22 Juli 2015

Refleksi Minggu Keempat Juli 2015.




Yohanes 6: 1-21


TIDAK TAKUT





Melihat gambar atau video pembakaran mesjid di Tolikara, Papua beberapa saat lalu, janganlah membuat “panas” hubungan sosial masyarakat dan antar umat beragama di Indonesia. Apalagi dilanjutkan dengan berita pembakaran pintu salah satu gereja di Purworejo, tidaklah untuk menuju perseteruan apalagi saling membenci dan menyakiti. Tetapi hal-hal seperti itu, jika berani kita gunakan sebagai refleksi kuat untuk intropeksi Gereja, para pelayan misi-Nya, juga seluruh jemaat untuk lebih berani dan rendah hati mewartakan syalom.

Takut? Jangan takut. Jangan pernah takut untuk mewartakan kabar baik dan kabar keselamatan (syalom). Kepada siapapun, di manapun dan bahkan dalam kondisi situasi bagaimanapun. Bahkan di saat paling genting dan rawan sekalipun. Peristiwa TuhanYesus memberi makan lima ribu orang dan Dia berjalan di atas air menghampiri para murid yang sedang ada di atas perahu membuktikan. Bahwa bersama Tuhan Yesus Kristus, kita tidak takut untuk menghadapi tantangan hidup.  Dengar lagi, baca nikmati dan ingat kembali kata-kata Tuhan dan Juruselamat kita ini, "Aku ini, jangan takut!" (ayat 20).

Tuhan telah dan akan selalu mengambil langkah bijaksana. Ia terus menuntun para murid (begitu pula dengan kita) untuk mengenal-Nya lebih baik, hari demi hari. Mari luruskan motivasi dan sikap hati. Juga ucap dan tingkah laku kita untuk benar-benar percaya. Percaya penuh tiap hari dan tiap waktu hanya kepadaNya. Tuhan pasti memberi “jalan keluar” (baca-maknai lagi ayat 13 & 21) dan akan terus peduli dan memberkati semua kita yang mau berani. Berani menyembahNya dengan kasih dan berani mengasihi sesama manusia serta segenap ciptaan. Amin.


Tulisan & Foto: Lusindo Tobing.

Misi Pewartaan Dan Kesaksian Sebagai Sebuah Model Berteologi Dan Bergereja Kontekstual Di Indonesia Saat Ini





Misi Pewartaan Dan Kesaksian Sebagai Sebuah Model Berteologi Dan Bergereja Kontekstual Di Indonesia Saat Ini
Oleh: Lusindo Yosep Tobing

 

Konteks Berteologi Dan Bergereja Kini.
Berteologi dan bergeraja tidaklah boleh, bahkan sesungguhnya tidaklah bisa lepas dari konteks lokal di mana Tuhan menempatkan kita: Umat, para pelayan dan gereja-Nya berada. Mewartakan dan memberikan kesaksian tentang Iman, Pengharapan dan Kasih ke dalam bentuk bahasa dan gaya hidup sesuai kekinian. Sehingga ada proses spiritual, kognitif  bahkan pemulihan sikap tingkah laku, masuk dalam proses penyelamatan Allah bagi manusia dunia yang terus berlangsung, serta bagi seluruh ciptaan yang tiada henti.  
Dan inilah misi gereja sebenaranya, dilaksanakan pada lingkungan konkret di satu konteks tertentu, namun juga dalam kesetiaan kepada Injil (Kabar Baik – Kabar Keselamatan). Serta tradisi teologi, praktik liturgi dan kehidupan kristiani di lingkungan Indonesia yang kaya budaya tiap lokal, sejarah, sosial, sangat beragam identitas masyarakatnya dan bersamaan dengan itu semua: Semakin maju.
Ya, kalau boleh dikatakan saat ini, manusia Indonesia (rakyat dan bangsa Indonesia), tidak terlepas Gereja dan jemaat, bersepakat untuk menerima kemajuan teknologi dan media. Dengan menggunakannya di tidak lagi “hampir di semua”, tetapi sudah di semua aspek kehidupan Indonesia kita. Termasuk khususnya Gereja-gereja di Indonesia. Di banyak pelosok desa dan tentu hingga kota-kota. Pergaulan dengan dunia luar memang tidak terbantahkan lagi. Satu sisi sangat menggoda rayu, sehingga beberapa pihak memandang sangat negatif dengan konteks keterbukaan informasi serta komunikasi saat ini.
Namun di sisi lain, seperti di setiap fase dan langkah durasi kehidupan manusia adanya, terbukti Indonesia juga mampu mempengaruhi keadaan. Bahkan mengundang dunia untuk datang ke konteks Indonesia. Bersamaan serta –dengan semangat misiologia- Gereja dan jemaat dari hal paling sederhana kesehariannya mampu memberi sumbangsih. Dalam pelestarian nilai-nilai luhur tiap lokal Indonesia, dengan diisi terang Sabda pewartaan dan kesaksian bagi kehidupan.
Dipengaruhi juga untuk mempengaruhi, mendengar banyak untuk akhirnya dimampukan Tuhan mewartakan lebih banyak bahkan lebih baik. Di dan ke konteks di dalam Indonesia di mana kita masing-masing berteologi dan bergereja, bahkan dari Indonesia kepada dunia luar, luas tak terbatas melalui media yang kian pesat maju. 
Inti yang konstan, yang harus ada dan paling penting adalah Pemerintahan Allah (mencuplik istilah dari Stephen Bevans dan Roger Scrhoeder, di buku mereka Constans in context: A theology of mission for today). Yakni mewartakan, melayani dan bersaksi  mengenai  Injil tentang dan dari Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Komitmen Gereja untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Pemerintahan Allah inilah yang memastikan Gereja menerima dan melestarikan jati dirinya. Hidup bergereja dan berteologi di konteks Indonesia, bergumul serta berjuang dalam penantian eskatologis sampai kedatangan Tuhan kembali. Dengan misi pewartaan dan kesaksian yang terus-menerus menawarkan penyembuhan dan keutuhan kepada semua manusia juga seluruh ciptaan.
Termasuk (contoh) misalnya dalam berkhotbah dan mewartakan melalui berbagai bentuk pengajaran dan tuntunan. Sepanjang durasi sekitar 14 tahun penulis melayani sebagai pendeta (juga pengkhotbah), konteks dan perkembangan menuntut Ilmu berkhotbah (homiletika) yang lebih baru. Dan ini sangat berhubungan dengan berbagai unsur berteologi, bergereja, bahkan hidup nyata menjadi “garam dan terang dunia” berbangsa-bernegara dan bermasyarakat kita. Sekali lagi bentukan baru pewartaan dalam penyampaian Firman Allah, terlebih melalui khotbah atau pewartaan lainnya dengan menggunakan multi media (media tulisan, gambar, suara dan bentukan lainnya).
Misi pewartaan dan kesaksian yang lebih baru, yang muncul dari proses memahami perubahan masyarakat Indonesia serta jemaat yang kian modern. Khususnya soal teknologi dan kaitannya dengan gaya berkomunikasi. Ini menjadi salah satu model berteologi dan bergerja saat ini, mengkomunikasikan benih-benih Kebenaran serta mengajarkan (Pemerintahan) Kerajaan Allah kepada “pemerintahan dunia, keluarga bahkan tiap pribadi manusia”. Sebab Gereja menjadi benar-benar Gereja jika mengarahkan pewartaan kesaksiannya hanya tentang Kerajaan Allah, selalu mengewajantahkan pelayanan Yesus Kristus sebagai wajah Roh Kudus. Kepada jemaat dan umat Tuhan di era ini, yang memang lahir dalam dunia multi media serta teknologi. Hidup dalam konteks media kreatif, komunikatif serta penuh interaktif yang tampaknya sudah makin menyatu dalam diri manusia juga jemaat Indonesia.    

