18 Agustus 2009

refleksi minggu pertama Agustus 2009

Yohanes 6: 24-35

HIDUP
“Akulah roti hidup..” (Yohanes 6: 35)


Mengingat kisah Tegar, bocah kecil yang masih berumur 3 (tiga) tahun hati kita sangat terenyuh. Bagaimana tidak, di usianya yang sangat muda itu, harus kehilangan kakinya akibat perbuatan ayahnya. Yang karena emosi, cemburu dan marah kepada isterinya yang sering pergi meninggalkan rumah, walau sebenarnya ibunda Tegar itu pergi ke pasar untuk mencari nafkah hidup. Menggotong paksa tubuh Tegar yang kecil itu ke rel kereta dan secara sengaja menempatkan kaki anak itu di atas rel dan akibatnya kedua kaki Tegar terlindas! Kini, walau masih cukup shock akibat peristiwa tersebut Tegar tidaklah mati semangat. Tegar tetap tegar, semangatnya tetap hidup dengan cita-citanya untuk menjadi seorang polisi.

Terlebih Tuhan Yesus Kristus ingin semua kita boleh hidup. Bukannya mati. Mati atau hidup di sini maksudnya soal jiwa dan keselamatan kita. Ketika banyak orang datang kepadaNya bertanya pekerjaan apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah. Dia memberi jawaban untuk mereka mau hidup percaya beriman,”Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.” (ayat 29) Lalu setelah itu barulah orang banyak itu meminta tanda. Dengan membandingkan peristiwa yang pernah dialami nenek moyang Israel, ketika diberi manna, roti dari sorga. Mereka meminta roti tersebut senantiasa (ayat 34). Langsung Tuhan Yesus menegaskan jawabanNya, bahwa “Akulah roti hidup itu!”

Mari hidup di dalam Roti Hidup. Hidup di dalam naungan dan berkat keselamatanNya, di dalam Tuhan Yesus Kristus. Jangan bersandar kepada kemampuan diri sendiri, kita tidak akan berdaya. Jangan andalkan manusia dan kekuatan dunia ini, kita akan kecewa. Apalagi jangan percayakan dirimu kepada kuasa kegelapan si-iblis itu, kita akan menuju maut dan mati! Jaminan yang pasti hanya ada di dalam Allah. Yang telah mengutus AnakNya yang Tunggal, ayat 35 jelas menyatakan,” “Akulah roti hidup, barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepadaKu, ia tidak akan haus lagi.” Amin.

Pdt. Lusindo Tobing

refleksi minggu kedua Agustus 2009

Yohanes 6: 41-51

SUNGUT
“Jangan kamu bersungut-sungut.” (Yohanes 6: 43)

Dari matahari terbit hingga terbenam, kira-kira berapakali anda bersungut-sungut? Di bawah 5 kali, kurang dari 10 kali atau 20 kali, atau mungkin lebih dari 25 kali? Sulit untuk mengingat-ingat, karena yang kita ingat hanyalah kekurangan atau kesalahan orang lain. Sedangkan kita menganggap diri sendirilah yang benar, memiliki kelebihan dan kemampuan. Paling berbahaya jika sudah merasa lebih rohani dan lebih suci. Merasa lebih baik dari orang lain inilah yang melahirkan penghakiman, marah-marah, kritik tidak membangun dan khususnya minimal: sungut-sungut! “Jangan kamu bersungut-sungut.”

Hardikan Tuhan Yesus seraya penegasanNya kembali tentang Roti Hidup. Karena orang-orang Yahudi mempertanyakan keberadaanNya, “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapaNya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata : Aku telah turun dari sorga?” Tetapi langsung Dia menjawab “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (ayat 51) Sebuah penjelasan rohani tentang pengorbananNya di kayu salib untuk tebus dosa-dosa kita dan dunia.

Sekarang marilah menyadari diri sendiri, bahwa aku ini adalah orang yang banyak kesalahan dan dosa. Kesadaran ini akan menjadi awal baik untuk kita berhenti bersungut-sungut. Karena kita menyadari kita tidak lebih dari orang lain. Penghakiman harus berganti dengan pengampunan, energi marah-marah diusahakan menjadi energi mengucap syukur, belajarlah menyampaikan kritik beserta solusi bahkan mampu jadi teladan yang baik. Dan daripada memboroskan hidup dengan bersungut-sungut. Lebih baik mengisi hari-hari anugerah Tuhan dengan lebih sering memaklumi, bahkan cepat melihat kelebihan orang lain dan lebih mampu bersyukur dalam segala hal. Amin.

Pdt. Lusindo Tobing

refleksi minggu ketiga Agustus 2009

Yohanes 6: 51-58

SELAMANYA
“Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yohanes 6: 58)


Menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-64, bangsa kita kini gencar berperang melawan dan memberantas terorisme. Ini menegaskan bahwa semua rakyat dan bangsa Indonesia sangat tidak menyetujui aksi teroris. Apapun alasannya dan sampai kapanpun! Terlebih prakarsa ajaran pemimpin atau perekrut teroris, yang menyesatkan, menjadikan beberapa orang sebagai “pengantin” atau pelaku bom bunuh diri. Membunuh diri bersamaan membunuh nyawa-nyawa lainnya, menebarkan teror kebencian dan ketakutan. Kalau mati bunuh diri seperti itu, katanya nanti mati masuk surga.

Tuhan Yesus Kristus mengingatkan tegas. Bahwa yang harus kita percayai, ikuti dan tuju janganlah ajaran dan prakarsa manusia. Namun haruslah ajaran dan prakarsa Tuhan saja. “Inilah roti yang telah turun dari sorga (Tuhan Yesus sendiri), bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati” (ayat 58). Ajaran dan prakarsa Ilahi sekali lagi ditekankan: Kasih dan KeselamatanNya untuk dunia. Ajaran dan prakarsa untuk hidup jadi saluran berkat bagi sesama. Tidak akan berkesudahan. Yesus sendiri sekarang yang memberikan, sedangkan sebelumnya Bapaklah yang memberikan (ayat 51). Diperkuat kiasan makan dan minum di ayat 53 yang harus kita maknai sebagai terang pengorbananNya di kayu salib. Membawa kita dan siapapun yang berjuang hidup percaya dalam Kasih Kristus, pasti berlanjut ke Perjamuan Kekal Sorgawi.

Mari hidup jadi saluran berkat saudaraku, selamanya mengasihi bukan membenci. Seperti yang diteladankan Tuhan Yesus Kristus. Berkorban bukan untuk menyakiti apalagi membunuh orang lain. Namun berkorban karena Kasih kepada manusia, menyelamatkan orang lain, menyelamatkan dunia. Mari hidup selamanya dalam Roti Hidup. Sampai kapanpun menjadi sosok yang lebih menyenangkan, membahagiakan sesama, memerdekakan, memulihkan dan membangun kehidupan bersama. Selamat Ulang Tahun ke-64 bangsa dan negaraku tersayang, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tuhan ampuni kami, Tuhan pulihkan negeri kami. Merdeka! Amin.

Pdt. Lusindo Tobing

refleksi minggu keempat Agustus 2009

Yohanes 6: 56-69



DI DALAM
“.. ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yohanes 6: 56)
Sangat membanggakan dan mendalam maknanya. Upacara Penaikan dan Penghormatan Bendera Merah Putih saat memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia ke – 64 yang lalu. Di kedalaman dasar lautan lepas, pada acara Sail Bunaken, Sulawesi Utara. Sekitar 3000 orang penyelam dari Indonesia bahkan juga negara-negara lain. Memecahkan rekor dunia jumlah orang yang menyelam ke dalam lautan sebagai pengibar bendera negara di kedalaman laut. Sedikit refleksi dari hal ini: nilai hidup kita akan bertambah jika kita hidup lebih dalam, lebih mendalam, tidak cetek atau hanya dangkal. Khususnya iman kita. Harus dalam. Dalam di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Di dalam hati Tuhan Yesus (ayat 61) tahu bahwa murid-muridNya bersungut-sungut, “ Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?” Tuhan Yesus menggiring para murid beralih dari soal sekadar makanan dan minuman ke hal yang jauh lebih dalam: Iman. Mereka memusatkan perhatian pada daging, tapi Ia mendesak mereka untuk berada di dalam roh dan hidup. Ada yang tidak percaya (ayat 64), banyak murid-muridNya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia. Murid-murid di sini adalah mereka selain kedua belas muridNya yang selama ini selalu mengikuti berbondong-bodong ke mana saja Tuhan Yesus pergi. Apakah kita berada di kelompok tidak percaya ini? Atau kita mau tetap di dalam Dia? Karena bahkan Yudaspun di waktu berikutnya menjadi salah satu dari mereka yang tidak percaya(ayat 66 dan 69).
Mari hidup lebih dalam saudaraku. Yaitu dengan iman percaya yang tinggal dalam di dalam Dia. Seperti jawaban Petrus yang “dalam”, mewakili kesebelas belas murid lainnya kepadaNya,” Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal. Dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (66-69). Lebih dalam di dalam iman, lebih dalam mengasihi, lebih dalam berpengharapan. Sehingga kita memiliki hati bersyukur-bersukacita di dalam Dia Yang Kudus, juga berpikir yang dalam, berbicara juga dalam dan bertingkah laku melayani di dalam Dia, bagi sesama. Kita di dalam Dia dan Dia di dalam kita. Amin.
Pdt. Lusindo Tobing