24 Oktober 2012

refleksi minggu keempat Oktober 2012


MENJADI BUAH YANG BAIK






Matius 7: 15-20


Buah yang baik berasal dari pohon yang baik. Mungkin itu sedikit kristalisasi refleksi awal kita, khususnya seperti yang tertulis di ayat 17 dari pasal 20 Kitab Injil Matius ini.

Semua kita senang terhadap buah yang baik. Bahkan sesungguhnya kita semua senang akan semua yang baik. Apapun yang baik. Jika itu buah yang baik maka kita senang melihatnya, senang menerimanya, senang mendapatkannya dan apalagi senang menikmatinya. Oleh karena itu, mari hiduplah atau bahkan menjadi pohon yang baik!

Dan untuk itu mari hidup hanya di dalam Tuhan. Karena hanya Dia-lah yang sesungguh-sungguhnya baik. Tidak ada yang lain. Mari hidup melekat pada Allah. Hidup dalam Firman dan AjaranNya. Setia dan taat berjuang memberlakukan apa yang baik. Berpikir yang baik, merencanakan yang baik, menginginkan yang baik, berdoa tentang dan akan hal yang baik, berkat-kata yang baik, mendengar dengan aik, menuntun dengan baik, bahkan mengasihi dan mengampuni sebaik-baiknya. Sekali lagi, baik dalam Tuhan.

Bagian perikop kita kali ini, sesungguhnya mengajak pembacanya (termasuk kita tentu) untuk berwaspada. Waspada khususnya kepada ajaran sesat dan orang-orang mnyesatkan iman. Namun secara khusus, dijabarkan dengan gamblang cara mengidentifikasinya. Yakni dengan melihat dan mencermati buah-buah pekerjaan dan pelayanan yang dilakukan. Apakah baik atau buruk?

Jika kita boleh lebih digambarkan seperti pohon dan buah tadi. Marilah kita sejak bertumbuh (jasmani khususnya rohani spiritual kita) sungguh bertumbuh dengan baik. Terus menerus hingga besar dan kuat dan menghasilkan buah-buah yang baik. Dan kita dalam hidup sehari-hari layak untuk disajikan (atau menyajikan diri) sebagai potongan-potongan buah yang enak, manis dan khususnya menyehatkan! Buah yang baik.

Dan lakukanlah tiada henti. Berbuahlah yang baik dengan setia. Sajikanlah potongan buah-buah yang baik dengan taat. Bagi sesama manusia. 

Dan semua kembali hanya untuk kemuliaan... kebaikan Tuhan saja. Amin.




tulisan dan foto: lusindo tobing 


refleksi minggu ketiga Oktober 2012


BERKORBAN BUKAN MENGORBANKAN





Yesaya 53

Selain ungkapan "Simbiosis Mutualisme" (hubungan yang saling menguntungkan di kedua belah pihak), ada dua ungkapan lain. Yakni "Simbiosis Komensalisme" dan "Simbiosis Parasitisme".  Simbiosis Komensalisme kurang lebih berarti hubungan dua pihak, di mana pihak yang satu tidak merasa dirugikan tetapi pihak yang lain dirugikan. Sedangkan Simbiosis Parasitisme dari bunyinya saja kita bisa mereka artinya, di mana pihak yang satu dirugikan dan pihak yang lain dirugikan dalam satu hubungan tertentu.

Pertanyaan mengajak refleksi kita sedikit lebih mendalam adalah bentuk manakah kira-kira yang merupakan atau minimal mendekati bentuk hubungan kita dengan Tuhan? Dan khususnya sebaliknya Tuhan dengan kita? Tidak perlu berputar-putar coba menjawabnya. Jawabannya adalah tidak ketiganya! Ya, karena dari bacaan    Kitab Yesaya kita dicerahkan ulang, bahwa bentuk relasi, hubungan dan keterkaitan kita adalah sesungguhnya berkorban. Kemauan untuk berkorban. Dan benar-benar berkorban!

Seperti Tuhan Yesus Kristus sendiri telah berkorban. Allah penguasa lagit dan bumi "mau-maunya" datang turun ke dunia. Lalu dalam rupa seperti kita, manusia debu yang penuh cacat cela dosa, Tuhan Yesus lahir, mengajar menawarkan Keselamatan dan akhirnya mengorbankan diriNya untuk tebus dosa-dosa kita semua manusia. Pengorbanan untuk mau menderita bahkan kesakitan dan mati, menanggung kesakitan kita, memikul penderitaan kita (baca lagi Yesaya 53: 4). Mau kah kita?

Mari bersedia prihatin. Mari bersedia menderita. Bukan prihatin dan menderita untuk ego dan apalagi mengharapkan pamrih. Mari prihatin untuk orang lain. Mari menderita untuk sesama.

Dan mari lakukan nyata. Dengan tulus hati. Berokorban dengan ketulusan hati. Tidak ada "agenda tersembunyi", tidak ada "udang di balik rempeyek eh.. di balik batu :)" dan seterusnya. Tetapi benar-benar mau berkorban untuk sesama dan bahkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas. 

Berkorbanlah.. bukan mengorbankan. Jangan puas hanya sekadar bisa mempersembahkan korban dalam bentuk apapun kepada Allah. Tetapi mari, sekali lagi marilah dari ketulusan kejernihan hati sanubari, lebih lagi mau dan sungguh melakukan nyata pengorban kepada sekeliling. Dari hal-hal yang sederhana hingga besar. Berhentilah menghalalkan segala cara untuk hanya memuaskan ego apalagi nafsu. Apalagi tega-teganya mengorbankan orang lain atau pihak lain, hanya untuk keuntungan dan kerakusan diri sendiri. Mari mulai dan lebih berani lagi untuk berkorban. Lebih sering mempersilakan orang lain terlebih dulu, lebih memaklumi, lebih mau menyediakan waktu untuk hal yang baik, lebih sering tersenyum walau berat, lebih berani untuk mengasihi dan lebih rajin untuk melayani membantu-menolong. Khususnya mereka yang kecil lemah, bergumul berat, yang sungguh membutuhkan. Siapapun, agama, ras, suku, bangsa bahkan agama apapun!

Tuhan pasti akan dan selalu menguatkan niat berkorban dan upaya berkorban kita. Tidak sekadar menerima persembahan korban kita. Mau lebih sering melayani. Bukan hanya maunya dilayani terusss (baca maknai ulang lagi Markus 10: 45). Dan jika makin sering kita lakukan, hidup akan semarak. Semakin semarak, karena hidup yang kita jalani ini semakin ada arti. Semakin bahagia.

Berbahagia karena berkorban. Amin.



foto dan tulisan: lusindo tobing.