19 September 2013

refleksi minggu keempat September 2013




1 Timotius 2: 1-7



BERSAKSI





Fenomena Vickynisasi  sedang banyak dibicarakan. Berawal dari Vicky Prasetya, mantan tunangan seorang penyanyi dangdut. Menjadi sangat terkenal (khususnya di dunia maya) karena hasil wawancara dengannya diunggah ke situs video sharing Youtube. 

Tanpa ada beban sedikitpun, Vicky yang terindikasi menipu beberapa orang itu, mengeluarkan kata-kata ajaib dan “tata bahasa gado-gado” yang tidak jelas artinya saat diwawancarai. Seperti “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, “harmonisasi”, “statusisasi”, “labil ekonomi”,  hingga “kudeta keinginan”. 

Tidak mengherankan jika di dunia maya dan keseharian kini, nama Vicky banyak dibicarakan, dijadikan lelucon bahkan olok-olok.

Namun sesungguhnya, fenomena Vickynisasi seperti ini sudah lama terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya, masih banyak diantara kita lebih sering menggunakan kata“merubah” dan bukan kata “mengubah”. 

Atau sejak zaman Orde Lama lalu misalnya, ada kebiasaan mengucapkan “daripada”. Juga di kalangan anak muda sekarang, yang sering mengucapkan misalnya kata atau kalimat, “secara”, “ngga mood”, “penting gitu,” dan lain sebagainya. 

Mari belajar berkata-kata yang benar. Khususnya menyampaikan isi dan arti yang benar. Sehingga kita tidak terus-menerus membodohi dan menipu diri sendiri. Apalagi tidak menipu orang lain. Untuk akhirnya kita akan berani bersaksi tentang Kebenaran kepada dunia. 

Seperti Rasul Paulus meneladankan lewat berbagai tulisannya, ucap kata nasihat dan kotbahnya. Juga jujur dan jelas mengajarkan kebenaran tentang Tuhan Yesus Kristus, melalui tingkah laku nyata sehari-hari. Kepada Timotius di konteks perikop ini, “Untuk kesaksian itulah aku telah ditetapkan sebagai pemberita dan rasul -- yang kukatakan ini benar, aku tidak berdusta -- dan sebagai pengajar orang-orang bukan Yahudi, dalam iman dan kebenaran.” (ayat 7). 

Dan juga sampai kini kepada kita. Di fenomena Vickynisasi atau fenomena lain apapun juga. Teruslah hidup benar, berkata dan bersaksi tentang Kasih dan FirmanNya, sumber kebenaran. Bahkan Kebenaran yang sesungguhnya! Amin.



Tulisan & foto: Lusindo Tobing.   

11 September 2013

refleksi minggu ketiga September 2013




Lukas 15: 1-10




BERTOBAT SETELAH MENDENGAR







Para Farisi dan ahli Taurat kembali bersungut-sungut tentang sikap dan perbuatan Tuhan Yesus Kristus, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka" (ayat 2).  Bagi mereka, berdekatan dengan orang berdosa akan menyebabkan ketularan tidak `bersih'.  Tuhan Yesus pun merespon dengan trio perumpamaan: Domba yang hilang; Dirham yang hilang, dan Anak yang hilang.   

Perikop kita kali ini berisi perumpamaan yang pertama tadi.  Si gembala menyadari  ada satu ekor domba yang hilang. Lalu ia mencari sampai ia menemukannya (ayat 4). Tidak sedikit pun ia menyalahkan domba yang hilang itu (berlawanan dengan sikap ahli Taurat dan orang Farisi terhadap orang berdosa).  


Mari mendengar ajaran Sang Gembala kita, Gembala Yang Baik! Mendengar FirmanNya, bahkan lebih dalam bersedia mendengar “suara hati” Sang Bapa. Yang selalu mencari kita yang hilang, menemukan dan merayakan penemuan itu (ayat 6). Bahkan di ayat terakhir, Tuhan Yesus menyuarakan tegas, “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan."


Ya, mau bertobat setelah mendengarkan Firman Tuhan. Itulah keinginanNya, suara hati Allah yang harus selalu lebih kita dengar. Baik melalui telinga kita, juga melalui seluruh panca indera, berdasar hati kita yang juga bersedia terus mendengar.  Di berbagai peristiwa dan kejadian pada masyarakat luas (contohnya berbagai kejahatan, penembakan, bahkan ketidakmenentuan harga kedelai di Indonesia bahkan ekonomi dunia),  maupun khususnya pergumulan perjuangan di kehidupan keluarga (misal: kecelakaan di jalan tol yang melibatkan seorang remaja putra seorang artis terkenal, yang merenggut nyawa 6 orang meninggal dunia) ataupun pribadi lepas pribadi kita. 

Bertobatlah karena mendengar, mendengarlah untuk bertobat! Amin.




Tulisan: Lusindo Tobing. 
Foto: doc. keluarga. 

06 September 2013

refleksi minggu kedua September 2013






Filemon 1: 4-22





TRANSFORMATIF FIRMAN






Mari mengalami proses transformasi (perubahan). Khususnya ketika kita membaca, mendengar dan merenungkan Firman Tuhan setiap hari. Penulis Kitab Filemon mengajak kita memulai dari lingkungan terdekat: Persekuatuan keluarga dan kemudian persekutuan jemaat. 

Karena dalam persekutuan, komunikasi tidak hanya tukar menukar informasi, melainkan juga mengalami daya perubahan dari dalam hati. Daya transformasi karena Firman Allah.

