07 Agustus 2015

Refelksi Minggu Kedua Agustus 2015


Efesus 4: 25 – 5: 2



RAMAH






Semua kita kemungkinan besar bergumul dan berjuang di tema renungan kali ini: Ramah. Berjuang bisa ramah, tetap ramah, apalagi semakin ramah kepada semua orang. Di konteks carut-marut kehidupan sosial masyarakat, bangsa negara dan bahkan dunia.  Yang semakin tegang dan panas, kita difirmankan untuk ramah. Sebagai umatNya, sekali lagi, untuk lebih ramah kepada orang lain.

Marilah mulai dari keluarga, berlanjut ke persekutan kebersamaan jemaat dan gereja. ” Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. (Efesus 4: 32).  Firman Tuhan melalui Rasul Paulus menginginkan jemaat Efesus berani tampil beda dalam kehidupannya. Juga kepada kita yang berusaha memberlakukan hidup ramah dengan tetangga di rumah, maupun “tetangga” / orang-orang di dekat kita, di mana pun kita berada, seperti diri kita sendiri (ingat dan maknai lagi Hukum Kasih-Nya, Matius 22: 37-40). 

Bahkan kita dimampukan Kristus Sang Sumber Kasih, untuk bisa ramah sebagai warga negara Indonesia.  Berjuang melakukan kasihNya dalam kehidupan, bukan saja sebagai suatu keharusan tetapi juga sebagai tanda atau bentuk keunikan kehidupan kita, orang Kristen. Terlebih di tengah  bangsa dan negara kita memasuki usia ke-70 tahun di bulan ini. 

Hingga keramahan dan benar-benar bisa berlaku ramah kepada seluruh dunia. Kepada  sesama manusia, suku atau bangsa dan agama apapun. Bahkan mampu dengan nyata ramah kepada air, udara, tanah, binatang, tumbuhan dan pelestarian segala ciptaanNya. Amin.



Tulisan & Foto: Lusindo Tobing.


05 Agustus 2015

Bahan PA (Pemahaman/Pendalaman Alkitab)





Bahan PA GKJ Nehemia, Agustus 2015.


Doa & Iman


Matius 9: 27-31.



1.    Berdoalah Berdasar Iman.  

Sesungguhnya iman merupakan syarat utama untuk menerima pertolongan dari Kristus. Berkat Tuhan memang bisa berlaku untuk semua orang.  Tetapi orang yang ingin menerima belas kasihan pertolongan dari Kristus harus percaya dengan yakin akan kuasa-Nya. Apa pun yang kita butuhkan Dia lakukan untuk kita, kita harus benar-benar yakin bahwa Ia dapat melakukannya.  Apakah kamu percaya? Apakah kita sungguh-sungguh beriman? Alam bisa membuat orang bersungguh-sungguh hati, tetapi hanya anugerah Allah sajalah yang bisa menghasilkan iman; berkat-berkat rohani hanya diperoleh melalui iman. 

Dua orang buta dalam perikop kita kali ini telah menunjukkan iman mereka melalui pengakuan akan kedudukan Kristus sebagai Anak Daud dan akan belas kasihan-Nya. Walaupun begitu, Kristus juga mau agar mereka menyatakan iman mereka akan kuasa-Nya.  “SetelahYesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata kepada mereka: "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" Mereka menjawab: "Ya Tuhan, kami percaya.“ (ayat 28). Percayakah kita?  Bahwa Dia dapat melakukannya, dapat memberikan pertolongan, memberikan penglihatan kepada orang buta, menyembuhkan orang lumpuh, dan membangkitkan orang mati? Perhatikanlah, dalam menerapkan iman, sebaiknya kita menyebut doa secara lebih terperinci apa yang kita imani mengenai keyakinan kita akan kuasa Allah, kehendak baik-Nya, dan janji-janji-Nya yang umum pada keperluan-keperluan kita yang khusus. 

Segala sesuatu bekerja untuk mendatangkan kebaikan, dan jika dikatakan segala sesuatu, maka ini pun termasuk dalam doa-doa kita. Ini berarti mereka bukan saja harus percaya bahwa Dia Anak Daud, melainkan juga Anak Allah; karena Allah sendirilah yang mempunyai hak istimewa untuk membuka mata orang buta (Mzm. 146: 8); Ia menciptakan mata yang melihat (Kel. 4: 11). Kita harus percaya bahwa Kristus dapat melakukannya, dengan kuasa doa,  doa yang berdasar iman yang kokoh teguh.  Dalam Roh, tidak hanya kita merasa pasti akan kuasa-Nya itu, tetapi juga kita benar-benar menyerahkan dan mengikat kepada kuasaNya.  Mendorong hati, roh, akal, diri serta hidup kita teguh di dalam janji  sekaligus jawaban doa, penggenapan janji dan rancangan diberlakukanNya atas kita. Orang yang mengalami penderitaan yang sama haruslah mengucapkan doa yang sama pula untuk meminta pertolongan. Orang-orang yang sama-sama menderita haruslah memohon bersama-sama pula. Di dalam Kristus, semuanya bisa mendapat bagian. Oleh karenanya menutup point 1 (pertama), tetapi mengawali seluruh PA kali ini, mari bersama-sama kita berkata dari iman (katakan bersama-sama):   "Ya Tuhan, kami percaya.“



2.    Iman Bekerjasama Dengan Doa. 

Memasuki bagian kedua ini, mohon jawab pertanyaan ini, Apakah Tuhan Yesus berdoa? Jawabannya dan ingatlah misalnya yang tertulis di Injil Lukas 9: 18, “Pada suatu kali ketika Yesus berdoa seorang diri, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: "Kata orang banyak, siapakah Aku ini?" Ya Dia berdoa, benar-benar dan sungguh-sungguh di tiap doaNya.  Sama persis format pemahaman dan refleksi iman atas jawaban dua orang buta di konteks bahan PA kita kali ini. Mereka langsung memberikan jawabannya, tanpa ragu-ragu, "Ya Tuhan." 

