06 April 2017

Refleksi Minggu kedua April 2017



Matius 21: 1-11


Dia yang Datang dalam Nama Tuhan

                                                                                                      foto oleh: lt
 
Betfage adalah sebuah desa yang terletak di antara Betania dan Yerusalem - di malam sebelumnya Tuhan Yesus menginap di Betania (baca Yoh. 12:1, 2). Tetapi di desa (secara eksplisit disebut-Nya: kampung) yang kecil itu, Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya dan pentingnya peristiwa yang akan terjadi, saat dengan terperincinya Dia memberi perintah kepada dua murid tentang meminjam keledai betina dan anaknya.

Sebuah nubuatan (Zakharia 9:9) kembali digenapi Tuhan, di kampung Betfage ini sampa memasuki Kota Yerusalem. Diwarnai kerendahan hati “Dia yang datang dalam Nama Tuhan,” karena bukan mengendarai kuda besar, tetapi keledai. Orang banyak <3793> yang sangat besar <4118> jumlahnya menghamparkan <4766> pakaiannya <2440> di <1722> jalan <3598>, ada pula <243> yang memotong <2875> ranting-ranting <2798> dari <575> pohon-pohon <1186> dan <2532> menyebarkannya <4766> di <1722> jalan <3598>” (ayat 8). [ <1161> <1438> <1161>]Ketika semua orang menyambut-Nya dengan sorak-saorai, “Hosana,” (ayat 9) dari bahasa Ibrani yang artinya “berilah kiranya keselamatan. Mari umat, kita menjadi orang kampung, yaitu orang-orang kampung Betfage di konteks perikop ini, hingga menjadi orang kota, Kota Yerusalem, yang menyambut Dia dengan murni dan tulus meneriakkan kerinduan kepada Yesus untuk menjadi Mesias bagi mereka dan bagi semua orang.

Selamat Minggu Palmarum, selamat semakin rendah hati dan murni di perilaku keseharian yang penuh goda keangkuhan. Selamat menuju Jumat Agung, seraya menyambut undangan Perjamuan Kudus, dari Dia yang datang dalam nama Tuhan. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

30 Maret 2017

Refleksi Minggu pertama April 2017



Yohanes 11: 33-44


Dibangkitkan oleh kasih-Nya

"Semua Menyatakan Kemuliaan-Nya"
                                                                                                                                           foto oleh: lt
 

“Lazarus, marilah ke luar!” (ayat 43) adalah kalimat seruan Tuhan
Yesus kepada Lazarus yang sudah empat hari meninggal dunia dan
sudah dikubur dalam sebuah gua yang ditutup batu (baca lagi ayat
38-39). Lalu apa yang terjadi? Ayat 44 secara eksplisit
menyatakan,”Orang yang telah mati itu [yaitu Lazarus] datang ke
luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan
mukanya tertutup dengan kain peluh. Kata Yesus kepada mereka:
‘Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi.”

Perhatikan, proses peristiwa mujizat ini terjadi, sebelum seruan
kepada Lazarus tadi, Tuhan Yesus berdoa. Namun sebelum Ia
berdoa, atas perintah-Nya: batu penutup gua kubur itu diangkat.
Setelah dialog-Nya dengan Marta, yang menekankan bahwa,
“bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya
engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (ayat 40). Namun dari
semua proses itu, diawali sebuah fenomena menarik di ayat 33,
ketika Ia melihat Maria dan orang lain yang datang sedang
menangis, “maka menangislah Yesus.” (ayat 35). Tangisan-Nya itu
tulus, betul-betul karena cinta kasih-Nya. Membuat orang-orang
Yahudi spontan berkata,”Lihatlah, betapa kasih-Nya
kepadanya!” (ayat 36).  

