07 Januari 2017

Tentang Buku "Making Room"


Lusindo Tobing 
(Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta) 
 
 
Making Room
 
Buku Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition adalah karya Christine D. Pohl, seorang profesor Etika Sosial Kristen di Seminari Teologi Asbury (Asbury Theological Seminary), Wilmore, Kentucky, Amerika Serikat. Isi buku ini terbagi menjadi sembilan bagian pelajaran, yang disusun Pohl ke dalam tiga cakupan besar yaitu: I. Remembering Our Heritage; II. Reconsidering The Tradition; III. Recovering The Practice. Hampir setiap bagian dimulai dengan pengenalan singkat, kisah tentang hospitalitas, atau perjalanan sejarah dan kemudian menyoroti poin-poin utama tentang hospitalitas.

Sedangkan untuk struktur laporan buku, saya bagi menjadi hanya dua bagian besar yakni: Hospitalitas dalam Making Room dan Catatan Kritis Sebagai Tanggapan.  

Pohl menggambarkan hospitalitas seperti satu jembatan, “hospitality as a framework provides a bridge which connects our theology with daily and concerns” (Pohl 1999, 8). Jembatan antara teologi dengan kehidupan manusia sehari-hari. Buku ini mungkin juga bisa dilihat sebagai jembatan yang menggugah dan menghubungkan semua pembacanya untuk menuju hospitalitas kekinian. Pohl menggabungkan pengalaman hidup pribadi, pendalaman beberapa ayat Alkitab, serta pemikiran beberapa tokoh seperti Henri Nouwen, Martin Luther, John Calvin, John Wesley dan lainnya. Kemudian menghadirkan beberapa contoh komunitas (Kristen) kontemporer yang sudah berpengalaman melayankan hospitalitas yaitu L'Abri Fellowship, L'Arche, Annunciation House, The Catholic Worker, Good Works, Inc., Jubilee Partners, The Open Door Community, St. John dan juga St. Benedict’s Monasteries. Dengan beberapa pendekatan tersebut, Pohl berusaha membuat pembaca bukunya mendapat pemahaman penting tentang menyambut dan menerima stranger (orang asing), juga semakin kaya inspirasi untuk mempraktikkan hospitalitas.



Gagasan utama (thesis statement) Pohl sebagai penulis buku, mungkin bisa dijabarkan sebagai berikut: Menghadirkan kembali hospitalitas sebagai tradisi Kristen, untuk menemukan jalan baru menuju praktik hospitalitas bersama-sama, “as guests and hosts to one another, and as hosts together to persons outside the community, we can learn new ways of hospitality” (Pohl 1999, 124). Sebagai “reflects and anticipates God’s welcome” (Pohl 1999, 187) hingga bisa menjadikan hospitalitas menjadi milik semua, karena “hospitality is good for everyone” (Pohl 1999, 186) dengan formula setia memberi ruang (making room) bagi orang asing.

Pohl menggabungkan kasih dengan kegigihan memberi keramahan di berbagai keterbatasan,  kemudian mengajak semua pembacanya membuka “pintu” hati dan pintu rumah dengan ramah (hospitable) menyambut orang asing, yaitu mereka yang dianggap berbeda, terpinggirkan, miskin, terbuang dan lemah. Secara etimologi, hospitalitas berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani “philoxenia.” “One of the key Greek words for hospitality, philoxenia, combines the general word for love or affection for peolple who are connected by kinship of faith (phileo), and the word for stranger (xenos)” (Pohl 1999, 31). Pohl selalu menganjurkan pembaca bukunya ini untuk menjadikan hospitalitas sebagai gaya hidup, wujud cinta kasih dan ekspresi dari iman sehari-hari. Menurutnya hospitality atau hospitalitas adalah cara hidup yang mendasar dari kekristenan. Pohl menegaskan bahwa, “Hospitality is a way of life fundamental to Christian identity. Its mysteries, riches, and difficulties are revealed most fully as it is practiced” (Pohl 1999, x).

                                                      

Hospitalitas dalam Making Room

Pohl dalam buku Making Room menghadirkan ulang tradisi yang sudah sejak lama ada dalam kehidupan komunitas kristen, yaitu: Hospitalitas. Disertai penjabaran, penegasan serta tantangan untuk mempraktikkan hospitalitas yang menurut Pohl bukanlah lagi sebagai pilihan. “Hospitality is not optional for Christians, nor is it limited to those who are specially gifted for it. It is, instead, a necessary practice in the community of faith” (Pohl 1999, 31). Kemudian Pohl mengemasnya dengan konteks yang lebih baru, bertaut erat dengan sejarah hospitalitas, juga berbagai pandangan teolog, dan tokoh gereja. Teranyam bersama testimony para pelaku hospitalitas yang merupakan kristalisasi pengalaman nyata mereka, dengan beberapa ayat Alkitab yang mendasari konsep hospitalitas. Semua konsentrasi tentang hospitalitas tersebut, diawali Pohl dengan membagikan pengalaman hidupnya sendiri. Pohl mengajak pembacanya mengingat kembali dan menyadari pentingnya memberlakukan hospitalitas. Khususnya sebagai pengikut Yesus, untuk bersedia selalu menyambut serta menerima orang asing dengan menyediakan ruang bagi mereka.

Because Hospitality is basic to who we are as followers of Jesus, every aspect of our lives can be                          touched by its practice. If we use hospitality as a lens through which to examine our homes,                      churches, jobs, schools, health care, and politics, might we see them differently? Can we make the                         places which shape our lives and in which we spend our days more hospitable? Do current                   practices within these settings distort hospitality or shut out strangers? (Pohl 1999, 150)     

Hospitalitas dalam bukunya ini, berangkat dari pengalaman hidup Pohl bersama para pengungsi dan orang-orang miskin di gereja lokal tempat ia bekerja. Sekitar 20 tahun sebelum ia menulis buku ini, Pohl mengaku sudah tersentuh dengan sesuatu yang sangat penting yaitu “hospitalitas,” walaupun bertahun-tahun sebelumnya Pohl mengaku sama sekali tidak mengenal kata hospitalitas itu. “During those years I did not have access to the vocabulary of hospitality” (Pohl 1999, ix). Pengalaman tersebut memperkaya pengetahuannya, sekaligus mengubah dirinya menjadi pribadi lebih baik khususnya dalam hal menerima mereka yang terabaikan.