Ayat 27 menyatakan jelas upaya doa yang tiada henti, terus memohon dengan sembah kepada Tuhan. Dan semua itu menjadi indikasi paling jelas bahwa ada kerjasama kuat antara Iman dengan Doa. Perhatikan, “Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: "Kasihanilah kami, hai Anak Daud.“  Walaupun Dia membuat mereka gelisah menanti-nanti untuk beberapa waktu dan tidak segera menolong mereka, namun mereka dengan tulus melihat bahwa Dia berbuat seperti itu karena hikmat-Nya, bukan karena kelemahan-Nya, dan mereka terus beriman akan kemampuan-Nya.  Harta kekayaan belas kasihan yang tersimpan di dalam kuasa doa bekerjasama dengan orang-orang yang percaya hanya kepada-Nya.

Dan bukankah kita selalu diingatkan salah satu ayat (dari sekian banyak ayat Alkitab) yang menandaskan hal tersebut, “Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.“  (Matius 17:20).



3.    Doa Membuat Iman Menjadi Sempurna.  
 
Oleh karenanya, berdoalah dengan hati dan pikiranmu. Tetapi pertama dan khususnya berdoalah dari hati. Berdoa dari hati, menyentuh Hati & kembali ke banyak hati. Hati semua orang, khususnya kedalaman serta ketulusan hati kita. Hati yang berisi penuh iman akan kuasa dan kasih sayang Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Penyembuhan akhirnya dilakukan Kristus terhadap mereka; Ia menjamah mata mereka (ayat 29):  “Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: "Jadilah kepadamu menurut imanmu."

Ini dilakukan-Nya untuk menguatkan iman kedua orang buta itu, yang telah diuji-Nya dengan menunda-nunda waktu. Jadi ingatlah selalu, mungkin jawaban atas doa kita dari Tuhan seperti lambat (atau mungkin lambat sekali) bagi kita, tetapi percayalah Tuhan dan jawabanNya tidak pernah terlambat!  Akhirnya menunjukkan bahwa Ia memberikan penglihatan kepada jiwa-jiwa yang buta dengan mengerjakan anugerah-Nya yang menyertai perkataan-Nya, dengan melumas mata. Ia melakukan kesembuhan itu berdasarkan iman mereka, jadilah kepadamu menurut imanmu. Ketika mereka memohon untuk disembuhkan, Ia menanyakan iman mereka, "Percayakah kamu bahwa Aku dapat melakukannya?" (ingat lagi ayat 28). 

Di konteks lain, penulis Yakobus sangat jelas menyatakan, “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama  dengan perbuatan-perbuatan  dan oleh perbuatan-perbuatan  itu iman menjadi sempurna.”  (Yakobus 2: 22).  Dan lihatlah kembali di konteks pembacaan PA kali ini, Tuhan Yesus tidak menanyakan kekayaan mereka, apakah mereka mampu membayar-Nya untuk menyembuhkan mereka, juga tidak bertanya tentang nama baik mereka, supaya Ia mungkin bisa mendapat pujian dengan menyembuhkan mereka; sebaliknya, Ia menanyakan iman mereka. Dan sekarang setelah mereka menyatakan iman mereka, seperti yang dipertanyakan-Nya.  Dialog Tuhan Yesus dengan kedua orang buta akhirnya menampilkan penyempurnaan iman percaya. Benar-benar semakin percaya beriman, dan lihat, kuasa yang mereka (dan kita juga percaya-imani) pasti dilaksanakan bagimu. Jadilah kepadamu menurut imanmu!



4.    Doa Yang Dari Iman, Menyelamatkan! 
  
“Maka meleklah mata mereka. ...” (penggalan ayat terakhir, ayat 30).  Ia tahu akan ketulusan iman mereka, dan Ia menerima dan mengabulkan permintaan dari iman mereka itu. Perhatikanlah, orang yang sungguh-sungguh percaya boleh merasa tenang bahwa Yesus Kristus mengetahui iman mereka, dan Ia senang dengan iman mereka itu. Sekalipun iman itu lemah, sekalipun orang lain tidak memahaminya, dan sekalipun mereka sendiri bisa mempertanyakannya, iman itu diketahui-Nya.