Mari datang kepada Sang Kasih. Khususnya di tengah berbagai
pergumulan dan perjuangan hidup yang berat. Datang kepada
Tuhan dengan lebih dulu bersedia membuka “batu penutup” hati
dan pikiran setiap kita. Walau banyak pertanyaan dan gugatan yang
mungkin muncul, berdoalah. Berdoa bukan sekadar meminta segera
segala sesuatu jadi beres dan pergumulan selesai. Berdoalah untuk
cinta kasih-Nya. Berdoalah dengan cinta kasih, kepada Allah di
dalam Tuhan Yesus Kristus dan kasih karunia Roh Kudus. Maka
seperti Lazarus, kita akan dipanggil ke luar! Kita akan
“dibangkitkan.” Kita akan berupaya, hidup lagi, kembali semangat,
bahagia dan selamat. Amin.

 
Pdt. Lusindo Tobing      

  

23 Maret 2017

Refleksi Minggu keempat Maret 2017



Efesus 5: 8-14

Hidup Saleh dengan
Mewujudkan Kesalehan Sosial

 


 

Seperti Jakarta kini, Efesus adalah kota metropolitan di konteksnya.
Terletak di Asia Kecil dan terkenal bukan hanya karena kemajuan
bisnis dan perekonomiannya, tetapi juga karena kemerosotan
moralnya, praktik kejahatan dan prostitusi menjamur di Kota
Efesus.

Di situasi dan kondisi seperti itulah, Paulus mengingatkan sekaligus
mengajarkan umat di Efesus, singkatnya seperti ini: Dulu kamu
anak-anak gelap, sekarang anak-anak terang, telanjangilah
perbuatan kegelapan!  “.. tetapi sekarang kamu adalah terang di
dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang,” (ayat
8) dan “janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-
perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi
sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.” (ayat 11).

Mari hidup saleh dengan memberi contoh kehidupan yang baik di
konteks kini. Anak-anak terang, harus berperan aktif menjauhi
sekaligus menelanjangi praktik-praktik kegelapan dalam kehidupan
sosial masyarakat. Tentunya harus dimulai dari gereja dan keluarga
kita. Ada begitu banyak praktik kegelapan terjadi, suap, korupsi,
juga kebejatan moral, prostitusi, pornografi online, dan narkoba.
Seperti jemaat di Efesus, kita punya misi dan tugas menelanjangi
perbuatan-perbuatan kegelapan ini dan menjadi terang kepada
setiap orang. Bukan berarti gereja dan umat menolak apalagi
membuang orang yang melakukan kegelapan. Perbuatan dan orang
yang berbuat adalah dua hal berbeda. Perbuatannya ditelanjangi,
“dikalahkan” dengan memberi contoh kehidupan nyata kita yang
baik. Namun orangnya didoakan dan didampingi untuk akhirnya
melihat dan merasakan terang kasih dalam Tuhan Yesus Kristus.
Amin.

 
Pdt. Lusindo Tobing

 

 

16 Maret 2017

Refleksi Minggu ketiga Maret 2017



Mazmur 95: 1-11


Hidup Saleh dengan Tidak Mengeraskan Hati

                                                                                                foto oleh: lt

            Membaca perikop kali ini, saya jadi membuat ungkapan
begini: “Sesat di jalan, Tuhan masih berkenan. Tapi keras hati dan
sesat hati, Tuhan tidak berkenan!” Karena ketika tersesat di jalan,
baik di jalan raya maupun di jalan kehidupan, Allah masih bisa
menegur dan kita bersedia dituntun-Nya menemukan jalan keluar.
Jalan yang benar. Tetapi kalau hati sudah mengeras dan tersesat,
kita tidak mau disapa (apalagi ditegur) Allah. Hanya mengandalkan
kekuatan diri sendiri, kita sendiri yang mengeraskannya dan karena
itu, diri sendirilah yang akan menanggung kesalahannya untuk
selama-lamanya.

            Mari jangan keraskan hati. Apalagi saat ditegur-Nya.
Tulisan Mazmur adalah juga seruan kenabian atau merupakan
liturgi tentang hukuman Allah. Mazmur kita kali ini mengundang
umat untuk memuji Allah (ayat 1-2 & 6), disertai alasannya (ayat
3- 5 & 7), lalu mengundang umat untuk taat kepada-Nya (ayat
7-11). Penulis Mazmur ini mengajak kita bergerak maju, dari
ajakan pujian ke pengajaran, bahwa Allah adalah Raja yang
berdaulat atas segala sesuatu.

            Kini saatnya untuk menerima Firman, lebih bersedia
dikoreksi Tuhan Allah dan benar-benar mau melakukannya.
Memasuki Minggu Pra Paskah III ini, mari berikan hati kita bagi
firman Tuhan karena hanya Tuhan yang bisa memampukan kita
untuk menjalani berbagai pergumulan dan perjuangan hidup seberat
apapun juga. Jangan keraskan hati, apalagi sampai sesat hati.
Lembutkan hati dan jadilah saluran berkat bagi sesama dengan
nyata. Amin

 

Pdt. Lusindo Tobing

09 Maret 2017

Refleksi Minggu kedua Maret 2017



Kejadian 12: 1-4


Hidup Saleh ketika
Menerima Panggilan Tuhan

 

Tahukah Anda bahwa Bapak Abraham (Abram dalam Kejadian 12 ini) juga disebut sebagai Bapak Monoteisme Dunia? Agama Islam menganggap Ibrahim sebagai bapaknya orang-orang mu'min atau orang beriman. Agama Yahudi memandang Abraham sebagai salah satu leluhur mereka. Dalam Kitab Suci Ibrani, Allah sering menyatakan diri-Nya sebagai "Allah Abraham, Ishak, dan Yakub” (baca dan bandingkan Keluaran 3:6).

Sedangkan bagi kita orang Kristen, iman Abram menjadi teladan bagi semua orang Kristen. Di konteks Perjanjian Baru (PB) misalnya tampak di Ibrani 11:8-17. Sedangkan di konteks Perjanjian Lama (PL), kepatuhan dan ketaatan (baca kesalehan) Abram tampak sejak ia dipanggil Allah, seperti yang terjadi dalam pembacaan perikop kita kali ini. Abram taat pada perintah dan ia berpegang pada janji Tuhan, “"Pergilah <01980> dari negerimu <0776> dan dari sanak saudaramu <04138> dan dari rumah <01004> bapamu <01> ini ke <0413> negeri <0776> yang <0834> akan Kutunjukkan <07200> kepadamu; Aku akan membuat <06213> engkau menjadi bangsa <01471> yang besar <01419>, dan memberkati <01288> engkau serta membuat <01431> <00> namamu <08034> masyhur <00> <01431>; dan engkau akan menjadi <01961> berkat <01293>. Aku akan memberkati <01288> orang-orang yang memberkati <01288> engkau, dan mengutuk <07043> orang-orang yang mengutuk <0779> engkau, dan olehmu semua <03605> kaum <04940> di muka bumi <0127> akan mendapat berkat <01288>." (ayat 1-3). Abram melakukan apa yang Tuhan kehendaki, walau harus meninggalkan rumah dan kampung halamannya menuju tanah yang baru, Tanah Perjanjian.

Tuhan Allah mungkin sedang memanggil Anda ke tempat dimana Anda dapat melayani sesame manusia, bagi kemuliaan Allah. Jangan biarkan comfort zone (keamanan dan kenyamanan yang Anda rasakan saat ini) membuat Anda enggan terlibat dalam ibadah, pelayanan dan hidup saleh. Mari jadi seperti Abram/Abraham yang artinya kita semua sudah tahu: “Bapak orang percaya.” Mari hidup setia percaya, beriman dan saleh melakukan tiap tugas panggilan Tuhan, di manapun dan dalam bentuk apapun ibu/bpk/sdri/sdr dipakai-Nya menjadi berkat bagi tetangga, untuk Jakarta, bagi Indonesia dan bahkan menjadi saluran berkat untuk dunia. Amin.

