungannya. Di mana konteks gereja lokal berada, bahkan ke berbagai tempat meluas di manapun untuk pembangunan jemaat. Sebab proses transformasi haruslah kembali dalam upaya kita menempatkan jemaat sebagai subjek. Semua jemaat harus terlibat dan terus dilibatkan. Hendriks di bagian awal bukunya Jemaat Vital dan Menarik (2002, 24) bahkan sudah memberikan catatan kuat, yang bisa lebih dalam kita jadikan refleksi. Bahwa,”Ada perbedaan antara fakta alamiah dan fakta sosial. Misalnya antara gerhana bulan dengan ‘gerhana Allah.’ Istilah ‘gerhana Allah,’ dipakai kalau sejumlah manusia tenggelam dalam keduniawian sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana Allah hadir dalam dunia mereka. Gerhana yang pertama terjadi di luar batads kemampuan kita, sedangkan gerhana Allah kita sebabkan sendiri karena sikap materialistis kita. Yang ingin saya tekankan di sini ialah bahwa kita harus bersikap tepat terhadap fakta. Maka pentinglah bahwa kita tidak menjadi putus asa kalau menghadapi fakta-fakta sosial.” Masih ingat, dan sebaiknya tetaplah kita ingat 2 skema dari Hendriks (2002, 27&198) berikut ini:            

Karena bisa ada banyak faktor negatif yang akan merusak upaya dan proses pembangunan jemaat-gereja lokal di konteks tertentu. Tetapi dari pengalaman di lapangan (jemaat yang saya layani), juga ditambah dengan banyak pengetahuan serta penelitian (jemaat-jemaat lainnya) selama Kelas Pembangunan Jemaat (PJ) di program Pascasarjana STT Jakarta. Masih banyak potensi dan kekuatan yang belum digunakan. Sehingga seringkali kita, jemaat-gereja, hanya berhenti di titik bertanya dan mempertanyakan, “pembangunan jemaat?” Kurang berhasil melihat secara utuh jemaat sebagai subjek, dan bukan sebagai objek. Dan gagap mengurai permasalahan yang harus dilihat sebagai tantangan dan ujian. Ya, ujian untuk “naik kelas.” Bahwa proses pembangunan jemaat itu memberi perspektif dan harapan. Jangan terus-menerus menjadi jemaat yang “tidak berdaya,” lalu hanya mencari-cari kesalahan satu dengan lainnya.   

Tetapi mari berupaya menemukan kekuatan-kekuatan yang sudah disediakan Allah dalam kehidupan berjemaat kita. Bersama-sama bersyukur dan mengalami transformasi. Karena semua berpartisipasi mewujudkan jemaat yang hidup, vital dan menarik. Secara sistematis dan utuh, jemaat dibangun atas Rahmat Allah, jemaat dibangun bersama dalam iman, pengharapan dan kasih. Menjadi “garam dan terang dunia,” terus-menerus jemaat dibangun, untuk menjadi saluran pembangunan lingkungan sekitar jemaat-gereja, pembangunan masyarakat dan bahkan pembangunan kehidupan seluruh ciptaan yang terus semakin baik. Mari menuju seperti bunyi judul di awal tulisan ini. Bukan lagi hanya bertanya-mempersoalkan, “pembangunan jemaat?” Tetapi kini dengan doa dan terus-menerus secara sistematis menjadi jemaat yang berjuang bersama, memberlakukan nyata: Pembangunan Jemaat! 





Daftar Acuan 

Ammerman, Nancy Tatom. 2014. Sacred Stories Spiritual Tribes-Finding Religion in Everyday Life. New York: Oxford University Press. Bass, Diana Butler. 2004. The Practicing Congregation-Imagining a New Old Church. Virginia: The Alban Institute. Banawiratma, J.B. 2014. Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry (AI). Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Pusat Pastoral Yogyakarta. Darmaputera, Eka. 1997. Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar. Penuntun - Jurnal Teologi dan Gereja, Vol. 3, no. 12 (Juli): 387-396. Ford, Kevin G. 2008. Transforming Church - Bringing Out the good to get to great. Colorado Springs: David C. Cook. Hendriks, Jan. 2002. Jemaat Vital & Menarik - Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Karkkainen, Veli-Matti. 2002. An Introduction to Ecclesiology. Illinois: InterVarsity Press. Ott, E. Stanley. 2004. Transform Your Church with Ministry Teams. Grand Rapids, Michigan    William B. Eerdmans Publishing Company. Purwanto, Lazarus H. 2004. Menjadi Batu Hidup - Mengembangkan STT Jakarta dengan Orientasi pada Jemaat untuk Pembangunan Jemaat. Orasi Dies Natalis ke-70 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta 27 September 2004. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta. Van Hooijdonk, P.G. 1996. Batu-batu Yang Hidup - Pengantar ke Dalam Pembangunan Jemaat. Yogyakarta dan Jakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.         


(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak kurang rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)

Refleksi Minggu Pertama Mei 2016 - Hari Kenaikan Tuhan Yesus Kristus


Lukas 24: 44-53 



 Diberkati melalui Kenaikan-Nya ke Sorga





Rupanya, ketika naik terangkat ke sorga, Tuhan Yesus Kristus memberkati. Memberkati murid-murid-Nya. Peristiwa berpisah yang tidak benar-benar berpisah. Karena perpisahan mereka tergantikan dengan penyertaan berkat-Nya. “Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga.” (ayat 51). Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak pernah benar-benar berpisah dengan mereka yang mengikuti dan percaya kepada-Nya. 

Dia adalah Allah yang tidak terpisahkan. Dalam struktur teologis Trinitas saja. Atau kita kenal dalam perichoresis (hubungan antara Allah Bapa-Anak-Roh Kudus) ada hubungan yang selalu bertaut dan tidak terpisahkan, bahkan saling melengkapi. Dan menyempurnakan. Dan sesungguhnya itulah “percikan” yang murid-murid terima di peristiwa kenaikan-Nya ini. Para murid, dan refleksinya adalah semua “murid-Nya” hingga kini, yakni semua yang mau datang mengikuti-Nya. Percaya kepada Allah dalam Tuhan Yesus Kristus dalam menjalankan hidup kehidupannya. Bahkan mau mengikuti hingga ke luar kota sampai dekat Betania (refleksi untuk ini adalah berserah dan setia iman di manapun ditempatkan Tuhan), dan menjadi saksi Kesucian-Kemenanagan dan Kekuatan-KemuliaanNya. Naik bersama kenaikan-Nya ke Sorga! 

