05 Maret 2015

Refleksi Minggu Kedua Maret 2015


1 Korintus 1: 18-25





SALIB KRISTUS







Secara manusiawi, salib tampaknya langsung bertentangan dengan pengharapan. Sebab salib itu kerap dipandang sebagai kegagalan dan bukan kejayaan, kebodohan dan bukan hikmat. 

Tetapi ditinjau dengan iman, salib itu penggenapan dan bahkan peningkatan pengharapan. Salib sebenarnya kekuatan, kuasa Kasih dan hikmat Allah.


Paulus memandang salib sebagai sarana yang dipakai Allah untuk menyelamatkan. Bahkan Kristus yang disalib dan bangkit adalah pusat pemberitaan Kabar Baik, pusat yang mempersatukan. Jemaat Korintus tidak boleh terkotak-kotak (ayat 10). 

Tugas ini (sampai sekarang dan kapanpun juga) akan sulit kita jalankan jika tidak mengandalkan campur tangan Tuhan (ayat 17- 25). Karena akan masih ada yang menolak untuk percaya, dengan alasan seperti, "Mujizat dulu, baru percaya", atau menertawakan Salib (baca lagi ayat 18-23).


Mari lebih membagikan Injil Tuhan. Yang utama dengan tingkah laku penuh Kasih. Memberitakan kabar baik, berita keselamatan dariNya untuk semua manusia dan kehidupan dunia. Berdasar Salib Kristus. 

Karena jikalau saja ada jalan keluar lain bagi masalah hakiki manusia, mengapa sampai Tuhan Yesus Kristus rela disalibkan? Jikalau saja ada cara yang dapat memberikan jaminan hidup kekal, mengapa Dia harus mati?   

Salib membentangkan Hati Allah kepada manusia, tetapi juga melingkupi kehidupan manusia menuju Keselamatan kekal. Salib Kristus sebagai wujud hikmat dan kuasa Allah. Amin






Tulisan: Lusindo Tobing.
Foto: Krisna Adiet.
(Keterangan foto: Keluargaku -Keluarga inti Pdt. Lusindo Tobing- di makam ayah&ibu saya (bapak&mama-ku) atau "opungnya Caca & Ben"). 


Refleksi Minggu Pertama Maret 2015




Markus 8: 31-38


MENANGGUNG PENDERITAAN





Ajaran serta teladan Tuhan Yesus Kristus rupanya tidak sekadar “menanggung penderitaan” tetapi “menanggung banyak penderitaan”. 

Ayat 31 menyatakan hal tersebut: Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.

Dan rupanya untuk menjadi pengikutNya,  ada tiga konsekuensi yang harus kita lakukan nyata. Tiga hal itu adalah: Menyangkal diri, Memikul salib, dan Mengikut Dia (baca dan maknai lagi lebih dalam ayat 34). 

Apa  yang  Tuhan Yesus maksudkan?  Yang harus kita sangkali adalah ego kita. Lalu bersedia menanggung penderitaan, demi keselamatan orang lain! Tiap hari, tiap waktu.

Mari lanjut menapaki minggu-minggu Pra Paskah dengan melakukan reorientasi hati, rasional juga segenap hidup kehidupan. Bukan lagi diri kita, cara pandang, cita-cita, maupun hasrat kita yang menjadi pusat, tetapi Sang Juruselamat dunia. 

Maka bukan saja harus bagaimana kita, tetapi harus bagaimana Tuhan terhadap kita. Dan bahkan melalui kita, sesulit dan seberat apapun, penyelamatan olehNya diberlakukan kepada orang lain. Amin.
 


Tulisan & Foto: Lusindo Tobing.

04 Maret 2015

Belas Kasihan Allah




Yunus 3 : 1 -10




BELAS KASIHAN ALLAH







Salah satu wujud belas kasihan Allah adalah Keselamatan Allah itu dapat dihadirkan juga kepada orang di luar Israel dan juga orang yang di luar penganut agama Yahudi.  Kitab Yunus melukiskan kedaulatan Allah yang mutlak atas seluruh ciptaan. Belas kasihan Allah yang selalu bersedia mengampuni. 


Dalam kisah Niniwe, Allah digambarkan sebagai Allah yang mengasihi lebih suka mengampuni daripada menghancurkan. Hal yang ingin ditekankan juga dalam perikop kita kali ini. Bahwa cinta kasih, rahmat, anugerah  atau belas kasihan Allah tidak terbatas kepada bangsa atau orang-orang tertentu. Kota dan orang-orang asing ini sama-sama dipedulikan Allah seperti Israel dan Yerusalem. 

Doa dan pertobatan mereka sama-sama didengar seperti doa dan pertobatan orang lain. Allah memberlakukan Niniwe dengan kasih belas kasih atau belas kasihanNya yang dalam.