Rasul Paulus tentu telah mengalaminya. Dan relasi intimnya Filemon dan kawan-kawannya membuat Paulus bersyukur (ayat 4-7). Apalagi mendengar pertumbuhan kasih mereka kepada saudara-saudara seiman, karena kedewasaan iman mereka terhadap Tuhan Yesus Kristus. 

Dan jelas sekali Paulus sedang mempersiapkan Filemon untuk lebih berani dan terbuka menyatakan kasihnya (ayat 21-22) terhadap satu saudara seiman, juga tingkat selanjutnya yang lebih luas: Sesama manusia yang lain dan segenap kehidupan.

Paulus sendiri meneladankan kasih tersebut dengan rela menanggung kerugian harta Filemon akibat pelarian Onesimus (ayat 18-19). Penjara tidak menghalangi Paulus mengajarkan daya dan mencontohkan karakter  transformasi Firman yang harus nyata dalam hidup setiap anak Tuhan.

Ingin merasakan daya transformatif Firman (Alkitab)? Mari baca Alkitab juga kehidupan dengan pikiran dan hati yang terbuka, bukan dengan pikiran dan hati yang tertutup. Pikiran dan hati kita tertutup, jikalau kita membaca dengan tergesa-gesa, tanpa meresapkan dan merasakan KasihNya. 

Itu berarti, agar kita bisa mengalami daya transformatif Firman, kita harus membaca dan mendengarkan  Firman dengan kerendahan hati, membuka hati  dan hati mau dibentukNya. Terus berubah menjadi sosok yang lebih baik dengan melakukan Firman dengan nyata. Amin



Tulisan & foto: Lusindo Tobing.

28 Agustus 2013

refleksi minggu pertama September 2013



Yeremia 2: 4-13



SUMBER AIR HIDUP




Mengakhiri  Bulan Agustus dan mengawali September 2013 ini, bangsa kita mengalami turun-naik (melemah-menguat) nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Banyak pihak kebingungan, dari pedagang alat-alat elektronik di Pasar Glodok Kota (Jakarta) hingga para pembuat Tempe-Tahu di berbagai daerah di Indonesia  terancam “gulung tikar” atau menutup usahanya.


Mari jangan terlalu kebingungan apalagi jadi stress. Tentu kita boleh bingung sedikit, tetapi jangan berlarut-larut apalagi sampai melupakan ada Tuhan. Sang Mata Air Kehidupan kita yang sejati!

Umat Allah di konteks Yeremia 2 rupanya melakukan dua dosa mendasar:  1.mereka meninggalkan Tuhan, satu-satunya yang dapat memberikan hidup berkelimpahan sejati; 2. Bahkan mereka mencari hidup kesenangan dalam pemujaan berhala duniawi, hal-hal yang tidak bernilai abadi.  

Nabi Yeremia dipakai Tuhan menegur dan mengingatkan bangsa pilihan itu dan sekalgus juga kita kini. Meninggalkan Allah Sang Sumber Air Kehidupan dan mencari andalan lain yang tidak dapat mengaruniakan kehidupan adalah sebuah kebodohan. “ Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.” (ayat 13)


Karenanya, mari datanglah hanya kepada Sang Sumber Air membuat kita hidup. Mari terus mendengarkan, hidup bahagia di dalam dan setia melakukan Firman Tuhan dari Sang Sumber Air Yang Hidup. Membagikan untuk semua orang dan kehidupan yang lebih hidup. Amin.





tulisan & foto: Lusindo Tobing.

21 Agustus 2013

refleksi minggu keempat Agustus 2013




Lukas 13: 10-17


TAAT DAN KRITIS



 


Menurut Lawrence Kohlberg, perkembangan moral dihubungkan pengambilan sikap tindakan seseorang, terbagi 3 (tiga) bagian besar:  

1. Pra-Konvensional yaitu tingkat penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan ini. Suatu tindakan berdasarkan konsekuensi langsung. Dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris;  

 2. Konvensional yaitu perkembangan moral seorang remaja atau dewasa. Orang di tingkatan ini menilai tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.   

3. Pasca-Konvensional yaitu tingkatan akhir yang terkenal sebagai “tingkat berprinsip”, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral.

 


Kohlberg membagi tiap bagian tersebut dengan dua tahap. Jadi menyeluruh ada 6 tahapan. Dan yang paling menarik adalah di tahapan paling terakhir (tahap 6), yang disebut “prinsip etika universal”. Dimana aturan dan hukum hanya valid bila berdasar keadilan. Menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hal ini dilakukan dengan membayangkan seseorang saat menjadi orang lain. 

 

Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil: Seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.


Sesungguhnya, Tuhan Yesus Kristus jauh sebelumnya sudah sangat meneladankan hal itu. Dan mari kita melakukan seperti yang dilakukanNya. Mari hidup taat dalam Iman, Pengharapan dan Kasih, sekaligus mari kritis terhadap hukum dunia, termasuk hukum negara. 

 

Contoh ketika tindakanNya menolong seorang perempuan (telah 18 tahun dirasuk roh jahat) di hari Sabat. Itu dipertanyakan kepala rumah ibadat dan banyak orang. Dengan kasih sekaligus kritis, Tuhan Yesus menjawab, "Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?" (ayat 15-16). Amin.


 

 


Tulisan: Lusindo Tobing.

Foto: Linggar.