Melakukan Pewartaan Baru Dan Kesaksian Baru
Para teolog primer (Stephen Bevans dan Roger Schroeder, Peter C. Phan dan Bryan P. Stone) tentulah sama-sama sepakat bahwa Gereja pada hakikatnya bersifat misioner. Dan jemaat seluruhnya adalah misioner, oleh karena diutus Tuhan ke dalam dunia. Dan secara autentik mengambil bagian dalam misi Allah. 
Selalu terjadi dalam satu konteks tertentu. Bahkan konteks kekinian. Di konteks yang akan selalu juga semakin baru. Selalu berjuang mengkomunikasikan Injil dalam bingkai kebudayaan tertentu. Dalam bahasa tertentu. Dan lengkap dengan berbagai keunggulan serta keterbatasan dari satu kurun tertentu. Peter P. Chan misalnya menampilkan perjuangan misi pewartaan dan kesaksian seperti yang dilakukan Alexandre de Rhodes di Asia, khususnya misinya di Vietnam.
Mewartakan teologi misi dalam konteks Vietnam , menerjemahkan Kristus dan kekristenan ke dalam bahasa masyarakat asli yang menerima khotbah-khotbah dan pelayanannya. Disertai banyak sekali tantangan, pergumulan dan perjuangan lainnya. Hingga mungkin pantas jika de Rhodes diproklamirkan sebagai pendiri Kekristenan di Vietnam. 1
Selalu fokus kepada konteks masyarakat Vietnam, bagaimana mereka dalam kebersamaan hidup sehari-hari. Dan aktual dalam pewartaan dan kesaksian, dibandingkan cuma berkutat tentang teks dan tulisan kekristenan, serta teks agama-agama lainnya di sana.2 Ini sangat menarik. Misi kita adalah manusia. Mewartakan Injil kepada manusia. Semua ini dapat berlangsung sejauh kita dan Gereja setia kepada misi Allah, yang peka terhadap konteks demi konteks. Yang baru tiap bagian dan masa. Hingga kita saat ini, sekarang ini, tarik langsung di konteks Indonesia khususnya, misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah modal haruslah terus diberlakukan, bahkan dikembangkan.

---------------------------------------------------------

1.      1. Peter C. Phan, 2003. In Our Tongues:Perspectives from Asia on Mission and Inculturation. Maryknoll, N.Y.: Orbis Books. (Page/hal. 156 & 161)
2.      2. Ibid. 166-167.




Berteologi dan bergereja yang lebih rendah hati. Berteologi dan bergereja yang semakin maju dan canggih tetapi diawali dan terus lebih semakinlebih lagi untuk mendengar dan “mendengarkan” (dengan hati dan pikiran baru). Memantulkan berbagai nilai, penemuan, prasangka dan impian dari zaman dan situasi di mana pun kita berada. Konteks baru namun dengan isi pewartaan dan pusat kesaksian yang tetap, konstan sama: Pemberitaan Injil Yesus Kristus.
Di corak kontekstual yang radikal sekalipun, di rupa-rupa konteks yang tak tersangkakan, misalnya apakah di konteks Persia kuno, di Cina abad ke-8, taua konteks Italia abad ke-12, Paraguay di abad ke-16 atau di Afrika pada abad ke-19, tetaplah pusat pewartaan dan misi adalah Injil. Pelayanan dan kesaksian tentang Pemerintahan Allah itu adalah senantiasa Yesus Kristus.
Stephen Bevans dan Roger Schroeder bahkan menilik ke belakang serta memaknai kedalaman konteks Kisah Para Rasul misalnya.3  Roh Allah membimbing jemaat bahari ke luar dari berbagai prasangka dan pra-andaiannya agar merangkul sebuah konteks baru, tentu sesudah konteks yang lain. Sebuah praktik religius yang sama sekali tidak pernah terbayangkan. Menjadi jemaat yang diwartakan tetapi juga siap mewartakan dan bersaksi nyata tentang penyelamatan dan pemerintahanNya.
Terlebih lagi dengan tumbangnya kolonialisme, renaisans agama-agama dunia, merosotnya agama Kristen di Eropa, juga perpindahan penduduk Dunia Ketiga ke Dunia Pertama. Walau sejujurnya untuk konteks Indonesia belumlah seluruhnya. Ditambah transportasi yang kian cepat, komunikasi satelit dan dunia maya, komunikasi tembus batas, dan  globalisasi yang dilengkapi dengan meroketnya sistem multi media dunia, maka sesungguhnya era baru misi dimulai! Misi dengan sebuah konteks yang baru lagi!
.


--------------------------------------
3.      3. Bevans, Stephen B. and Roger P. Schroeder. 2004.  Constants in context:  A theology of mission for today.  Maryknoll, N.Y.: Orbis Books.





Teologi misi dalam kuartal terakhir abad ke-20: Misi sebagai partisipasi dalam hidup dan misi Allah Tritunggal; misi sebagai kesinambungan misi Yesus untuk mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Pemerintahan Allah yang “sudah” namun sekaligus “belum” terwujud; dan misi sebagai pewartaan tentang Kristus sebagai satu-satunya penyelamat dunia.4 Ketiganya menjadi unsur-unsur dari sebuah sintesis yang melayani dana sekaligus melandasi teologi misi untuk abad ke-21 dan juga milenium ketiga.  Misi sebagai dialog profetis.
Secanggih apapun situasi kondisi. Sentral  tetaplah Yesus Kristus, hakikat misioner Gereja tidaklah berubah, karunia rahmat Allah tetap dicurahkan untuk Gereja, untuk semua manusia dan untuk segenap ciptaan. Namun cara misi itu dilaksanakan mesti berubah.  Terlebih di konteks majemuk namun  sangat cepat meningkat teknologi medianya. Namun tetap dengan misi yang mesti dan pastilah bercorak: Dialogis dan Profetis. Dialog-Profetis (Prophetic Dialogue). Dan inilah inti kekuatan misi pewartaan dan kesaksian itu. 
Dialogis karena partisipasi Gereja atau jemaat dalam hakikat dialogis Allah Tritunggal yang misioner tadi, di berbagai konteks dunia dan kehidupan yang kian berubah. Dan Profetis karena kebenaran harus diungkapkan dan dirumuskan dengan tegas juga jelas!
Yang menurut Bryan P. Stone tentulah sangat membutuhkan waktu, proses panjang dan pengalaman yang perlu dipelajari, diingat dan dijadikan bagian pengembangan misi pewartaan dan kesaksian yang baru. Bahkan terus baru. Yang selalu memungkinkan pemberian tempat yang luas kepada unsur budaya, sejarah, dan berteologi serta bergereja dengan semangat mengabarkan Injil sebagai kabar baik dan kabar keselamatan akan semakin kuat.  



--------------------------
4.      4.Bevans, Stephen B. and Roger P. Schroeder. 2004.  Constants in context:  A theology of mission for today.  Maryknoll, N.Y.: Orbis Books.  (Pages/hal. 351).