My journey into hospitality began twenty years ago as I worked with refugees and poor people in                        my local church. Even before then, however, I had felt specially drawn to people with disabilities                    and to those troubled folks who simply needed a friend. I noticed how they were frequently                      overlooked in the busyness of everyday life and sensed that their invisibility was a loss to                             everyone. Often, as my life intertwined with theirs, I found myself enriched and changed. During                   those years I did not have access to the vocabulary of hospitality, but I knew intuitively that I had                                 touched on something very important. (Pohl 1999, ix)

Keteladanan kakek-nenek dari Pohl rupanya juga sangat mempengaruhi dirinya. Hal itu ditulis Pohl pada bagian awal buku ini, yaitu pada halaman penghargaan dan ucapan terima kasih (sebelum halaman daftar isi) yang bunyinya demikian, “In memory of my grandparents whose door was always open to family, friends, and strangers.”                                                        Dalam tulisan selanjutnya, Pohl menyediakan beberapa contoh hospitalitas di peradaban kuno sampai kepada hospitalitas yang kontemporer. Para pembaca dapat mempelajari lebih luas tentang hospitalitas sebagai praktik sentral dalam sejarah perjalanan kehidupan Kristen. Bagi Pohl, tradisi Alkitabiah menjadi sumber yang kaya untuk dipelajari. Misalnya, tentang gambar Allah sebagai tuan rumah yang ramah dan murah hati, dapat ditemukan hampir di seluruh Alkitab. Konteks Perjanjian Lama, menggambarkan Allah sebagai tuan rumah yang mencipta dan memberkati semua manusia. Lalu para penulis dalam Perjanjian Baru, melukiskan Yesus sebagai tamu yang rentan, orang asing yang membutuhkan, tetapi sekaligus tuan rumah yang ramah. “Like Jesus, the best hosts are not completely ‘at home’ themselves. But still make a place of welcome for others” (Pohl 1999, 119). Keteladanan Yesus adalah yang menyambut dan disambut.                                                         Lebih lanjut Pohl mengajak baik orang Kristen dan siapa saja untuk memperjuangkan hospitalitas. Berupaya akrab dengan pemaknaan Alkitab, teologi, misiologi, gereja dan sosial,    untuk mempraktikkan keramahan kepada orang asing, mereka yang terabaikan, kelaparan, haus, telanjang, sakit dan membutuhkan penerimaan. “Orang asing” menurut Pohl, adalah mereka yang terputus dari hubungan yang memberi ruang aman untuk hidup di dunia. Orang-orang yang rentan terlepas dari keluarga, komunitas, gereja, pekerjaan, dan bahkan sosial masyarakat. Pohl mengajak tiap pembaca untuk betul-betul melacak serta menyadari, apakah ada orang asing seperti itu di lingkungan sekitar rumah dan gereja kita? Berupaya menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan, menyambut dan membantu mereka menemukan ruang. Saling berbagi hospitalitas, bukan sekadar entertainment tetapi membuat orang asing menjadi at home.

Homes can be very modest, with little space to spare and few amenities, but they can be the site for    wonderful hospitality. Making people feel welcome and “at home” is not the same as entertainment.    One couple, with years of experience offering hospitality to countless people every day,      commented, ”When hospitality is viewed as entertainment, the house is never ready.” (Pohl 1999,                           154)

Oleh karena itu Pohl menantang para pelaku hospitalitas dan komunitas hospitalitas. Misalnya kepada gereja dengan para pendeta/pastor bersama pelayan lainnya yang berkepentingan, untuk mengadopsi "program hospitalitas" menjadi salah satu alat pembangunan dan pertumbuhan jemaat gereja.

Much entertainment, especially in the business world, is tied to gaining advantage. But churches                           face temptations as well. Faithful Christians are encouraged to entertain neighbors and coworkers                          because hospitality is a good setting for the latest outreach project. Concerned pastors are                          challenged to adopt a comprehensive “hospitality program” as a means to church growth.                         Hospitality sometimes seems little more than another marketing tool. (Pohl 1999, 144)

            Sehingga hospitalitas bukan sekadar tentang keramahan “tuan rumah kepada orang asing,” atau “yang kuat kepada yang lemah.” Tetapi menyadari kita semua adalah stranger, demikian Pohl memberi uraian yang berbentuk pertanyaan untuk mencerahkan pembaca tulisannya:

Does every stranger need hospitality? What makes someone a stranger? Aren’t we all stranger at                          some level? If welcoming strangers is important, how do we reduce the possible risks; how can we            get beyond some of the strangeness? Was it easier to offer hospitality in the past? Who needs                     welcome today? (Pohl 1999, 15)  

