14 September 2017

Refleksi Minggu keempat September 2017


Filipi 1: 21-30



Menghasilkan Buah-buah Penyelamatan




Rasul Paulus tidak menguatirkan mengenai keselamatannya. Dia 

percaya bahwa kesudahan semua penderitaan dan penjara itu 

adalah keselamatan bagi dirinya. Baik keselamatan dalam arti ia dibebaskan dari pemenjaraan fisik maupun keselamatan surgawi (baca dan maknai ulang ayat 19).

Diri dan jiwa kita adalah milik Kristus, untuk Dia saja -- hidup atau 
mati -- kita mengabdikan diri. Dalam perikop kita kali ini, yang dikuatirkan Rasul Paulus adalah bagaimana hidupnya tetap dapat mempermuliakan Tuhan baik ketika ia ada di dalam penjara, maupun pada masa mendatang entah dalam keadaan apapun dia, bahkan sampai pada saat kematiannya (ayat 20). Bagi Paulus persoalannya bukan mati atau hidup, asalkan kedua-duanya memuliakan Tuhan.

Mari belajar meneladani Rasul Paulus, agar kita semakin melihat 


kebutuhan dan sekaligus panggilan Tuhan untuk tetap berkarya di

dalam dunia yang kian egois dan keras. Mari semakin berkomitmen

taat pada kehendak Allah yaitu tinggal di dalam dunia ini untuk 

hidup menghasilkan buah (ayat 22, 24-25). Kematian bukan 

pelarian. Selama kita hidup, kita harus memberi buah: menjadi 

berkat bagi orang-orang yang kepadanya Tuhan pertemukan. Kalau 

tiba waktunya kematian menjemput, seperti Paulus dan kitapun 

tahu, bahwa kita akan ke sorga abadi dan mulia. Namun, sekarang 

selagi kita hidup, mari semakin bekerja dan melayani Tuhan. Mari 

semakin menyenangkan hati-Nya dengan semakin menghasilkan 

buah-buah kebaikan bagi semua orang. Amin.




Pdt. Lusindo Tobing

Refleksi Minggu ketiga September 2017


Kejadian 50: 15-21


Ibadah yang Mendorong Pengampunan




Dengan penuh belas kasihan Yusuf menegaskan pengampunan dan kasihnya kepada saudara-saudaranya. Lalu menangislah Yusuf, air matanya adalah air mata kepedihan sebab kecurigaan mereka kepadanya, dan juga air mata rasa haru bisa bertemu.

Merespons saudara-saudaranya, Yusuf meminta mereka memandang hanya kepada Allah untuk pertobatan mereka (baca lagi ayat 19): "Aku inikah pengganti Allah?" Dalam kerendahan hatinya yang besar, ia menganggap mereka menunjukkan rasa hormat yang berlebihan, seolah-olah semua kebahagiaan mereka tergantung pada kebaikannya. Jadi ia merasa perlu berkata kepada mereka, seperti Petrus berkata kepada Kornelius, “Bangunlah, aku hanya manusia saja. Damaikan dirimu dengan Allah terlebih dahulu, maka kamu akan melihat betapa mudahnya berdamai dengan diriku.” Dengan pengampunan kehidupan pribadi dipulihkan, bahkan sebuah keluarga, komunitas umat, masyarakat, kota, dan bahkan negara serta dunia benar-benar dipulihkan jika ada saling mengampuni dengan kasih Tuhan.

Ketika kita mengampuni, atau lebih khusus lagi jika sebaliknya: ketika kita memohon pengampunan dari orang-orang yang telah kita sakiti, kita harus berhati-hati supaya tidak menempatkan diri kita atau mereka sebagai allah: “Aku inikah pengganti Allah, yang hanya di dalam tangan-Nya ada hak pembalasan itu? Tidak, aku akan menyerahkan kamu ke dalam belas kasihan-Nya.” Semua ini menjadi pengingatan, jika kita terus memelihara marah, dendam dan atau pembalasan sendiri, sesungguhnya kita telah merampas kedudukan dan hak Allah (maknai Rm. 12:19). Mari teladani Yusuf, dan belajar untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Yusuf mengampuni dan menghibur, menghentikan semua ketakutan saudara-saudaranya, Yusuf menenangkan hati mereka dengan perkataannya. Kepada orang-orang yang kita ampuni, mari bukan hanya kita tenangkan dengan perkataan, tetapi khususnya dengan respons perbuatan-perbuatan baik kita kepada mereka. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