Misi pewartaan dan kesaksian dalam praktiknya dialogis dan profetis yang terus-menerus mengikuti perkembangan jaman tentulah tidak sederhana dan tidaklah mudah.5  Namun harus terus kita berlakukan. Di sepanjang kehidupan berteologi dan bergereja, di manapun, terlebih di Indonesia yang sangat plural namun sangat sepakat untuk canggih dalam bermulti media tadi.
Sehingga Gereja, jemaat dan bahkan keluarga hingga tiap pribadi kita punya sebuah model berteologi yang kuat. Relevansinya adalah semakin berpegang dan berisi Injil maka semakin kuat pewartaan dan kesaksian kita bahkan semakin maju. Mengikuti dan mengantisipasi kemajuan kehidupan manusia. Bahkan berhasil memberi jawaban atas berbagai pertanyaan, pergumulan dan “kehausan” insan manusia di dalam Indonesia juga dunia, di dalam Gereja maupun khususnya di luar Gereja. 
Dan diingatkan lagi dengan kuat oleh teolog Stephen Bevans dan Roger Schroeder bahwa kita sebagai umat Tuhan hanyalah insan biasa dan malahan berdosa, tetapi sekaligus adalah “yang dirahmati kehadiran Allah yang tersembunyi”. Allah yang bertindak secara universal. Yang sejak halaman-halaman pertama Alkitab, kita sudah dijabarkan dengan karya serta perbuatanNya terhadap seluruh dunia. Dan kitalah alat dalam proses penyelamatan-Nya bagi dunia tiap waktu.
Teranyam dalam sejarah tentang orang-orang Kristen yang tulus berjuang, bersekutu dan bersama-sama (di tiap bagian masing-masing) selalu memperbarui pewartaan dan kesaksian kepada hidup anggota gereja juga kepada semua kehidupan manusia, untuk tetap setia kepada Roh Allah tatkala Roh itu menyatakan diriNya dalam aneka cara baru.




-------------------------------------------
5.      Bryan P. Stone, 2007 Evangelism after Christendom – The Theology and Practice Christian Witness. BrazosPress, Grand Rapids, Michigan. (Introduction, page/hal. 10).




Kritis-Reflektif Pewartaan Dan Kesaksian
            Dan rupanya, pewartaan serta kesaksian yang unggul adalah Firman dan pelayanan dapat berjalan khususnya berfungsi di dalam kebersamaan persekutuan hidup sehari-hari. Dan untuk itu tidak lain dibutuhkan model berteologi dan bergereja yang baru. Model berteologi dan bergereja yang kontekstual di Indonesia sekarang ini. Dan akan terus maju juga berkembang lagi. Struktur Gereja yang berisikan jemaat Tuhan yang benar-benar misioner tadi sudah seharusnya sesuai dengan struktur lingkungan dan manusia sekitarnya.
            Sehingga pewartaan dan kesaksian kita (sebagai Gereja dan jemaat) tentang Pemerintahan Allah, Kerajaan Allah dan Kesalamatan dalam Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Juruselamat, benar-benar memasuki tempat di mana manusia sekitar kita berada. Bahkan Pewartaan dan kesaksian kita benar-benar memasuki, nge-link, dengan pikiran dan hati lingkungan di mana kita berada. Di sini barulah misi kita akan berhasil.
            Kabar baik dan keselamatan (Injil) harus tetap menjadi inti. Pewartaan dan kesaksian kita bukanlah untuk menyesuaikan Injil  kepada keadaan sekitar. Bukan!  Tetapi agar kita mau dan mampu (lebih tepatnya akhirnya dimampukan Allah) untuk mencari bentuk-bentuk baru yang cocok dengan situasi kondisi tanah dan manusia Indonesia. Sehingga Injil yang sudah teruji berabad-abad lamanya dalam pewartaan dan kesaksian Gereja, akan terus in context (ada dalam konteks). Baik dalam dan dari jemaat desa, maupun jemaat di daerah perkotaan, yang konteks sekarang ini sudah mengalami perubahan kebiasaan dan struktur hidup. Semakin terbuka dan sangat menggunakan berbagai pilihan media.  
Bahkan kesaksian (melalui hidup kita sehari-hari dengan sesama manusia) dan pewartaan (pengajaran kepada umat khususnya melalui khotbah) sekarangpun, di era multi media ini, tetap dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai satu-satunya penyelematan dunia yang sejati. Pewartaan selalu tentang penerobosan Pemerintahan Allah, yakni pemerintahan penyelamatan yang penuh belas kasih dan keadilan serta perdamaian.


Terlebih misi pewartaan dan kesaksian kita di Indonesia dengan kemajuan media dunia sekarang ini. Misi kita sebaiknya kita upayakan selalu mengakui martabat dan tragedi pribadi manusia. Misalnya (dalam khotbah atau bentuk pengajaran lain) menampilkan gambar atau video pembakaran mesjid dan beberapa rumah di Papua beberapa saat lalu, bukanlah untuk memanaskan hubungan sosial masyarakat dan antar umat beragama di Indonesia. Apalagi dilanjutkan dengan berita pembakaran pintu salah satu gereja di Purworejo, tidaklah untuk menuju perseteruan apalagi saling membenci. Tetapi hal-hal seperti itu, jika berani kita gunakan adalah benar-benar untuk intropeksi Gereja, para pelayan misi-Nya juga seluruh jemaat untuk lebih berani dan rendah hati mewartakan syalom.
Pewartaan dan kesaksian kita yang lebih terbuka selanjutnya akan menjadi indikasi, tetapi juga model yang akan terus kita perbarui. Pewartaan dan kesaksian yang canggih adalah misi menggunakan berbagai kemajuan zaman serta berbagai unsur media yang kian tersedia. Tidak berhenti berinovasi, agar akhirnya berhasil bukan sekadar meninggalkan kekolotan soal-soal material dan lahiriah. Tetapi bisa berhasil menarik perhatian jemaat dan siapapun manusianya, untuk mendengar, membaca, merefleksikan Injil. Bahkan semakin diundang untuk bergabung ke dalam suatu persekutuan iman, pengharapan dan kasih.
Di sinilah akhirnya kita semakin sadar dan tercerahkan pentingnya “mendengar”, mengetahui dan benar-benar ada di konteks. Agar kesaksian dan pewartaan kita sesungguhnya wajib ditunaikan sebagai dialog profetis. Berjuang menuju dan memberlakukan misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah model berteologi dan bergeraja kontekstual di Indonesia yang semakin multi media, tetap berisi Injil Kebenaran itu, yang diberlakukan dialog profetis yang juga multi media.   
Mari jangan menutup mata terhadap masyarakat sekitar kita di Indonesia (khususnya) dan kehidupan dunia secara global. Terbukalah dan fleksibel terhadap tiap-tiap tempat dan keadaan sekarang ini hidup, bekerja, belajar dan bertumbuh. Mari jadilah Gereja dan atau jemaat yang misioner, dengan bersedia menjadi anggota juga pelayan misi Gereja dan jemaat yang sejati lagi. Tidak sekadar berpangkal pada manusia, tetapi pada Injil. Hanya saja kita menuju kepada keselamatan manusia seluruhnya.


Bahkan seorang teolog tentang Missiologia, Arie de Kuiper berkata sampai pada hal yang konkrit: Misalnya produksi dan penyebaran bacaan Kristen, termasuk penterjemahan, penyebaran dan penerangan Kitab Suci; kehadiran Kristen di dalam mass-media (bidang persurat-kabaran, radio dan TV); tetapi juga perkunjungan rumah tangga; percakapan perorangan maupun mass-meetings.6 Dan berbagai media dan tempat lainnya. Pewartaan dan kesaksian Injil bisa kita jadikan sebuah model berteologi dan bergereja yang kontekstual. Di Indonesia bahkan dunia secara luas, saat ini. 
Akhirnya, hanya dengan mewartakan, melayani, memberi kesaksian tentang Injil dan Pemerintahan Allah dalam dialog profetis yang berani, mau mendengar, penuh kerendahan hati dan selalu baru serta berinovasi hanya dalam tuntunan Roh-Nya. Maka Gereja yang misioner dan kita semua sebagai jemaat, serta pelayan-pelayanan misi-Nya, akan senantiasa konstan dalam memberlakukan misi di konteks kekinian. Khususnya pewartaan dan kesaksian kita di masa Tahun 2015 ini, misi pewartaan dan kesaksian sebagai sebuah model berteologi dan bergereja kontekstual di dunia media era millenium ke-3 juga seterusnya, khususnya di Indonesia yang sudah berada di abad ke-21 kini dan selamanya.











------------------------------------------------
6.      Lih. De Kuiper, Arie, Missiologia Ilmu Pekabaran Injil. (Cet. 23 Jakarta, BPK-GM, 2014),  hal.104-105.