Mari sujud dan bersyukur. “Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita.” (ayat 52). Ya, seperti para murid, dan karena kita juga adalah bagian murid-murid Tuhan Yesus. Tetapi juga dengan hati yang benar-benar mengucapkan terima kasih. Benar-benar lebih bersyukur atas penyelamatan Tuhan Yesus Kristus atas semua umat manusia. Termasuk khususnya Anda dan saya serta semua murid, para pengkiut-Nya. Dengan limpah berkat-Nya, Tuhan Yesus Kristus tidak pernah melupakan dan apalagi, Dia tidak pernah meninggalkan kita. 

Mari pulang ke Yerusalem, ke rumah kita masing-masing. Pulang ke kehidupan kita sehari-hari, tetap sebagai murid-Nya pulang, kembali ke keluarga kita, studi dan ujian-ujian yang harus kita pertanggungjawabkan, juga segala tugas pekerjaan di manapun dan dalam jabatan-fungsi apapun kita. Dan mari pulang kembali di mana lingkungan, tetangga, kota dan bangsa serta masyarakat di mana kita ditempatkan Allah di atas muka bumi ini. Dengan... -ini catatan serta refleksi kita terakhir yang sangat kuat- dengan sangat bersukacita! 

Sekali lagi, mengutip plek kata-kata dan kalimat terakhir di ayat 52 tadi, mari tiap kita dan kita bersama pulang kembali ke aslinya kita sebagai anak-anak dan murid-murid Tuhan Yesus Kristus, untuk menjadi “garam dan terang dunia”, kembali pulang ke locus di manapun kita ada dan berada “ditaruh” Tuhan, pulang kembali ke kesederhanaan, pulang kembali jadi dan lebih jujur, pulang kembali ke fitrah kita sebagai manusia serta ciptaan, yang sesungguhnya hanya bisa juga boleh bergantung kepada Allah. Pulang kembali untuk mengasihi yang kecil dan lemah, pulang kembali untuk berbagi, melayani dengan penuh kasih kepada semua orang, khususnya kepada mereka yang sedih dan pedih. 

Pulang dengan.. membawa sukacita bagi semua orang. Tidak hanya sukacita saja, tetapi “dengan sangat bersukacita.” Pulang dengan bersukacita, sangat! 

Selamat Hari Kenaikan Tuhan Yesus Kristus. Amin. 


Tulisan & Foto: Pdt. Lusindo Tobing.

18 April 2016

Teologi Multimedia


Lusindo Yosep Tobing 
Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta



Teologi Multimedia 
 
Abstrak 
Tujuan penulisan Paper akhir ini adalah saya (penulis) mencoba membangun konstruksi teologi baru, mungkin memang benar-benar baru, atau sebaliknya, sebenarnya tidak terlalu baru tetapi sangat berhubungan dengan media, komunikasi dan kenyataan dunia sekarang. Dunia media, komunikasi, keberadaan majunya teknologi media, arus deras informasi, hingga kekuatan Net Generation (generasi internet), yang cenderung mengubah dunia. Seraya memantulkan hakikat, melihat beberapa pemahaman yang dipegang geliat media, serta nilai-nilai hubungan yang digunakan. Hingga dampak semua kemajuan dan perkembangan media, memantulkannya kepada aku, kita dan hubungan dengan berbagai tipe manusia (yang serba “multi” dalam berbagai dimensinya), juga termasuk segala media ciptaanNya. Mencoba menelusuri, apakah ada standar-standar dari kehidupan antar media, juga pemahaman serta pemahaman hubungan berdasar Teologi lama, juga Teologi yang tidak terlalu lama (baru), untuk bisa dikolaborasikan, kemudian ditawarkan, dan bisa benar-benar digunakan: Teologi Multimedia. 

Kata-kata kunci: Media, Teologi, Komunikasi, Net Generation, Hubungan, Norma, Kolaborasi, Jaringan. 



Pendahuluan   

Saat tulisan ini saya kerjakan (akhir tahun 2015). Sudah banyak media (komunikasi-informasi-pengajaran) hadir dan menyerbu beberapa fase kehidupan. Don Tapscott, salah satu pakar cyber terkemuka dunia, coba membagi generasi dalam bukunya Grown Up Digital (2013, 18-24) mulai dari fase kehidupan manusia yang lahir Januari 1946: Generasi Baby Boomer (lahir 1946 - 1964); Generasi X (lahir 1865-1976), Y (lahir 1977-97), Generasi Z (lahir 1998-2010) bahkan kini mulai muncul Generasi Alpha (manusia yang lahir tahun 2011- selanjutnya). Bahkan semakin menyatu hampir di semua struktur, konteks, dimensi dan fenomena hidup manusia sepanjang durasi tersebut hingga generasi kini. Yang saya sebut sebagai: Durasi menjadi generasi multimedia.   

Multimedia dalam tulisan ini saya (mengajak Anda) memaknainya dalam 2 bagian: Pertama, Multimedia dari dimensi dunia komunikasi, pendidikan dan pengajaran tadi. Juga mungkin yang sudah secara umum disepakati. Salah satunya seperti dalam buku Teaching And Learning With Multimedia oleh Janet Collins, Michael Hammond dan Jerry Wellington, sepakat mendefinisikan:   It is not easy to find a definition of ‘multimedia’. ...we simply take the term ‘multimedia’ to be way of presenting material (often learning material) which involves three or more of the following media within a computer environment: Speech or other sound, drawing or diagrams, animated drawings or diagrams, still photographs or other images, video clips, text, and the printed word. (Collins et al 1997, 3-4)         

Yang oleh Richard E. Mayer dalam bukunya Multimedia Learning (2001), meringkas dalam dua media saja yang digunakan secara bersamaan yakni: Kata-kata (words) dan Gambar-gambar (pictures). Sedangkan kata “media” (dalam multimedia) sesungguhnya berasal dari kata medium, yang berarti in betwen (diantara) atau perantara. Dari sesuatu yang besar (large) untuk disambungkan ke sesuatu yang lebih kecil (small).   

