26 September 2012

refleksi minggu kelima September 2012




KELUARGA





Ayah, ibu dan anak(-anak) atau Keluarga disebut juga sebagai representasi persekutuan kasih, bagaimana hidup saling mengisi dan melengkapi. Keluarga harus mampu melukiskan dan menggambarkan bagaimana Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus hidup dalam kesatuan dan kasih yang indah. Sehingga suami istri dan anak-anak mampu mengisi satu nuansa persekutuan yang bisa menimbulkan satu kekuatan bahtera yang mampu mengatasi masalah apa pun, karena cinta kasih Allah saja. 

Apakah keluarga kita sudah menjadi saksi? Sudahkah kita saling mengasihi dan mendidik dalam melayani satu dengan lainnya. Kalau keluarga tidak menyadari tanggung jawab ini,, lalai dalam pembinaan anak-anak, maka keluarga sesungguhnya sedang menyiapkan “bom waktu”. Yang akan merusak ayah, ibu dan khususnya anak-anak juga orang lain (sesama). Misalnya suami gelisah pada istri, istri mencurigai suami, atau orang tua kehabisan akal menghadapi tingkah anak-anak, begitu pula anak-anak merasa tidak mendapat perhatian dan perlindungan dari orang tua. 

Seribu satu kasus bisa ada dalam keluarga, tetapi satu kalimat yang perlu kita pegang: Apa pun masalah, mari jadilah pemenang dengan KasihNya. Untuk membawa keluarga sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan bagi Allah khususnya. Juga bagi kehidupan masyarakat. Jangan pernah meremehkan pernikahan dan keluarga. Sebaliknya, jangan memandangkeluarga sebagai beban yang sangat terlalu amat berat dan bahkan menjadi momok. Ingat Tuhan Yesus Kristus berjanji bahwa bebanNya ringan dan kukNya enak (lihat Matius 11:30). 

Ia tidak memanggil kita untuk menunjukkan pengabdiannya bagi dunia atau gereja dengan mengorbankan cinta kasih sayang kepada keluarga. Ternyata, hubungan dan pelayanan kasih dalam dan dengan keluarga adalah sebuah seni. Sekaligus ujian bagi kelayakan kita ada dalam Kasih itu sendiri. Sehingga menuju Keluarga Kristen yang harmonis, berhasil melewati berbagai tantangan dan perjuangan pergumulan zaman.  Sebuah komunitas keselamatan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga lain dan untuk keselamatan dunia. 

Komunitas keselamatan berarti Kristus hadir di dalam kehidupan keluarga di tiap waktu berjalan. Dan tekun melanjutkan memberlakukan misi penyelamatanNya.  Keluarga juga menjadi gereja rumah tangga, gereja rumah tangga setiap hari. Semua anggota keluarga, baik ayah, ibu dan anak-anak menjadi pewarta iman, pengharapan dan kasih. Melalui perkataan dan perbuatan/keteladanan bagi keluarga lain dan sesame khususnya mereka yang letih lesu dan berbeban berat. Keluarga sebagai evangelisasi, pemberita karya dan kabar baik bagi sekitarnya melalui praktek nyata, sikap dan tingkah laku kehidupan keluarga. 

Keluarga yang setia dan taat menjadi garam dan terang dunia. Amin.



tulisan & foto: Lusindo Tobing. 

refleksi minggu keempat September 2012



ANAK





Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada orang tua adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Dan periode pekembangan anak merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar. 

Begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan iman seseorang. Anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasannya. Anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih Tuhan dan tempat bertumbuh bagi perkembangan spiritualnya. Anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga haruslah memberi kesempatan bagi anak untuk terus belajar tingkah laku yang penting, baik dan benar sesuai FirmanNya. 

Untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama keluarga juga dengan tetangga dan sesama secara meluas. Harus tersedia pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangan menuju kea rah Kristus. Anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase kehidupannya. Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya. 

Karenanya, anak-anak sangat membutuhkan didikan Tuhan. Melalui kita semua, khususnya kita orangtuanya. Didasari sistem dan cara yang diajarkan banyak oleh Tuhan  kepada kita. Sepanjang perjalanan hidup kita, hingga diperkenankannya kita menjadi orangtua bagi anak-anak. Mendidik mereka sesuai dengan Firman Tuhan dengan tekun bersama memberlakukannya setiap hari, setiap waktu. 

Di konteks Perjanjian Lama, kita tentu akan kembali kepada Ulangan 6:6-9, “apa yang Kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun...” Orangtua dan lingkungan di sekitar anak-anak (khususnya keluarga inti) haruslah berusaha dan memberlakukan setiap hari apa yang dikatakan dan diajarkan oleh Allah sendiri. Melalui kita kepada anak-anak kita. 

Selanjutnya begitu pula di konteks Perjanjian Baru, misalnya Rasul Paulus mendorong orangtua membesarkan mendidik anak-anak dalam “Ajaran dan Nasihat Tuhan” (Efesus 6: 4). Sehingga menyiapkan mereka dan membentuk seorang anak untuk siap mengahadapi berbagai tantangan kehidupannya. Terus membawa karakter Tuhan Yesus Kristus di dalam hati, pikiran dan memancar di tiap tingkah laku kesehariannya. Kuat, Tidak mudah diombang-ambing oleh pengaruh dan ajaran yang jahat dan menyesatkan. Namun selalu bertumbuh di dalam dan ke arah Kristus. Siap menjadi saluran cinta kasih Allah sampai mereka menanjak remaja dan dewasa. 

Bahkan hingga nanti ketika Tuhan memberkatinya dengan keluarga dan anak. Amin.





