10 Agustus 2017

Refleksi Mingggu kedua Agustus 2017



Mazmur 85: 9-14

Keragaman Menumbuhkan Damai Sejahtera


Keragaman sebagai anugerah dari Allah, jangan dilihat sebagai kekayaan saja. Tetapi juga bisa menjadi pembawa damai sejahtera bagi kehidupan bersama. Sebagai umat Allah dan gereja-Nya, sesungguhnya kita terpanggil untuk semakin bersedia melayankan damai sejahtera itu bagi semua. Michael Amaladoss dalam buku Wajah Yesus di Asia, berpendapat:Saya pikir gambaran mengenai Gereja sebagai pelayan, yang memberitakan misteri Pemerintahan Allah, dan siap untuk memberikan hidupnya sebagai saksi, boleh jadi lebih tulen ketimbang gambaran sebagai suatu barisan prajurit pemenang yang telah menaklukkan segalanya di hadapannya. Tepatnya, sebagai bentuk pelayanannya, Gereja membantu menyatukan semua umat manusia, dengan mengembangkan suatu paguyuban umat manusia yang melakukan dialog dan kerja sama.” (Amaladoss 1994, 159)

Mari mulai dari pribadi dalam paguyuban keluarga kita masing-masing, yang masuk dalam paguyuban jemaat, jika diperluas lagi bersama paguyuban kota, bangsa dan negara Indonesia, bahkan paguyuban umat Tuhan dan semua manusia yang beragam untuk saling mengasihi, memperjuangkan keadilan, dan setia mewujudkan damai sejahtera. Bahasa yang digunakan pemazmur sangat indah: ”Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman” (ayat 11). Bersama menumbuhkan damai sejahtera bersama.

Menurut saya, sekarang kita semua semakin ”ditantang” oleh konteks kehidupan untuk semakin terbuka, toleran, benar-benar berupaya dari aras umat menghancurkan intoleransi dalam berbagai bentuk. Mari memiliki kemampuan saling menerima keragaman di antara umat, wilayah, komisi dan majelis. Memberi ruang bagi perbedaan dan keanekaragaman yang saling mengasihi. Kemudian bersungguh-sungguh menyambut setiap tamu atau orang baru yang hadir di tiap ibadah dan keseharian kita. Menghormati tetangga, peduli kepada sekitar, para penjual makanan minuman, ojek online, tukang, menyapa orang asing yang mampir dan siapapun masyarakat yang bersentuhan dengan kehidupan kita sehari-hari. Membuat kita benar-benar bersiap menjadi umat-Nya yang semakin terbuka, sekaligus mawas diri, untuk semakin menghadirkan damai sejahtera bersama. Amin.

Pdt. Lusindo Tobing

 

 

06 Agustus 2017

Refleksi Minggu pertama Agustus 2017


Roma 9: 19-26


Rahmat Allah dalam Keragaman Budaya
 

 

Koentjaraningrat, seorang guru besar antropologi Indonesia mengingatkan dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, agar kita waspada potensi konflik yang bisa terjadi karena keragaman Indonesia, ”Untunglah bahwa hubungan antar suku-bangsa dan golongan dalam masyarakat negara kita itu, belum seburuk seperti di beberapa negara lain dengan suatu masyarakat majemuk, tetapi toh potensi terpendam untuk konflik karena masalah ketegangan antar suku-bangsa dan golongan tidak bisa kita abaikan demikian saja” (Koentjaraningrat 2010, 383).

Karena itu penting untuk semakin memantapkan dan mengimani bahwa keragaman (keanekaragaman) budaya, tradisi, bahasa ibu, suku, agama yang ada di Indonesia adalah sebuah Rahmat dari Allah. Rasul Paulus dalam perikop kita kali ini menunjukkan bahwa, “yaitu kita <2248>, yang telah dipanggil-Nya <2564> bukan <3756> hanya <3440> dari antara <1537> orang Yahudi <2453>, tetapi <235> juga <2532> dari antara <1537> bangsa-bangsa lain <1484>, [ <3739> <2532>]seperti <5613> yang difirmankan-Nya <3004> juga dalam <1722> kitab nabi Hosea <5617>: "Yang bukan <3756> umat-Ku <2992> <3450> akan Kusebut <2564>: umat-Ku <2992> <3450> dan <2532> yang bukan <3756> kekasih <25>: kekasih <25>" [ <2532>](ayat 24-25), (bandingkan Hos. 2:22; 1:10).

Kekurangan kemanusiaan dan bahkan keburukan dalam hidup, tidak menjadi halangan bagi Allah untuk menghadirkan kasih karunia dan belas kasihan. Lihatlah, kecaplah, syukurilah dan mari bersama kelola-lah, kasih yang begitu besar bagi penghuni bumi, dan (khususnya) mulailah dari Indonesia! Rahmat Kasih Allah dalam keragaman kita. Amin.

 

Pdt. Lusindo Tobing