Dan bagian kedua, adalah Multimedia pada dimensi jauh lebih luas. Yang universal dan tak terbatas. Yaitu berbagai media yang sudah ada dan yang baru lagi akan ada. Mulai dari media dasar alam (tanah, air, udara dan api). Juga kita manusia sebagai media-Nya. Hingga berbagai media kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Terkhususkan seni sebagai media, seperti puisi, tari, lukis, patung, dan banyak lagi atau semua jenis seni lainnya. Dan sampai kepada berbagai media dunia nyata seperti majalah, koran, radio, televisi, hingga media dunia maya (internet). Sebuah buku berjudul “Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi”, Rulli Nasrullah penulisnya, menjelaskan proses terjadinya komunikasi selalu memerlukan tiga hal, yaitu objek, organ, dan medium. Saat menyaksikan satu program di televisi misalnya, maka televisi adalah objek, dan mata adalah organ. Perantara antara televisi dan mata adalah gambar atau visual. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa media merupakan wadah untuk membawa pesan, dalam sebuah proses komunikasi.   

Pengertian media cenderung lebih dekat terhadap sifatnya yang massa karena terlihat dari berbagai teori yang muncul dalam komunikasi massa. Namun, semua definisi yang ada memiliki kecenderungan yang sama bahwa ketika disebutkan kata ‘media’, yang muncul bersamaan dengan itu adalah sarana disertai dengan teknologinya. Koran merupakan representasi dari media cetak, sementara radio yang merupakan media audio dan televisi sebagai audio-visual merupakan representasi dari media elektronik, dan internet merupakan representasi dari media online atau di dalam jaringan. (Nasrullah 2015, 3)   

Dan tentang sebuah “gambar” sebagai media misalnya. Djoko Soekiman dalam buku “Tantangan Kemanusiaan Universal” (G. Moedjanto dan kawan-kawan, peny. 1994) dengan tulisannya berjudul Gambar Sebagai Media Pembawa Berita Peradaban menjelaskan juga menegaskan bahwa tiap gambar selalu berharga untuk kita, dalam mengikuti perubahan peradaban manusia:   Dari lukisan yang didapat di dalam lekuk-lekuk gua di bawah tanah dan peralatan manusia purba sampai dengan rekaman potret filmatau video zaman modern sekarang ini, merupakan bahan-bahan berharga untuk mengikuti perkembangan peradaban manusia. Penemuan teknik merekam gambar yang canggih zaman kita sekarang, merupakan penyempurnaan merekam data peradaban manusia. (Moedjanto peny.1994, 330)   

Mari berhenti sejenak. Untuk menyadarkan kita kini sedang berada dimana dan sebagai pembanding keadaan generasi, Don Tapscott mengakui: Dunia 1997 berbeda dengan dunia sekarang. Waktu itu belum ada Google, belum ada Facebook, belum ada Twitter, dan belum ada BlackBerry. YouTube belum datang; Anda harus menonton video musik di pesawat televisi. Kendati demikian, saya dapat melihat potensi teknologi baru yang luar biasa ini, maka saya berspekulasi tentang dampak media baru. (Tapscott 2013, 3)
   
Tapscott selanjutnya memastikan, bahwa cara pandang generasi multimedia (-generasi internet - istilah yang digunakan Tapscott), sudah sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi boomer. Misalnya dalam cara mereka menggerakkan mata menjelajah layar (komputer atau laptop atau text images frame apapun). Jika Anda seorang boomer, menurut Tapscott maka Anda akan mulai dengan melihat ke sudut kiri atas sewaktu Anda mencari teks yang akan mengatakan tentang sesuatu. Lalu akan bergerak dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah. Anda telah dilatih untuk membaca dengan cara demikian. Yang oleh Webster, J. (ed.) dalam Wiley Encyclopedia of Electrical and Electronics Engineering (1999, 60) diistilahkan dengan cara membaca monomedia dan linear.   

Di pihak lain, jika Anda adalah anggota generasi multimedia, maka mata Anda mulai dengan gambar-gambar. Selanjutnya beralih ke lambang kemudian kotak yang berwarna. Dan barulah ke teks. Menurut Tapscoot, Anda melihat dengan cara demikian karena Anda telah dibesarkan di lingkungan serba digital dan Anda telah terlatih untuk memahami makna sejumlah ikon atau citra yang mudah dikenali yang dengan cepat memberi informasi. Tayangan dan presentasi multimedia menggunakan banyak media yang terjadi secara bersamaan atau dalam beberapa cara terkait, semuanya saling berhubungan dan ditentukan oleh pembuatnya. 



Teologi Multimedia Adalah Hubungan   

Dalam rangka membangun konstruksi Teologi Multimedia, eikon tou theou dalam Kolose 1: 15 menjadi sangat penting, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” (Lembaga Alkitab Indonesia /LAI). Yang menurut Balz & Schneider (1993), di halaman 190, buku Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 3, adalah penekanan terhadap “superioritas dasar” dan itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Kristus adalah bagian dari penciptaan dirinya sendiri, tetapi tentang bagaimana posisi Yesus dalam hubungan yang unik dengan Allah.   

Bahkan seorang Rudolf Bultman pernah menegaskan dalam Buku Theology of the New Testament (1955, 22-23) bahwa: For Jesus, God again became a God at hand. Yesus menjadikan Allah adalah kekuatan, di sini dan sekarang. Menjadi media yang hadir (sekaligus) sebagai Tuhan dan Bapa, merengkuh serta memeluk setiap manusia yang terbatas. Sekaligus menurut Bultman lagi, menghadirkan Allah yang menuntut penghakiman, juga Allah penyayang yang menganugerahkan pengampunan. Hal ini mungkin dapat mengkonfirmasi bahwa semua manusia (sekaligus) dijadikan seperti media-media kecil Allah, multimedia terhubung satu dengan lainnya. Dalam Satu Tubuh. Satu Media Besar.   

