07 Oktober 2009

refleksi minggu kedua Oktober 2009

Markus 10: 17-31

MUNGKIN
“Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Markus 10: 27)

Sukar namun bisa. Itulah yang dimaksud dengan kata “mungkin” oleh Tuhan Yesus Kristus kepada para muridNya. Tentang seseorang untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. “Anak-anakKu, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. ” (ayat 24). Ajaran ini jawaban atas pertanyaan seorang yang berlari-lari mendapatkan Dia lalu bertelut di hadapanNya,”Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Tujuannya datang kepada Tuhan, melulu pokoknya untuk masuk sorga. Bukan rindu untuk mengikuti Tuhan.

Mari berjuanglah, berusahalah dengan sungguh lewat kesetiaan dan ketaatanmu mempersilahkan Rancangan Tuhan saja yang berlaku. Andalkan Tuhan di setiap sendi dan fenomena hidup kehidupanmu. Maka engkau bahkan juga keluargamu akan selamat.

Jangan andalkan kekuatan dan pikiranmu belaka. Jangan andalkan kekayaanmu! Berhentilah bernegosiasi dengan Tuhan. Kita tidak boleh dan tidak bisa untuk itu. Kita tidak punya hak sesungguhnya untuk tawar menawar denganNya, kecuali Tuhan menanyakan itu pada kita. Lakukan dan jalani hidupmu dengan ketulusan Kuasa Kasih. Mencintai dengan tulus. Mengasihi Allah tanpa ada “udang di balik batu”. Melayani sesama dengan jernih, apa adanya. Membantu tanpa pamrih dan menolong tanpa mengharap balas.

                                                                                                                                                                    foto: lt



Pribadi atau keluarga yang mau melakukan Firman, bahkan meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Dia (baca lagi ayat 29) maka pasti menerima upah dariNya. Namun sekali lagi, bukan upah itu yang harus pertama dan kita utamakan. Mari, mengikuti Tuhan Yesus terlebih dahulu, dengan penuh percaya bahkan sadar dan mengakui bahwa segala sesuatu yang ada dan kita miliki adalah milik Tuhan. Lebih rendah hati, kuat iman dan ahli mempergunakan harta kekayaan hanya untuk meluhurkan dan memuliakan namaNya.

Singkirkan berkata di hati dan pikiranmu, “tidak mungkin”. “Apa mungkin aku memperoleh hidup kekal”, “Mana mungkin keluargaku diselamatkan”, “Kerajaan Allah tidak mungkin jadi bagian kami.” Dan seterusnya. Karena di dalam dan bersama Allah, segala sesuatu adalah: Mungkin. Amin.



Pdt. Lusindo Tobing

01 Oktober 2009

refleksi minggu pertama Oktober 2009

Markus 10: 2-16

KELUARGA
“.. apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia..” (Markus 10: 9)


Kali ini mari kita kembali kepada keluarga. Mari kita refleksikan khususnya soal perceraian dan anak-anak.

Yang pertama, tidak hanya di era canggih sekarang saja marak perceraian dalam keluarga. Jauh di konteks Tuhan Yesus pun (Perjanjian Baru) rupanya sudah trend dan jadi salah satu pokok perdebatan jemaat. Bahkan, peristiwa perceraian-perceraian paling awal yang terekam dalam Alkitab adalah pada masa Musa (Perjanjian Lama).

Orang-orang Farisi mencobai Tuhan Yesus dengan, “Musa member izin untuk menceraikan dengan membuat surat cerai?” Tuhan Yesus menjawab tegas di ayat 5,”Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah itu untuk kamu.” Jelaslah pengesahan Musa terhadap perceraian adalah suatu kelonggaran bagi kelemahan manusia, untuk mengatur perceraian dalam keadaan masyarakat yang terpolusi banyak hal buruk.


Namun yang lebih penting Tuhan Yesus secara khusus mengembalikan kepada Rancangan Allah sejak mula. Bahwa perkawinan diadakan sebagai cita-cita ilahi dan bahwa persekutuan itu adalah tetap, tidak dapat ditiadakan. “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (ayat 9). Laki-laki dan perempuan dalam hal ini tentu mempunyai kedudukan sama di hadapanNya.

Lalu yang kedua, tentang anak-anak. Tuhan adalah Pelindung mereka. Perhatikan ayat 14, perkataan Tuhan Yesus, ”biarkanlah anak-anak itu datang kepadaKu” bukannya,”biarkan mereka dibawa kemari.” Ini respon kepada murid-murid yang memiliki penilaian keliru, baik mengenai seorang anak maupun sifat-sifat kerajaanNya. Kerajaan Allah bukanlah soal kekuatan, gagah, cantik, atau soal prestasi maupun jasa.