Tuhan Yesus Kristus menekankan bahwa iman kedua orang buta itu penting. Doa yang berasal dari iman, pasti menerima pertolonganNya. Pasti menyelamatkan! Perhatikanlah, orang yang datang kepada Yesus Kristus akan diperlakukan menurut iman mereka; bukan menurut angan-angan mereka atau menurut pekerjaan mereka, melainkan menurut iman mereka. Ini artinya, orang-orang yang tidak percaya tidak bisa berharap akan mendapat pertolongan dari Allah, tetapi orang yang sungguh-sungguh percaya bisa yakin akan mendapat segala Keselamatan yang ditawarkan di dalam Injil.

Di semua mujizat yang berlaku (khususnya dalam konteks Perjanjian Baru) pastilah bersumber dari Pribadi Yesus, Tuhan danh Juruselamat  yang berkuasa. Perhatikan setiap proses mujizat yang terjadi.  Saat Dia memegang tangan anak kepala rumah ibadat yang mati, lalu bangkitlah ia. Perempuan yang sakit pendarahan itu sembuh bukan karena jubah yang dikenakanNya, namun karena perempuan itu beriman kepada Pribadi Yesus. Orang buta disembuhkan karena jamahan kuasa Tuhan Yesus. Demikian pula orang bisu dapat berbicara karena kuasa setan dipatahkan oleh kuasa-Nya. Kuasa-Nya tidak dapat dipisahkan iman yang datang memohon kepadaNya.  Mari jangan hanya takjub dan mencari mujizatNya. Namun mari tunduk kepada Pribadi Tuhan Yesus Kristus yang, berdoa dengan iman menyembah kepada  Sumber segala keselamatan kekal. Sebab banyak Kristen yang hanya tergiur mengalami Kuasa-Nya, tanpa mau datang dan tunduk beriman tiap hari kepadaNya.  Dalam tingkah laku nyata. Terlebih mulai dari doa-doa yang dipanjatkan.



5.    Tekunlah Berdoa Dengan Iman.

Dan walaupun jawaban atas doa kita, jawabanNya adalah “tidak”.  Itu sudah jawaban, jawaban yang terbaik. Karena dari Allah atas doa-doa kita yang beriman. Tetap dan semakinlah beriman. Walau belum dapat, tetaplah taat. Taat dan tekunlah berdoa dengan iman percaya hanya kepadaNya. Ora et Labora (berdoa dan bekerja/berusaha). Bahkan akhirnya juga mampu mempengaruhi orang di sekitarnya untuk juga berdoa & berusaha/bekerja.  Dulu ada orang-orang di Israel (di konteks Perjanjian Lama) yang terkenal bisa mengadakan mujizat, tetapi Kristus melebihi semuanya. Mujizat-mujizat yang diadakan Musa ditujukan kepada Israel sebagai suku bangsa, tetapi mujizat-mujizat Kristus ditujukan kepada orang per orang dan bisa untuk semua orang. Mari dengan tekun berdoa. Tekun karena iman. Tidak pernah terlepas: Doa&Iman.  

Perhatikanlah, pintu Kristus selalu terbuka bagi siapa saja yang memohon dalam doa dengan yakin dan tidak jemu-jemu. Tekun karena iman akan membawa kita ke pintu kemenangan. "Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.“ (1 Yohanes 5: 4).  Lalu bagaimana dengan “GeraDo 3 menit” kita? Apakah sudah menjadi Gerakan Doa Tiga Menit kita semua?  Tidak harus pasti/tepat di jam 12 siang dilakukan. Tetapi minimal 3 menit marilah berdoa dengan mendoakan. Mendoakan keluarga kita, pekerjaan dan pelayanan, dan mendoakan gereja di mana kita bersekutu dan bertumbuh dalam iman, Gereja Kristen Jawa Nehemi.  Kalau bisa terus bertambah kwantitas maupun kwalitasnya. Kwantitas waktu dan pihak-pihak yang kita doakan. Namun juga kwalitas doa karena berasal dari ketulusan dan kesungguhan kita berkomunikasi, menyembah, bersyukur dan khususnya berangkat dari iman percaya yang semakin kuat kepadaNya.

Ditambah dengan kehausan kita bersama untuk membaca Alkitab (Firman Tuhan), menggumuli dan mendalaminya. -Contohnya Komisi PA juga akan mengajak kita membaca dan mendalami Kitab Nehemia. Dan kitab-kitab yang lain seterusnya-  Sehingga mungkin bisa ada berlaku GeraDo 3+3 menit = 6 menit. Atau Gerado 13 menit, bahkan 30 menit? Dan seterusnya. Namun yang pasti adalah kesungguhan dan keyakinan kita memanjatkannya, melakukannya kepada Tuhan dan diperjuangkan untuk kita lakukan nyata. Mengasihi Tuhan Allah dengan wujud mengasihi keluarga, rekan jemaat dan melayani semua umat manusia lebih indah lagi.





Diskusi dan Sharing:

1.       Pilihlah salah satu point (nomor) atau satu hal, dari kelima hal/nomor di atas. Mohon didiskusikan dan dalami dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil (minimal 5 orang). Dan mohon, upayakan tidak ada kelompok memilih hal/point yang sama.  

2.       Temukanlah “hal-hal baru yang membangun iman” untuk doa juga tingkah laku kita, dari diskusi mendalam  tiap kelompok kecil.