Masih tentang ayat yang sama (Kolose 1: 15), W. Michaelis, dalam Theological Dictionary of the New Testament (1985, 968), memberikan masukan yang lebih jelas istilah “anak sulung – prototokos” yaitu Yesus adalah mediator dari segala sesuatu yang diciptakan. Tidak dalam artian bahwa Yesus adalah makhluk pertama yang diciptakan, melainkan pemahaman yang ditekankan adalah tentang supremasi Kristus atas seluruh ciptaan. Penggambaran keutamaan Yesus dari segala yang ada. Oleh dan dalam Allah, Yesus adalah media. Sang Firman, dan melalui Dia diciptakanlah segala sesuatu: Media-media yang lainnya. Yang oleh William Dyrness, dalam bukunya Visual Faith: Art, Theology, and Worship in Dialogue menegaskan: One of the most important claims of the Christian faith is that God entered into space and time in the form of a historical person, Jesus Christ. As the survey the biblical materials revealed, this implies a great deal not only about the purposes of God but also about God’s relationship to the creation. ... These traditions (or this tradition, since they together made up the first one thousand years of the church) see great significance in the fact that God took on human flesh -took on creation itself- and that with Christ’s glorification provided an actual (and in some sense visual) anticipation of God’s final work of renewing all creation. (Dyrness 2001, 88).   

Walaupun Dyrness hanya meninjau untuk dan dalam media visual, namun refleksi dan implikasinya bisa luas sekali. Beragam media atau kita sebut sebagai multimedia akhirnya bukan lagi sekadar menghubungkan. Tetapi multimedia sudah sebagai hubungan itu sendiri. Sehingga dengan rendah hati dan sedikit hati-hati, “multimedia” akhirnya saya ungkapkan sebagai “hubungan berbagai-bagai, tiada akhir, yang membawa pengharapan” di dalam Media Allah yang sulung: Yesus Kristus. Dan dari Yesus, di sini letak awal dan inti kita berteologi multimedia. Di dunia sekarang dan dunia ke masa depan. Bukan dunia yang “dihubungkan” atau dibawa kepada Yesus. Tetapi sebaliknya: Yesus yang dibawa kepada dunia.   

Seperti yang digambarkan Buku Shaking The World For Jesus, karya Heather Hendershot (2004), bukan sekadar melalui produk-produk yang bisa kita pakai sehari-hari (tulisan dan gambar “Jesus” atau “kutipan Alkitab” di kaos, stiker mobil, dan sebagainya), yang sangat bisa mengganggu hubungan kita dengan orang lain. Seperti di konteks penulis berada, Indonesia. Tetapi mungkin juga bisa menjadi apa yang diistilahkan oleh Ross Rohde dalam bukunya: Viral Jesus. Menjadi virus Jesus. Atau virus-virus Jesus. Yang berhubungan dan memulihkan pribadi-pribadi yang mengaku Kristen, keluarga-keluarga beragama Kristen dan komunitas-komunitas Kristen (jemaat dan gereja).   

Juga saling menghubungkan dengan orang dan komunitas agama apapun (Kristen dan selain Kristen) atau kepercayaan apapun. Karena Viral Jesus menghubungkan semua dengan semua. Lahir dari Cinta Kasih. Lahir dari hubungan dan kebersamaan dengan orang banyak. Hubungan persahabatan. Hubungan yang saling menguatkan dan saling berusaha menemukan. Menemukan kebenaran. Kebenaran yang sesungguhnya adalah isi dari media yang multimedia itu, yakni: Firman Allah, bahkan Allah (itu sendiri).   

Siapapun, di manapun dan bagaimanapun semua sesungguhnya bisa terhubungkan. Menjadikan media bahkan multimedia adalah hubungan itu sendiri. Sepanjang waktu perjalanan sejarah manusia, baik cara maupun khususnya isi. Marthin Luther misalnya pernah menggunakan alat cetak yang masih langka saat itu, untuk mencetak dan memperbanyak konsepnya yang kemudian bermuara kepada Reformasi dan melahirkan Protestan. Semua adalah media, yang saling berhubungan yang berusaha menemukan. Contohnya sampai kepada penemuan terakhir dari ahli fisika Inggris, Peter Higgs, dan fisikawan Francois Englert dari Belgia dianugerahi penghargaan Hadiah Nobel bidang fisika tahun 2013 tentang: Partikel Tuhan. Yang dianggap sebagai kunci untuk menjelaskan asal-usul alam semesta dan semua benda di dalamnya. (tempo.co/tekno. 2013). 



Minimal Dua Media Terhubung, Allah Ada 

Jika hanya melalui satu media, kita akan kesulitan bahkan mungkin kita tidak akan bisa menemukan Allah. Tetapi melalui berbagai-bagai media, menerima, menikmati dan hidup dalam berbagai media, baru bisa menemukan Allah. Melalui satu poin kita tidak bisa menemukan Allah. Di banyak poin baru bisa. Di satu warna kita tidak bisa menemukan Allah. Di banyak warna baru ada Allah. Di satu orang saja (baca dan maknai: diri sendiri apalagi dengan egoisme kita sendiri) tidak akan menemukan Allah. Tetapi di banyak orang, bersama dengan orang lain, kita bisa bertemu dan menemukan Allah. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Matius 18: 20 - LAI). Itu berarti dan semakin memperjelas kita bahwa kalau “di mana ada satu orang dalam namaku, di situ Aku tidak ada.”   

Dan seperti yang sudah saya coba konstruksikan sebelumnya, mungkin dengan melihat gambar dan penggambaran satu-satunya Yesus sebagai “media besar” dengan menjadikan kita, manusia dan berbagai hal-hal lainnya di alam raya sebagai “media-media kecil”. Maka jadi benar dan terang-benderang, bahwa selalu harus ada 2 (dua) media atau lebih (tiga, empat, lima dan seterusnya) media agar terjalin hubungan.   

Daniel Goleman dalam bukunya Sosial Intelligence (2015, 39) menguatkan kebenaran tentang hubungan dan keterhubungan itu, yang umpan-balik, “Ketika orang masuk bersama-sama ke lingkaran umpan-balik ini, otak mereka mengirim dan menerima aliran sinyal terus-menerus yang memungkinkan mereka menciptakan keselarasan tak terucap, dan, jika berjalan dengan benar, aliran ini memperkuat resonansi otak mereka. Proses larut bersama ini memungkinkan perasaan, pikiran dan tindakan menyelaras. Kita menerima dan mengirim keadaan internal, apa pun hasilnya, entah itu tertawa atau sabar, atau tegang dan benci.” Jadi, minimal 2 media yang terhubung. Tidak sekadar menemukan keindahan (beauty) dalam hubungan-hubungan besar-kecil itu, tetapi yang lebih tinggi lagi: Pengharapan.   

Pengharapan terus-menerus menemukan Kebenaran (Allah) baik hari ini, dan esok hari, bahkan sepanjang masa. Karena ada keterhubungan yang tidak bisa diingkari oleh waktu, ruang, manusia dan berbagai ciptaan Allah. Ada multimedia. Ada hubungan yang tiada henti yang selalu menghasilkan pengharapan. Dari media-media yang selalu lahir, ada dan hadir berfungsi. Bukan sekadar hasil manusia belaka. Tetapi oleh “gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Dalam ungkapan John de Gruchy di bukunya Saksi Bagi Kristus yang merupakan kumpulan cuplikan karya Dietrech Bonhoeffer, Yesus jelas disebut sebagai Pengantara: Orang Kristen mendekati orang lain hanya melalui Yesus Kristus. Di antara manusia ada percekcokan. “Ialah damai kita”, demikianlah kata Paulus tentang Yesus Kristus (Efesus 2: 14). Tanpa Kristus, yang ada ialah pertentangan antara Allah dengan orang dan antara orang dengan orang. Kristus menjadi pengantara dan mendatangkan damai dengan Allah dan antara orang. ... Hanya dalam Yesus Kristus kita satu, hanya karena Dia kita diikat bersama. Sampai kekal Ia tetap satu-satunya Pengantara. (de Gruchy 1993, 222).   

Yesus adalah pengantara besar atau media besar. Manusia dan yang lain adalah media-media kecil. Apa saja media yang digunakan dalam multimedia itu, maka yang muncul dan akan selalu muncul adalah Allah. Hubungan yang selalu dan akan selalu memberi pemaknaan baru. Secara Teologi Multimedia, Allah tahu, jika dilepas begitu saja, maka manusia yang penuh keterbatasan itu akan hang dan bahkan rusak total. Karena dosanya sendiri. Gereja harus mempunyai cara pandang/struktur yang baru bahkan terus baru. Melihat keindahan yang bermakna. Seperti pendapat Dyrness dan Tapscott (bila digabungkan) selalu mengingatkan kita untuk lebih dulu mengutamakan dan memaknai dengan melihat gambar, simbol, lambang dan yang ada warna. Yang Punya makna dulu, baru berikutnya yang kurang makna atau bahkan menghilangkan yang tidak bermakna. Tugas kita bukan sekadar untuk menyukai atau tidak menyukai. Tugas kita adalah keluar mempersembahkan dan menghubungkan. Menghubungkan semuanya, menjadikan semua sahabat dan menguatkan link kita semua dalam Yesus. Karena semua telah dan akan selalu dihubungkan oleh dan dalam Kasih Karunia Allah.   

Sehingga semua media bisa semakin terlibat dan memunculkan kerinduannya, misalnya seperti Ben Okafor, seorang penyanyi, komposer dan musisi asal Nigeria menyampaikan keinginan:   Berilah kesempatan kepada seniman untuk memberitakan Injil. Janganlah hanya pendeta yang berkhotbah. (Brudereck 2015, hal. 33).   

Ini berlaku di tiap hari, di era multimedia sekarang, juga dalam perkembangan berikutnya nanti. Seperti Kitab Ulangan 6: 7 (LAI), “.. haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Bahkan mengajarkan, memediasikan Allah itu kepada dan bersama orang-orang di sekitar kita.   

Di mana kita berada, di situlah gereja. Jadi seluruh dunia di mana kita sedang berada, di situlah gereja, jadi seluruh dunia adalah gereja. Tetapi juga marilah melihat bahwa dunia serta semesta ini adalah gereja besar itu, tubuh Kristus yang universal (Am) dan kitalah multimedia dengan berbagai pintu masuk tadi. Silakan melewati pintu yang manapun, tetapi kita ada di dalam satu gereja yang besar itu. Media besar itu. Gereja yang sesungguhnya. Gereja multimedia. Karena sesungguhnya dalam bahasa Daniel Goleman, di dalam tiap makhluk hidup, khususnya manusia, terdapat apa yang disebut “WiFi saraf” (Goleman 2015, 41), “Para ilmuwan saraf menemukan WiFi saraf ini secara kebetulan pada tahun 1992. Mereka sedang memetakan area sensori-motorik otak monyet dengan menggunakan elektroda-elektroda yang begitu tipis seperti laser yang bisa mereka tanamkan dalam satu sel otak. Ketika pada suatu siang hari yang panas ketika seorang asisten riset kembali dari istirahat sambil makan es krim. Para ilmuwan terpesona melihat sel sensori-motorik menjadi aktif ketika seekor monyet melihat si asisten mengangkat contong es krim itu ke bibirnya.”   Dan melalui media apapun juga, hubungan semakin jelas di antara manusia. Dalam bukunya yang berjudul Social Intelligence itu, Daniel Goleman mengisahkan penelitian yang dilakukan Carl Marci, seorang psikiater di Harvard Medical School: Karena sebelumnya, ilmu saraf hanya mempelajari satu otak pada setiap kesempatan. Namun sekarang dua otak dianalisis pada saat yang sama, menyingkapkan duet saraf yang hingga kini tak terbayangkan antara otak dan otak ketika orang-orang berinteraksi. Marci telah menyarikan dari datanya apa yang ia sebut sebagai “logaritma untuk empati,” suatu proses saling memengaruhi respons keringat dua orang selama mereka menikmati hubungan baik. Logaritma itu mereduksi pola fisiologi dua orang pada waktu puncak hubungan baik, ketika seseorang merasa dimengerti oleh yang lain, ke dalam persamaan matematis. (Goleman 2015, 24).



Keluar-Kedalam, Tidak Kelihatan-Kelihatan   

Waktu adalah juga media. Dan ingat, seperti sebuah data yang dikirimkan ke internet, maka itu berlaku selamanya. Demikian pula Allah yang ada dalam dan melalui media-media, Dia adalah yang kekal abadi. Alfa sampai Omega. Tak akan pernah terpuaskannya diri manusia, diketahui oleh Allah sejak awal. Sehingga Allah merancang hadir dan berkarya dalam berbagai media seperti dalam Perikoresis yang menari dan saling melengkapi versi Catherine Mowry Lacugna: In short, the doctrine's subject matter is the mystery of God who acts and is present in the events of history—-salvation history. The God of redemptive history comes to be known, loved and worshiped in the course of a yet-to-be-completed relationship between God and God's people. (Lacugna 1992, 679). Dan yang keluar akan membuat ke dalam. Hubungan Allah melalui Yesus (media besar) dengan kita (media-media kecil). Yang multimedia itu akan terus berkembang. Dari “Gambar Allah yang tidak kelihatan” maka oleh Yesus sebagai media membuat DiriNya menjadi “Gambar Allah yang kelihatan.” Lalu ketika Yesus menjumpai manusia dan dunia, dari berbagai nubuatan-nubuatan tentang Yesus hingga Natal, kembali lagi Yesus menjadi “Gambar Allah yang tidak kelihatan.” Tetapi ketika terjadi hubungan dengan murid-murid, berkembang dengan para pengikut Yesus. Dan bersama keterhubungan dengan seluruh manusia, ciptaan dan kehidupan sebagai media-media kecil, besar-kecil, keluar-kedalam, proses teologi multimedia menjadi terus-menerus.    

Di buku Open To Go (2015) yang ditulis dan disusun bersama oleh Christina Brudereck dan kawan-kawan, mempertanyakan ulang, dari mana visi hidup tentang kebaikan, norma (nilai) dan kebenaran dan hal-hal lain di seputar itu berasal, dan bagaimana perbuatan, sikap dan kebiasaan itu dibentuk. Oleh kita bersama, baik sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat, apalagi sebagai orang-orang percaya (gereja) dalam jaman media dan kemajuan daya pikir dan derasnya berbagai informasi seperti sekarang ini (Brudereck dan kawan-kawan 2015, 101), “Sekali lagi bagaimana visi kita dibentuk? Kita memiliki tubuh -bukan hanya pikiran, melainkan juga indera, otot dan tulang. Yang mendasari perbuatan kita adalah gambar dan cerita, bukan kebenaran abstrak. Gambar dan cerita tersebut menyatu dengan perbuatan jasmani, “liturgi” kita sehari-hari, yang membentuk kebiasaan dan sikap kita. Sangat sulit menolak citra dan kebiasaan yang membudaya di masyarakat kita. Budaya konsumtif sangat menggiurkan dan menarik. Satu cara untuk menangkalnya adalah dengan menarik diri dari dunia - hidup tanpa tv, internet dan shopping. Beberapa kelompok Kristen radikal memang telah memilih untuk hidup seperti itu. Kelompok lainnya memilih untuk sedikit menjauhi - dan inilah salah satu alasan mengapa gereja Protestan sering enggan bercampur dengan budaya populer. Namun, jika ingin tetap menjadi sebuh gereja misioner, kita harus hadir di tengah masyarakat, tanpa terpengaruh keinginan dan kebiasaan yang tidak benar, ‘di dalam dunia’, tetapi bukan di ‘luar’ dunia.”   

Sadar dan tetap di dalam dunia, namun semakin banyak menjalin hubungan keluar, antar media, menjalin hubungan yang baik dengan lebih banyak orang, bahkan yang berbeda-beda, multimedia. Itu semakin menguatkan kita ke dalam dan atau semakin yakin ke dalam: Iman, nilai diri (self esteem), pada gereja dan bahkan (ke dalam) keluarga. Pendapat Tapscott dengan hasil penelitian tim-nya misalnya, menarik untuk kita cermati:   Generasi ini memiliki komitmen untuk memelihara hubungan-hubungan dalam keluarga. Sebuah jajak pendapat tahun 2007 mengungkapkan komitmen yang kuat terhadap keluarga dan menunjukkan minat yang diperbarui terhadap struktur keluarga tradisional. 85 persen berpendapat bahwa menikah akan membuat mereka bahagia, dan 90 persen berpendapat tampaknya mereka akan menikah dengan orang yang sama seumur hidup. Dan 56 persen mengatakan bahwa mempunyai keluarga sendiri sangat penting. (Tapscott 2009, 343).   

Ungkapan, “Media besar itu kuat dan media-media kecil itu lemah,” mungkin juga tidaklah berlaku lagi. Karena Allah sebagai gambar yang tidak kelihatan, yakni dalam Yesus, malah membuktikan media-media kecil jadi lebih cepat bergerak (keluar-kedalam). Ketika media-media kecil cepat, makin kuat sekaligus dan bersamaan (multimedia) beraktifitas maka media besar akan “kalah”. Tetapi, di sini hebatnya: Kekalahan menjadi kemenangan. Lalu semakin jadi kemenangan. Media kecil menjadi besar untuk membesarkan yang media besar. Media besar yang semakin besar akan kembali membesarkan (menguatkan dan menghadirkan) media-media kecil yang baru, bersama kita manusia dengan semua media lainnya saling terhubung, berpengharapan, ada kebebasan, bersahabat, menari saling memenuhi dalam kebaikan dan seterusnya: Teologi Multimedia.   