Refleksi Minggu kedua September 2017


Matius 18: 15-20


Terbuka terhadap Teguran Allah 



Ibadah yang kita lakukan, sejatinya adalah proses untuk membuat 

kita semakin terbuka. Tepatnya dibukakan hati pikiran karena 

mengalami pencerahan dalam kasih Allah. Bermuara pada 

kesediaan kita terbuka dan membukakan hati-pikiran orang lain 

juga. Khususnya terhadap kebiasaan buruk, kesalahan dan dosa-

dosa. Dalam perikop kali ini ada petunjuk dari Tuhan Yesus 

Kristus untuk kita mampu menegur, menasihati dan membimbing orang lain dengan kasih. Teguran dan nasihat itu harus dilakukan bertahap. Pertama, hendaklah dilakukan dalam pembicaraan pribadi antara Anda dan dia (ayat 15). Jika tahap teguran dan nasihat itu tidak ditanggapi, perlu menghadirkan saksi bukan untuk menghakimi, melainkan sebagai upaya menyadarkan (ayat 16) dan seterusnya. Intinya kita mau dipakai menyalurkan teguran Allah kepada diri sendiri dan kepada semua orang.


Sebab sesungguhnya, terbuka terhadap teguran Tuhan akan 

memampukan kita semakin terbuka mengasihi dan melakukan

kebaikan-kebaikan. "Apabila saudaramu berbuat dosa, 

tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan 

nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” (ayat 15). Mendengar teguran Allah adalah ibadah kita. Ibadah di Hari Minggu, namun juga ibadah hari demi hari. Sehingga Dia selalu hadir dalam kehidupan kita bersama keluarga, umat Tuhan (gereja), bahkan masyarakat luas.

“Dan lagi Aku berkata kepadamu:  

Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (ayat 19-20). Mari beribadah dan mempraktikkan ibadah GKJ Nehemia yang lebih terbuka. Urutan liturgi bisa tetap sama, namun isi ibadah seharusnya hati dan sikap kita yang lebih terbuka, lebih mampu saling menerima dan memberi ruang antar umat, lalu di keseharian dengan tetangga, bahkan menrima orang lain yang berbeda sangat tajam dengan kita. Dalam percakapan, dialog, pelayanan gereja, hidup lingkungan masyarakat, kerjasama studi dan kerja kita, mari lebih banyak “menegur” dengan perbuatan nyata, dengan penuh kasih. Amin.



Pdt. Lusindo Tobing


30 Agustus 2017

Refleksi Minggu pertama September 2017


Matius 16: 21-28




Beribadah dengan Memikirkan Apa yang

 Dipikirkan Allah




Pikiran Simon Petrus menentang pikiran Guru dan Tuhannya: Yesus Kristus. Jelas Petrus hanya menggunakan hikmat dunia, bukan hikmat Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Petrus tidak dapat menerima bahwa Mesias, Anak Allah yang hidup, akan mati. Kristus mengungkapkan pemikiran lain yang berbeda kepada Petrus dan para murid-Nya, dengan memberitahukan perihal salib dan penderitaan. Petrus masih sulit berpikir bahwa kematian, bagi Tuhan bukan berarti kekalahan dan atau kegagalan. Kematian-Nya justru mengalahkan maut dan dosa. Tidak sepatutnya Petrus membantah apalagi menasihati-Nya dengan nada memerintah: "Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau" (ayat 22), padahal Kristus telah berkata, "Hal ini harus terjadi" (ayat 21). 

Ketika kita ditipu (seperti kasus First Travel), atau ketika musibah bencana alam menghantam (seperti hujan badai dan banjir yang menerjang Texas, Amerika), mari tetap bahkan semakin berpikir seperti Allah berpikir. Bukan pola pikir iblis, Petrus ditegur Tuhan Yesus, “Enyahlah iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia (ayat 23). Hal-hal yang dipikirkan Allah memang seringkali berbenturan dan bersilangan dengan hal-hal yang dipikirkan manusia, seperti kenikmatan daging, kesenangan pribadi, dan nama baik kita saja.

Mari berjuang mewujudkan pikiran-Nya yakni mengasihi, memberkati dan menyelamatkan semua orang. Jika hal-hal ini yang kita pikirkan, maka kedagingan kita sangkal, bahaya bisa kita hadapi, dan kesukaran dapat dijalani serta diselesaikan. Kita semakin bersedia memikirkan keadaan orang lain, bukan hanya diri sendiri dan siap membantu sesama manusia dengan Kasih Allah. Dasar semua itu sekali lagi adalah: selalu memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Sehingga kita tidak hanya beribadah di Hari Minggu tok, tetapi di keseharian kita menyembah dan memuliakan (beribadah) kepada Tuhan Allah. Setiap hari, kita mewujudnyatakan pikiran Allah dengan menjalani kehidupan yang menghidupkan! Amin.