Dengan pengalaman pastoral dan pelayanan sosialnya bersama banyak pihak, Pohl realistis tentang adanya kerapuhan hospitalitas. Begitu pula berbagai tantangan dan godaan yang bisa menggagalkan sikap dan praktik hospitalitas. “Practicing hospitality always involves risk and the possibility of failure, but there is greater risk and loss in neglecting hospitality” (Pohl 1999, 14). Cara penulisan Pohl yang jujur seperti itu justru membuat pembaca semakin tertarik menelusuri tulisannya. Pohl juga berani menyatakan keadaan banyak gereja yang memprihatinkan dalam berhospitalitas, “today we face this danger as many churches ignore the urban poor or never notice the elderly or disabled people in their own communities” (Pohl 1999, 79).                                                                                     Oleh karena itu Pohl mengajak semua komunitas pelaku hospitalitas untuk tidak sekadar puas mengeksplorasi hospitalitas, namun berani merevitalisasi hospitalitas, terus bergerak melampaui tantangan yang ada dan saling memberi berkat dalam mempraktikkan hospitalitas. “They recognize personal practices that they will need to change in order to make welcoming strangers more possible” (Pohl 1999, 113). Menurutnya revitalisasi hospitalitas tidak cukup berfokus pada seluk-beluk hospitalitas keluarga, gereja dan komunitas kristen, Pohl sekaligus mengharapkan perhatian dari institusi lebih luas. Termasuk peran pemerintah untuk semakin berkomitmen melakukan hospitalitas “person-oriented” (Pohl 1999, 58), hospitalitas dari hati yang semakin manusiawi.

It is crucial for us to recover both house hold and church as key settings for hospitality. However,                         some hospitality concerns cannot be handled adequately by home or church; we must also                       recognize the important role government and large institutions now play in provision and                    protection. Nor should we minimize the necessity of some structural supports for poor people and                          aliens. But personal hospitality has an important place in contemporary life, and the central tenets of    Christian hospitality still challenge contemporary institutions to make their practices more humane                 and person-oriented. (Pohl 1999, 58) 

Buku Making Room juga menjadi buku pengingat agar pembaca bersedia menyambut mereka yang disebut orang-orang “the least” (Pohl 1999, 67) atau “yang paling hina.” Ungkapan Yesus dalam Matius 25:31-46 ini digunakan Pohl untuk menunjukkan keteladanan Yesus, selalu menyambut orang asing atau mereka yang rentan dan dianggap paling hina. Lebih menarik lagi, menurut Pohl, Allah di dalam Yesus tidak hanya menyambut mereka, tetapi sebenarnya disambut mereka. Pohl mengharapkan para pembaca bukunya menjadi lebih peka terhadap kehadiran Allah melalui orang asing, “we are more sensitive to what the guest is bringing to us, to what God might be saying or doing through her or him” (Pohl 1999, 68).

Salah satu wujud nyata dari hospitalitas menurut Pohl adalah makan bersama. Makan malam bersama misalnya, bergiliran menyediakan makanan di rumah, kegiatan gereja, atau di komunitas lokal. Menurut Pohl, “Most cultures, eating together expresses mutuality, recognition, acceptance, and equal regard” (Pohl 1999, 73) dan “shared meals are central to every community of hospitality - central to sustaining the life of the community and to expressing welcome to strangers” (Pohl 1999, 73). Pohl mengalaminya ketika berinteraksi dengan orang-orang asing di beberapa komunitas hospitalitas, menjadi sukarelawan, juga ketika bersama badan dan lembaga yang secara khusus melayani para pengungsi. Makan malam bersama tentu mengekspresikan peristiwa jamuan makan Yesus bersama para murid, atau juga saat Yesus makan bersama pemungut pajak, “He was a guest in the home of tax collectors, dined with sinners, and taught hosts to welcome those most likely to be excluded” (Pohl 1999, 73). Baik sebagai tamu atau sebagai tuan rumah, hospitalitas dapat jelas ditemukan pada pengalaman makan bersama.

Offering food and drink to one’s guests is central to almost every act of hospitality. Next to that, the   most important expression of welcome is giving someone our full attention. Over and over, guests and      practitioners noted the importance of taking time to talk and to listen to people’s stories. Even if it is                 only a brief encounter, giving someone our focused attention communicates welcome. (Pohl 1999,            178)

Dalam mempraktikkan hospitalitas, Pohl juga memastikan bahwa proses making room atau proses menyediakan ruang menerima orang asing, itu dimulai di pintu gerbang, di ambang pintu, ada jembatan antara ruang publik dan ruang pribadi. Menurut Pohl sangat penting untuk tetap menentukan dan menciptakan tempat di pintu gerbang sebagai awal ekspresi hospitalitas.

Hospitality begins at the gate, in the doorway, on the bridges between public and private space.                            Finding and creating threshold places is important for contemporary expressions of hospitality.                            Several communities of hospitality approach this issue in creative ways. In one case they                            established a large urban household easily accessible to strangers. (Pohl 1999, 95)

Kesadaran adanya pintu gerbang atau jembatan tersebut, menurut Pohl justru mengingatkan bahwa yang dulu sebagai orang asing, di kemudian hari bisa menjadi bagian dari komunitas dan masyarakat tersebut. Oleh karena itu menurut Pohl penting untuk, “such persons can interpret and discern situations, needs, and resources effectively” (Pohl 1999, 95).

Selain itu, Pohl juga memaparkan beberapa “kriteria” yang berlaku dalam praktik hospitalitas. Misalnya bahwa orang asing yang datang dengan keterampilan berharga, apalagi membawa sejarah hidup terkoneksi dengan tuan rumah, atau memiliki nilai-nilai diri yang baik, menurut Pohl kemungkinan lebih bisa diterima.

Strangers with some resources such as marketable skills, supportive family, or finances are                     usually easier to welcome than those who have no resources or connections. Strangers who bring with them a history, values, and commitments that are shared by their hosts usually find a more                ready welcome. (Pohl 1999, 100)

Sebaliknya untuk tuan rumah, Pohl menghadirkan kembali teladan Yesus. Sosok host yang tidak sepenuhnya ada “di rumah sendiri, marginal namun tetap membuat tempat, setia menyediakan ruang menyambut dan mengasihi orang asing. Pohl juga menekankan bahwa orang-orang di posisi marginal seperti Yesus cenderung lebih peka terhadap kebutuhan orang asing.