3.       Kembalilah ke pleno (kelompok besar sebelumnya). Mohon tiap perwakilan dari tiap kelompok kecil: Menjelaskan dengan singkat apa yang mereka temukan di tugas no 2. Dan tiap perwakilan menutup dengan mengajak berdoa singkat, khususnya mendoakan semua jemaat dan orang/pihak lain sesuai penjelasannya tadi. 
Dan jika memungkinkan, akhiri  seluruh rangkaian PA ini dengan bersama berdoa “Doa Bapa Kami.”



Pdt. Lusindo Tobing 

29 Juli 2015

Refleksi Minggu Pertama Agustus 2015.


Keluaran 16 : 9-18.



Kesejahteraan Yang Setara





Di konteks ini orang-orang Israel bertanya: "Itu Apa" (bahasa Ibrani: "mah-hu"). Inilah asal kata "man-hu", yang kini dikenal dan kerap kita sebut: Manna.  Diberikan Tuhan, jatuh dari langit ke tanah di pagi hari. Lalu di sore harinya, juga pemberian kumpulan burung puyuh. Mencukupi kebutuhan makanan, juga menguatkan iman, selama rombongan bangsa pilihan Allah berjalan.

Pantulan refleksi pemberian Manna dan Burung puyuh ini adalah Penyelenggaraan kesejahteraan yang setara (sama tercukupi, seimbang dan menurut keperluan masing-masing keluarga umat) dari Allah yang mengagumkan! 

Di keadaan darurat sekalipun, tetap menganugerahkan kepada umatNya makanan baru. Karunia Tuhan yang selalu tepat dan setara untuk semua. “Ketika mereka menakarnya dengan gomer, maka orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya.” (ayat 18)

Yang menjadi perlambangan Kristus di konteks Perjanjian Baru. Sabda Tuhan yang menjadi makanan sejati. Membuat kita terus benar-benar hidup, rohani/iman juga jasmani. Untuk keluarga kita (oleh karenanya termasuk diri kita pribadi), juga untuk GKJ Nehemia dan gereja-gereja lain, juga untuk Kota kita Jakarta, serta untuk seluruh dunia khususnya kesejahteraan setara bagi semua warga Negara Indonesia.

Dimulai tentu dari kesejahteraan dan keselamatan untuk kita semua yang percaya kepadaNya. Selalu bersyukur dan berbagi dengan orang lain selama hidup di bumi, menerima serta menyalurkan berbagai penggenapan janji karunia Allah. Hingga menuju dan nanti sampai di Tanah Perjanjian, Sorga Kekal Sejahtera. Amin.



Tulisan & Foto: Lusindo Tobing.

22 Juli 2015

Refleksi Minggu Keempat Juli 2015.




Yohanes 6: 1-21


TIDAK TAKUT





Melihat gambar atau video pembakaran mesjid di Tolikara, Papua beberapa saat lalu, janganlah membuat “panas” hubungan sosial masyarakat dan antar umat beragama di Indonesia. Apalagi dilanjutkan dengan berita pembakaran pintu salah satu gereja di Purworejo, tidaklah untuk menuju perseteruan apalagi saling membenci dan menyakiti. Tetapi hal-hal seperti itu, jika berani kita gunakan sebagai refleksi kuat untuk intropeksi Gereja, para pelayan misi-Nya, juga seluruh jemaat untuk lebih berani dan rendah hati mewartakan syalom.

Takut? Jangan takut. Jangan pernah takut untuk mewartakan kabar baik dan kabar keselamatan (syalom). Kepada siapapun, di manapun dan bahkan dalam kondisi situasi bagaimanapun. Bahkan di saat paling genting dan rawan sekalipun. Peristiwa TuhanYesus memberi makan lima ribu orang dan Dia berjalan di atas air menghampiri para murid yang sedang ada di atas perahu membuktikan. Bahwa bersama Tuhan Yesus Kristus, kita tidak takut untuk menghadapi tantangan hidup.  Dengar lagi, baca nikmati dan ingat kembali kata-kata Tuhan dan Juruselamat kita ini, "Aku ini, jangan takut!" (ayat 20).

Tuhan telah dan akan selalu mengambil langkah bijaksana. Ia terus menuntun para murid (begitu pula dengan kita) untuk mengenal-Nya lebih baik, hari demi hari. Mari luruskan motivasi dan sikap hati. Juga ucap dan tingkah laku kita untuk benar-benar percaya. Percaya penuh tiap hari dan tiap waktu hanya kepadaNya. Tuhan pasti memberi “jalan keluar” (baca-maknai lagi ayat 13 & 21) dan akan terus peduli dan memberkati semua kita yang mau berani. Berani menyembahNya dengan kasih dan berani mengasihi sesama manusia serta segenap ciptaan. Amin.


Tulisan & Foto: Lusindo Tobing.

Misi Pewartaan Dan Kesaksian Sebagai Sebuah Model Berteologi Dan Bergereja Kontekstual Di Indonesia Saat Ini





Misi Pewartaan Dan Kesaksian Sebagai Sebuah Model Berteologi Dan Bergereja Kontekstual Di Indonesia Saat Ini
Oleh: Lusindo Yosep Tobing

 

Konteks Berteologi Dan Bergereja Kini.
Berteologi dan bergeraja tidaklah boleh, bahkan sesungguhnya tidaklah bisa lepas dari konteks lokal di mana Tuhan menempatkan kita: Umat, para pelayan dan gereja-Nya berada. Mewartakan dan memberikan kesaksian tentang Iman, Pengharapan dan Kasih ke dalam bentuk bahasa dan gaya hidup sesuai kekinian. Sehingga ada proses spiritual, kognitif  bahkan pemulihan sikap tingkah laku, masuk dalam proses penyelamatan Allah bagi manusia dunia yang terus berlangsung, serta bagi seluruh ciptaan yang tiada henti.  
Dan inilah misi gereja sebenaranya, dilaksanakan pada lingkungan konkret di satu konteks tertentu, namun juga dalam kesetiaan kepada Injil (Kabar Baik – Kabar Keselamatan). Serta tradisi teologi, praktik liturgi dan kehidupan kristiani di lingkungan Indonesia yang kaya budaya tiap lokal, sejarah, sosial, sangat beragam identitas masyarakatnya dan bersamaan dengan itu semua: Semakin maju.
Ya, kalau boleh dikatakan saat ini, manusia Indonesia (rakyat dan bangsa Indonesia), tidak terlepas Gereja dan jemaat, bersepakat untuk menerima kemajuan teknologi dan media. Dengan menggunakannya di tidak lagi “hampir di semua”, tetapi sudah di semua aspek kehidupan Indonesia kita. Termasuk khususnya Gereja-gereja di Indonesia. Di banyak pelosok desa dan tentu hingga kota-kota. Pergaulan dengan dunia luar memang tidak terbantahkan lagi. Satu sisi sangat menggoda rayu, sehingga beberapa pihak memandang sangat negatif dengan konteks keterbukaan informasi serta komunikasi saat ini.
Namun di sisi lain, seperti di setiap fase dan langkah durasi kehidupan manusia adanya, terbukti Indonesia juga mampu mempengaruhi keadaan. Bahkan mengundang dunia untuk datang ke konteks Indonesia. Bersamaan serta –dengan semangat misiologia- Gereja dan jemaat dari hal paling sederhana kesehariannya mampu memberi sumbangsih. Dalam pelestarian nilai-nilai luhur tiap lokal Indonesia, dengan diisi terang Sabda pewartaan dan kesaksian bagi kehidupan.
Dipengaruhi juga untuk mempengaruhi, mendengar banyak untuk akhirnya dimampukan Tuhan mewartakan lebih banyak bahkan lebih baik. Di dan ke konteks di dalam Indonesia di mana kita masing-masing berteologi dan bergereja, bahkan dari Indonesia kepada dunia luar, luas tak terbatas melalui media yang kian pesat maju. 
Inti yang konstan, yang harus ada dan paling penting adalah Pemerintahan Allah (mencuplik istilah dari Stephen Bevans dan Roger Scrhoeder, di buku mereka Constans in context: A theology of mission for today). Yakni mewartakan, melayani dan bersaksi  mengenai  Injil tentang dan dari Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Komitmen Gereja untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Pemerintahan Allah inilah yang memastikan Gereja menerima dan melestarikan jati dirinya. Hidup bergereja dan berteologi di konteks Indonesia, bergumul serta berjuang dalam penantian eskatologis sampai kedatangan Tuhan kembali. Dengan misi pewartaan dan kesaksian yang terus-menerus menawarkan penyembuhan dan keutuhan kepada semua manusia juga seluruh ciptaan.
Termasuk (contoh) misalnya dalam berkhotbah dan mewartakan melalui berbagai bentuk pengajaran dan tuntunan. Sepanjang durasi sekitar 14 tahun penulis melayani sebagai pendeta (juga pengkhotbah), konteks dan perkembangan menuntut Ilmu berkhotbah (homiletika) yang lebih baru. Dan ini sangat berhubungan dengan berbagai unsur berteologi, bergereja, bahkan hidup nyata menjadi “garam dan terang dunia” berbangsa-bernegara dan bermasyarakat kita. Sekali lagi bentukan baru pewartaan dalam penyampaian Firman Allah, terlebih melalui khotbah atau pewartaan lainnya dengan menggunakan multi media (media tulisan, gambar, suara dan bentukan lainnya).
Misi pewartaan dan kesaksian yang lebih baru, yang muncul dari proses memahami perubahan masyarakat Indonesia serta jemaat yang kian modern. Khususnya soal teknologi dan kaitannya dengan gaya berkomunikasi. Ini menjadi salah satu model berteologi dan bergerja saat ini, mengkomunikasikan benih-benih Kebenaran serta mengajarkan (Pemerintahan) Kerajaan Allah kepada “pemerintahan dunia, keluarga bahkan tiap pribadi manusia”. Sebab Gereja menjadi benar-benar Gereja jika mengarahkan pewartaan kesaksiannya hanya tentang Kerajaan Allah, selalu mengewajantahkan pelayanan Yesus Kristus sebagai wajah Roh Kudus. Kepada jemaat dan umat Tuhan di era ini, yang memang lahir dalam dunia multi media serta teknologi. Hidup dalam konteks media kreatif, komunikatif serta penuh interaktif yang tampaknya sudah makin menyatu dalam diri manusia juga jemaat Indonesia.    