Pdt. Lusindo Tobing

sampul buku terbaru





Terpujilah Tuhan... ini sampul buku aku (terbaru) yang akan terbit, sedang antre cetak di BPK Gunung Mulia 


25 Agustus 2017

Refleksi Minggu keempat Agustus 2017



Yesaya 51: 1-6 

Peka Mendengar Suara Tuhan

 

Sejak remaja, saya sudah menyukai seni khususnya music dan lagu tradisional. Anda pasti setuju bahwa ada keindahan illahi dalam nada yang dimainkan, ada terapi pemulihan dana atau pemberi semangat dalam suara music serta suara, dan kebijaksanaan di tiap kata kalimat syair juga harmoni yang kita dendangkan dan nikmati. Seperti keindahan perikop kita kali ini: Suara Allah yang menghibur Israel. Juga kita yang membacanya di konteks kekinian.

Israel masih menjalani penderitaan di tanah pembuangan akibat
dosa mereka. Keadaan tersebut membuat mereka sulit merasakan
penyertaan Allah. Namun Tuhan mengingatkan bahwa berkat
Abraham tetap berlaku. Allah mengajak umat-Nya mengenang
kembali perbuatan-Nya dahulu saat Ia memberkati keturunan
Abraham dan Sara sehingga mereka menjadi bangsa yang besar.
Kini Ia akan melakukan perbuatan yang sama yaitu membangun
kembali kesatuan umat Israel (ayat 2-3). Bahkan lebih lagi,
keselamatan juga akan datang kepada bangsa-bangsa lain (ayat
4-6). Mari peka dan mau semakin mendengar suara-Nya, agar masa
depan cerah berada di pihak kita, tetapi bila tidak, penghukuman
Tuhan menjadi bagian kita. Kata-kata penghiburan yang
disampaikan untuk orang yang menderita bagaikan air sejuk bagi
yang kehausan. Kalau Allah yang menghibur, kesejukannya
memancar dari hati dan mengalir ke seluruh tubuh.

Peka untuk mendengar dan mengeal Suara-Nya, melalui fenomena kehidupan sehari-hari khususnya melalui seni-budaya kita, tidak boleh berakhir. Budaya adalah warna dan cermin kehidupan, yang harus bisa kita gunakan menjadi saluran suara Tuhan yang menghibur, menuntun dan menguatkan, menjadi saluran pewartaan Keselamatan-Nya kepada semua orang. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing

17 Agustus 2017

Refleksi Minggu ketiga Agustus 2017


 

Matius 15: 21-28

Bertumbuh dalam Perjumpaan





Tindakan Tuhan Yesus Kristus menyembuhkan anak
perempuan dari seorang perempuan Kanaan menunjukkan
kasih dan kepedulian-Nya. Cinta kasih yang tidak terbatas
hanya kepada golongan atau suku atau bangsanya sendiri saja.
Dialog di ayat 24 Dia mengoreksi pandangan "sempit" para
murid, yang masih beranggapan bahwa Tuhan Yesus diutus
hanya untuk orang dan bangsa Yahudi. Kepedulian terhadap
bangsa nonyahudi juga ditunjukkan-Nya dengan mengunjungi
wilayah utara Galilea ke desa-desa orang-orang lain (yang
beragama non Yahudi).


Agama dan budaya bertumbuh dalam perjumpaan dengan
agama dan budaya lainnya. Perbuatan mukjizat yang pernah
dibuat Tuhan Yesus terhadap umat Yahudi kini dilakukan
juga kepada orang-orang non Yahudi. Bagi Tuhan Yesus
mereka pun domba-domba hilang yang perlu ditemukan,
diterima, dan diselamatkan. Setiap orang, tidak peduli suku,
ras, bahasa, bangsa dan agama apapun, memerlukan Kasih
sayang-Nya.


Kita sebagai umat-Nya juga dipercayakan Tuhan Yesus
untuk terbuka dan membagikan kasih penyelamatan-Nya bagi
orang-orang lain. Mari lebih mendoakan dan menerima asisten
rumah tangga kita yang suku-budayanya berbeda misalnya,
atau mereka yang membantu keseharian kita yang beragama
lain. Lalu para tetangga, hingga semua saudara sebangsa
setanah air Indonesia. Juga semua manusia penghuni bumi,
yang diciptakan Tuhan berbeda-beda. Amin.

 
Pdt. Lusindo Tobing