When we try to hide from the reality of human vulnerability and weakness, whether our own or                            others’, we shut out the people who manifest that condition most acutely. We certainly find it hard            to            imagine that we can receive help from the most marginalized people. Hosts who recognize the   “woundedness” in themselves and their ongoing need for grace and mercy, but continue to care for        others, find in God their sufficiency. Like Jesus, the best hosts are not completely “at home”                                 themselves. But still make a place of welcome for others. (Pohl 1999, 118-119)

Indikasi bahwa hospitalitas berlaku atau tidak, digambarkan Pohl bagai pintu yang dibuka atau ditutup. Pintu yang dibuka, menggambarkan penerimaan dan keramahan. Pintu yang ditutup bahkan dikunci, menggambarkan penolakan orang asing. Pohl menjadikan gambaran pintu yang terbuka atau tertutup ini sebagai salah satu gambaran paling kuat dari hospitalitas.

In offering hospitality, practitioners live between the vision of God’s Kingdom in which there is                             enough, even abundance, and the hard realities of human life in which doors are closed and locked,      and some needy people are turned away or left outside. A door -- open or closed -- is one of the                most powerful images of hospitality. Responses of “Yes, of course we have room - please, come                            in,” and “No, there’s no room tonight,” may be daily fare for hosts and guests, but these phrases also                distill difficult questions about boundaries, scarce resources, and a place within community. (Pohl                 1999, 131)

Pohl juga menguraikan beberapa hambatan, misalnya soal waktu dan prioritas manusia di masa kini, kesibukan yang begitu banyak dan harus dilakukan, membuat hospitalitas tidak mudah masuk dalam agenda kegiatan seseorang. Pohl mengajak pembaca bukunya untuk memastikan ulang prioritas hidup. “To offer hospitality we will need to rethink and reshape our priorities” (Pohl 1999, 171). Terlebih lagi, menurut Pohl, masih ada gereja-gereja yang cenderung menolak melakukan hospitalitas. Sulit menerima orang asing yang datang bahkan di saat dan dalam pelaksanaan ibadah mereka. “Churches have generally done better with offering food programs and providing clothing closets than with welcoming into worship people significantly different from their congregations” (Pohl 1999, 160).                                                                 Pohl mengingatkan juga tentang adanya risiko dan bahaya, yang bisa muncul dalam praktik hospitalitas kepada orang asing. Para pembaca dan semua pelaku hospitalitas diajaknya memilih untuk bertanggungjawab melindungi sekitarnya. Baik orang-orang dalam keluarga, komunitas dan kehidupan masyarakat, khususnya melindungi anak-anak, serta siapapun yang rentan dari kemungkinan bahaya dan risiko. Pohl mengajak pembaca bukunya bukan cuma khawatir, tetapi bersedia untuk “with less fear and more confidence” (Pohl 1999, 103) hadir melindungi orang lain. “We worry about risk and danger not only because of concerns about our own safety. Because of responsibilities to protect others in our families and communities from harm, especially children and other vulnerable persons, we must attend to the possible dangers” (Pohl 1999, 93).

Di bagian akhir Making Room, tulisan Pohl memastikan bahwa: Hospitalitas itu sesungguhnya baik untuk semua orang dan semua pihak. “Hospitality is good for everyone” (Pohl 1999, 186). Testimony banyak orang yang setia untuk terus melakukan dan membagikan hospitalitas sehari-hari, dihadirkan Pohl hingga akhir bukunya, mereka yakin berkata, “received more than they gave” (Pohl 1999, 186). Karena tanpa hospitalitas, menurut mereka, maka jiwa bisa menjadi layu, “without hospitality our souls would wither” (Pohl 1999, 186).  

                                            

Catatan Kritis Sebagai Tanggapan

Usai membaca Making Room, selain lebih mendalami tentang hospitalitas, juga membuat pandangan saya terhadap ayat-ayat dalam Alkitab jadi semakin masuk akal dan semakin mungkin untuk dilaksanakan. Termasuk ketika Pohl menggambarkan hospitalitas seperti jembatan yang menghubungkan teologi dengan kehidupan nyata sehari-hari, “a bridge which connects our theology with daily and concerns” (Pohl 1999, 8). Membuat saya sebagai pembaca teringat, misalnya tentang misi dari Tuhan kepada semua orang kristen dan gereja untuk menjadi “garam dan terang dunia” (Mat 5:13, Mark 9:50 dan Luk 14:34), mungkin jika semua penafsiran ayat-ayat tersebut “disatukan” lalu dipraktikkan, maka wujudnya adalah upaya, sikap, gerak dan perbuatan nyata dengan menggunakan “jembatan” yang bernama: Hospitalitas.

Tetapi Pohl kurang tajam untuk memastikan apakah hospitalitas itu hanya tanggungjawab bersama? Kumpulan beberapa orang pengikut Yesus, misalnya dalam format keluarga, atau yang lebih banyak jumlahnya yakni dalam gereja, dan komunitas penggiat hospitalitas lainnya. Seperti tulisan Pohl yang bunyinya, “because Hospitality is basic to who we are as followers of Jesus, every aspect of our lives can be touched by its practice” (Pohl 1999, 150). Atau sebaliknya? Pohl melihat hospitalitas itu sesungguhnya milik dan tanggungjawab pribadi juga (tiap satu orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus). Ataukah malah keduanya? Semakin saya mendalami tulisan Pohl dalam Making Room, semakin saya menemukan bahwa secara mendasar, hospitalitas adalah milik dan tanggungjawab pribadi. Tiap satu orang adalah satu orang asing untuk menerima satu orang asing yang lain. Saling menjadi orang asing, memberi ruang satu dengan lainnya, yang kemudian baru kemudian bisa disebut sebagai dan dalam hospitalitas (bersama).  