Joas Adiprasetya dengan baik mengangkat saling memberikan kemenangan ini dengan ungkapan “Pelayan Pendamaian,” lewat buku kumpulan khotbahnya. Tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, berjudul Menyemai Cinta, Merawat Damai. Berdasarkan 2 Korintus 5: 18-19, khususnya dari berita Natal, kita diajak menjadi pelayan-pelayan pendamaian (Adiprasetya 2016, 50), “Berita pertama Natal, Allah berdamai dengan manusia, tidak bisa dilepaskan dari berita yang kedua, manusia harus saling berdamai.”   

Selanjutnya Adiprasetya (2016, 51) juga menegaskan, “Di dunia ada banyak simbol perdamaian. Sadako Sasaki membuat burung bangau kertas sebagai lambang perdamaian. Tradisi Kristen memiliki burung merpati sebagai lambang perdamaian. Terang lilin juga Natal menjadi lambang perdamaian.”   



Menuju Kesimpulan Serta Sedikit Refleksi dan Ajakan   

Hanya Allah adalah personalitas. Dan Yesus adalah media besar. Sehingga kita manusia, yaitu aku ini adalah media kecil, begitu juga anda dan semua adalah media-media kecil. Karena di dalam diriku ada cinta kasih. Ada Allah. Hanya dengan bergabung dengan Media Besar. Kita mendapatkan “kebesaran”-Nya. Yang memampukan kita menjadi media perbuatan-perbuatan baik. Bukan media salah sangka atau media perbuatan yang tidak baik. Media tidak pernah peduli dengan dirinya. Minimal itu yang ditelandankan Kristus. Karena diri kita seharusnya tidak peduli atas diriku. Aku seolah-olah aku. Kita mengalami “sepi” tersembunyi. Dan di sinilah keindahan (beauty) yang sesungguhnya itu. Jauh ke dalam diri kita. Mendamba selalu memiliki hubungan. Hubungan dengan Allah, dengan Allah dalam Media Besar (Kristus) dan hubungan dengan media-media kecil. Hubungan multimedia. Sebagai media-media kecil yang punya informasi tersembunyi, data-data akan beauty itu, akhirnya membuat setiap orang boleh membangun identitasnya terhadap dan dalam rangka kebersamaan media-media kecil, bersama media besar saling menguatkan hubungannya oleh dan untuk Allah. Bahkan dalam Alkitab sendiri, banyak data dan informasi-informasi yang tersembunyi (tidak sekadar eksplisit tertulis, terbaca dan tampak oleh kasat mata), dalam Perjanjian Baru misalnya, Laurence Gardner pernah menekankan di bukunya Bloodline of The Holy Grail: Such information hidden in the New Testament was of considerable relevance when written, and it remains very important today. Methods of disguising the true meanings included allegory, symbolism, metaphor, simile, sectarian definition, and pseudonyms. The meanings were fully apparent, nonetheless, to ‘those with ears to hear’.” (Gardner 1996, 28)   

Untuk perjalanan kita selanjutnya sebagai media dan di tengah serta bersama-sama media-media yang Allah adakan, mungkin apa yang dinyatakan Tom Wright dalam bukunya The Original Jesus, bisa menjadi perhatian kita yang kuat: And that journey can neither be private nor self-centred. You see, if we start journey by recognizing the rich, forgiving, healing love the true God in the face of Jesus Christ, then to continue the journey means to join in with God’s work of healing and love in the world. If, as the apostle Paul says, “In Christ God was reconciling the world to himself”, then those who find themselves drawn into the love of this God must themselves join in God’s work of reconciliation. You see, when we explore the question about Jesus and God, we discover another question: What might it look like today if people were captivated by the Spirit of this Jesus? At its best, the church consists of people who are struggling to answer that -not just in words, but in stories, and symbols, and actions- in their everyday lives. (Wright 1996, 87)   

Dengan cukup ekstrim, misalnya kritik Linwood Urban dalam bukunya Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen (2012, 477-478) dengan dimensi Barat-nya, dengan kenyataan yang ‘berbagai’ (baca multi) menegaskan sekaligus mengajak, seperti hakikat ‘Teologi Multimedia’ untuk kita sadar, ”Sebagaimana di Barat kita mengembangkan suatu pandangan baru untuk berbagai peradaban Asia dan Timur Dekat, demikian juga penghargaan kita telah bertumbuh terhadap tradisi-tradisi keagamaan mereka, Hinduisme, Buddhisme, dan Islam. Sama dengan itu, kontak yang luas dengan berbagai kebudayaan pramodern menyingkapkan bahwa mereka dan agama-agama mereka itu jauh lebih bernilai daripada yang dipercayai kakek-nenek kita.”   

Dalam bukunya yang berjudul Jesus Christ in World History, Jan A.B. Jongeneel juga pernah memaparkan: Wherever cyclical worldviews prevail -as in primal societies, eastern religions, various new religious move ments, and New Age- syncretism can be observed. Cyclical belief system have a history of mixing between themselves; but they also mix with monotheistic belief systems, especially Christianity. Primal socities - which posses a less developed concept of the time than Hinduism, Buddhism, Taoism, Confucianism, Shintoism, new religious movements, and New Age- have more frequently fused their system with linear features. (Jongeneel 2011, 316)   

Di buku yang sama, Jogeneel (2011) bahkan menjabarkan bahkan menegaskan tentang “Presence” and “Representations” dari Yesus dalam perjalanan sejarah dunia, yang kita kenal dengan istilah Contemporary presence: Transformative power, Future presence: Finalizing power, dan Past presence: Initiative power, bahkan Seminal presence: Cosmic power. Dan berbagai representation of Jesus Christ: By words, by deeds, by suffering dan by resurgence
Timothy Freke dan Peter Gandy (1999) dalam buku mereka The Jesus mysteries. Was the “original Jesus” a Pagan God?”, bahkan menambahkan berbagai keterhubungan berbagai media-media dalam tautan hubungannya dengan Yesus sebagai media besar itu.   
Mystics off all spiritual traditions have taught that there is only one Truth, ever present and never changing. It was not suddenly revealed for the first time 2,000 years ago. Christianity is only a chapter in the perennial humanquest for meaning, acurrent in the sea of evolving human consciousness, another attempt at articulating the timeless Gnosis toward which mystics have reached from the most ancient of days. God did not come to Earth on a once-only excursion. Nor do we have to wait for his promised apocalyptic return. The truth is, God never left. Although there is now no tradition that can initiate modern Christians into the secret Inner Mysteries encoded in the Jesus story, these profound mystical teaching are still there for those with “eyes to see” and have been continually discovered by the greatest Christian mystics throughout the centuries. Thoroughly exploring what these teachings are is too large a task for this present book and must await a later work. All we hope to have established is that there is essentially one perennial philosophy at the heart of both the Pagan Mysteries and Christianity, and that these two traditional enemies are in fact close relatives. (Freke 1999, 255-256)   

Belum lagi sebagai berbagi hubungan yang kita lihat misalnya dengan Yesus sejarah, Craig A. Evans dengan tulisannya berjudul Jesus In Non-Christian Sources dalam buku Studying the Historical Jesus Evaluations of the State of Current Research (Bruce Chilton & Craig A. Evans, peny. 1994, 443 dan 446), “These theories did not, however, win a significant or lasting following. Not suprisingly in recent years scholarly interest in these sources has diminished (in marked contrast to the sensationalist claims that have been and are currently being made in the popular media). Nevertheless, a few sources do offer some potentially helpful data that merit serious attention. There are two important non-Christian sources for the historical Jesus. The first is provided by the Jewish historian Josephus; the second is provided by the Roman official and historian Tacitus. The latter will be treated first and briefly; much more attention will be accorded the former.” Dan mengenai hubungan dan keterhubungan multimedia, kembali Daniel Goleman menebarkan teori dan ilmu barunya tentang hubungan antar-manusia, dalam buku Social Intelligence: Tantangan krusial pada abad ini adalah memperluas lingkup orang-orang yang kita anggap termasuk Kita dan memperkecil jumlah orang yang kita anggap sebagai Mereka. Sains baru tentang kecerdasaan memberi kita alat yang bisa memperluas batas-batas itu ke luar, selangkah demi selangkah. Pertama, kita tak perlu menerima pemisahan yang dibiakkan oleh kebencian, namun mengulurkan empati kita untuk memahami satu sama lain meskipun kita memiliki perbedaan dan untuk menjembatani jurang keterpisahan itu. Menghubungkan kita pada inti kemanusiaan bersama kita. (Goleman 2007, 418)   

Karena kita adalah media Allah. Anda dan saya adalah media, karena itulah kita semua adalah multimedia. Yang sejatinya harus saling terhubung. Mau, berjuang dan benar-benar untuk saling terhubung, atau jika tidak, kita mati.    







Daftar Acuan Buku:
Adiprasetya, Joas. 2016. Menyemai cinta, merawat damai. Kumpulan khotbah tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Jakarta: Gunung Mulia. Balz, Horst and Gerhard M. Schneider. 1990. Exegetical dictionary of the New testament Vol. 3. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company. Bromiley, G.W. 1985. Theological dictionary of the New testament: Abridged in one volume. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company. Brudereck, Christina, dkk. 2015. Open to go: Bagaimana menjadi Gereja masa depan. Jakarta: Gunung Mulia. Bultmann, Rudolf. 1955. Theology of the New testament. Complete in one volume. New York: Charles Scribner’s Sons. Collins, Janet, Michael Hammond and Jerry Wellington. 1997. Teaching and learning with multimedia. London: Routledge. Chilton, Bruce & Craig A. Evans (peny.) 1994. Studying the historical Jesus evaluations of the state of current research. Leiden: Brill. Goleman, Daniel. 2007. Social intelligence, ilmu baru tentang hubungan antar-manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. de Gruchy, John. 1993. Saksi bagi Kristus: Kumpulan cuplikan karya Dietrich bonhoeffer. Jakarta: Gunung Mulia. Dyrness, William A. 2001. Visual faith: Art, theology, and worship in dialogue. Grand Rapids: Baker Academic. Freke, Timothy & Peter Gandy. 1999. The Jesus mysteries. Was the “original Jesus” a Pagan God?” New York: Harmony Books. Gardner, Laurence. 1996. Bloodline of the holy grail. The hidden lineage of Jesus revealed. Shaftesbury, Dorset: Element Books Limited. Goleman, Daniel. 2015. Social intelligence, ilmu baru tentang hubungan antar-manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hendersot, Heather. 2004. Shaking the world for Jesus. Chicago: The University of Chicago Press. Jongeneel, Jan A.B. 2011. Jesus Christ in world history. Bangalore: Centre for Contemporary Christianity. Mayer, Richard. 2001. Multimedia learning. Cambridge: Cambridge University Press. Moedjanto, G. (dan kawan-kawan, peny.). 1994. Tantangan kemanusiaan universal. Yogyakarta: Kanisius. Nasrullah, Rulli. 2015. Media sosial, perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Tapscott, Don. 2013. Grown up digital: Yang muda yang mengubah dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Urban, Linwood. 2012. Sejarah ringkas pemikiran Kristen. Jakarta: Gunung Mulia. Webster, J. (peny.). 1999. Wiley encyclopedia of electrical and electronics engineering. Ontario: John Wiley & Sons, Inc. Wright, Tom. 1996. The original Jesus. The life and vision of a revolutionary. Oxford: A Lion Book. 

Daftar Acuan Jurnal:   
Lacugna, Catherine Mowry. 1992. The Practical Trinity. Sebuah Jurnal dalam The Christian Century: 678-682. 

Daftar Acuan Website Internet:  Tempo.co.Tekno.http://tekno.tempo.co/read/news/2013/10/08/095520245/penemu-teori-partikel-tuhan-sabet-hadiah-nobel (diakses terakhir 24 November 2015).



(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak kurang rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)