Melakukan Pewartaan Baru Dan Kesaksian Baru
Para teolog primer (Stephen Bevans dan Roger Schroeder, Peter C. Phan dan Bryan P. Stone) tentulah sama-sama sepakat bahwa Gereja pada hakikatnya bersifat misioner. Dan jemaat seluruhnya adalah misioner, oleh karena diutus Tuhan ke dalam dunia. Dan secara autentik mengambil bagian dalam misi Allah. 
Selalu terjadi dalam satu konteks tertentu. Bahkan konteks kekinian. Di konteks yang akan selalu juga semakin baru. Selalu berjuang mengkomunikasikan Injil dalam bingkai kebudayaan tertentu. Dalam bahasa tertentu. Dan lengkap dengan berbagai keunggulan serta keterbatasan dari satu kurun tertentu. Peter P. Chan misalnya menampilkan perjuangan misi pewartaan dan kesaksian seperti yang dilakukan Alexandre de Rhodes di Asia, khususnya misinya di Vietnam.
Mewartakan teologi misi dalam konteks Vietnam , menerjemahkan Kristus dan kekristenan ke dalam bahasa masyarakat asli yang menerima khotbah-khotbah dan pelayanannya. Disertai banyak sekali tantangan, pergumulan dan perjuangan lainnya. Hingga mungkin pantas jika de Rhodes diproklamirkan sebagai pendiri Kekristenan di Vietnam. 1
Selalu fokus kepada konteks masyarakat Vietnam, bagaimana mereka dalam kebersamaan hidup sehari-hari. Dan aktual dalam pewartaan dan kesaksian, dibandingkan cuma berkutat tentang teks dan tulisan kekristenan, serta teks agama-agama lainnya di sana.2 Ini sangat menarik. Misi kita adalah manusia. Mewartakan Injil kepada manusia. Semua ini dapat berlangsung sejauh kita dan Gereja setia kepada misi Allah, yang peka terhadap konteks demi konteks. Yang baru tiap bagian dan masa. Hingga kita saat ini, sekarang ini, tarik langsung di konteks Indonesia khususnya, misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah modal haruslah terus diberlakukan, bahkan dikembangkan.

---------------------------------------------------------

1.      1. Peter C. Phan, 2003. In Our Tongues:Perspectives from Asia on Mission and Inculturation. Maryknoll, N.Y.: Orbis Books. (Page/hal. 156 & 161)
2.      2. Ibid. 166-167.




Berteologi dan bergereja yang lebih rendah hati. Berteologi dan bergereja yang semakin maju dan canggih tetapi diawali dan terus lebih semakinlebih lagi untuk mendengar dan “mendengarkan” (dengan hati dan pikiran baru). Memantulkan berbagai nilai, penemuan, prasangka dan impian dari zaman dan situasi di mana pun kita berada. Konteks baru namun dengan isi pewartaan dan pusat kesaksian yang tetap, konstan sama: Pemberitaan Injil Yesus Kristus.
Di corak kontekstual yang radikal sekalipun, di rupa-rupa konteks yang tak tersangkakan, misalnya apakah di konteks Persia kuno, di Cina abad ke-8, taua konteks Italia abad ke-12, Paraguay di abad ke-16 atau di Afrika pada abad ke-19, tetaplah pusat pewartaan dan misi adalah Injil. Pelayanan dan kesaksian tentang Pemerintahan Allah itu adalah senantiasa Yesus Kristus.
Stephen Bevans dan Roger Schroeder bahkan menilik ke belakang serta memaknai kedalaman konteks Kisah Para Rasul misalnya.3  Roh Allah membimbing jemaat bahari ke luar dari berbagai prasangka dan pra-andaiannya agar merangkul sebuah konteks baru, tentu sesudah konteks yang lain. Sebuah praktik religius yang sama sekali tidak pernah terbayangkan. Menjadi jemaat yang diwartakan tetapi juga siap mewartakan dan bersaksi nyata tentang penyelamatan dan pemerintahanNya.
Terlebih lagi dengan tumbangnya kolonialisme, renaisans agama-agama dunia, merosotnya agama Kristen di Eropa, juga perpindahan penduduk Dunia Ketiga ke Dunia Pertama. Walau sejujurnya untuk konteks Indonesia belumlah seluruhnya. Ditambah transportasi yang kian cepat, komunikasi satelit dan dunia maya, komunikasi tembus batas, dan  globalisasi yang dilengkapi dengan meroketnya sistem multi media dunia, maka sesungguhnya era baru misi dimulai! Misi dengan sebuah konteks yang baru lagi!
.


--------------------------------------
3.      3. Bevans, Stephen B. and Roger P. Schroeder. 2004.  Constants in context:  A theology of mission for today.  Maryknoll, N.Y.: Orbis Books.





Teologi misi dalam kuartal terakhir abad ke-20: Misi sebagai partisipasi dalam hidup dan misi Allah Tritunggal; misi sebagai kesinambungan misi Yesus untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Pemerintahan Allah yang “sudah” namun sekaligus “belum” terwujud; dan misi sebagai pewartaan tentang Kristus sebagai satu-satunya penyelamat dunia.4 Ketiganya menjadi unsur-unsur dari sebuah sintesis yang melayani dana sekaligus melandasi teologi misi untuk abad ke-21 dan juga milenium ketiga.  Misi sebagai dialog profetis.
Secanggih apapun situasi kondisi. Sentral  tetaplah Yesus Kristus, hakikat misioner Gereja tidaklah berubah, karunia rahmat Allah tetap dicurahkan untuk Gereja, untuk semua manusia dan untuk segenap ciptaan. Namun cara misi itu dilaksanakan mesti berubah.  Terlebih di konteks majemuk namun  sangat cepat meningkat teknologi medianya. Namun tetap dengan misi yang mesti dan pastilah bercorak: Dialogis dan Profetis. Dialog-Profetis (Prophetic Dialogue). Dan inilah inti kekuatan misi pewartaan dan kesaksian itu. 
Dialogis karena partisipasi Gereja atau jemaat dalam hakikat dialogis Allah Tritunggal yang misioner tadi, di berbagai konteks dunia dan kehidupan yang kian berubah. Dan Profetis karena kebenaran harus diungkapkan dan dirumuskan dengan tegas juga jelas!
Yang menurut Bryan P. Stone tentulah sangat membutuhkan waktu, proses panjang dan pengalaman yang perlu dipelajari, diingat dan dijadikan bagian pengembangan misi pewartaan dan kesaksian yang baru. Bahkan terus baru. Yang selalu memungkinkan pemberian tempat yang luas kepada unsur budaya, sejarah, dan berteologi serta bergereja dengan semangat mengabarkan Injil sebagai kabar baik dan kabar keselamatan akan semakin kuat.  



--------------------------
4.      4.Bevans, Stephen B. and Roger P. Schroeder. 2004.  Constants in context:  A theology of mission for today.  Maryknoll, N.Y.: Orbis Books.  (Pages/hal. 351).





Misi pewartaan dan kesaksian dalam praktiknya dialogis dan profetis yang terus-menerus mengikuti perkembangan jaman tentulah tidak sederhana dan tidaklah mudah.5  Namun harus terus kita berlakukan. Di sepanjang kehidupan berteologi dan bergereja, di manapun, terlebih di Indonesia yang sangat plural namun sangat sepakat untuk canggih dalam bermulti media tadi.
Sehingga Gereja, jemaat dan bahkan keluarga hingga tiap pribadi kita punya sebuah model berteologi yang kuat. Relevansinya adalah semakin berpegang dan berisi Injil maka semakin kuat pewartaan dan kesaksian kita bahkan semakin maju. Mengikuti dan mengantisipasi kemajuan kehidupan manusia. Bahkan berhasil memberi jawaban atas berbagai pertanyaan, pergumulan dan “kehausan” insan manusia di dalam Indonesia juga dunia, di dalam Gereja maupun khususnya di luar Gereja. 
Dan diingatkan lagi dengan kuat oleh teolog Stephen Bevans dan Roger Schroeder bahwa kita sebagai umat Tuhan hanyalah insan biasa dan malahan berdosa, tetapi sekaligus adalah “yang dirahmati kehadiran Allah yang tersembunyi”. Allah yang bertindak secara universal. Yang sejak halaman-halaman pertama Alkitab, kita sudah dijabarkan dengan karya serta perbuatanNya terhadap seluruh dunia. Dan kitalah alat dalam proses penyelamatan-Nya bagi dunia tiap waktu.
Teranyam dalam sejarah tentang orang-orang Kristen yang tulus berjuang, bersekutu dan bersama-sama (di tiap bagian masing-masing) selalu memperbarui pewartaan dan kesaksian kepada hidup anggota gereja juga kepada semua kehidupan manusia, untuk tetap setia kepada Roh Allah tatkala Roh itu menyatakan diriNya dalam aneka cara baru.




-------------------------------------------
5.      Bryan P. Stone, 2007 Evangelism after Christendom – The Theology and Practice Christian Witness. BrazosPress, Grand Rapids, Michigan. (Introduction, page/hal. 10).




Kritis-Reflektif Pewartaan Dan Kesaksian
            Dan rupanya, pewartaan serta kesaksian yang unggul adalah Firman dan pelayanan dapat berjalan khususnya berfungsi di dalam kebersamaan persekutuan hidup sehari-hari. Dan untuk itu tidak lain dibutuhkan model berteologi dan bergereja yang baru. Model berteologi dan bergereja yang kontekstual di Indonesia sekarang ini. Dan akan terus maju juga berkembang lagi. Struktur Gereja yang berisikan jemaat Tuhan yang benar-benar misioner tadi sudah seharusnya sesuai dengan struktur lingkungan dan manusia sekitarnya.
            Sehingga pewartaan dan kesaksian kita (sebagai Gereja dan jemaat) tentang Pemerintahan Allah, Kerajaan Allah dan Kesalamatan dalam Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Juruselamat, benar-benar memasuki tempat di mana manusia sekitar kita berada. Bahkan Pewartaan dan kesaksian kita benar-benar memasuki, nge-link, dengan pikiran dan hati lingkungan di mana kita berada. Di sini barulah misi kita akan berhasil.
            Kabar baik dan keselamatan (Injil) harus tetap menjadi inti. Pewartaan dan kesaksian kita bukanlah untuk menyesuaikan Injil  kepada keadaan sekitar. Bukan!  Tetapi agar kita mau dan mampu (lebih tepatnya akhirnya dimampukan Allah) untuk mencari bentuk-bentuk baru yang cocok dengan situasi kondisi tanah dan manusia Indonesia. Sehingga Injil yang sudah teruji berabad-abad lamanya dalam pewartaan dan kesaksian Gereja, akan terus in context (ada dalam konteks). Baik dalam dan dari jemaat desa, maupun jemaat di daerah perkotaan, yang konteks sekarang ini sudah mengalami perubahan kebiasaan dan struktur hidup. Semakin terbuka dan sangat menggunakan berbagai pilihan media.  
Bahkan kesaksian (melalui hidup kita sehari-hari dengan sesama manusia) dan pewartaan (pengajaran kepada umat khususnya melalui khotbah) sekarangpun, di era multi media ini, tetap dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai satu-satunya penyelematan dunia yang sejati. Pewartaan selalu tentang penerobosan Pemerintahan Allah, yakni pemerintahan penyelamatan yang penuh belas kasih dan keadilan serta perdamaian.


Terlebih misi pewartaan dan kesaksian kita di Indonesia dengan kemajuan media dunia sekarang ini. Misi kita sebaiknya kita upayakan selalu mengakui martabat dan tragedi pribadi manusia. Misalnya (dalam khotbah atau bentuk pengajaran lain) menampilkan gambar atau video pembakaran mesjid dan beberapa rumah di Papua beberapa saat lalu, bukanlah untuk memanaskan hubungan sosial masyarakat dan antar umat beragama di Indonesia. Apalagi dilanjutkan dengan berita pembakaran pintu salah satu gereja di Purworejo, tidaklah untuk menuju perseteruan apalagi saling membenci. Tetapi hal-hal seperti itu, jika berani kita gunakan adalah benar-benar untuk intropeksi Gereja, para pelayan misi-Nya juga seluruh jemaat untuk lebih berani dan rendah hati mewartakan syalom.
Pewartaan dan kesaksian kita yang lebih terbuka selanjutnya akan menjadi indikasi, tetapi juga model yang akan terus kita perbarui. Pewartaan dan kesaksian yang canggih adalah misi menggunakan berbagai kemajuan zaman serta berbagai unsur media yang kian tersedia. Tidak berhenti berinovasi, agar akhirnya berhasil bukan sekadar meninggalkan kekolotan soal-soal material dan lahiriah. Tetapi bisa berhasil menarik perhatian jemaat dan siapapun manusianya, untuk mendengar, membaca, merefleksikan Injil. Bahkan semakin diundang untuk bergabung ke dalam suatu persekutuan iman, pengharapan dan kasih.
Di sinilah akhirnya kita semakin sadar dan tercerahkan pentingnya “mendengar”, mengetahui dan benar-benar ada di konteks. Agar kesaksian dan pewartaan kita sesungguhnya wajib ditunaikan sebagai dialog profetis. Berjuang menuju dan memberlakukan misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah model berteologi dan bergeraja kontekstual di Indonesia yang semakin multi media, tetap berisi Injil Kebenaran itu, yang diberlakukan dialog profetis yang juga multi media.   
Mari jangan menutup mata terhadap masyarakat sekitar kita di Indonesia (khususnya) dan kehidupan dunia secara global. Terbukalah dan fleksibel terhadap tiap-tiap tempat dan keadaan sekarang ini hidup, bekerja, belajar dan bertumbuh. Mari jadilah Gereja dan atau jemaat yang misioner, dengan bersedia menjadi anggota juga pelayan misi Gereja dan jemaat yang sejati lagi. Tidak sekadar berpangkal pada manusia, tetapi pada Injil. Hanya saja kita menuju kepada keselamatan manusia seluruhnya.


Bahkan seorang teolog tentang Missiologia, Arie de Kuiper berkata sampai pada hal yang konkrit: Misalnya produksi dan penyebaran bacaan Kristen, termasuk penterjemahan, penyebaran dan penerangan Kitab Suci; kehadiran Kristen di dalam mass-media (bidang persurat-kabaran, radio dan TV); tetapi juga perkunjungan rumah tangga; percakapan perorangan maupun mass-meetings.6 Dan berbagai media dan tempat lainnya. Pewartaan dan kesaksian Injil bisa kita jadikan sebuah model berteologi dan bergereja yang kontekstual. Di Indonesia bahkan dunia secara luas, saat ini. 
Akhirnya, hanya dengan mewartakan, melayani, memberi kesaksian tentang Injil dan Pemerintahan Allah dalam dialog profetis yang berani, mau mendengar, penuh kerendahan hati dan selalu baru serta berinovasi hanya dalam tuntunan Roh-Nya. Maka Gereja yang misioner dan kita semua sebagai jemaat, serta pelayan-pelayanan misi-Nya, akan senantiasa konstan dalam memberlakukan misi di konteks kekinian. Khususnya pewartaan dan kesaksian kita di masa Tahun 2015 ini, misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah model berteologi dan bergereja kontekstual di dunia media era millenium ke-3 juga seterusnya, khususnya di Indonesia yang sudah berada di abad ke-21 kini dan selamanya.











------------------------------------------------
6.      Lih. De Kuiper, Arie, Missiologia Ilmu Pekabaran Injil. (Cet. 23 Jakarta, BPK-GM, 2014),  hal.104-105.