Kita harus menyambut Kerajaan Allah sebagai suatu karunia, dan dalam hal inilah anak-anak dibela, dipeluk (dikasihi), bahkan diberkati Tuhan Yesus. “Lalu ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tanganNya atas mereka Ia memberkati mereka.” (ayat 12). Bahkan kata aslinya (Yunani) kateulogei berarti,”Tuhan Yesus memberkati mereka dengan sangat, berulang kali.”

Mari kembali kepada keluarga saudaraku. Tolak perceraian. Kita masuki penghayatan, penghargaan dan ucapan syukur kita atas keluarga yang Tuhan sudah anugerahkan. Dengan lebih memberikan hati, waktu dan perhatian bagi keluarga.

“Pulanglah” jumpai suami, isteri, anak-anak dan saudaramu. Bela mereka, lebihlah peduli, bahkan peluk keluargamu, sayangi, cintai dan kasihi mereka dengan Kasih Tuhan yang berulang-ulang. Jangan berhenti! Karena di keluargalah nilai spiritualitas dan iman mayoritas dimulai dan tumbuh. Tuhan Yesus Kristus memberkatimu beserta keluarga. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

22 September 2009

refleksi minggu keempat September 2009

JANGAN MENYESATKAN
“Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil..” (Markus 38: 42) 

“Anak-anak kecil” di ayat 42, khusus dimaksudkan untuk mereka di jemaat Roma yang baru percaya Kristus, masih lemah iman, mudah ditipu dan bisa disesatkan. Kita jadi teringat kembali, sosok Noordin M Top. Yang akhirnya tewas ditembak Densus 88 dalam pengepungan sekitar 9 jam di sebuah rumah di Desa Kepuhsari, Solo Jawa Tengah, 17 September 2009 lalu. Sangat piawai mempengaruhi orang lain hingga tersesat iman dan jalan hidupnya, bersedia melakukan bom bunuh diri dan tindakan terorisme lainnya yang sangat jauh dari damai..

foto: detik.com
Bagi siapa saja yang menyesatkan, Tuhan Yesus keras berfirman,”..lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu dibuang ke dalam laut.” Batu kilangan (dari bahasa Yunani: mylos onikos) adalah sebuah batu yang cukup besar sehingga membutuhkan seekor keledai untuk dapat membalikkannya.

Perikop kita kali ini, sesungguhnya bisa dibagi menjadi dua kelompok besar: Kelompok pertama adalah ayat 38-42 yang membicarakan tugas untuk saling bermurah hati, bersabar dan menjadi saluran berkat; Kelompok kedua adalah ayat 43-50 membicarakan perlunya penertiban hati dan diri. Kelompok pertama mengatur sikap kita terhadap orang lain, sedang kelompok kedua mengatur sikap kita terhadap diri sendiri. Terhadap orang lain kita harus “lembut” berdamai dan bermurah hati. Namun terhadap diri sendiri kita harus keras (kuat dalam iman). Kedua hal luarbiasa inilah yang akan memampukan untuk kita semua tidak mudah tersesat apalagi menyesatkan.

Mari, jangan tersesat dan janganlah menyesatkan orang lain! Keraslah terhadap diri sendiri, kuat mengendalikan diri, teguh iman, tidak mudah diganggu dan miliki hati setia percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Lalu jalankan Tabiat Kristus, tabiat yang memancarkan terang Kasih Kristus di keseharian hidup kita. Menerangi sesama, siap melayani, menunjukkan jalan yang baik, menegakkan kebenaran Kasih, menolong dan mempengaruhi orang lain damai dalam Kasih. Berfungsi seperti “menggarami dengan api” di ayat 49-50: Karena setiap orang akan digarami dengan api. Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Mari selalu mempunyai “garam” dalam diri kita. Dan berjuanglah selalu hidup berdamai dengan orang lain. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

15 September 2009

refleksi minggu ketiga September 2009

Markus 9: 30-37

TERDAHULU
“Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir..” (Markus 9: 35)


foto: Kompas
Berdesak-desakan ingin duluan. Itu fenomena yang marak akhir-akhir ini. Duluan untuk mendapat yang diinginkan saat antri minyak tanah, antri gula, juga sembako lainnya, antri saat di kemacetan, juga saat antri tiket transportasi mudik, saat antri masuk gerbong kereta dan menaiki kapal laut. Semua merasa lebih layak, dan yang lain belakangan saja, apalagi kepada kaum lansia (lanjut usia) dan anak-anak kecil, tidak dipedulikan! Bahkan sampai ada yang ribut, cekcok di antara yang mengantri, hampir berkelahi.