 

Pdt. Lusindo Tobing

 

06 Maret 2017

Reading & Collective Retreat Pascasarjana STT Jakarta

 
 


"Bahkan jangan akhiri tiap-tiap dan seluruh perjalanan dengan ketakutan.
Jika ketakutan itu seperti 'ruang kosong,' persilakan Tuhan masuk menguasai ruang kosong itu.
Tidak usah memaksa-maksa diri memenuhi ruang kosong itu, agar ketakutan sirna.
Persilakan Tuhan menguasai, mengisi dan mengganti dengan ketenangan dan damai-Nya.
Juga memakai kita dengan kemampuan dan talenta masing-masing, dilebur, semakin rendah hati, terus belajar, membaca, bernyanyi memuji-Nya, untuk saling menerima, mau benar-benar mendengar (bukan melulu didengar), saling menguatkan, mengasihi, melayani...
Walau ketakutan bisa datang menggoda lagi, mari terus "menari bersama" baik sebagai teolog dan atau pendeta, juga kita semua jemaat gereja, umat dan pelayan Tuhan di manapun..
Bergumul-berjuang bersama, dengan Doa dan berjuang membagikan Cinta Kasih Salib Kristus menjadi warna-warni yang membawa keriaan, kebahagiaan dan kedamaian bagi umat, semua manusia dan seluruh kehidupan.. selamanya"
(kumpulanpercikrefleksireading&collectiveretreat- Pascasarjana Stt Jakarta, 3-5 Maret 2017, lemburpancawati)


 lusindo tobing

28 Februari 2017

Refleksi Minggu pertama Maret 2017



Matius 4: 1-11

 
Hidup Saleh ketika Menghadapi Tantangan
dan Godaan Hidup


                                                                                                           Foto oleh: lt
 
Ada modus operandi yang sama diterapkan Iblis dalam peristiwa 

Adam dan Hawa, dengan peristiwa pencobaan Tuhan Yesus Kristus
di padang gurun. Keduanya sama-sama dijanjikan kedudukan,
kuasa dan sanjungan. Namun perbedaannya, Adam dan Hawa
tergiur, sebaliknya, Tuhan Yesus menentang keinginan Iblis bahkan
menaklukkannya! Iblis memakai kesempatan pada saat Dia lapar
setelah berpuasa untuk mengajukan tawarannya (ayat 2). Iblis
mengira jika lapar maka Diaa akan melakukan tindakan yang Iblis
harapkan, yang dapat dimanfaatkan Iblis sebagai "pintu"
penaklukan Iblis.

Iblis melancarkan tiga kali penawaran yang dibalut tampilan
menyenangkan. Pertama, penawaran kebutuhan jasmani yang
masuk melalui kebutuhan hidup Tuhan Yesus (ayat 3). Kedua,
penawaran untuk demonstrasi kekuasaan-Nya kepada dunia (ayat
5-6). Ketiga, penawaran peralihan kepemilikan dunia dari Iblis
kepada Yesus (ayat 8). Ketiga penawaran Iblis itu dipatahkan
Tuhan Yesus dengan mengutip firman yang dilandasi atas
kebergantungan mutlak kepada Bapa-Nya (ayat 4, 7 & 10), yang
kita lebih kenal dengan istilah: Kesalehan.

Hiduplah saleh. Setiap hari kita dihadapkan berbagai tantangan dan
godaan hidup, yang lebih banyak menyesatkan. Sekalipun,
pengorbanan nyawa telah Tuhan Yesus berikan, namun masih saja
kita bisa tergoda rayuan Iblis. Mari jadi kuat dan teguh, mari hidup
saleh, bergantung hanya kepada Allah di dalam Tuhan kita Yesus
Kristus. Selamat memasuki Minggu Pra-Paskah I semua umat-Nya.
Tuhan memberkati ibu. bapak dan saudari/a semua. Selamat terus
menjadi saluran berkat-Nya kepada sesama manusia. Tetap setia
berjuang hidup dalam kesalehan Tuhan. Amin.
 
 
Pdt. Lusindo Tobing