Dalam perjalanan hidupnya, Pohl menemukan “hospitalitas” dengan cara yang unik dan penuh misteri, “in mysterious way” (Pohl 1999, 187) atau “in the mysteries of hospitality to strangers” (Pohl 1999, 113). Pendapat Henri J.M. Nouwen dalam bukunya Reaching Out mungkin dapat membantu menjelaskan proses penerimaan tersebut, ia menuliskan, “from loneliness to solitude and from hostility to hospitality” (Nouwen 1975, 109). Pohl mengakui bahwa hospitalitas ditemukan dalam kebersamaan. Baik kebersamaan keluarga, dalam jemaat gereja dan berbagai komunitas penggiat hospitalitas. “As guests and hosts to one another, and as hosts together to persons outside the community, we can learn new ways of hospitality” (Pohl 1999, 124). Hospitalitas bersama, isinya saling menyambut satu orang asing atau beberapa orang asing. Kemudian bersama menjadi tuan rumah yang baik, terus bersedia memberi ruang kepada orang asing selanjutnya.                                    

Beberapa komunitas penggiat hospitalitas yang dihadirkan Pohl yaitu L'Abri Fellowship, L'Arche, Annunciation House, The Catholic Worker, Good Works, Inc., Jubilee Partners, The Open Door Community, St. John dan St. Benedict’s Monasteries, menurut saya, di satu pihak mendukung uraian Pohl tentang apa dan bagaimana praktik-praktik hospitalitas saat ini. Khususnya tentang adanya hospitalitas yang dilembagakan. Namun Pohl kurang menjelaskan lebih lanjut, kekurangan atau juga kelebihan komunitas hospitalitas yang melembaga tersebut. Karena kemungkinan besar, ada hal-hal yang “tambah” atau “hilang” bila dibandingkan dengan hospitalitas pribadi, hospitalitas dalam keluarga juga gereja, yang sebelumnya sudah ada. Apalagi jika masyarakat terlanjur menyamakan komunitas hospitalitas tersebut, dengan pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh departemen atau kementrian negara pada umumnya.                                                                          Pohl juga masih kurang menyentuh dimensi perempuan dalam bukunya ini. Di perjalanan hospitalitas sebagai tradisi, peran perempuan sangatlah besar dan penting. Arthur Sutherland dalam buku yang berjudul I Was a stranger: a Christian theology of hospitality, menegaskan bahwa, “During the time of emerging New Testament church, hospitality put women at the center of theological discourse and conflict” (Sutherland 2006, 41). Tetapi dalam buku Making Room, Pohl kurang menguraikan wacana seputar perempuan dalam sejarah dan praktik hospitalitas.

Belum lagi di kenyataan praktik hospitalitas, masih banyak stigma yang berpendapat bahwa urusan menyambut dan keramahan adalah melulu tugas perempuan. Bahkan dengan konotasi yang “merendahkan,” hanya seputar urusan di dapur, kesibukan seperti pelayan dan bahkan soal melayani kebutuhan seksual laki-laki. Itu bukanlah hospitalitas yang sebenarnya, sebab hospitalitas itu milik dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki. Bersama memberi ruang dari tiap hati dan pikiran yang tulus, menerima orang asing (perempuan atau laki-laki) bergabung menjadi bagian dari keluarga. Seperti Letty M. Russell yang mencoba melihat hospitalitas dengan melakukan “a feminist hermeneutic of hospitality” (Russel 2009, 43) dalam bukunya yang berjudul Just Hospitality. Letty menggunakan ungkapan itu untuk mengajak melakukan hospitalitas dalam dan dengan keadilan (justice hospitality) di tengah berbagai perbedaan. Making Room oleh Pohl seharusnya juga “menyediakan atau menambahkan ruang” bagi perempuan dalam tulisannya. Semakin menyadarkan pembaca serta berbagai pihak, khususnya para laki-laki, bahwa kehadiran dan peran perempuan berperan besar bagi pemahaman juga praktik hospitalitas.

Jika membandingkan tulisan Pohl dengan (misalnya) salah satu tulisan Henri J.M Nouwen dalam buku berjudul Tuhan Tuntunlah Aku, maka akan tampak Pohl langsung menempatkan konteks dan sosok Yesus sebagai contoh tuan rumah yang terbaik, “like Jesus, the best hosts are not completely ‘at home’ themselves. But still make a place of welcome for others” (Pohl 1999, 119). Hal ini bisa dimengerti karena Pohl berupaya mengajak pembaca bukunya untuk langsung mencari dan menemukan bentuk juga praktik hospitalitas kontemporer. Khususnya mempraktikkan hospitalitas seperti yang pernah dialaminya dan yang dijalankan oleh berbagai komunitas hingga sekarang. Tetapi agak berbeda dengan Nouwen, yang mengajak kembali terlebih dulu ke hospitalitas lama/semula atau yang sebenarnya. “Hospitalitas harus dikembalikan kepada makna yang sebenarnya” (Nouwen 1994, 23). Jika ini sudah dilakukan, maka menurut Nouwen, baru bisa ditemukan bentuk hospitalitas kontemporer, “sehingga dari situ akan terjelma kemungkinan-kemungkinan hidup yang baru.” (Nouwen 1994, 23). Bagi saya, pendapat Pohl dan Nouwen jika disatukan akan sangat menarik dan menghadirkan hospitalitas yang lebih bisa diterima banyak orang lain. Hospitalitas yang di satu sisi berakar kuat pada warisan tradisi kristen, sekaligus di sisi lain sangat mantap dalam praktik hospitalitas kontemporer yang selalu berupata mencari kemungkinan dan solusi baru dalam menjawab pergumulan-tantangan tiap zaman. 

Hal lain yang juga menarik, Pohl menegaskan tentang adanya batas dalam hospitalitas, yaitu perbedaan antara ruang publik dan ruang pribadi. Di antara kedua ruang (tempat atau locus) tersebut, terdapat pintu masuk-keluar. “Hospitality begins at the gate, in the doorway, on the bridges between public and private space” (Pohl 1999, 95). Soal locus, sebenarnya sudah cukup banyak disinggung Pohl, baik sebagai dimensi, maupun menyebutkan keterangan ruang, atau menunjuk tempat tertentu (misalnya keluarga, gereja dan tentang komunitas). Seperti ada tulisannya yang menyatakan, “hospitality practiced in the homes of Christian peolple is a key foundation for hospitality in the church” (Pohl 1999, 157). Tetapi hanya sedikit penjelasan Pohl tentang praktik hospitalitas, yang berhadapan adanya ketegasan batas dan terjadinya pembedaan. Penjelasan dari Pat Ennis dan Lisa Tatlock dalam buku Practicing Hospitality yang menekankan rumah dan keluarga menjadi awal proses hospitalitas, mungkin bisa menambah pemahaman dan pemaknaan para pembaca atas penegasan Pohl tadi. Bahwa sesungguhnya dalam praktik hospitaltas, prioritas utama adalah keluarga, fondasi awal dari hospitalitas adalah keluarga.

We see this modeled in the example of the Proverbs 31 woman. She fed, clothed, and managed her     household before extending her hand to the poor and needy (Prov. 31:10-31). The needs of her                      own family were met before she journeyed out into her community. (Ennis and Tatlock 2007, 74)      

Selain itu penggambaran Pohl tentang rumah (atau gereja atau locus manapun) yang memiliki “pintu tertutup atau terbuka,” tampaknya tidaklah semudah mengucapkan, “A door -- open or closed -- is one of the most powerful images of hospitality” (Pohl 1999, 131). Karena untuk menutup atau khususnya membuka pintu, memerlukan kemampuan tuan rumah membedakan kapan dan bagaimana menutup atau membuka pintu, khususnya dalam rangka menghormati tamu dan dirinya (tuan rumah) sendiri. Pendapat Jessica Wrobleski dalam buku The Limits of Hospitality tampaknya bisa melanjutkan penjelasan dan makna tentang batasan dalam pintu yang terbuka atau tertutup, dan tentang kapan tuan rumah menutup atau membuka pintu, antara lain:

Hospitality is not always a matter of simply opening a door; it is also requires the host’s ability to                         discern when and how to close it in order to respect others - and herself - as persons rather than simply providers and recipients. This does not mean that there are not times when it is appropriate to extend oneself beyond what is comfortable or convenient. (Wrobleski 2012, 143)   

Mungkin bisa semakin dilengkapi dengan pendapat Russell yang secara realistis menegaskan bahwa dalam hospitalitas memang ada batas-batas dan ada perbedaan. Tetapi semua itu tetap bersama, maksud Russell semua bersama disambut oleh Allah. Bersama terjalin dalam hubungan saling menerima, peduli dan berbagi.

When we think in a dualistic and hierarchical way about who is in or out, we also are more                     concerned about boundaries than about center and meaning of our common life. There are limits,                                but they are ours. We need to be realistic, so we can part of these relationships of care, but we also           do not need to limits God’s welcome. (Russell 2009, 117)

Sumbangan pendapat Russel ini membuat pembaca semakin jelas memahami bahwa tidak ada yang bisa membatasi hospitalitas Allah kepada semua. Hospitalitas justru menghubungkan manusia dan ciptaan yang berbeda-beda. “Hospitality builds relationships across difference and in this way ia a catalyst for community that is built out of difference” (Russell 2009,117).

Dalam rangka “hospitalitas untuk semua” tersebut, Pohl tidak banyak menghadirkan hospitalitas untuk atau kepada tuan rumah. Hospitalitas dalam buku Making Room ini sepertinya hanya untuk orang asing atau tamu. Pohl pernah bertanya, “Who needs welcome today?” (Pohl 1999, 15) Jawaban singkat dari pertanyaan ini adalah tentu semua orang sesungguhnya butuh disambut dan diterima. Termasuk penerimaan orang asing terhadap tuan rumah, sebagai pantulan hospitalitas yang dilakukan tuan rumah ke orang asing/tamu. Sebenarnya Pohl sudah menyinggung hal tersebut ketika ia menulis, “we are more sensitive to what the guest is bringing to us, to what God might be saying or doing through her or him” (Pohl 1999, 68). Tetapi lanjutan uraiannya belumlah mencukupi, akan menjadi indah dan bermanfaat jika Pohl juga menguraikan lebih luas tentang hospitalitas dari orang asing kepada tuan rumah. Hospitalitas kepada tuan rumah.

Terlebih ketika Pohl menuliskan kriteria-kriteria tertentu, yang menyatakan bahwa ada orang asing yang akan lebih mudah diterima, dan sebaliknya ada orang asing yang akan lebih sulit diterima oleh tuan rumah. “Strangers with some resources such as marketable skills, supportive family, or finances are usually easier to welcome than those who have no resources or connections” (Pohl 1999, 100). Hal seperti itu menurut saya, kurang bijaksana, walau mungkin Pohl pernah melihat atau mengalaminya di satu atau beberapa kejadian nyata. Karena ungkapannya itu bertentangan dengan gagasan, pengalaman, teori, pendapat dan bahkan ajakan yang ditulisnya sendiri sebelumnya. Pohl memang langsung (di alinea berikutnya dalam halaman yang sama hal. 100) menyatakan hal tersebut tidaklah mengikat. Tetapi dari sisi para pembaca, minimal bagi saya, Pohl telah melakukan “pengotak-ngotakan” bahwa sepertinya ada orang asing yang layak diterima dan ada orang asing yang layak ditolak. Itu juga bisa berarti bahwa tuan rumah dapat “pilih-pilih” siapa yang diterima dan siapa yang harus ditolak. Padahal sepanjang perjalanan tradisi, teori-konsep dan praktik hospitalitas, yang ada hanyalah kasih dan semangat menerima siapapun orang asing atau tamu yang datang, kapanpun waktunya dan bagaimanapun keadaan orang asing itu. 

Melakukan hospitalitas memang tidaklah mudah. Menjadi tuan rumah memang memiliki risiko, bahkan risiko yang besar. Namun di titik risiko itulah, maka iman, pengharapan dan kasih dalam Tuhan diuji dan dipertaruhkan. Menjawab tentang risiko dalam praktik hospitalitas, Pohl mengajak para pembaca bukunya untuk bertanggungjawab menjaga orang-orang yang ada di sekitar kita: “Because of responsibilities to protect others in our families and communities from harm, especially children and other vulnerable persons, we must attend to the possible dangers” (Pohl 1999, 93). Ketika ada keberanian mengambil risiko, barulah hospitalitas bisa terjadi. Jika tidak, maka hospitalitas hanya akan menjadi pengharapan dan angan-angan saja. Hal tersebut ditegaskan Septemmy Lakawa, di bagian akhir disertasinya yang berjudul Risky Hospitality bahwa tanpa keberanian mengambil risiko baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, maka penerimaan dan pelayanan penuh kasih kepada orang asing tidak akan pernah terjadi, bahkan hospitalitas kemungkinan bisa hilang.  

This final section of this chapter offers two images of mission as remaining and breathing. Both                           images reflect the fragility and the riskiness of practicing hospitality, of welcoming the Other into the      space of the self, in the aftermath of violence. The witness has to be able to enter the space of          remaining, the space where suffering remains yet love and the promise of life persists. In this           space, a witness must relearn how to breathe, how to be reconnected to her/his own body. The reconnecting to    one’s own breath requires the capacity to witness to the Spirit who breathes the breath of life from the          space where the breath of death remains and must be witnessed to. In this space, risky hospitality             manifests in two intertwined directions: toward the self (in opening a vulnerable space of trauma while            protecting it from being harmed again) and toward the Other (in welcoming the Other into the sharing       space of pain and healing). (Lakawa 2011, 486)

Tuan rumah harus berani “ambil risiko.” Di sisi lain, tamu atau orang asing juga memiliki risiko, ketika ia mengharapkan penerimaan untuk bisa menjadi bagian dari keluarga, jemaat gereja dan komunitas tertentu. Sehingga hospitalitas sesungguhnya menuntut tuan rumah dan orang asing bersedia saling menerima apa adanya, tanpa kriteria-kriteria tertentu, tak bersyarat, tanpa apriori, bahkan sesungguhnya tanpa mengharapkan kompensasi apapun.

Seluruh tulisan Pohl dalam buku Making Room, dengan kekurangan serta kelebihannya (mungkin termasuk dengan beberapa catatan saya sebelumnya di laporan buku ini), menurut saya berhasil mengajak para pembacanya untuk mewujudkan hospitalitas bersama yang saling memberi dan menerima rahmat. “This is an important insigh for both hosts and guests - the hospitality relationship allows people to give of themselves and doing so they find own gifts” (Pohl 1993, 180). Serupa dengan itu, Nouwen juga pernah mengingatkan hospitalitas dapat menjadi “keuntungan besar” bagi kedua belah pihak, baik tuan rumah dan tamu/orang asing, juga termasuk bagi dua pihak yang sedang bermusuhan.

Kalau sikap bermusuhan diubah menjadi hospitalitas, orang-orang asing akan menjadi tamu yang                     menyatakan janji-janji yang dibawanya serta kepada tuan rumah. Lalu pemisahan antara tamu dan                                 tuan rumah hilang, tidak ada lagi dan muncullah satu ikatan kesatuan yang baru. Dengan                                 demikian kisah-kisah dan Kitab Suci ini tidak hanya menyadarkan kita bahwa hospitalitas adalah                       keutamaan yang penting, tetapi juga bahwa dalam rangka itu tamu dan tuan rumah dapat saling                           memberikan rahmat dan saling memberikan kehidupan yang baru. (Nouwen 1994, 24)    

Karena itu hospitalitas penting untuk terus dilestarikan dalam konsep tradisi dan praktik nyata. Pada locus yang selama ini sudah digunakan, yaitu hospitalitas mulai dari keluarga, berlanjut melakukan hospitalitas dalam gereja dan kemudian hospitalitas dalam masyarakat luas. Misalnya dalam gereja, seharusnya gereja semakin menjadi locus atau tempat yang ramah menyambut orang asing. Mengembangkan semua pelayanan jemaat gereja untuk terus berada pada tema dan praktik hospitalitas. Termasuk mewujudkan nilai dan praktik hospitalitas dalam Ibadah Minggu. Untuk hal ini, perlu juga diakui bahwa Pohl dalam bukunya Making Room masih kurang menguraikan tentang hospitalitas dalam ibadah gereja. Bukan sekadar hospitalitas sebelum atau setelah ibadah, cukup ada penerimaan di pintu atau di luar gedung gereja. Tetapi benar-benar penyambutan dan penerimaan orang asing dalam liturgi, di pelaksanaan Ibadah Minggu misalnya. Padahal Pohl pernah mengkritisi, “Churches have generally done better with offering food programs and providing clothing closets than with welcoming into worship people significantly different from their congregations” (Pohl 1999, 160).

Menurut saya, ibadah Minggu bisa menjadi salah satu momen terpenting bagi orang asing atau siapa saja yang baru pertama kali datang menghadiri ibadah di satu gereja lokal tertentu. Gereja tidak boleh hanya puas dengan meningkatkan sikap penerimaan para ushers (penyambut umat). Tetapi serius meningkatkan “hospitable” dalam setiap ibadahnya, bersinergi dengan berbagai kegiatan anggota jemaat dalam program hospitalitas komisi dan wilayah. Misalnya melakukan doa dan berdoa dalam Ibadah Minggu (atau kesempatan jemaat berdoa kapanpun dan di manapun) dapat melakukan aktivitas liturgi dalam doa dengan topik hospitalitas. Menjadikan doa sebagai praktik hospitalitas, khususnya mendoakan orang asing.

Termasuk (mungkin bisa saya sebut sebagai) “hospitalitas khotbah,” yaitu hospitalitas dalam isi dan penyajian khotbah di ibadah Minggu. Hubungan penerimaan “tuan rumah dan tamu,” yaitu antara pengkhotbah dengan pendengar khotbah/jemaat, itulah hospitalitas. Sesungguhnya tidak hanya pengkhotbah yang berbicara kepada pendengar khotbah, tetapi seperti Fred B. Craddock pernah menegaskan dalam bukunya yang berjudul Preaching bahwa, “the listeners speak to the preacher before the preacher speaks to them.” (Craddock 1985, 25). Sehingga antara si pengkhotbah dan jemaat pendengar khotbah dapat membangun hospitalitas bersama, yang menurut Pohl bisa saling memberi dan menerima rahmat, “so they find own gifts” (Pohl 1993, 180). Kemudian bersama-sama mengembalikan hospitalitas mereka itu sebagai hospitalitas Tuhan. Semakin bersedia menyambut-Nya, menyembah, mensyukuri kasih dan mengasihi Firman dan membagikan cinta kasih penerimaan Allah. Muaranya adalah mempraktikkan hospitalitas, lebih bersedia menerima, peduli dan berbagi kepada orang asing lainnya yang ada dalam kehidupan jemaat dan gereja, juga ke dalam keluarga dan ke luar yaitu lingkungan dan masyarakat.

Selain itu teringat juga Elizabeth Newman yang dalam bukunya Untamed Hospitality pernah menegaskan, “Hospitality is a practice and discipline that asks us to do what in the world’s eyes might seem inconsequential but form the perspective of the gospel is a manifestation of God’s kingdom” (Newman 2007, 174). Apapun bentuk praktik hospitalitas, sekecil atau sederhana bagaimanapun yang diberikan melalui jemaat gereja kepada masyarakat sekitar lingkungan gereja misalnya, itu adalah manifestasi kerajaan Allah. Hospitalitas kepada petugas parkir di sekitar gedung gereja, para penjaja makanan-minuman, tukang koran, gojek dan lain-lain, dan terus meluas kepada mereka yang lapar, haus, miskin, sakit, terbuang, terkena bencana, terisolasi dan tidak berdaya.

Intinya berupaya terus menghadirkan program hospitalitas yang lebih kreatif, dipersiapkan dengan baik dan yang terpenting dilakukan. Membangun hospitalitas dari apa yang ada, apa yang dimiliki, mengidentifikasi layanan apa yang telah dan sedang diberikan, juga apa yang sesungguhnya bisa lebih disediakan (oleh rumah dan) oleh gereja lokal kepada orang asing. Karena itu menurut Pohl, hospitalitas tidak bisa instan. Sebaiknya dimulai dari hal yang sederhana, di proses waktu terus-menerus, setiap hari memperjuangkan hidup bersama dari hal-hal kecil untuk menjadi semakin baik. Pohl menegaskan bahwa, “we do not become good at hospitality in an instant; we learn it in small increments of daily faithfulness" (Pohl 1993, 176).

Dengan proses waktu yang panjang, terus-menerus dan tidak mudah tersebut, menurut saya justru mengkondisikan hospitalitas semakin diterima orang lain dan pihak lain. Hospitalitas akan semakin mungkin menjadi gaya hidup, disadari, dibutuhkan dan dilakukan oleh semakin banyak orang lain yang berbeda-beda. Seperti ungkapan Amos Yong dalam bukunya Hospitality and the Other bahwa, “we need to go beyond this to work with people of other faiths so that such ministries can be jointly envisioned, owned, and operated” (Yong 2008, 157). Di keberlangsungan jauh ke depan, harapan saya, juga mungkin harapan semua pembaca, didasari pengharapan dari Russell melalui tulisannya bahwa, hospitalitas nanti bukan lagi sebagai tradisi kristen saja, tetapi akan bisa menjadi “tradisi universal.” Seperti Pohl pernah menegaskan pendapatnya (dan saya setuju dengan Pohl) bahwa: “Hospitality is good for everyone” (Pohl 1999, 186).

 
 
 
 
 
 
 


Daftar Acuan

Craddock, Fred B. 1985. Preaching. Nashville: Abingdon Press.

Lakawa, Septemmy Eucharistia. 2011. Risky Hospitality: Mission in the aftermath of                        religious communal violence in Indonesia. Disertasi Th.D., Boston University School of                     Theology.

Newman, Elizabeth. 2007. Untamed Hospitality: Welcoming God and Other Strangers. Michigan:   Brazos Press.

Nouwen, Henri J.M. 1975. Reaching Out: The Three Movements of the Spiritual Life. New               York: Image Books.

Nouwen, Henri J.M. 1994. Tuhan tuntunlah aku: Renungan harian dalam Masa Prapaska.             Yogyakarta: Kanisius.

Pohl, Christine D. 1999. Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition.

Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.

Russel, Letty M. 2009. Just Hospitality: God’s Welcome ia a World of Difference. Louisville:                       Westminster John Knox Press.

Sutherland, Arthur. 2006. I was a stranger: a Christian theology of hospitality. Nashville:                Abingdon Press.

Tatlock, Lisa and Pat Ennis. 2007. Practicing Hospitality: The Joy of Serving Others. Illinois:                       Crossway Books.

Yong, Amos. 2008. Hospitality and the Other: Pentecost, Christian Practices and the Neighbor.      New York: Orbis Books.

Wrobleski, Jessica. 2012. The Limits of Hospitality. Minnesota: Liturgical Press.
 
 
(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak tidak rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar