07 Januari 2017

Hospitalitas Gerak Tubuh dalam Penyajian Khotbah

Lusindo Tobing (Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta) 
 
 
Hospitalitas Gerak Tubuh dalam Penyajian Khotbah
 
Abstrak

Makalah ini berupaya menawarkan satu perspektif baru, hasil kolaborasi dua hal penting yaitu:  “Hospitalitas” dan “Gerak tubuh dalam Penyajian Khotbah.” Hospitalitas (hospitality) adalah tradisi kuno kristen tentang penyambutan dan penerimaan komunitas kristen sebagai tuan/nyonya rumah (host) terhadap tamu/orang asing (stranger). Tradisi ini adalah respons sekaligus refleksi dari kasih Allah yang menerima, menjangkau, dan merangkul semua. Salah satu wujud respons rangkulan Allah itu ada di ritual ibadah komunitas kristen, termasuk diantaranya adalah: Khotbah. Sedangkan penyajian atau penyampaian khotbah (preaching performance) merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keutuhan khotbah, khususnya gerak tubuh (body performance) dalam penyajian khotbah. Tujuan penulisan makalah adalah berupaya menghadirkan sekaligus menyadarkan semua pihak tentang pentingnya nilai hospitalitas dalam gerak tubuh saat menyampaikan khotbah kepada jemaat, mungkin bisa saya sebut sebagai “hospitalitas khotbah,” artinya perspektif hospitalitas yang tidak hanya pada pemilihan kata atau kalimat, namun khususnya hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian khotbah.

Gagasan utama (thesis statement) saya adalah: Hospitalitas dalam gerak tubuh penyajian khotbah berdampak kuat memengaruhi dan memampukan pendengar khotbah (jemaat) untuk semakin “berkhotbah” melalui gerak tubuh yang hospitable kepada semua orang dengan berbagai perbedaan, tantangan dan krisis di kehidupan nyata sehari-hari.

 



Kata-kata kunci: Hospitalitas, Khotbah, Penyajian Khotbah (Preaching Performance),                                              Gerak tubuh, Jemaat, Pendeta, Pengkhotbah, dan Penerima khotbah.

Pendahuluan

Ibadah adalah salah satu wujud respons dan refleksi gereja atas hospitalitas Allah. Beberapa gereja (khususnya di Indonesia) sudah mempraktikkan hospitalitas, misalnya dalam bentuk saling memberi salam damai antar anggota jemaat, baik yang dikenal maupun tidak dikenal. Kegiatan lain adalah penyambutan oleh usher (penyambut tamu) di pintu masuk gedung gereja menjelang ibadah dimulai, dan melakukan jamuan kasih (bersama-sama menikmati makanan kecil, minum teh dan kopi) di luar ruang ibadah setelah ibadah Minggu.

Lalu bagaimana dengan unsur atau bagian lainnya dalam liturgi ibadah Minggu? Lebih spesifik bagaimana dengan penyajian khotbah? Apakah khotbah sudah merespons dan merefleksikan hospitalitas Allah? Lalu bagaimana dengan penggunaan gerak tubuh dalam ibadah kepada Tuhan dan khususnya dalam sebuah penyajian khotbah kepada jemaat? Todd Farley dengan tulisannya yang berjudul “The Use of the Body in the Performance of Proclamation” dalam buku Performance in Preaching, mengutip sekaligus menghadirkan pendapat Martin Luther yang menekankan pentingnya ibadah dengan seluruh tubuh:

Worship is not function of the mouth but of the whole body. It is to bow the head, bend the body,               fallon the knees, prostrate oneself, and so forth, and to do such things as a sign and             acknowledgement of an authority and power; just as people bow in silence before secular princes                and lords. From this understanding of outward worship you will also understand what Christ                        meant by true spiritual worship. It is the adoration of bowing of the heart (and) where worship                     is offered from the heart, there follow quire properly also that outward bowing, bending, kneeling, and adorattion with the body. (Childers 1998, 118)

Cukup ironis jika kita melihat dalam perkembangan gereja-gereja Protestan, tidak terlalu dikenal misalnya tradisi tubuh yang berlutut, dan lain-lain dalam liturgi. Termasuk dalam penyajian khotbahnya, dimana pusat kognisi sangat besar dalam kotbah. Semoga argumentasi saya tentang pentingnya gerak tubuh dalam penyajian kotbah, dapat menjadi salah satu dimensi teologis yang cukup penting dalam menubuhkan firman Allah. Leonora Tubbs Tisdale dalam buku Preaching as Local Theology and Folk Art bahkan menyatakan bahwa khotbah adalah sebuah karya seni: “Khotbah tidak hanya sebagai konstruksi teologis, tetapi juga sebagai karya seni” (Tisdale 1989, 122).

Untuk makalah ini saya akan membatasi hanya dua bagian terbesar komunikasi gerak tubuh dalam penyajian khotbah yaitu: 1. Wajah dan; 2. Tangan. Sebagai upaya mengusulkan dimensi lain, yakni dimensi afeksi dan motorik dalam khotbah Minggu sebagai respons dan wujud hospitalitas Allah. Agar kata dan kalimat sang pengkhotbah menghadirkan hospitalitas firman Allah, demikian pula gerak tubuh pengkhotbah diharapkan benar-benar menjadi perwujudan Allah yang hospitable kepada semua.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              

Hospitalitas

Secara etimologi, hospitalitas berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani: “Philoxenia.” Christine D. Pohl dalam bukunya Making Room menjelaskan demikian, “One of the key Greek words for hospitality, philoxenia, combines the general word for love or affection for people who are connected by kinship of faith (phileo), and the word for stranger (xenos)” (Pohl 1999, 31). Uraian dari Henri J.M. Nouwen dalam bukunya Reaching Out mungkin membantu menjelaskan proses hubungan dan penerimaan tuan/nyonya/pemilik rumah kepada orang asing tersebut yaitu, “from loneliness to solitude and from hostility to hospitality” (Nouwen 1975, 109). Selain itu menurut Pohl, hospitalitas adalah cara hidup yang mendasar dari kekristenan, ia menegaskan bahwa, “Hospitality is a way of life fundamental to Christian identity. Its mysteries, riches, and difficulties are revealed most fully as it is practiced” (Pohl 1999, x).

Hospitalitas yang tidak berwujud atau tidak dipraktikkan, itu bukan hospitalitas. Mewujudkan hospitalitas adalah dengan mempraktikkan hospitalitas oleh semua anggota jemaat, misalnya baik oleh jemaat perempuan dan jemaat laki-laki dalam kebersamaan ibadah, dan berlanjut mempraktikkan hospitalitas di kehidupan sehari-hari. Arthur Sutherland dalam bukunya I was a Stranger: A Christian Theology of Hospitality bahkan menegaskan posisi perempuan dalam hospitalitas sudah ada sejak konteks Perjanjian Baru. Demikian pendapatnya, “During the time of emerging New Testament church, hospitality put women at the center of theological discourse and conflict” (Sutherland 2006, 41). Di konsep dan contoh yang lain, misalnya Nouwen dalam buku Tuhan Tuntunlah Aku pernah mengingatkan bahwa hospitalitas bisa menjadi “keuntungan besar” bagi kedua belah pihak yaitu baik tuan rumah dan tamu/orang asing, bahkan lanjut Nouwen, hospitalitas bisa menjadi keuntungan besar bagi dua pihak yang sedang bermusuhan:

Kalau sikap bermusuhan diubah menjadi hospitalitas, orang-orang asing akan menjadi tamu yang                 menyatakan janji-janji yang dibawanya serta kepada tuan rumah. Lalu pemisahan antara tamu dan   tuan rumah hilang, tidak ada lagi dan muncullah satu ikatan kesatuan yang baru. Dengan              demikian kisah-kisah dan Kitab Suci ini tidak hanya menyadarkan kita bahwa hospitalitas adalah               keutamaan yang penting, tetapi juga bahwa dalam rangka itu tamu dan tuan rumah dapat saling                        memberikan rahmat dan saling memberikan kehidupan yang baru. (Nouwen 1994, 24)

Jika dimaknai lebih luas lagi, maka hospitalitas menghubungkan teologi dengan kehidupan dan keprihatinan sehari-hari, demikian pendapat Pohl yang menggambarkannya seperti satu jembatan: “Hospitality as a framework provides a bridge which connects our theology with daily life and concerns” (Pohl 1999, 8). Menghadirkan kembali hospitalitas akan membuat teologi semakin masuk akal dan semakin mungkin untuk dilakukan. Karena itu tidak berlebihan jika menurut Nouwen, dalam rangka merespons berbagai masalah dan tantangan kontemporer, penting untuk kembali dulu ke makna awal hospitalitas: “Hospitalitas harus dikembalikan kepada makna yang sebenarnya, yakni hospitalitas Allah yang menghubungkan dan menyambut semua” (Nouwen 1994, 23). Serupa dengan pendapat Pohl yang menegaskan bahwa hospitalitas sebaiknya, “reflects and anticipates God’s welcome” (Pohl 1999, 187). Kemudian hospitalitas juga dikembangkan menjadi “Justice hospitality” oleh Letty M. Russell dalam buku Just Hospitality: God’s Welcome in a World of Difference, buku terakhirnya yang mencoba membentuk ulang definisi dan praktik hospitalitas menjadi: “Hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out across difference to participate in God’s actions bringing justice and healing in our world of crisis and our fear of the ones we call ‘other’” (Russell 2009, 53). Tradisi dan praktik hospitalitas yang membuat tidak ada lagi ketertutupan, sebaliknya hospitalitas adalah keterbukaan menerima orang-orang yang berbeda dari kita sebagai karunia Allah, memastikan bahwa Allah ada di dalam dan untuk semua, merangkul semua perbedaan dan menghubungkan semua.

Pat Ennis dan Lisa Tatlock dalam buku Practicing Hospitality menekankan rumah dan keluarga sebagai awal dari proses hospitalitas: “We see this modeled in the example of the Proverbs 31 woman. She fed, clothed, and managed her household before extending her hand to the poor and needy (Prov. 31:10-31). The needs of her own family were met before she journeyed out into her community” (Ennis 2007, 74). Hospitalitas selalu memiliki dimensi gender, hal ini memperlihatkan kompleksitas hospitalitas dalam kehidupan komunitas kristen. Berawal dari rumah keluarga lalu bersamaan dengan itu berlanjut kepada dimensi Gereja sebagai “rumah” yang lebih besar, berproses meneruskan hospitalitas bagi lingkungan masyarakat dan dunia luas. Penggambaran Pohl tentang  “pintu tertutup atau terbuka” pada rumah (atau gereja atau locus manapun) sebagai indikasi terwujudnya hospitalitas kepada orang asing, tampaknya tidak semudah mengucapkan, “A door -- open or closed -- is one of the most powerful images of hospitality” (Pohl 1999, 131). Jessica Wrobleski pada buku The Limits of Hospitality mengingatkan juga bahwa tetap ada batasan dalam praktik hospitalitas: ”Hospitality is not always a matter of simply opening a door; it is also requires the host’s ability to discern when and how to close it in order to respect others - and herself - as persons rather than simply providers and recipients” (Wrobleski 2012, 143).

Mempraktikkan hospitalitas tidaklah mudah, apalagi selalu ada risiko saat menjadi tuan/nyonya rumah yang menyambut dan menerima orang asing. Namun di titik risiko itulah, iman, pengharapan dan kasih dalam Tuhan diuji. Menjawab tentang risiko dalam praktik hospitalitas, Pohl mengajak untuk memiliki, “responsibilities to protect others in our families and communities from harm, especially children and other vulnerable persons, we must attend to the possible dangers” (Pohl 1999, 93). Ketika ada keberanian mengambil risiko, barulah hospitalitas bisa terjadi. Hal tersebut ditegaskan Septemmy Lakawa di bagian akhir disertasinya yang berjudul Risky Hospitality bahwa:

This final section of this chapter offers two images of mission as remaining and breathing. Both                   images reflect the fragility and the riskiness of practicing hospitality, of welcoming the Other into    the space of the self, in the aftermath of violence. The witness has to be able to enter the space of         remaining, the space where suffering remains yet love and the promise of life persists. In this    space, a witness must relearn how to breathe, how to be reconnected to her/his own body. The                   reconnecting to            one’s own breath requires the capacity to witness to the Spirit who breathes the                  breath of life from the space where the breath of death remains and must be witnessed to. In this               space, risky hospitality manifests in two intertwined directions: toward the self (in opening a                     vulnerable space of trauma while protecting it from being harmed again) and toward the Other (in welcoming the Other into the sharing space of pain and healing). (Lakawa 2011, 486)

Tanpa keberanian mengambil risiko baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, maka penerimaan dan pemberian ruang kepada orang asing tidak akan pernah terjadi. Hospitalitas sebatas konsep dan akan bisa hilang lenyap. Namun sebaliknya, jika keberanian mengambil risiko itu dilakukan dan terwujud dalam perjuangan menghadirkan hospitalitas yang menghubungkan berbagai perbedaan siapapun, di manapun, kapanpun dan bagaimanapun, maka hospitalitas Allah akan memanifestasikan diri-Nya hadir melalui kata dan kalimat yang dipilih seorang pengkhotbah, namun khususnya melalui hospitalitas gerak tubuh pengkhotbah dalam menyajikan dan mendaratkan sabda kepada jemaat.     

Penyajian Khotbah

Penyajian khotbah adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari satu kesatuan khotbah. Definisi “penyajian khotbah” menurut saya adalah cara menyampaikan khotbah yang efektif kepada jemaat. Teks Alkitab harus dibaca dan diwartakan. Ketika konsep khotbah (tertulis) sudah disiapkan dengan baik, maka gerak maju berikutnya adalah mewujudkannya melalui penyajian khotbah. Konsep khotbah itu disuarakan, ditampilkan, dilakukan, disampaikan dan disajikan supaya “mendarat” kepada jemaat. Jana Childers dan Clayton J. mengungkapkan dalam buku mereka yang berjudul Performance in Preaching -Bringing the Sermon to Life bahwa, “The sermon must move, must be driven the way the text is” (Childers 1998, 41). 

Thomas H. Troeger dalam buku Ten Strategies for Preaching in a Multi Media Culture menegaskan perlunya menggunakan “strategi-strategi berkhotbah” dengan tulus dan kreatif (Troeger 1996, 7-8). Penyajian khotbah sesungguhnya bersumber dari segala potensi yang Tuhan sudah berikan ke tiap pendeta/pengkhotbah. Potensi dan kemampuan digunakan secara kreatif sesuai takarannya, selaras antara gerak tubuh dengan kata dan kalimat yang diucapkan dalam menyajikan khotbah. Sehingga pesan khotbah bisa benar-benar sampai di hati dan semua indra jemaat. Red B. Craddock pernah bertanya dalam buku Preaching, bunyinya demikian, “Apa yang akan menjadi pengalaman pendengar khotbah atas apa yang disampaikan oleh pengkhotbah pada kesempatan ini?” (Craddock 1985, 211) Ruthanna B. Hooke di bukunya Transforming Preaching tampak seperti menjawab pertanyaan Craddock, bahwa pengalaman itu adalah pengkhotbah “shows” adanya jembatan -juga jadi tersambung dengan definisi hospitalitas oleh Pohl yaitu: “a bridge which connects our theology with daily life and concerns” (Pohl 1999, 8) - yang saling menghubungkan semua, antara Allah dengan jemaat, serta jemaat dengan manusia lainnya:   

A sermon is the moment in the worship service when the preacher takes the word of Scripture and   the elements of the liturgy and seeks not only to explain them, but to make them relevant to the                         world today. In          the sermon the preacher shows why we should care about the Bible verses that                     have been read and the traditional words and actions of the liturgy. Why does all of this matter to                         us today? The preacher’s task is   to bridge a gap between the texts and tradition of the church, and       the world that we lives in now, and to show why the Christian faith is the best way to make sense        of this world and to give meaning to our lives. (Hooke 2010, 5)

Penyajian khotbah yang baik akan meningkatkan hubungan penerimaan dan saling memberi ruang di antara “tuan/nyonya rumah dan tamu,” dalam hal ini yaitu: Antara pengkhotbah dengan penerima khotbah / jemaat, dan inilah hospitalitas penyajian sebuah khotbah. Membangun hospitalitas khotbah bersama dan mengembalikan penyajian khotbah benar-benar sebagai respons dan refleksi hospitalitas Allah. Bermuara pada jemaat yang semakin mempraktikkan hospitalitas sehari-hari. Jemaat lebih bersedia menerima, peduli dan berbagi kepada orang asing dalam kehidupan nyata keluarga mereka, dalam gereja, juga ke lingkungan dan masyarakat. Para penerima sajian khotbah (yaitu jemaat) tidak hanya menerima, tetapi juga akan menyajikan “khotbah,” melalui hospitalitas gerak tubuh sehari-hari yang menerima dan merangkul semua perbedaan.

Gerak Tubuh dalam Penyajian Khotbah

Gerak tubuh atau bahasa tubuh (gesture/body language) tidak bisa dilepaskan dari kesatuan komunikasi ibadah, khususnya dalam sebuah penyajian khotbah. Bahkan menurut Delia Halverson dalam buku The Gift of Hospitality menegaskan, “In reality, communication is 7 percent verbal content, 38 percent tone of voice, and 55 percent body language” (Halverson 1999, 27). Jika teori ini dilanjutkan, maka maknanya adalah gerak tubuh kemungkinan lebih besar membawa dampak yang hospitable, bersama dengan penyampaian khotbah melalui lisan dan suara. Gerak tubuh pengkhotbah menjadi “komunikasi untuk semua” yaitu komunikasi yang merangkul semua perbedaan jemaat serta orang asing yang hadir dalam ibadah. Apa yang dilihat (bersamaan dengan apa yang didengar) bisa lebih kuat mengajak semua jemaat merasa diterima untuk mendengar hospitalitas firman Allah. Pohl pernah mengkritisi hal seperti itu: “Churches have generally done better with offering food programs and providing clothing closets than with welcoming into worship people significantly different from their congregations” (Pohl 1999, 160).

Sebab sebaliknya, gerak pengkhotbah juga bisa sama sekali berbeda dengan apa yang dikatakan. Hooke kerap merekam video gerak tubuh para muridnya di kelas khotbahnya: “Ketika mereka melihat rekaman tersebut dengan volume suara dimatikan, murid-murid dapat melihat bahwa tubuh mereka mengkomunikasikan sesuatu yang lain daripada apa yang dikatakan oleh Firman yang mereka sampaikan” (Hooke 2010, 103). Dalam buku yang cukup tua berjudul Chironomia, or a Treatise on Rhetorical Delivery karya Gilbert Austin, seorang pendeta yang juga adalah salah seorang tokoh retorika dunia, menjelaskan gerak tubuh dalam penyajian khotbah sebagai "tindakan dan posisi dari semua bagian tubuh" (Austin 1806, 133). Selama abad ke-18, pengkhotbah lebih suka menggunakan minimal gesture atau gaya kuno dengan sedikit gerak tubuh. Namun mengikuti pedoman Austin, pengkhotbah-pengkhotbah berikutnya terinspirasi untuk mensinergikan gerakan tubuh dengan kata-kata. Bisa lihat pada gambar-gambar (ilustrasi) di lampiran 1-4, Austin mengingatkan bahwa, “gerakan tubuh sebaiknya digunakan dengan penguasaan diri dan hanya berguna jika sesuai atau selaras dengan kata dan kalimat” (Austin 1806, 137).

Karena itu mungkin tepat isi tulisan Hooke bertema “engaging the body in preaching” dalam buku Transforming Preaching bahwa, “Kita membutuhkan pengkhotbah dengan kemauan dan kemampuan untuk membawa semua dirinya saat menyajikan khotbah. Menghadirkan Firman Allah itu dalam dan melalui tubuh, pikiran, jiwa dan suara” (Hooke 2010, 98). Juga pendapat senada oleh Tan Jin Huat dalam buku tulisannya Preacher, prepare yourself! bahwa, “Penyajian khotbah yang efektif seharusnya melibatkan integrasi yang tepat dari sejumlah faktor, menghasilkan penyajian khotbah yang baik. Ini termasuk penggunaan suara kita, ekspresi wajah kita, tatapan mata kita, gerak tubuh dari tangan, kaki, kepala kita dan cara postur tubuh” (Huat 2000, 274). Demikian pula pendapat James W. Cox dalam buku berjudul Preaching-A Comprehensive Approach to the Design and Delivery of Sermon menjelaskan, “Tidak hanya suara, tetapi juga seluruh tubuh dapat mengomunikasikan kebenaran Firman Allah. Gerak tubuh mengungkapkan jiwa, sebenarnya seluruh tubuh dalam tindakan dapat sangat meningkatkan efektivitas penyajian khotbah melalui dan bersama voice kalimat pengkhotbah” (Cox 1985, 253).

Todd Farley menjabarkan cukup lengkap tentang gerak tubuh yang perlu diperhatikan dalam sebuah penyajian khotbah sebagai berikut: “The Speaker’s Zero atau posisi nol/kosong sang penyaji khotbah, di titik ini jemaat mulai melihat pengkhotbah yang berdiri di depan, semua gerak dan gerakan (perpindahan) berlangsung dari dan kembali ke nol ini (bandingkan dengan lihat lampiran gambar/ilustrasi 7); The Head atau kepala sang pengkhotbah umumnya dipahami sebagai pusat simbol kehidupan, kepemimpinan, dan intelektual. Terkadang gerak kepala dapat menunjukkan lebih dari satu hal pada suatu waktu, seperti ketika miring ke samping saat merenung atau mengamati sesuatu yang bisa dimaknai dengan banyak arti; The Face atau wajah adalah bagian yang paling komunikatif dari tubuh. Ekspresi wajah mulai pertama dan terutama di mata, kemudian secara alami memancarkan ke seluruh wajah; The Chest atau dada mewakili visual nafas kehidupan, juga mewakili cinta dan emosi sang pengkhotbah. Pada pria, dada telah menjadi simbol tradisional tentang kekuatan, dan bagi seorang wanita, simbol keibuan yang mengasihi; The Arms atau lengan, memfasilitasi gerakan tangan dan meluaskan komunikasi  tangan. Simbol kemampuan untuk bekerja dan mencapai tugas (bisa lihat lampiran 7); The Hands atau tangan adalah gesture paling komunikatif kedua (setelah wajah), simbol konsep dan kekuasaan, arah, juga detail dari pemikiran pengkhotbah, manipulasi, kemampuan, dan kontrol. Coba lihat dan cermati ilustari dan beberapa gesture tangan pada lampiran 4; The Waist atau pinggang adalah tengah atau pusat dari tubuh. Simbolis jiwa, selera dan keinginan. Gerak tubuh yang melibatkan pinggang adalah termasuk bernapas dan berkomunikasi secara umum dengan  ‘menarik,’ sekaligus mendukung gesture dada; The Legs atau kaki, Farley menyatakan bahwa ‘the legs are primarily used to communicate concepts of direction, transportation, possession, and dominion;’ Keseimbangan, Waktu dan Tempat (Equilibrium, Time, and Space), bisa dilihat pada lampiran (ilustrasi) 7 yang digunakan Farley menegaskan bahwa, “Untuk posisi nol seorang pengkhotbah (speaker’s zero), keseimbangan harus benar-benar seimbang dengan hanya sedikit ke depan. .. Dari sudut pemandangan atas yang luas (bird’s-eye), menggambarkan komunikasi dasar les Equilibre dan pentingnya ruang gerak pengkhotbah (space) yang berkaitan dengan waktu khotbah (time)” (Childers 1998, 122-130).

Hospitalitas Gerak Tubuh dalam Penyajian Khotbah

Hospitalitas gerak tubuh penyajian khotbah sesungguhnya sudah dilihat dan dirasakan jemaat sejak pengkhotbah berjalan menuju altar (atau panggung), lalu berdiri di depan semua jemaat penerima khotbah. Postur tubuh yang tegap namun tidak kaku, natural, tenang dan siap menyajikan khotbah akan membuat kesan yang baik: Pengkhotbah (apakah ia sebagai pendeta jemaat atau pendeta tamu) yang sudah dikenal atau belum dikenal sama sekali oleh jemaat, tetap merasa diterima dan karena sang pengkhotbah siap menerima jemaat, dan begitu pula sebaliknya, membuat jemaat “memberi ruang,” bersedia menerima penyajian khotbah. Jemaat sudah mulai menangkap hospitalitas melalui gerak tubuh pengkhotbah yang terbuka menerima dan berupaya merangkul semua orang yang hadir dalam ruang ibadah, dan Yesus adalah contoh terbaik menurut Pohl: “Like Jesus, the best hosts are not completely ‘at home’ themselves. But still make a place of welcome for others” (Pohl 1999, 119).

Dalam makalah ini saya membatasi hanya dua terbesar bagian gerak tubuh dalam penyajian khotbah yaitu: 1. Wajah dan; 2. Tangan. Hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian khotbah khususnya bagian wajah dan tangan, terungkap dalam pendapat John Wesley yang dikutip Farley berbunyi demikian:

That this silent language of your face and hands may move the affections of those that see               and hear you, it must be well adjusted to the subject, as well as to the passion which you desire               either to express or excite. It must likewise be free from all affectation, and such as appears to be                  the mere, natural result, both of the things you speak, and of the affection that moves you to speak     them. And the whole is so to be managed, that there may be nothing in all the dispositions and       motions of your body to offend the eyes of the spectators. (Childers 2008, 118)

John M. Rottman dalam buku Performance in Preaching, juga mengingatkan bahwa semua pengkhotbah perlu memahami betul kekuatan gerak tubuh dalam penyajian khotbah (Childers 2008, 80). Dilengkapi dengan indah oleh Paul Scott Wilson dalam buku yang sama, demikian tulisannya, “Penyajian khotbah yang paling signifikan dari khotbah adalah tindakan Allah yang divina actio. Pengkhotbah, seperti pemain apapun, memberikan lebih dari tubuhnya sendiri untuk penyajian khotbah dalam relasi hospitalitas Allah dan dengan relasi hospitalitas manusia” (Childers 2008, 47). Thomas Ryan tambah menegaskan hal tersebut lewat tulisannya, “The Body Language of Faith” dalam buku Reclaiming the Body in Christian Spirituality bahwa, ”The human person is not a soul and body, but inspirited flesh, an animated body. One is one’s body and is one’s soul at one and the same time. Holistic spirituality challenges us to integrate all aspects of ourlives into our relationship with God” (Ryan 2004, 78).

Mengenai mimbar yang sering ditakutkan membatasi gerak tubuh pengkhotbah, sesungguhnya tidak akan berpengaruh besar, pengkhotbah tetap bisa “berhospitalitas” lewat gesture penyajian khotbahnya dengan tetap berada di mimbar. Mimbar (pulpit) memiliki tempat penting dalam arsitektur gedung gereja, Abraham Kuyper dalam buku Our Worship menjelaskan bahwa:

Lutheran principles posit an ecclesia docens, that is, there are official persons who represent the                  church and who, having been vested with high authority, bring believers on earth a message from                the Holy One of Israel. Because of that view the pulpit in true Lutheran chuches is always                positioned very high. The minister is to resemble a trumpeting angel from heaven who speaks to                  the congregarion from the top of Sinai or Zion. The congregation consists of “listeners” who have    come to listen. This is their only calling, and a good listener has to be quiet. (Kuyper 2009, 99)

Karena posisi mimbar yang sangat tinggi, apalagi jika khotbah disajikan selama dua jam, menurut Kuyper, “secara fisik/tubuh maka pengkhotbah sulit untuk mempertahankan postur, terlebih jemaat akan kesulitan tetap fokus mendengar khotbah, kebanyakan dari mereka pikirannya mengembara, ada yang mencari pengalihan, beberapa bahkan tertidur” (Kuyper 2009, 170). Menurut Kuyper hal seperti ini, tentang mimbar, posisi mimbar, posisi pengkhotbah, jemaat, durasi penyajian khotbah dan berbagai hal lain di seputar penyajian khotbah masih banyak yang harus dibenahi bersama-sama: ”And it is precisely that dozing doff in church that you will not find in other churches where the worship service is better organized, because liturgically the attention span is until it is time for the sermon. This would be quite an improvenment for our churches, and sooner or later we will have to adopt this practice” (Kuyper 2009, 170).

Dalam penggunaan mimbar, sebagian pengkhotbah mengatakan bahwa mimbar (ukuran besar atapun kecil) membatasi gerak tubuh dalam penyajian khotbah, tetapi bagi Farley: Pengkhotbah tetap memiliki seperti fleksible space atau ruang fleksibel menyajikan khotbah, yang terpenting apakah jemaat berhasil membuat “significant space” bahkan “symbolic space” (Childers 2008, 133) atas gerak tubuh pengkhotbah di mimbar (ataupun tanpa mimbar). Kuyper mengingatkan bahwa gedung gereja bukanlah  “sanctuaries” atau “tempat suci / tempat kudus.” Tetapi gereja adalah “places of assembly” (Kuyper 2009, 65) artinya tempat pembentukan. Segala sesuatu dalam gereja bisa diubah, tetapi segala sesuatu itu (termasuk mimbar) juga membentuk pengkhotbah dan jemaat.

Pengalaman saya (penulis) ketika ada mimbar, walaupun hanya setengah tubuh yang dilihat jemaat, pengkhotbah mesti tetap menyajikan khotbah dengan seluruh tubuhnya. Jaga jarak tubuh dengan mimbar, jangan mepet mimbar karena memberi kesan ketakutan, atau ada jarak pembatas dengan “berlindung pada benteng” mimbar. Nyamanlah dengan mimbar dan altar atau juga panggung tempat menyajikan khotbah. Pengkhotbah boleh menyentuh mimbar satu-dua kali dan menaruh Alkitab atau catatan kecil atau pointer di mimbar. Gunakan wajah dan tangan sebagai gesture hospitalitas kepada jemaat. Hindari menaruh dan menempelkan tangan terus di mimbar. Posisikan tubuh kita terbuka dengan pendengar khotbah, sehingga dengan gerak tubuh sepertinya pengkhotbah berkata, “jemaat aku terbuka untukmu, tidak ada penghalang/pembatas di antara kita” sehingga hospitalitas dapat diwujudkan. 

1. Wajah. “The facial expression should welcome the audience into the conversation” (Childers 2008, 122) demikian Fairley mengajak wajah pengkhotbah tersenyum atau ramah menyambut semua jemaat yang akan menerima khotbah. Gerak wajah hospitalitas adalah seperti gerbang atau pintu masuk jemaat, atau jembatan yang menghubungkan pengkhotbah dengan jemaat sebagai penerima khotbah. Seperti Pohl dalam bukunya Making Room berkata, “Hospitality begins at the gate, in the doorway, on the bridges between public and private space” (Pohl 1999, 95).                                                                                                                                                         Cukup banyak pendeta dengan sikap buruk, langsung sudah tidak hospitable bahkan di postur awal ia berjalan menuju altar atau panggung, ia bungkuk, ngawur, tubuhnya seperti mengerut dan menutup. Saat tiba di preacher zero, tidak percaya diri dan ketidaksiapan pengkhotbah akan langsung terpancar dan tertangkap jemaat melalui mimik wajah sang pengkhotbah. Elizabeth Newman dalam bukunya Untamed Hospitality pernah mengingatkan, “Hospitality is a practice and discipline that asks us to do what in the world’s eyes might seem inconsequential but from the perspective of the gospel is a manifestation of God’s kingdom” (Newman 2007, 174). Wajah ramah seorang pengkhotbah akan menjadi simbol dan pesan paling akurat kepada jemaat bahwa firman Allah yang dikhotbahkan adalah baik, dibutuhkan dan mengajak semua orang untuk menerima hospitalitas Allah. Seperti Pohl yang juga pernah menegaskan pendapatnya bahwa: “Hospitality is good for everyone” (Pohl 1999, 186).

Farley mengingatkan, “Once the speaking begins, expression flow as needed and should be perceived as natural, using theatrical expressions only when they are known to be an ‘act,’ or an obvious representation of characters or their emotions” (Childers 2008, 122). Tersenyumlah, seorang pengkhotbah dianjurkan memiliki kebiasaan wajah tersenyum tiap hari dan itu akan terbawa khususnya saat menyajikan khotbah. Senyum membuat hati gembira, baik bagi jemaat yang melihat dan hati si pengkhotbah sendiri. Kesegaran hospitalitas dari hati tulus akan saling berbicara lewat wajah tersenyum, santai dan berkomunikasi antara pengkhotbah dengan jemaat. Selanjutnya pengkhotbah bisa menggunakan mimik atau gerak wajah yang sesuai emosi kata dan kalimat yang dikhotbahkan. Harap diingat sesungguhnya tidak hanya pengkhotbah yang berbicara kepada jemaat, tetapi seperti Fred B. Craddock menegaskan dalam bukunya Preaching bahwa, “the listeners speak to the preacher before the preacher speaks to them” (Craddock 1985, 25). Sehingga antara si pengkhotbah dan pendengar khotbah dapat membangun hospitalitas bersama, “saling memberi dan menerima rahmat” (Nouwen 1994, 24) dan “so they find own gifts” (Pohl 1993, 180). Wajah-wajah dari semua hati yang saling menerima, akan mengembalikan hospitalitas pengkhotbah dengan jemaat sebagai wujud dari “wajah” hospitalitas Allah.

2. Tangan. Childers menekankan pentingnya gerak tangan yang terlibat dalam penyajian khotbah, di buku Purposes of Preaching ia menggambarkan demikian, “The body language of the preacher, use of hands, movement in the pulpit space or into the congregation seating area, stance behind the podium, use of the microphone, handling of distractions, and energy or engagement with the listeners is also reviewed” (Childers 2004, 58). Untuk berbagai bentuk gerak tangan, termasuk makna gerak tangan dan posisi gerak tangan bisa lihat dan perhatikan lampiran (ilustrasi) 5 dan 6.

Satu hal terpenting tentang perspektif hospitalitas melalui gerak tangan adalah: Melalui telapak tangan pengkhotbah. Lebih tepatnya melalui palm atau telapak tangan yang terbuka. Fairley menegaskan bahwa, “The open palm generally signifies concept of something being released-toward-another or being open-to receive-from-another” (Childers 2008, 125). Hospitalitas akan tampil dan dirasakan jemaat melalui gerak telapak tangan pengkhotbah yang terbuka, bukan punggung tangan atau telapak tertutup.[1]

Tambah menarik jika kita memperhatikan gambar “Tangan” Allah yang bisa kita temukan di mana-mana, dalam buku Performance in Preaching, Farley mengutip kalimat St. Agustinus demikian, “The souls of the righteous are in God’s hand: in whose hand are both we and our words” (Childers 2008, 125). Gambar telapak tangan Allah itu simbol dari penerimaan, memberikan berkat, penyelamatan-Nya dalam Kristus (dengan simbol tangan berlubang bekas paku), serta segala yang bisa mewakili berbagai “gerak tubuh” hospitalitas Allah. Tangan pengkhotbah adalah refleksi hospitalitas “tangan” Allah merangkul dan mengasihi semua orang juga segala ciptaan-Nya.           

Penting diingat juga catatan Farley bahwa, “The closed fist usually signifies the concept of retaining or gathering force” (Childers 2008, 125), karena itu hindarilah menyajikan khotbah dengan gerak telapak tangan tertutup, kepalan tinju dan membuat jemaat tidak at home, sama seperti ungkapan Pohl tentang hospitalitas adalah, ”Making people feel welcome and ‘at home’ ” (Pohl 1999, 154). Hindari juga menyajikan khotbah dengan menunjuk-nunjuk dan mengibaskan jari berkali-kali di depan dan ke arah jemaat, terkesan sangat arogan dan menghilangkan hospitalitas penyajian khotbah. Tetapi kekuatan hospitalitas akan tampak dalam gesture lengan tangan yang terbuka, istilah yang kerap saya katakan pada diri saya sendiri adalah “melebarkan sayap” tangan, mempraktikkan hospitalitas yang menerima semua dan menyambut semua.            

Beberapa catatan tambahan saya yang lain adalah tangan dan siku jangan seperti terikat. Sebaliknya gerak tangan jangan sampai kacau balau dan mengganggu fokus jemaat. Hindari tangan di pinggul, akan mengkomunikasikan pengkhotbah lebih berkuasa atas jemaat. Juga gerak tangan tergenggam bersama-sama dan terus-menerus, pengkhotbah memberikan rasa penolakan, jemaat merasa “lelah” melihatnya, pengkhotbah seperti merasa takut dan gugup. Begitu pula gerak pengkhotbah menempatkan tangannya di saku, walau pengalaman saya ini seperti membantu merasa santai, namun jika sebaliknya kita memperhatikan seorang pengkhotbah lain melakukan hal yang sama, sesungguhnya gerakan memasukkan tangan ke dalam saku celana akan lebih mengkomunikasikan rasa gugup atau terganggu. Lebih banyaklah menggunakan telapak tangan ke arah jemaat untuk menggambarkan arah atau posisi sesuatu. Contoh: "Naik ke Gunung Sinai," dengan gerak telapak tangan menunjuk ke atas.
            Gunakanlah juga gerak tangan untuk mengekspresikan “emosi” hospitalitas untuk semua.  Seperti Russell menampilkan justice sebagai bentuk hospitalitas dalam ibadah, khususnya Ibadah Minggu. Dengan mengacu beberapa pertanyaan di konteks Nabi Amos, ketika nabi Allah itu menemukan ibadah Betel, di Israel utara, mencerminkan ketidakadilan dalam masyarakat Israel saat itu (Russell 2009, 107). Sebaliknya ketika seorang pengkhotbah mengatakan, "Allah sangat mengasihi Anda semua” sambil tersenyum di wajah, pengkhotbah merentangkan dua tangan lebar-lebar dengan telapak tangan mengarah ke arah jemaat, maka hospitalitas Allah akan benar-benar menjadi milik semua. 

Ketika di akhir penyajian khotbah, gerak tangan pengkhotbah kembali ke zero speakers dengan tenang, seperti pendapat Marcel Marceau dikutip Farley berbunyi, “The speaker’s best zero hand position is naturally relaxed to the sides or placed on the podium” (Childers 2008, 126), memampukan hati jemaat semakin terbuka, berwujud di gerak tangan terbuka untuk saling menerima, gereja memberi ruang dan semua jemaat lebih menyajikan hospitalitas kepada orang asing yang lainnya.     

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        
Catatan Kritis, Sumbang Pendapat dan Refleksi

Dalam buku Mobilizing Hospitality, Jennie Germann Molz dan Sarah Bigson   berpendapat bahwa:

Hospitality is not offered to every stranger, nor does every stranger gratefully receive the gift (or                  debt) of hosptality. Similarly, not everyone is able to give hospitality to the stranger, not                   everyone is empowered to be hospitable. It is only to those recognized, identified, familiar,             welcome-able strangers who are generously given hospitality, and this gesture of hospitableness                   can only be made by those hosts who feel at home. (Molz 2016, 12)      

Karena itulah dibutuhkan gerak tubuh pengkhotbah yang bisa membawa jemaat, bersama-sama merasa “at home,” seperti istilah yang juga ditekankan oleh Pohl dalam buku Making Room (Pohl 1999, 154). Pengkhotbah mengomunikasikan hospitalitas kepada penerima khotbah, terlebih lagi hospitalitas di tiap gerak tubuh dalam penyajian khotbah kepada jemaat. Proses persiapan hingga tahap konsep khotbah (tertulis) adalah penting, namun penyajian khotbah adalah lebih penting. Mengomunikasikan firman Allah dan mempraktikkan hospitalitas kerajaan Allah kepada jemaat dari atas mimbar. Gerak atau bahasa tubuh menjadi bagian terbesar dan terpenting untuk meningkatkan pesan hospitalitas. Pendapat Amos Yong yang disebutnya the eschatological hospitality dalam buku Hospitality and the Other mungkin dapat menguatkan makna hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian sebuah khotbah yaitu, ”Christian mission participates in what I call the eschatological hospitality of God that anticipates the redemption of every nation, tribe, tongue, and people. Hence, Christian mission engages in the practices of the kingdom of God” (Yong 2008, 140).

Ada catatan menarik dari John C. Holbert dan Alyce M. Mckenzie dalam buku mereka yang berjudul What Not to Say, Avoiding the Common Mistakes that can Sink Your Sermon, menegaskan bahwa: Jangan pernah gerak tubuh seorang pengkhotbah menjadi “The Underestimator,” memandang rendah orang lain atau apalagi meremehkan orang-orang yang mendengarkan khotbah:

The ability to respect the mystery of people’s uniqueness, both as a group and as individuals, is a                gift from God to a preacher. It can come through in phrase: “ I’m guest preacher; I don’t presume                to know all about you and yoursufferings,” or “I’m going to speak for myself now, and if you                     recognize yourself in this, then come on in and join me.” You’ll come up with better phrases,                      and that you recognize and respect their uniqueness. (Holbert & Mackenzie 2011, 54)

Hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian khotbah yang menurut Wroblewski terwujud nyata ketika, “pengkhotbah tahu persis bagaimana menghormati serta menghargai orang lain - dan dirinya sendiri - sebagai orang yang bukan hanya penyedia tetapi juga penerima" (Wroblewski 2012, 143). Melalui gerak tubuh saling memenuhi kebutuhan hospitalitas yaitu saling menerima dan menghargai. Karena itu menurut saya, hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian khotbah dimulai bahkan sebelum mulut sang pengkhotbah dibuka. Seorang pengkhotbah yang baik tidak hanya memberitakan dengan bibirnya, tetapi dengan seluruh tubuhnya. Penyajian khotbah adalah kreasi yang kreatif, Tisdale menegaskannya dengan ungkapan,  “Sehingga kita bisa mengerti pentingnya penggunaan variasi dan improvisasi dalam penyajian khotbah” (Tisdale 1989, 122). Oleh karena itu menurut saya, setiap gerak tubuh pengkhotbah adalah bukan saja sebuah penyampaian hospitalitas, tetapi juga konfirmasi hospitalitas Allah bagi semua pendengar khotbah.   

Craddock menyatakan para penerima khotbah menginginkan kepastian dan keyakinan melalui gerak tubuh pengkhotbah: “Tetapi tanpa kesan mimbar yang terlampau serius, apalagi terkesan menghakimi. Yang terpenting adalah keyakinan pengkhotbah bahwa pesan yang disajikan dapat membawa perbedaan yang baik” (Craddock 1985, 218-219). Khususnya keyakinan akan konsep dan praktik hospitalitas dapat  “ditangkap” juga dirasakan jemaat dalam penyajian khotbah. Hospitalitas akan memengaruhi baik pengkhotbah maupun khususnya jemaat. Karena itu sejak pengkhotbah akan memasuki ruang ibadah atau tempat menyajikan khotbah, postur tubuh yang hospitable mungkin sudah dimiliki saat berjalan, memasuki ruangan, duduk dan khususnya saat berjalan menuju altar atau panggung, hingga tiba di belakang mimbar tempat “the speaker’s zero” (Childers 2008, 120). Dalam buku Open to Go (2015) yang ditulis bersama oleh Christina Brudereck dan kawan-kawan dinyatakan bahwa memperhatikan gerak tubuh sudah menyatu dengan pola pikir manusia dan kehidupan nyata masyarakat setiap hari: “Kita memiliki tubuh -bukan hanya pikiran, melainkan juga panca indera, otot dan tulang. Yang mendasari perbuatan kita adalah gambar dan cerita, bukan kebenaran abstrak. Gambar dan cerita tersebut menyatu dengan perbuatan jasmani, ‘liturgi’ kita sehari-hari, yang membentuk kebiasaan dan sikap kita” (Brudereck 2015, 101). Karena itu sebaliknya, menurut saya penting juga misalnya untuk selalu memperhatikan respons gerak tubuh jemaat, saat di kehidupan sehari-hari atau di luar ibadah Minggu, atau khususnya saat penyajian khotbah. Tanggung jawab ini perlu dilakukan pengkhotbah agar fokus para penerima khotbah (jemaat) tetap terjaga.

Marvin A. McMickle dalam bukunya Shaping the Claim mengingatkan: “Given the often unpredictable nature of the people who listen to sermons, who often manage to hear or think they have heard things not actually intended by our sermons, it is crucial that preachers deliver sermons that offer a single, compelling, clearly focused message, that invite a single emotional experience, that call for a single behavioral outcome, a next step, or a now what in mind”  (McMickle 2008, 76). Jika pendapat seperti ini dilanjutkan dan dikritisi, maka menurut saya akan tiba pada “tesis” atau “argumen/gagasan” bahwa mungkin bukan hanya mind (pikiran) yang memengaruhi gesture (gerak tubuh), tetapi sesungguhnya juga sebaliknya! Saya belum berani mengatakan yang pertama yang mana, apakah mind dulu ataukah gesture dulu? Tetapi satu yang mungkin bisa saya ungkapkan melalui makalah singkat ini bahwa: Gerak tubuh yang hospitable dalam penyajian khotbah, memengaruhi pola pikir hospitalitas siapapun, baik sang pengkhotbah dan khususnya mereka yang menerima khotbah.

Semua itu mungkin karena komunikasi penyajian khotbah sesungguhnya mayoritas ada pada gerak, tindakan dan melakukan. “Yesus Kristus sendiri jauh lebih sedikit berbicara tentang Kasih, dibandingkan Dia melakukan Kasih itu” (Childers 2008, 43) demikian pendapat Childres. Contohnya tindakan Yesus kepada perempuan Siro-Fenisia tanpa nama (Markus 7: 24-30), oleh David Lose, presiden dari Lutheran Theological Seminary di Philadelphia, Amerika Serikat, dipastikan sebagai praktik hospitalitas. Lose menyatakan bahwa, “Let's face it: Hospitality, for most of us, means being patient and polite while we wait for newcomers to become more like us. But can we understand hospitality as a willingness to be open to the distinct gifts and perspectives of someone who is different? Can we even imagine that hospitality is an openness to receiving people who are different from us as gifts of God given to change and stretch us?” (Lose 2012).

Pendapat Shawna Songer Gaines dan Timothy R. Gaines dalam buku mereka A Seat at the Table, menambah makna baru untuk praktik hospitalitas dalam penyajian khotbah hari Minggu, juga di kehidupan nyata di hari lainnya, dengan bunyi ajakan: “Set another place at the table” (Gaines 2012, 161). Mengingatkan semua pihak untuk tidak lupa, selalu bersiap sedia menyediakan tempat dan ruang di “meja hospitalitas” keluarga, gereja, masyarakat dan bahkan di “meja hospitalitas” dunia.

Sehingga hospitalitas gerak tubuh dalam penyajian seorang pengkhotbah akan semakin kuat menyampaikan pesan hospitalitas meja besar Allah. Rebecca Blair Young dalam orasinya di Ibadah dan acara Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (pada tahun 2011) berkata, “When we come and repose at the table that the Lord offers us, at the same time we are putting into practice the best ways to love, to pray and to eat. We come to the table that is overflowing with God’s generosity to us, with all kinds of delicious food and drink for us to enjoy and indulge in as we feast together” (Young 2011, 67).

Semakin lengkap dengan catatan teologis Russell dalam buku berjudul Church in the Round: Feminist Interpretation of the Church, refleksi kehadiran Kristus yang “melayani bukan dilayani” di satu meja besar kehidupan dunia, Russell menuliskan, “We move forward with whatever piece we have received in expectation that Christ will be present among us as we crowd together around the table with the one who comes to serve and not to be served (Mark 10:45)” (Russell 1993, 45).


Hospitalitas akan semakin mungkin menjadi gaya hidup, disadari, dibutuhkan dan dilakukan oleh semakin banyak orang lain yang berbeda-beda. Khususnya di konteks Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, kaya dengan perbedaan suku, agama dan ras, juga oleh jemaat dan umat manusia di seluruh dunia. Seperti ungkapan Amos Yong dalam bukunya Hospitality and the Other bahwa, “we need to go beyond this to work with people of other faiths so that such ministries can be jointly envisioned, owned, and operated” (Yong 2008, 157). Agar lebih banyak orang menerima hospitalitas Allah, karena jemaat terus dimampukan menyajikan “khotbah” melalui gerak tubuh yang hospitable kepada semua orang dengan berbagai perbedaan, tantangan dan krisis di kehidupan nyata sehari-hari.

 

 
 
 
 
 


 

Daftar Pustaka

Austin, Gilbert. 1806. Chironomia: A Treatise on Rhetorical Delivery. London: W. Bulmer.

Brudereck, Christina, dkk. 2015. Open To Go: Bagaimana menjadi gereja masa depan. Jakarta:   Gunung Mulia.

Childers, Jana. 1998. Performing the Word - Preaching as Theatre. Nashville: Abingdon   Press.

Childers, Jana and Clayton J. Schmit. 2008. Performance in Preaching -Bringing the Sermon to                Life. Michigan: Baker Academic.

Childers, Jana (ed). 2004. Purposes of Preaching. Missouri: Chalice Press.

Cox, James W. 1985. Preaching-A Comprehensive Approach to the Design and Delivery   of         Sermon. San Fransisco: Harper & Row, Publishers.

Gaines, Shawna Songer & Timothy R. Gaines. 2012. A Seat at the Table: A Generation                 Reimagining Its Place in the Church. Kansas City: Beacon Hill Press.

Halverson, Delia. 1999. The Gift of Hospitality: In Church - In the Home - In All of Life.                 Missouri: Chalice Press.

Hooke, Ruthanna B. 2010. Transforming Preaching. New York: Church Publishing.

Huat, Tan Jin. 2000. Preacher, prepare yourself!-towards better Preaching. Kuala Lumpur:           Good News Resources.

Kuyper, Abraham. 2009. Our Worship. Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company.

Lakawa, Septemmy Eucharistia. 2011. Risky Hospitality: Mission in the aftermath of                    religious communal violence in Indonesia. Disertasi Th.D., Boston University School of                   Theology.

Lose, David. Working Preacher. September 02,2012.http:/www.workingpreacher.org/craft.aspx?             post=1625 (diakses 10 Oktober 2016).

Molz, Jennie Germann & Sarah Bigson (ed). 2016. Mobilizing Hospitality - The Ethics of Social                 Relations in Mobile World. London & New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Nouwen, Henri J.M. 1975. Reaching Out: The Three Movements of the Spiritual Life. New                        York: Image Books.

Nouwen, Henri J.M. 1994. Tuhan Tuntunlah Aku: Renungan harian dalam Masa Prapaska.                      Yogyakarta: Kanisius.

Pohl, Christine D. 1999. Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition.               Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.

Russell, Letty M. 1993. Church in The Round: Feminist Interpretation of The Church.                   Louisville: Westminster John Knox Press.

Russell, Letty M. 2009. Just Hospitality: God’s Welcome ia a World of Difference. Louisville:       Westminster John Knox Press.

Ryan, Thomas (ed). 2004. Reclaiming the Body in Christian Spirituality. New York: Paulist           Press.

Sutherland, Arthur. 2006. I was a Stranger: A Christian Theology of Hospitality. Nashville:                       Abingdon Press.

Tatlock, Lisa and Pat Ennis. 2007. Practicing Hospitality: The Joy of Serving Others. Illinois:                    Crossway Books.

Tisdale, Leonora Tubbs, 1989, Preaching as Local Theology and Folk Art. Minneapolis:                Fortress Press.

Troeger, Thomas H. 1996. Ten Strategies for Preaching in a Multi Media Culture.   Nashville: Abingdon Press.

Wrobleski, Jessica. 2012. The Limits of Hospitality. Minnesota: Liturgical Press.

Yong, Amos. 2008. Hospitality and the Other: Pentecost, Christian Practices and the         Neighbor. New York: Orbis Books.

Young, Rebecca Blair. 2011. Love Pray Eat: God’s Love, Christian Prayer, and The Lord’s          Table. Orasi             Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: STT Jakarta.



(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak tidak rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)