             
             tulisan & foto: Lusindo Tobing.

refleksi minggu ketiga September 2012.




IBU





Semua manusia di atas muka bumi ini, berasal dari rahim seorang ibu. Cinta kasih sayang Allah pertama kali dikecap oleh seorang manusia adalah dari seorang ibu. Menjadi ibu adalah peranan yang sangat penting yang Tuhan berikan kepada banyak perempuan. Titus 2:4-5 berbunyi, “Dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang” para ibu diciptakan Allah secara natural hakikinya adalah mencintai anak-anak mereka.

Dalam Yesaya 49:15a Alkitab mengatakan, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya?” Kapankah fungsi keibuan dimulai? Anak adalah hadiah – Anugerah  dari Tuhan (Mazmur 127:3-5). Dalam Titus 2:4 muncul kata Bahasa Yunani “phileoteknos.” Kata ini mewakili jenis khusus dari “kasih-ibu.” Ide yang mengalir keluar dari kata ini adalah “lebih menyukai” anak-anak kita, “memperhatikan” mereka, “membesarkan” mereka, “memeluk mereka dengan kasih sayang,” “mencukupi kebutuhan mereka,” “berteman dengan lemah lembut.” Setiap anak adalah pribadi yang unik yang berasal dari tangan Tuhan. Diadakan dan dirawat, dididik melalui kasih Ibu. Yang merupakan Kasih dari Allah yang tersedia – pagi, siang dan malam (Ulangan 6:6-7). Tidak pernah lelah mengajar – Alkitab, pandangan dunia yang Alkitabiah (Mazmur 78:5-6, Ulangan 4:10, Efesus 6:4).

Dengan setia dan tekun mendidik anak-anaknya, seraya sabar  menolong suaminya mengembangkan keterampilan dan menemukan kekuatan dan hakikat diri mereka masing-masing.  Pengambil keputusan, itulah peranan terbesar yang dilakukan perempuan ketika dia memasuki tahapan sebagai ibu. Baik ibu yang bekerja atau ibu rumah tangga. Pada saat memasuki tahapan sebagai ibu, para perempuan memiliki orientasi yang penuh kepada keluarga. Keluarga adalah yang paling utama. Untuk menjalankan perannya dengan optimal, para para ibu sangat haus akan informasi. Bahkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan akan rasa aman untuk ia dan keluarganya, para ibu akan mencari informasi mengenai berbagai hal yang baik untuk keluarganya.

Dan tak hanya kebutuhan akan rasa aman, para ibu juga akan memastikan dirinya serta keluarganya tetap sehat. Seraya selalu mendisiplinkan – mengajarkan takut akan Tuhan, menentukan batas secara konsisten, penuh kasih dan ketegasan yang benar juga baik. Menyiapkan generasi keluarganya, mendidik dan membesarkan – menyediakan lingkungan kasih Allah di mana terdapat dukungan secara pelayanan, perawatan dan pemulihan yang konstan, bisa  gagal tetapi tidak menyerah dan bangkit lagi dengan semangat baru, penerimaan, kemesraan, cinta kasih sayang yang tanpa syarat (Titus 2:4, 2 Timotius 1:7, Efesus 4:29-32, 5:1-2, Galatia 5:22, 1 Petrus 3:8-9).  Yang akan menangis bila anak dan suaminya menangis, bahkan kerap tangisannya tak berbunyi dan disampaikan langsung kepada Allah.

Selalu menyebutkan nama suami dan khususnya anak-anaknya di dalam setiap doa-doannya.
Amin.


tulisan & foto: Lusindo Tobing.

refleksi minggu kedua September 2012




BAPAK





Pemimpin bagi keluarganya. Seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya (1 Timotius 3:4). Dan karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Maka dasar kepemimpinan haruslah Kasih (Efesus 5:22-23). Sayang kepada anak-anaknya, meneladani TUHAN yang sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Menetapkan, mengarahkan, menuntun keluarga dengan berakar pada kehendak Allah. 

Dan dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, membawa isteri dan anak-anaknya (keluarganya) bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah kepala dari semua keluarga kita. Mengawasi, menjaga dan melindungi keluarga sehingga ada kenyamanan yang selalu berwujud di tengah pergolakan juga pergumulan dan perjuangan hidup kehidupan keluarga sehari demi sehari. Memenuhi dan memelihara kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja sungguh, jujur dan memuliakan namaNya. 

Juga dengan hikmat Allah, seorang bapak mampu mengenali karunia yang dimiliki setiap anggota keluarga, mengarahkan dan berupaya memfasilitasi guna pemberdayaannya untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Selalu bersemangat untuk mempersatukan keluarga, keluarga inti utamanya juga keluarga besarnya dan keluarga juga komunitas di mana ia beserta keluarganya ditempatkan. Seperti Allah yang selalu mengasihi dalam kerinduan untuk hidup dalam kebersamaanNya. Yesaya 40:11 menyatakan, “seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati.” 

Memberi kepercayaan kepada isteri dan anak-anaknya, karena percaya sang bapak kepada Allah Bapa. Sehingga ia mampu menjadi teladan bagi keluarga. Menjadi teladan iman pengharapan dan kasih. Yang terus dilengkapi dengan tanggungjawab kuat  atas seluruh aspek kehidupan keluarga. Setia dan taat melalukan dan mengarahkan, mengajar, mendidik dan membimbing (berjalan bersama) keluarga untuk bertumbuh ke arah Allah dalam nama Tuhan Yesus Kristus. 

Memberlakukan dengan bertekun Ulangan 6:6-9, “apa yang Kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” 

Memastikan bahwa keluarga hidup takut akan Allah.
Amin.


tulisan & foto: Lusindo Tobing.