Kita membutuhkan belas kasihan Allah.  Karena manusia lama kita memerlukan waktu untuk berubah. Ada yang memerlukan waktu singkat, ada juga yang memerlukan waktu panjang. Karena itu, jangan menyerah dan berkata, "Saya tidak mungkin berubah!" Itu bisikan Iblis yang harus kita lawan. 

Kejahatan Niniwe sampai di telinga Allah. Tetapi sebelum melaksanakan hukuman, Allah hendak memperingatkan mereka. Untuk itu Yunus diutus kembali. Yunus hanya menyampaikan berita penghukuman yang akan Allah jatuhkan, dan sama sekali tidak menyinggung agar mereka bertobat dari tingkah langkah mereka yang jahat (ayat 4). 

Hal ini menunjukkan bahwa kesediaannya adalah karena terpaksa. Ia memang lebih mengharap bangsa itu dihukum daripada bertobat dan diampuni. Tetapi yang di luar harapan Yunus justru terjadi. Bukan hanya raja dan rakyat yang berkabung tetapi juga binatang peliharaan. 

Ada lagi hal lain yang mengejutkan dan yang kelak akan membuat Yunus protes kepada Allah. Di luar harapan Yunus, ternyata Allah menyesal ketika melihat pertobatan orang Niniwe. Karenanya Ia tidak jadi membinasakan mereka (ayat 10). 

Dilibatkannya binatang peliharaan untuk berkabung dan berpuasa mungkin dapat mengindikasikan bahwa orang Niniwe sendiri tidak yakin bahwa Allah akan sudi mengampuni mereka (ayat 7-8). Itulah sebabnya ada kemungkinan bahwa penyesalan Allah adalah sesuatu yang tidak diduga oleh orang Niniwe. 

Tuhan memberikan kesempatan kedua kepada Yunus. Kali ini Yunus taat. Ketika ia memberitakan peringatan Tuhan, sesuatu yang mengejutkan terjadi, terutama buat Yunus, yaitu bahwa seluruh rakyat Niniwe beserta rajanya menanggapi pemberitaan belas kasihanNya tersebut dan bertobat! 

Sekali lagi kita melihat bagaimana keindahan pertobatan yang terangkai dalam suatu pemberian belas kasihNya. Pertobatan terjadi karena Tuhan berinisiatif; Ialah yang "mengunjungi" Niniwe dan menyampaikan peringatan-Nya; Ialah yang mencari manusia, bukan sebaliknya. Kedua, pertobatan tidak akan terjadi jika manusia tidak mau mendengarkan suara Tuhan. Rakyat Niniwe masih menaruh hormat kepada Tuhan; Ketiga, pertobatan ditunjukkan melalui perubahan nyata. Raja Niniwe meminta rakyatnya untuk "berbalik dari tingkah lakunya yang jahat...". 

Banyak belas kasih atau belaskasihan yang melahirkan penyesalan. Misalnya, penyesalan yang muncul sebagai akibat rasa malu, rasa takut, dan rasa bersalah. Namun, pertobatan tidak harus dilandasi oleh ketiga perasaan ini sebab sudah seyogianyalah pertobatan timbul dari (a) Kesadaran akan kesalahan kita dan kebaikan Tuhan yang tak pernah habis, (b) Keinginan untuk melakukan yang benar di hadapan belas kasihan Tuhan Allah, dan (c) Tindakan nyata untuk berjuang mewujudkannya. 

Sepertinya dalam kisah Yunus  ini banyak berisi hal-hal yang tidak terduga. Di satu sisi Yunus tidak menduga bahwa orang Niniwe akan meresponi pemberitaannya, dan di lain sisi orang Niniwe sendiri tidak menduga bahwa Allah akan merespons perkabungan mereka. 

Benarlah firman Tuhan yang disampaikan oleh nabi Yesaya: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba (Yes. 1:18)."  Belas kasihan akan berbuahkan pertobatan, perubahan jadi baik dan lebih baik. Bahkan semuanya menuju Keselamatan kekal.

Mari bersama kita merespon belas kasihan Tuhan Allah. Karena Allah tidak pernah menolak mereka yang menyesali dosanya. Mau menerima belas kasih atau belas kasihanNya, Sekalipun kita merasa bahwa kita sudah sangat jauh dari Tuhan, tetapi sesungguhnya Ia tidak pernah berlambat-lambat untuk mendengar seruan umat-Nya. Allah pasti datang dengan belas kasihanNya. Sehingga kitapun dapat membagikan belas kasih, berbagi belas kasihan Allah itu kepada orang lain. 

Terlebih orang lain yang pernah menyakiti dan berbuat hal-hal yang tidak baik kepada kita. Sangat sulit untuk proses pemulihan tersebut jika hanya mengandalkan kekuatan dunia apalagi hanya kekuatan diri kita sendiri.

Hanya dengan “kekuatan”  belas kasihan dari Allah kita bisa berbelas kasih atau berbelas kasihan kepada sesama manusia. Yang ditolong sudah seharusnya bersedia untuk menolong. Yang diberkati, mau dipakai jadi alat penyalur berkat khususnya penyalur Keselamatan Alllah. Dan yang sudah dan selalu menerima belas kasihan Allah, mari, kita bersedia setia membagikan kasih yang berbelas kasihan kepada semua orang. Amin. 


Tulisan: Lusindo Tobing.
Foto: Krisna Adiet.

17 Februari 2015

Refleksi Minggu Keempat Februari 2015




Kejadian 9: 8-17



MENAATI PERJANJIAN TUHAN





Memasuki Minggu Pra Paskah 1 (pertama) ini, kita masih diiringi hujan, bahkan banjir. Tetapi janganlah khawatir, dengan iman tetap ingat janji dan perjanjianNya. “..Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi.” (ayat 11). 

Mungkin masih akan ada genangan atau banjir. Tetapi dipastikan tidak akan ada Air Bah lagi! Ya, Dialah Allah yang selalu mengingat dan tidak pernah melupakan janji (baca lebih tegas Nats di ayat 16).

Sekarang bagaimanakah respon kita? Apakah kita telah dan selalu menaati perjanjian denganNya? Karena sesungguhnya kita, manusia, diberikan satu lagi kesempatan memulai sesuatu yang baru dari awal. Allah yang telah kita kecewakan, malah melimpahkan semarak berkat-Nya. Juga menitipkan ciptaan baru-Nya (kehidupan setelah Air Bah) kepada kita. Sungguh suatu penghormatan yang luar biasa!

Dan pembuatan perjanjian selalu melibatkan ikatan yang sungguh-sungguh antara kedua belah pihak bukan? Karena itulah, dalam kehidupan yang selalu dipulihkanNya. Mari berjanji, lebih nyata mengumumkan pendamaian, tegas berpihak pada kebenaran, kepedulian kepada yang lemah serta dilemahkan, mewartakan kebahagiaan dan menyalurkan Kasih penyelamatan Allah kepada umat manusia. Melalui diri serta hidup setiap hari.  Berjanjilah melakukannya! Amin.

 
Tulisan & Foto: Lusindo Tobing.

13 Februari 2015

Refleksi Minggu Ketiga Februari 2015




2 Raja-raja 2: 1-12


SAHABAT PERJALANAN IMAN





Banjir dan Begal (penyamun; membegal = merampas di jalan). Dua hal itu kini sedang ramai dibicarakan. Membuat kita harus lebih berhati-hati dalam perjalanan. Dan yang pasti di kedua hal tersebut kita juga membutuhkan orang lain atau teman. Teman dan sahabat saat menjalani melewati banjir (pejalan kaki lain, pengendara motor atau mobil lain, angkutan umum, jasa gerobak atau perahu penyeberang hingga para pihak berwajib satpam, polisi, TNI, SAR, dan sebagainya). 

Begitu pula dengan ancaman pembegalan, selalu disarankan jangan memasuki atau melewati tempat yang sepi. Carilah untuk dilintasi, tempat yang ramai dan ada orang lain (“teman-sahabat”) di sekitar perjalanan kita. 

Mungkin demikian juga refleksi perjalan antara Elia dan Elisa. Dua Nabi Tuhan Allah. Rencana Allah memanggil Elia pulang kepada-Nya tanpa melalui kematian fisik diketahui (ayat 3,5,7). Itu sebabnya Elisa tidak ingin ditinggalkan menjelang detik-detik terakhir hidup Elia, meskipun Elia mencoba membujuknya agar mereka berpisah di Gilgal (baca lagi ayat 2). 

Perjalanan dari Gilgal ke Sungai Yordan membawa dampak besar bagi keduanya. Bagi Elisa, perjalanan itu membuka matanya untuk bergantung kepada kedahsyatan kuasa Tuhan, “teman perjalanan” sesungguhnya, Allah yang dilayaninya (ayat 11). 

Mari, persilakan Tuhan Allah menjadi sahabat perjalanan iman kita yang terutama. Lalu mau dan benar-benar bersedia menjadi teman dan sahabat perjalanan bagi anggota keluarga kita, rekan jemaat atau orang lain di manapun kita ada. 

Khususnya perjalanan Iman, Pengharapan & Kasih, berbuah melakukan lebih banyak hal-hal baik, benar dan berguna. Karena Kasih berarti siap menjadi sahabat dalam perjalanan kehidupan bersama. Amin.


Tulisan & foto: Lusindo Tobing.