Terjadi juga percekcokan di antara para murid Tuhan Yesus. Saat mereka menuju Yerusalem, menuju penderitaanNya. Tepatnya ketika melewati Galilea, saat di Kapernaum. Murid-murid mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. Dia menegaskan,”Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (ayat 35) Menyambut Tuhan dengan ketulusan-kerendahan hati seperti seorang anak kecil, itu yang diinginkanNya. Menarik, ketika Dia menempatkan seorang anak kecil (penggambaran sosok yang sering diabaikan) di tengah-tengah mereka. Di ayat 36 jelas dinyatakan, “kemudian Ia memeluk anak itu. “ Ya, Tuhan Yesus menyayangi anak kecil itu, Ia mencintai sungguh dan mengasihi semua mereka yang dipandang tidak penting, tidak dihargai dan tidak masuk hitungan. Ajaran, perintah dan teladan yang indah untuk para muridNya. Juga tentu, kini, kepada kita.

Peluklah mereka yang “kecil”. Mari kasihi dan sayangi dengan sungguh . Mereka membutuhkan Kasih Anugerah Tuhan melalui kita. Mari menjadi perpanjangan Tangan Tuhan Yesus “memeluk” orang lain di sekitar kita, khususnya yang menderita. Bersedialah selalu menjadi pelayan KasihNya, mau jadi “yang terakhir” dan “kecil”. Tulus dan rendah hati melayani. Semua itu akan membuat kita lebih dilayakkan sebagai murid pengikutNya. Layak menerima hak istimewa Kerajaan Sorga dan dianugerahkan berkat melimpah saat hidup di dunia. Mau jadi terdahulu dan besar saudaraku? Mari, jadilah yang kecil dan terakhir. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

09 September 2009

refleksi minggu kedua September 2009

Markus 8: 27-38

MESIAS!
“Engkau adalah Mesias!” (Markus 8: 29)

Setelah Tasikmalaya (2 September 2009) dan Yogyakarta (7 September 2009) diguncang gempa, kembali lagi gempa bumi berkekuatan 6,0 skala Richter mengguncang Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, pada Rabu kemarin. Menariknya di tanggal yang katanya istimewa dan penuh keberuntungan: 09.09.09 (9 September 2009). Beruntung memang, karena gempa Tolitoli tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan yang parah. Namun tetap saja membuat warga panik, berhamburan ke luar rumah, resah dan hingga Rabu sore itu masih ketakutan akan datangnya gempa susulan.

“Gempa” juga melanda hati dan iman para murid ketika tiba di Kaisarea Filipi (kota paling utara yang dicapai Kristus) karena 2 pertanyaanNya. Pertanyaan pertama, suatu pertanyaan umum, “Kata orang, siapakah Aku ini?” (ayat 27) lalu Tuhan Yesus berlanjut lagi ke pertanyaan yang lebih terperinci, lebih menantang dan mengguncang mereka secara pribadi, ”Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?

Mari menjawab berbagai guncangan pergumulan kehidupan dengan iman yang jelas dan teguh. Seperti jawaban Petrus: “Engkau adalah Mesias!” Jawaban si-jurubicara para murid ini menggugah kembali akan kenyataan yang luarbiasa. Bahwa Yesus adalah yang “dijanjikan” dan “dinubuatkan” sejak dulu sebagai Juruselamat kita satu-satunya! Mari memiliki hati, pikiran bahkan perbuatan sebagai pengikut setia Sang Mesias. Walaupun bumi akan lagi-lagi berguncang (ingat Petruspun beberapa kali terguncang dan goyah oleh Iblis, contohnya baca lagi di ayat 32-33).

Dan mari lebih banyak mengasihi dengan memberi. Memberi bantuan bagi yang membutuhkan bantuan dan memberi pertolongan bagi yang membutuhkan pertolongan, karena Injil dan hanya untuk memuliakan nama Mesias kita. “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” (Markus 8: 35). Mari kita jawab bersama pertanyaan Tuhan tadi dengan,“Engkau Tuhan Yesus Kristus, adalah satu-satunya Mesiasku, Mesias kami!” Amin.

Pdt. Lusindo Tobing

02 September 2009

refleksi minggu pertama September 2009

Markus 7: 24-37
BAIK
“Ia menjadikan segala-galanya baik” (Markus 7: 37)

foto: Kompas


Gempa mengguncang kita lagi. Tepatnya hari Rabu lalu (2/Sept/09) sekitar pukul 14.55 yang berpusat di kedalaman 30 kilometer di bawah dasar Samudra Indonesia, dari 142 km barat daya Kabupaten Tasikmalaya dan terasa di Jawa, Bali hingga Sumatera. Akibatnya jatuh korban. 39 orang tewas, puluhan lainnya tertimbun longsor dan seribu-an rumah dan bangunan lain roboh rusak. Mari “mendengar” suaraNya lewat kekuatan fenomena alam ini. Dan jika kita dan keluarga boleh diselamatkan dari gempa, mari dengarkan rintihan mereka yang rumahnya roboh, anggota keluarganya terluka, tertimbun longsor, bahkan ada yang tewas.

Seorang ibu, yang anaknya perempuan kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang kedatangan Tuhan Yesus ke daerah Tirus, lalu datang dan tersungkur di depan kakiNya. Penulis Injil Markus bahkan terperinci menyatakan bahwa perempuan itu adalah orang Yunani bangsa Siro-Fenisia. Seorang yang berbahasa Yunani, non-Yahudi dan seorang penyembah berhala. Katanya, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” Mendengar jawaban yang menunjukkan kesungguhan iman seperti ini, Tuhan Yesus saat itu juga menyembuhkan anaknya.

Ketika melanjutkan perjalananNya ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. Kembali Dia didatangi mereka yang membawa seorang tuli dan gagap, memohon kepadaNya supaya Ia meletakkan tanganNya atas orang itu agar disembuhkan. SabdaNya, “Efata!” (dari bahasa Aram: “Ephphatha”), artinya “Terbukalah!” Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya , lalu ia berkata-kata dengan baik.

Refleksi kita: mari memiliki telinga hati yang terbuka saudaraku, yang rindu mau mendengar suara Tuhan bahkan di balik getaran dan guncangan gempa 7,3 skala Richter sekalipun. Takutlah akan Tuhan dan sembahlah Dia lebih lagi. Dengarkan juga suara butuh pertolongan saudara sebangsa setanah air yang menjadi korban. Bantu mereka. Mari kita lakukan kebaikan, membagikan Cinta Kasih Tuhan Yesus untuk mereka. Mujizat-mujizat tadi terjadi di kawasan non-Yahudi, menandai bahwa jangkauan pelayanan Injil Yesus adalah universal. Mari lebih berani dan ahli melakukan kebaikan bagi sesama. Karena Ia menjadikan segala-galanya baik. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

25 Agustus 2009

refleksi minggu kelima Agustus 2009

Markus 7: 14-23

HATI
“..dari dalam, dari hati..” (Markus 7: 21)

                                         foto: Kompas
Harga gula naik gila-gilaan! Dari harga sekitar Rp. 7000,- an /kg sekarang sudah Rp. 9000 /kg, bahkan kecenderungannya akan naik lagi! Semua pihak ribut “berteriak”, dari para Menteri yang berhubungan, lembaga dan asosiasi yang berhubungan juga, hingga para grosir dan para penjual eceran gula di pasar-pasar. Khususnya tentu, para ibu-ibu rumahtangga. Ada yang emosi,  marah-marah bahkan melontarkan kritik pedas. Dimensi positifnya khan baik bila tubuh kita bisa mengurangi konsumsi gula? Namun fenomena harga gula ini menunjukkan jelas bahwa bukan sekadar yang masuk ke dalam tubuh yang bisa “mencemari”, namun apa yang ke luar dari dalam kita.

Setelah menjawab orang Farisi mengenai adat istiadat lawan Hukum Taurat, Tuhan Yesus mengarahkan perhatianNya kepada orang banyak untuk membicarakan soal penajisan. “ Apa yang ke luar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat...” (ayat 20-21). Oleh penulis Injil Markus bahkan disebutkan Tuhan Yesus menyatakan apa-apa saja yang sesungguhnya bisa mencemari kita manusia. Diawali dari pikiran (pikiran yang jahat tadi) hingga kebebalan. Sebuah penggambaran kebodohan iman yang memandang soal dosa hanyalah lelucon, dan menertawakan orang-orang yang memperlakukannya secara sungguh-sungguh, yang berjuang untuk tidak jatuh dalam dosa. Tidak tercemar.

Mari jangan jadi orang bebal! Ingat dan refleksikan ini dengan dalam: Tidak ada sesuatupun yang lahiriah yang dapat mencemarkan manusia, sebab sumber segala kecemaran adalah batiniah. “Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (ayat 23). Soal kecemaran bukan dikaitkan dengan tangan, melainkan dengan hati. Oleh karenanya mari miliki hati yang tidak mudah dicemari. Minta urapan Roh Allah untuk mengurapi, membersihkan, mentahirkan, menjaga dan memulihkan hati kita masing-masing. Kemudian berpikirlah dan bertingkahlakulah dengan hati jernih bersih. Salurkan “air kehidupan yang manis” lewat bibir dan lisan kita. Biarlah lebih banyak orang disegarkan, didamaikan dan diselamatkan juga lewat perbuatan pelayanan kita. Ayo jadi sosok yang manis yang menyenangkan di dimensi dan fenomena apapun juga. Jangan hanya mau gula, maksud saya, jangan hanya mau terima yang manis-manis. Mari manis terlebih dahulu dari yang paling dalam. Untuk Tuhan dan sesama. Manis dari hati. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing