26 Juli 2017

Refleksi Minggu kelima Juli 2017


1 Raja-raja 3: 5-15

Pendidik Hikmat

“..sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian,. “
(1 Raja-raja 3: 12)
 

 
Ada kebiasaan yang cenderung memajukan waktu pada jam tangan dan jam dinding di rumah, lebih dari yang semestinya. Kita mengenalnya dengan istilah “waktu-jam sekolah atau kerja.” Tetapi renungkan, mengapa tidak ada yang mengatur jam miliknya mundur? Mungkin jawaban kita beragam, tetapi manusia memang cenderung ingin lebih maju (sampai di sini masih baik), namun bahayanya ego tidak mau ketinggalan, dan semakin berhasrat lebih berada “di depan” daripada yang lain.
 

Bicara hikmat tidaklah melulu soal lebih cepat di depan. Tetapi pertama kali adalah berani belajar mundur: Mengingat, mensyukuri dan meneruskan apa yang baik-benar dari Allah, dan kemudian menjadi saluran berkat bagi orang lain. Hal ini terjadi dalam diri Salomo, ia sadar betul bahwa hanya karunia Allah yang membuat dirinya di usia sangat muda dapat menjadi raja. Selain itu, warisan Daud yang diteruskan Salomo adalah teladan kerohanian: taat beribadah (membangun bait suci dan mempersembahkan korban bakaran) dan setia mengasihi Allah (baca ayat 3).
 
 
Karena itulah di ayat 6-9, Tuhan Allah mengaruniakan Salomo satu permintaan. Salomo memanfaatkannya dengan memohon hikmat, supaya ia bisa memerintah untuk kebaikan rakyatnya. Salomo tidak meminta kekayaan, kekuasaan dan umur panjang. Salomo tidak mementingkan diri sendiri, tetapi peduli kepada rakyat dan benar-benar mensejahterakan kehidupan mereka.

 
Mari memohon hikmat Tuhan, dengan dasar hidup mengasihi Allah, menaati firman dan setia beribadah kepada-Nya. Mari “mundur” atas ego diri pribadi, untuk mempersilakan Tuhan Allah berkuasa atas hidup kita. Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat (Amsal 2:6), itu dianugerahkan kepada mereka yang mengasihi Tuhan. Hikmat memampukan kita memiliki pengetahuan, kepandaian, jawaban pergumulan kehidupan dan hal-hal yang terbaik dari Allah (baca lagi ayat 12).

 
Bukan untuk diri sendiri saja, melainkan untuk keluarga, gereja, lingkungan, dan banyak orang lain. Di titik inilah kita akan layak disebut “pendidik hikmat,” menjadi salomo-salomo zaman modern, cinta kepada Allah dan selalu peduli mengasihi sesama manusia. Amin.


Pdt. Lusindo Tobing