18 April 2016

Teologi Multimedia


Lusindo Yosep Tobing 
Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta



Teologi Multimedia 
 
Abstrak 
Tujuan penulisan Paper akhir ini adalah saya (penulis) mencoba membangun konstruksi teologi baru, mungkin memang benar-benar baru, atau sebaliknya, sebenarnya tidak terlalu baru tetapi sangat berhubungan dengan media, komunikasi dan kenyataan dunia sekarang. Dunia media, komunikasi, keberadaan majunya teknologi media, arus deras informasi, hingga kekuatan Net Generation (generasi internet), yang cenderung mengubah dunia. Seraya memantulkan hakikat, melihat beberapa pemahaman yang dipegang geliat media, serta nilai-nilai hubungan yang digunakan. Hingga dampak semua kemajuan dan perkembangan media, memantulkannya kepada aku, kita dan hubungan dengan berbagai tipe manusia (yang serba “multi” dalam berbagai dimensinya), juga termasuk segala media ciptaanNya. Mencoba menelusuri, apakah ada standar-standar dari kehidupan antar media, juga pemahaman serta pemahaman hubungan berdasar Teologi lama, juga Teologi yang tidak terlalu lama (baru), untuk bisa dikolaborasikan, kemudian ditawarkan, dan bisa benar-benar digunakan: Teologi Multimedia. 

Kata-kata kunci: Media, Teologi, Komunikasi, Net Generation, Hubungan, Norma, Kolaborasi, Jaringan. 



Pendahuluan   

Saat tulisan ini saya kerjakan (akhir tahun 2015). Sudah banyak media (komunikasi-informasi-pengajaran) hadir dan menyerbu beberapa fase kehidupan. Don Tapscott, salah satu pakar cyber terkemuka dunia, coba membagi generasi dalam bukunya Grown Up Digital (2013, 18-24) mulai dari fase kehidupan manusia yang lahir Januari 1946: Generasi Baby Boomer (lahir 1946 - 1964); Generasi X (lahir 1865-1976), Y (lahir 1977-97), Generasi Z (lahir 1998-2010) bahkan kini mulai muncul Generasi Alpha (manusia yang lahir tahun 2011- selanjutnya). Bahkan semakin menyatu hampir di semua struktur, konteks, dimensi dan fenomena hidup manusia sepanjang durasi tersebut hingga generasi kini. Yang saya sebut sebagai: Durasi menjadi generasi multimedia.   

Multimedia dalam tulisan ini saya (mengajak Anda) memaknainya dalam 2 bagian: Pertama, Multimedia dari dimensi dunia komunikasi, pendidikan dan pengajaran tadi. Juga mungkin yang sudah secara umum disepakati. Salah satunya seperti dalam buku Teaching And Learning With Multimedia oleh Janet Collins, Michael Hammond dan Jerry Wellington, sepakat mendefinisikan:   It is not easy to find a definition of ‘multimedia’. ...we simply take the term ‘multimedia’ to be way of presenting material (often learning material) which involves three or more of the following media within a computer environment: Speech or other sound, drawing or diagrams, animated drawings or diagrams, still photographs or other images, video clips, text, and the printed word. (Collins et al 1997, 3-4)         

Yang oleh Richard E. Mayer dalam bukunya Multimedia Learning (2001), meringkas dalam dua media saja yang digunakan secara bersamaan yakni: Kata-kata (words) dan Gambar-gambar (pictures). Sedangkan kata “media” (dalam multimedia) sesungguhnya berasal dari kata medium, yang berarti in betwen (diantara) atau perantara. Dari sesuatu yang besar (large) untuk disambungkan ke sesuatu yang lebih kecil (small).   

Dan bagian kedua, adalah Multimedia pada dimensi jauh lebih luas. Yang universal dan tak terbatas. Yaitu berbagai media yang sudah ada dan yang baru lagi akan ada. Mulai dari media dasar alam (tanah, air, udara dan api). Juga kita manusia sebagai media-Nya. Hingga berbagai media kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Terkhususkan seni sebagai media, seperti puisi, tari, lukis, patung, dan banyak lagi atau semua jenis seni lainnya. Dan sampai kepada berbagai media dunia nyata seperti majalah, koran, radio, televisi, hingga media dunia maya (internet). Sebuah buku berjudul “Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi”, Rulli Nasrullah penulisnya, menjelaskan proses terjadinya komunikasi selalu memerlukan tiga hal, yaitu objek, organ, dan medium. Saat menyaksikan satu program di televisi misalnya, maka televisi adalah objek, dan mata adalah organ. Perantara antara televisi dan mata adalah gambar atau visual. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa media merupakan wadah untuk membawa pesan, dalam sebuah proses komunikasi.   

Pengertian media cenderung lebih dekat terhadap sifatnya yang massa karena terlihat dari berbagai teori yang muncul dalam komunikasi massa. Namun, semua definisi yang ada memiliki kecenderungan yang sama bahwa ketika disebutkan kata ‘media’, yang muncul bersamaan dengan itu adalah sarana disertai dengan teknologinya. Koran merupakan representasi dari media cetak, sementara radio yang merupakan media audio dan televisi sebagai audio-visual merupakan representasi dari media elektronik, dan internet merupakan representasi dari media online atau di dalam jaringan. (Nasrullah 2015, 3)   

Dan tentang sebuah “gambar” sebagai media misalnya. Djoko Soekiman dalam buku “Tantangan Kemanusiaan Universal” (G. Moedjanto dan kawan-kawan, peny. 1994) dengan tulisannya berjudul Gambar Sebagai Media Pembawa Berita Peradaban menjelaskan juga menegaskan bahwa tiap gambar selalu berharga untuk kita, dalam mengikuti perubahan peradaban manusia:   Dari lukisan yang didapat di dalam lekuk-lekuk gua di bawah tanah dan peralatan manusia purba sampai dengan rekaman potret filmatau video zaman modern sekarang ini, merupakan bahan-bahan berharga untuk mengikuti perkembangan peradaban manusia. Penemuan teknik merekam gambar yang canggih zaman kita sekarang, merupakan penyempurnaan merekam data peradaban manusia. (Moedjanto peny.1994, 330)   

Mari berhenti sejenak. Untuk menyadarkan kita kini sedang berada dimana dan sebagai pembanding keadaan generasi, Don Tapscott mengakui: Dunia 1997 berbeda dengan dunia sekarang. Waktu itu belum ada Google, belum ada Facebook, belum ada Twitter, dan belum ada BlackBerry. YouTube belum datang; Anda harus menonton video musik di pesawat televisi. Kendati demikian, saya dapat melihat potensi teknologi baru yang luar biasa ini, maka saya berspekulasi tentang dampak media baru. (Tapscott 2013, 3)
   
Tapscott selanjutnya memastikan, bahwa cara pandang generasi multimedia (-generasi internet - istilah yang digunakan Tapscott), sudah sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi boomer. Misalnya dalam cara mereka menggerakkan mata menjelajah layar (komputer atau laptop atau text images frame apapun). Jika Anda seorang boomer, menurut Tapscott maka Anda akan mulai dengan melihat ke sudut kiri atas sewaktu Anda mencari teks yang akan mengatakan tentang sesuatu. Lalu akan bergerak dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah. Anda telah dilatih untuk membaca dengan cara demikian. Yang oleh Webster, J. (ed.) dalam Wiley Encyclopedia of Electrical and Electronics Engineering (1999, 60) diistilahkan dengan cara membaca monomedia dan linear.   

Di pihak lain, jika Anda adalah anggota generasi multimedia, maka mata Anda mulai dengan gambar-gambar. Selanjutnya beralih ke lambang kemudian kotak yang berwarna. Dan barulah ke teks. Menurut Tapscoot, Anda melihat dengan cara demikian karena Anda telah dibesarkan di lingkungan serba digital dan Anda telah terlatih untuk memahami makna sejumlah ikon atau citra yang mudah dikenali yang dengan cepat memberi informasi. Tayangan dan presentasi multimedia menggunakan banyak media yang terjadi secara bersamaan atau dalam beberapa cara terkait, semuanya saling berhubungan dan ditentukan oleh pembuatnya. 



Teologi Multimedia Adalah Hubungan   

Dalam rangka membangun konstruksi Teologi Multimedia, eikon tou theou dalam Kolose 1: 15 menjadi sangat penting, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” (Lembaga Alkitab Indonesia /LAI). Yang menurut Balz & Schneider (1993), di halaman 190, buku Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 3, adalah penekanan terhadap “superioritas dasar” dan itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Kristus adalah bagian dari penciptaan dirinya sendiri, tetapi tentang bagaimana posisi Yesus dalam hubungan yang unik dengan Allah.   

Bahkan seorang Rudolf Bultman pernah menegaskan dalam Buku Theology of the New Testament (1955, 22-23) bahwa: For Jesus, God again became a God at hand. Yesus menjadikan Allah adalah kekuatan, di sini dan sekarang. Menjadi media yang hadir (sekaligus) sebagai Tuhan dan Bapa, merengkuh serta memeluk setiap manusia yang terbatas. Sekaligus menurut Bultman lagi, menghadirkan Allah yang menuntut penghakiman, juga Allah penyayang yang menganugerahkan pengampunan. Hal ini mungkin dapat mengkonfirmasi bahwa semua manusia (sekaligus) dijadikan seperti media-media kecil Allah, multimedia terhubung satu dengan lainnya. Dalam Satu Tubuh. Satu Media Besar.   

Masih tentang ayat yang sama (Kolose 1: 15), W. Michaelis, dalam Theological Dictionary of the New Testament (1985, 968), memberikan masukan yang lebih jelas istilah “anak sulung – prototokos” yaitu Yesus adalah mediator dari segala sesuatu yang diciptakan. Tidak dalam artian bahwa Yesus adalah makhluk pertama yang diciptakan, melainkan pemahaman yang ditekankan adalah tentang supremasi Kristus atas seluruh ciptaan. Penggambaran keutamaan Yesus dari segala yang ada. Oleh dan dalam Allah, Yesus adalah media. Sang Firman, dan melalui Dia diciptakanlah segala sesuatu: Media-media yang lainnya. Yang oleh William Dyrness, dalam bukunya Visual Faith: Art, Theology, and Worship in Dialogue menegaskan: One of the most important claims of the Christian faith is that God entered into space and time in the form of a historical person, Jesus Christ. As the survey the biblical materials revealed, this implies a great deal not only about the purposes of God but also about God’s relationship to the creation. ... These traditions (or this tradition, since they together made up the first one thousand years of the church) see great significance in the fact that God took on human flesh -took on creation itself- and that with Christ’s glorification provided an actual (and in some sense visual) anticipation of God’s final work of renewing all creation. (Dyrness 2001, 88).   

Walaupun Dyrness hanya meninjau untuk dan dalam media visual, namun refleksi dan implikasinya bisa luas sekali. Beragam media atau kita sebut sebagai multimedia akhirnya bukan lagi sekadar menghubungkan. Tetapi multimedia sudah sebagai hubungan itu sendiri. Sehingga dengan rendah hati dan sedikit hati-hati, “multimedia” akhirnya saya ungkapkan sebagai “hubungan berbagai-bagai, tiada akhir, yang membawa pengharapan” di dalam Media Allah yang sulung: Yesus Kristus. Dan dari Yesus, di sini letak awal dan inti kita berteologi multimedia. Di dunia sekarang dan dunia ke masa depan. Bukan dunia yang “dihubungkan” atau dibawa kepada Yesus. Tetapi sebaliknya: Yesus yang dibawa kepada dunia.   

Seperti yang digambarkan Buku Shaking The World For Jesus, karya Heather Hendershot (2004), bukan sekadar melalui produk-produk yang bisa kita pakai sehari-hari (tulisan dan gambar “Jesus” atau “kutipan Alkitab” di kaos, stiker mobil, dan sebagainya), yang sangat bisa mengganggu hubungan kita dengan orang lain. Seperti di konteks penulis berada, Indonesia. Tetapi mungkin juga bisa menjadi apa yang diistilahkan oleh Ross Rohde dalam bukunya: Viral Jesus. Menjadi virus Jesus. Atau virus-virus Jesus. Yang berhubungan dan memulihkan pribadi-pribadi yang mengaku Kristen, keluarga-keluarga beragama Kristen dan komunitas-komunitas Kristen (jemaat dan gereja).   

Juga saling menghubungkan dengan orang dan komunitas agama apapun (Kristen dan selain Kristen) atau kepercayaan apapun. Karena Viral Jesus menghubungkan semua dengan semua. Lahir dari Cinta Kasih. Lahir dari hubungan dan kebersamaan dengan orang banyak. Hubungan persahabatan. Hubungan yang saling menguatkan dan saling berusaha menemukan. Menemukan kebenaran. Kebenaran yang sesungguhnya adalah isi dari media yang multimedia itu, yakni: Firman Allah, bahkan Allah (itu sendiri).   

Siapapun, di manapun dan bagaimanapun semua sesungguhnya bisa terhubungkan. Menjadikan media bahkan multimedia adalah hubungan itu sendiri. Sepanjang waktu perjalanan sejarah manusia, baik cara maupun khususnya isi. Marthin Luther misalnya pernah menggunakan alat cetak yang masih langka saat itu, untuk mencetak dan memperbanyak konsepnya yang kemudian bermuara kepada Reformasi dan melahirkan Protestan. Semua adalah media, yang saling berhubungan yang berusaha menemukan. Contohnya sampai kepada penemuan terakhir dari ahli fisika Inggris, Peter Higgs, dan fisikawan Francois Englert dari Belgia dianugerahi penghargaan Hadiah Nobel bidang fisika tahun 2013 tentang: Partikel Tuhan. Yang dianggap sebagai kunci untuk menjelaskan asal-usul alam semesta dan semua benda di dalamnya. (tempo.co/tekno. 2013). 



Minimal Dua Media Terhubung, Allah Ada 

Jika hanya melalui satu media, kita akan kesulitan bahkan mungkin kita tidak akan bisa menemukan Allah. Tetapi melalui berbagai-bagai media, menerima, menikmati dan hidup dalam berbagai media, baru bisa menemukan Allah. Melalui satu poin kita tidak bisa menemukan Allah. Di banyak poin baru bisa. Di satu warna kita tidak bisa menemukan Allah. Di banyak warna baru ada Allah. Di satu orang saja (baca dan maknai: diri sendiri apalagi dengan egoisme kita sendiri) tidak akan menemukan Allah. Tetapi di banyak orang, bersama dengan orang lain, kita bisa bertemu dan menemukan Allah. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Matius 18: 20 - LAI). Itu berarti dan semakin memperjelas kita bahwa kalau “di mana ada satu orang dalam namaku, di situ Aku tidak ada.”   

Dan seperti yang sudah saya coba konstruksikan sebelumnya, mungkin dengan melihat gambar dan penggambaran satu-satunya Yesus sebagai “media besar” dengan menjadikan kita, manusia dan berbagai hal-hal lainnya di alam raya sebagai “media-media kecil”. Maka jadi benar dan terang-benderang, bahwa selalu harus ada 2 (dua) media atau lebih (tiga, empat, lima dan seterusnya) media agar terjalin hubungan.   

Daniel Goleman dalam bukunya Sosial Intelligence (2015, 39) menguatkan kebenaran tentang hubungan dan keterhubungan itu, yang umpan-balik, “Ketika orang masuk bersama-sama ke lingkaran umpan-balik ini, otak mereka mengirim dan menerima aliran sinyal terus-menerus yang memungkinkan mereka menciptakan keselarasan tak terucap, dan, jika berjalan dengan benar, aliran ini memperkuat resonansi otak mereka. Proses larut bersama ini memungkinkan perasaan, pikiran dan tindakan menyelaras. Kita menerima dan mengirim keadaan internal, apa pun hasilnya, entah itu tertawa atau sabar, atau tegang dan benci.” Jadi, minimal 2 media yang terhubung. Tidak sekadar menemukan keindahan (beauty) dalam hubungan-hubungan besar-kecil itu, tetapi yang lebih tinggi lagi: Pengharapan.   

Pengharapan terus-menerus menemukan Kebenaran (Allah) baik hari ini, dan esok hari, bahkan sepanjang masa. Karena ada keterhubungan yang tidak bisa diingkari oleh waktu, ruang, manusia dan berbagai ciptaan Allah. Ada multimedia. Ada hubungan yang tiada henti yang selalu menghasilkan pengharapan. Dari media-media yang selalu lahir, ada dan hadir berfungsi. Bukan sekadar hasil manusia belaka. Tetapi oleh “gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Dalam ungkapan John de Gruchy di bukunya Saksi Bagi Kristus yang merupakan kumpulan cuplikan karya Dietrech Bonhoeffer, Yesus jelas disebut sebagai Pengantara: Orang Kristen mendekati orang lain hanya melalui Yesus Kristus. Di antara manusia ada percekcokan. “Ialah damai kita”, demikianlah kata Paulus tentang Yesus Kristus (Efesus 2: 14). Tanpa Kristus, yang ada ialah pertentangan antara Allah dengan orang dan antara orang dengan orang. Kristus menjadi pengantara dan mendatangkan damai dengan Allah dan antara orang. ... Hanya dalam Yesus Kristus kita satu, hanya karena Dia kita diikat bersama. Sampai kekal Ia tetap satu-satunya Pengantara. (de Gruchy 1993, 222).   

Yesus adalah pengantara besar atau media besar. Manusia dan yang lain adalah media-media kecil. Apa saja media yang digunakan dalam multimedia itu, maka yang muncul dan akan selalu muncul adalah Allah. Hubungan yang selalu dan akan selalu memberi pemaknaan baru. Secara Teologi Multimedia, Allah tahu, jika dilepas begitu saja, maka manusia yang penuh keterbatasan itu akan hang dan bahkan rusak total. Karena dosanya sendiri. Gereja harus mempunyai cara pandang/struktur yang baru bahkan terus baru. Melihat keindahan yang bermakna. Seperti pendapat Dyrness dan Tapscott (bila digabungkan) selalu mengingatkan kita untuk lebih dulu mengutamakan dan memaknai dengan melihat gambar, simbol, lambang dan yang ada warna. Yang Punya makna dulu, baru berikutnya yang kurang makna atau bahkan menghilangkan yang tidak bermakna. Tugas kita bukan sekadar untuk menyukai atau tidak menyukai. Tugas kita adalah keluar mempersembahkan dan menghubungkan. Menghubungkan semuanya, menjadikan semua sahabat dan menguatkan link kita semua dalam Yesus. Karena semua telah dan akan selalu dihubungkan oleh dan dalam Kasih Karunia Allah.   

Sehingga semua media bisa semakin terlibat dan memunculkan kerinduannya, misalnya seperti Ben Okafor, seorang penyanyi, komposer dan musisi asal Nigeria menyampaikan keinginan:   Berilah kesempatan kepada seniman untuk memberitakan Injil. Janganlah hanya pendeta yang berkhotbah. (Brudereck 2015, hal. 33).   

Ini berlaku di tiap hari, di era multimedia sekarang, juga dalam perkembangan berikutnya nanti. Seperti Kitab Ulangan 6: 7 (LAI), “.. haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Bahkan mengajarkan, memediasikan Allah itu kepada dan bersama orang-orang di sekitar kita.   

Di mana kita berada, di situlah gereja. Jadi seluruh dunia di mana kita sedang berada, di situlah gereja, jadi seluruh dunia adalah gereja. Tetapi juga marilah melihat bahwa dunia serta semesta ini adalah gereja besar itu, tubuh Kristus yang universal (Am) dan kitalah multimedia dengan berbagai pintu masuk tadi. Silakan melewati pintu yang manapun, tetapi kita ada di dalam satu gereja yang besar itu. Media besar itu. Gereja yang sesungguhnya. Gereja multimedia. Karena sesungguhnya dalam bahasa Daniel Goleman, di dalam tiap makhluk hidup, khususnya manusia, terdapat apa yang disebut “WiFi saraf” (Goleman 2015, 41), “Para ilmuwan saraf menemukan WiFi saraf ini secara kebetulan pada tahun 1992. Mereka sedang memetakan area sensori-motorik otak monyet dengan menggunakan elektroda-elektroda yang begitu tipis seperti laser yang bisa mereka tanamkan dalam satu sel otak. Ketika pada suatu siang hari yang panas ketika seorang asisten riset kembali dari istirahat sambil makan es krim. Para ilmuwan terpesona melihat sel sensori-motorik menjadi aktif ketika seekor monyet melihat si asisten mengangkat contong es krim itu ke bibirnya.”   Dan melalui media apapun juga, hubungan semakin jelas di antara manusia. Dalam bukunya yang berjudul Social Intelligence itu, Daniel Goleman mengisahkan penelitian yang dilakukan Carl Marci, seorang psikiater di Harvard Medical School: Karena sebelumnya, ilmu saraf hanya mempelajari satu otak pada setiap kesempatan. Namun sekarang dua otak dianalisis pada saat yang sama, menyingkapkan duet saraf yang hingga kini tak terbayangkan antara otak dan otak ketika orang-orang berinteraksi. Marci telah menyarikan dari datanya apa yang ia sebut sebagai “logaritma untuk empati,” suatu proses saling memengaruhi respons keringat dua orang selama mereka menikmati hubungan baik. Logaritma itu mereduksi pola fisiologi dua orang pada waktu puncak hubungan baik, ketika seseorang merasa dimengerti oleh yang lain, ke dalam persamaan matematis. (Goleman 2015, 24).



Keluar-Kedalam, Tidak Kelihatan-Kelihatan   

Waktu adalah juga media. Dan ingat, seperti sebuah data yang dikirimkan ke internet, maka itu berlaku selamanya. Demikian pula Allah yang ada dalam dan melalui media-media, Dia adalah yang kekal abadi. Alfa sampai Omega. Tak akan pernah terpuaskannya diri manusia, diketahui oleh Allah sejak awal. Sehingga Allah merancang hadir dan berkarya dalam berbagai media seperti dalam Perikoresis yang menari dan saling melengkapi versi Catherine Mowry Lacugna: In short, the doctrine's subject matter is the mystery of God who acts and is present in the events of history—-salvation history. The God of redemptive history comes to be known, loved and worshiped in the course of a yet-to-be-completed relationship between God and God's people. (Lacugna 1992, 679). Dan yang keluar akan membuat ke dalam. Hubungan Allah melalui Yesus (media besar) dengan kita (media-media kecil). Yang multimedia itu akan terus berkembang. Dari “Gambar Allah yang tidak kelihatan” maka oleh Yesus sebagai media membuat DiriNya menjadi “Gambar Allah yang kelihatan.” Lalu ketika Yesus menjumpai manusia dan dunia, dari berbagai nubuatan-nubuatan tentang Yesus hingga Natal, kembali lagi Yesus menjadi “Gambar Allah yang tidak kelihatan.” Tetapi ketika terjadi hubungan dengan murid-murid, berkembang dengan para pengikut Yesus. Dan bersama keterhubungan dengan seluruh manusia, ciptaan dan kehidupan sebagai media-media kecil, besar-kecil, keluar-kedalam, proses teologi multimedia menjadi terus-menerus.    

Di buku Open To Go (2015) yang ditulis dan disusun bersama oleh Christina Brudereck dan kawan-kawan, mempertanyakan ulang, dari mana visi hidup tentang kebaikan, norma (nilai) dan kebenaran dan hal-hal lain di seputar itu berasal, dan bagaimana perbuatan, sikap dan kebiasaan itu dibentuk. Oleh kita bersama, baik sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat, apalagi sebagai orang-orang percaya (gereja) dalam jaman media dan kemajuan daya pikir dan derasnya berbagai informasi seperti sekarang ini (Brudereck dan kawan-kawan 2015, 101), “Sekali lagi bagaimana visi kita dibentuk? Kita memiliki tubuh -bukan hanya pikiran, melainkan juga indera, otot dan tulang. Yang mendasari perbuatan kita adalah gambar dan cerita, bukan kebenaran abstrak. Gambar dan cerita tersebut menyatu dengan perbuatan jasmani, “liturgi” kita sehari-hari, yang membentuk kebiasaan dan sikap kita. Sangat sulit menolak citra dan kebiasaan yang membudaya di masyarakat kita. Budaya konsumtif sangat menggiurkan dan menarik. Satu cara untuk menangkalnya adalah dengan menarik diri dari dunia - hidup tanpa tv, internet dan shopping. Beberapa kelompok Kristen radikal memang telah memilih untuk hidup seperti itu. Kelompok lainnya memilih untuk sedikit menjauhi - dan inilah salah satu alasan mengapa gereja Protestan sering enggan bercampur dengan budaya populer. Namun, jika ingin tetap menjadi sebuh gereja misioner, kita harus hadir di tengah masyarakat, tanpa terpengaruh keinginan dan kebiasaan yang tidak benar, ‘di dalam dunia’, tetapi bukan di ‘luar’ dunia.”   

Sadar dan tetap di dalam dunia, namun semakin banyak menjalin hubungan keluar, antar media, menjalin hubungan yang baik dengan lebih banyak orang, bahkan yang berbeda-beda, multimedia. Itu semakin menguatkan kita ke dalam dan atau semakin yakin ke dalam: Iman, nilai diri (self esteem), pada gereja dan bahkan (ke dalam) keluarga. Pendapat Tapscott dengan hasil penelitian tim-nya misalnya, menarik untuk kita cermati:   Generasi ini memiliki komitmen untuk memelihara hubungan-hubungan dalam keluarga. Sebuah jajak pendapat tahun 2007 mengungkapkan komitmen yang kuat terhadap keluarga dan menunjukkan minat yang diperbarui terhadap struktur keluarga tradisional. 85 persen berpendapat bahwa menikah akan membuat mereka bahagia, dan 90 persen berpendapat tampaknya mereka akan menikah dengan orang yang sama seumur hidup. Dan 56 persen mengatakan bahwa mempunyai keluarga sendiri sangat penting. (Tapscott 2009, 343).   

Ungkapan, “Media besar itu kuat dan media-media kecil itu lemah,” mungkin juga tidaklah berlaku lagi. Karena Allah sebagai gambar yang tidak kelihatan, yakni dalam Yesus, malah membuktikan media-media kecil jadi lebih cepat bergerak (keluar-kedalam). Ketika media-media kecil cepat, makin kuat sekaligus dan bersamaan (multimedia) beraktifitas maka media besar akan “kalah”. Tetapi, di sini hebatnya: Kekalahan menjadi kemenangan. Lalu semakin jadi kemenangan. Media kecil menjadi besar untuk membesarkan yang media besar. Media besar yang semakin besar akan kembali membesarkan (menguatkan dan menghadirkan) media-media kecil yang baru, bersama kita manusia dengan semua media lainnya saling terhubung, berpengharapan, ada kebebasan, bersahabat, menari saling memenuhi dalam kebaikan dan seterusnya: Teologi Multimedia.   

Joas Adiprasetya dengan baik mengangkat saling memberikan kemenangan ini dengan ungkapan “Pelayan Pendamaian,” lewat buku kumpulan khotbahnya. Tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, berjudul Menyemai Cinta, Merawat Damai. Berdasarkan 2 Korintus 5: 18-19, khususnya dari berita Natal, kita diajak menjadi pelayan-pelayan pendamaian (Adiprasetya 2016, 50), “Berita pertama Natal, Allah berdamai dengan manusia, tidak bisa dilepaskan dari berita yang kedua, manusia harus saling berdamai.”   

Selanjutnya Adiprasetya (2016, 51) juga menegaskan, “Di dunia ada banyak simbol perdamaian. Sadako Sasaki membuat burung bangau kertas sebagai lambang perdamaian. Tradisi Kristen memiliki burung merpati sebagai lambang perdamaian. Terang lilin juga Natal menjadi lambang perdamaian.”   



Menuju Kesimpulan Serta Sedikit Refleksi dan Ajakan   

Hanya Allah adalah personalitas. Dan Yesus adalah media besar. Sehingga kita manusia, yaitu aku ini adalah media kecil, begitu juga anda dan semua adalah media-media kecil. Karena di dalam diriku ada cinta kasih. Ada Allah. Hanya dengan bergabung dengan Media Besar. Kita mendapatkan “kebesaran”-Nya. Yang memampukan kita menjadi media perbuatan-perbuatan baik. Bukan media salah sangka atau media perbuatan yang tidak baik. Media tidak pernah peduli dengan dirinya. Minimal itu yang ditelandankan Kristus. Karena diri kita seharusnya tidak peduli atas diriku. Aku seolah-olah aku. Kita mengalami “sepi” tersembunyi. Dan di sinilah keindahan (beauty) yang sesungguhnya itu. Jauh ke dalam diri kita. Mendamba selalu memiliki hubungan. Hubungan dengan Allah, dengan Allah dalam Media Besar (Kristus) dan hubungan dengan media-media kecil. Hubungan multimedia. Sebagai media-media kecil yang punya informasi tersembunyi, data-data akan beauty itu, akhirnya membuat setiap orang boleh membangun identitasnya terhadap dan dalam rangka kebersamaan media-media kecil, bersama media besar saling menguatkan hubungannya oleh dan untuk Allah. Bahkan dalam Alkitab sendiri, banyak data dan informasi-informasi yang tersembunyi (tidak sekadar eksplisit tertulis, terbaca dan tampak oleh kasat mata), dalam Perjanjian Baru misalnya, Laurence Gardner pernah menekankan di bukunya Bloodline of The Holy Grail: Such information hidden in the New Testament was of considerable relevance when written, and it remains very important today. Methods of disguising the true meanings included allegory, symbolism, metaphor, simile, sectarian definition, and pseudonyms. The meanings were fully apparent, nonetheless, to ‘those with ears to hear’.” (Gardner 1996, 28)   

Untuk perjalanan kita selanjutnya sebagai media dan di tengah serta bersama-sama media-media yang Allah adakan, mungkin apa yang dinyatakan Tom Wright dalam bukunya The Original Jesus, bisa menjadi perhatian kita yang kuat: And that journey can neither be private nor self-centred. You see, if we start journey by recognizing the rich, forgiving, healing love the true God in the face of Jesus Christ, then to continue the journey means to join in with God’s work of healing and love in the world. If, as the apostle Paul says, “In Christ God was reconciling the world to himself”, then those who find themselves drawn into the love of this God must themselves join in God’s work of reconciliation. You see, when we explore the question about Jesus and God, we discover another question: What might it look like today if people were captivated by the Spirit of this Jesus? At its best, the church consists of people who are struggling to answer that -not just in words, but in stories, and symbols, and actions- in their everyday lives. (Wright 1996, 87)   

Dengan cukup ekstrim, misalnya kritik Linwood Urban dalam bukunya Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen (2012, 477-478) dengan dimensi Barat-nya, dengan kenyataan yang ‘berbagai’ (baca multi) menegaskan sekaligus mengajak, seperti hakikat ‘Teologi Multimedia’ untuk kita sadar, ”Sebagaimana di Barat kita mengembangkan suatu pandangan baru untuk berbagai peradaban Asia dan Timur Dekat, demikian juga penghargaan kita telah bertumbuh terhadap tradisi-tradisi keagamaan mereka, Hinduisme, Buddhisme, dan Islam. Sama dengan itu, kontak yang luas dengan berbagai kebudayaan pramodern menyingkapkan bahwa mereka dan agama-agama mereka itu jauh lebih bernilai daripada yang dipercayai kakek-nenek kita.”   

Dalam bukunya yang berjudul Jesus Christ in World History, Jan A.B. Jongeneel juga pernah memaparkan: Wherever cyclical worldviews prevail -as in primal societies, eastern religions, various new religious move ments, and New Age- syncretism can be observed. Cyclical belief system have a history of mixing between themselves; but they also mix with monotheistic belief systems, especially Christianity. Primal socities - which posses a less developed concept of the time than Hinduism, Buddhism, Taoism, Confucianism, Shintoism, new religious movements, and New Age- have more frequently fused their system with linear features. (Jongeneel 2011, 316)   

Di buku yang sama, Jogeneel (2011) bahkan menjabarkan bahkan menegaskan tentang “Presence” and “Representations” dari Yesus dalam perjalanan sejarah dunia, yang kita kenal dengan istilah Contemporary presence: Transformative power, Future presence: Finalizing power, dan Past presence: Initiative power, bahkan Seminal presence: Cosmic power. Dan berbagai representation of Jesus Christ: By words, by deeds, by suffering dan by resurgence
Timothy Freke dan Peter Gandy (1999) dalam buku mereka The Jesus mysteries. Was the “original Jesus” a Pagan God?”, bahkan menambahkan berbagai keterhubungan berbagai media-media dalam tautan hubungannya dengan Yesus sebagai media besar itu.   
Mystics off all spiritual traditions have taught that there is only one Truth, ever present and never changing. It was not suddenly revealed for the first time 2,000 years ago. Christianity is only a chapter in the perennial humanquest for meaning, acurrent in the sea of evolving human consciousness, another attempt at articulating the timeless Gnosis toward which mystics have reached from the most ancient of days. God did not come to Earth on a once-only excursion. Nor do we have to wait for his promised apocalyptic return. The truth is, God never left. Although there is now no tradition that can initiate modern Christians into the secret Inner Mysteries encoded in the Jesus story, these profound mystical teaching are still there for those with “eyes to see” and have been continually discovered by the greatest Christian mystics throughout the centuries. Thoroughly exploring what these teachings are is too large a task for this present book and must await a later work. All we hope to have established is that there is essentially one perennial philosophy at the heart of both the Pagan Mysteries and Christianity, and that these two traditional enemies are in fact close relatives. (Freke 1999, 255-256)   

Belum lagi sebagai berbagi hubungan yang kita lihat misalnya dengan Yesus sejarah, Craig A. Evans dengan tulisannya berjudul Jesus In Non-Christian Sources dalam buku Studying the Historical Jesus Evaluations of the State of Current Research (Bruce Chilton & Craig A. Evans, peny. 1994, 443 dan 446), “These theories did not, however, win a significant or lasting following. Not suprisingly in recent years scholarly interest in these sources has diminished (in marked contrast to the sensationalist claims that have been and are currently being made in the popular media). Nevertheless, a few sources do offer some potentially helpful data that merit serious attention. There are two important non-Christian sources for the historical Jesus. The first is provided by the Jewish historian Josephus; the second is provided by the Roman official and historian Tacitus. The latter will be treated first and briefly; much more attention will be accorded the former.” Dan mengenai hubungan dan keterhubungan multimedia, kembali Daniel Goleman menebarkan teori dan ilmu barunya tentang hubungan antar-manusia, dalam buku Social Intelligence: Tantangan krusial pada abad ini adalah memperluas lingkup orang-orang yang kita anggap termasuk Kita dan memperkecil jumlah orang yang kita anggap sebagai Mereka. Sains baru tentang kecerdasaan memberi kita alat yang bisa memperluas batas-batas itu ke luar, selangkah demi selangkah. Pertama, kita tak perlu menerima pemisahan yang dibiakkan oleh kebencian, namun mengulurkan empati kita untuk memahami satu sama lain meskipun kita memiliki perbedaan dan untuk menjembatani jurang keterpisahan itu. Menghubungkan kita pada inti kemanusiaan bersama kita. (Goleman 2007, 418)   

Karena kita adalah media Allah. Anda dan saya adalah media, karena itulah kita semua adalah multimedia. Yang sejatinya harus saling terhubung. Mau, berjuang dan benar-benar untuk saling terhubung, atau jika tidak, kita mati.    







Daftar Acuan Buku:
Adiprasetya, Joas. 2016. Menyemai cinta, merawat damai. Kumpulan khotbah tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Jakarta: Gunung Mulia. Balz, Horst and Gerhard M. Schneider. 1990. Exegetical dictionary of the New testament Vol. 3. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company. Bromiley, G.W. 1985. Theological dictionary of the New testament: Abridged in one volume. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company. Brudereck, Christina, dkk. 2015. Open to go: Bagaimana menjadi Gereja masa depan. Jakarta: Gunung Mulia. Bultmann, Rudolf. 1955. Theology of the New testament. Complete in one volume. New York: Charles Scribner’s Sons. Collins, Janet, Michael Hammond and Jerry Wellington. 1997. Teaching and learning with multimedia. London: Routledge. Chilton, Bruce & Craig A. Evans (peny.) 1994. Studying the historical Jesus evaluations of the state of current research. Leiden: Brill. Goleman, Daniel. 2007. Social intelligence, ilmu baru tentang hubungan antar-manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. de Gruchy, John. 1993. Saksi bagi Kristus: Kumpulan cuplikan karya Dietrich bonhoeffer. Jakarta: Gunung Mulia. Dyrness, William A. 2001. Visual faith: Art, theology, and worship in dialogue. Grand Rapids: Baker Academic. Freke, Timothy & Peter Gandy. 1999. The Jesus mysteries. Was the “original Jesus” a Pagan God?” New York: Harmony Books. Gardner, Laurence. 1996. Bloodline of the holy grail. The hidden lineage of Jesus revealed. Shaftesbury, Dorset: Element Books Limited. Goleman, Daniel. 2015. Social intelligence, ilmu baru tentang hubungan antar-manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hendersot, Heather. 2004. Shaking the world for Jesus. Chicago: The University of Chicago Press. Jongeneel, Jan A.B. 2011. Jesus Christ in world history. Bangalore: Centre for Contemporary Christianity. Mayer, Richard. 2001. Multimedia learning. Cambridge: Cambridge University Press. Moedjanto, G. (dan kawan-kawan, peny.). 1994. Tantangan kemanusiaan universal. Yogyakarta: Kanisius. Nasrullah, Rulli. 2015. Media sosial, perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Tapscott, Don. 2013. Grown up digital: Yang muda yang mengubah dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Urban, Linwood. 2012. Sejarah ringkas pemikiran Kristen. Jakarta: Gunung Mulia. Webster, J. (peny.). 1999. Wiley encyclopedia of electrical and electronics engineering. Ontario: John Wiley & Sons, Inc. Wright, Tom. 1996. The original Jesus. The life and vision of a revolutionary. Oxford: A Lion Book. 

Daftar Acuan Jurnal:   
Lacugna, Catherine Mowry. 1992. The Practical Trinity. Sebuah Jurnal dalam The Christian Century: 678-682. 

Daftar Acuan Website Internet:  Tempo.co.Tekno.http://tekno.tempo.co/read/news/2013/10/08/095520245/penemu-teori-partikel-tuhan-sabet-hadiah-nobel (diakses terakhir 24 November 2015).



(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak kurang rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)