07 Januari 2017

Tentang Buku "Just Hospitality"



Lusindo Tobing (Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta) 
 

 
Just Hospitality
 
Buku Just Hospitality: God’s Welcome in a World of Difference adalah buku terakhir (tertera di cover belakang buku) dari Letty M. Russell, seorang teolog feminis terkemuka di dunia dan anggota dari fakultas Yale Divinity School. Buku ini baru terbit (Tahun 2009) sekitar 2 tahun setelah Russell meninggal dunia (Tahun 2007), ketika dua orang editor buku yang juga adalah kolega Russell (yaitu J. Shannon Clarkson dan Kate M. Ott) berkeinginan mengumpulkan tulisan-tulisan Russell. Mereka sempat bercerita, “Kate Ott and I turned on Letty’s computer to see what was there. Not surprisingly, we found many files and folders related to hospitality. We found speeches, articles, class lectures, and notes” (Russell 2009, xvii). Kemudian dengan dibantu beberapa murid Russell, mereka mengerjakan penyusunan buku ini dan akhirnya, terwujud menjadi buku Just Hospitality.                                                                             Isi buku dibagi menjadi lima cakupan besar yaitu: 1. Why Hospitality?; 2. The New Hospitality; 3. Riotous Difference as God’s to the Church; 4. Reframing a Theology of Hospitality; 5. Just Hospitality. Russell mengajak semua pembacanya memikirkan kembali apa artinya menjadi orang Kristen di konteks saat ini, yakni berani hidup bersama dalam berbagai perbedaan dengan orang lain. Kemudian ia menunjukan bahwa di hadapan Allah, sesungguhnya tidak ada orang yang “lain/berbeda.”

Sedangkan untuk struktur laporan buku, saya bagi menjadi tiga bagian besar yakni: 1. Hospitalitas dengan Just Hospitality; 2. Justice dengan Just Hospitality; dan 3. Catatan Kritis Sebagai Tanggapan.            

Gagasan utama (thesis statement) Russell mungkin bisa dijabarkan sebagai berikut:  Membentuk ulang definisi dan praktik hospitalitas menjadi, “Hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out across difference to participate in God’s actions bringing justice



and healing in our world of crisis and our fear of the ones we call ‘other’” (Russell 2009, 53), menantang kesediaan hati, rasional dan perbuatan untuk benar-benar terbuka menerima cara pandang dan sikap orang asing bahkan yang sangat jauh berbeda. Menuju kemitraan yang saling menerima, antara orang kristen bersama semua pihak (yang berbeda-berbeda tadi) bergabung dalam perjuangan keadilan: Hospitalitas dengan Keadilan atau Just Hospitality.                           

 

1. Hospitalitas dengan Just Hospitality

Russell di awal bukunya langsung menampilkan definisi hospitalitas yang sudah ada sebelumnya, dengan mengutip pendapat Christine D. Pohl dalam buku Making Room yang bunyinya demikian, “Hospitality is not optional for Christians, nor is it limited to those who are specially gifted for it. It is, instead, a necessary practice in the community of faith” (Pohl 1999, 31). Kemudian Russell mendefinisikan ulang bahwa hospitalitas adalah praktik dari penyambutan Allah yang menjangkau dan merangkul berbagai perbedaan, “Hospitality is the practice of God’s welcome by reaching across difference to participate in God’s actions bringing justice and healing to our world in crisis” (Russell 2009, 19). Bahkan Russell menampilkan ulang uraian senada, hingga beberapa kali, antara lain:

I understand hospitality as the practice of God’s welcome, embodied in our actions as we reach                            across difference to participate with God in bringing justice and healing to our world in crisis.       (Russell 2009, 2)

I suggest that hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out across difference to                              participate in God’s actions bringing justice and healing in our world of crisis and our fear of the                             ones we call “other.” (Russell 2009, 53)

Sedangkan kata “Just” pada Just Hospitality, adalah singkatan dari “Justice” atau “Keadilan.” Definisi yang mungkin lebih lengkap dari Russell sebagai berikut:

Just hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out across difference to participate in      God’s actions bringing justice and healing in our world of crisis and fear of the ones we call “other.”       To live out God’s welcome as just hospitality is a calling and a challenge. As strangers ourselves, and     strangers to so many other people, we have the possibility of partnering with others as a sign of God’s    concern for us all, and for all creation. Hospitality is not the only answer to difference, but it is a                    challenge to us, pointing us to a future that God intends, where riotous difference is welcomed.                       (Russell 2009, 101)

Russell ingin menegaskan bahwa perjuangan keadilan, tidak bisa dilepaskan dari upaya penyambutan serta praktik penerimaan tamu/orang asing, “The sort of hospitality that makes this possible would be one that sees the struggle for justice as part and parcel of welcoming the stranger” (Russell 2009, 106). Perjalanan tulisannya memberi pengetahuan dan inspirasi kepada pembaca, untuk mengeksplorasi hospitalitas sebagai tradisi Kristen, menuju “hospitalitas dengan keadilan” sebagai jawaban atas panggilan hospitalitas yang sudah ada sebelumnya. Bahkan Russell bersyukur jika memang Just Hospitality dapat menjadi kelanjutan panggilan Allah untuk melakukan hospitalitas bagi semua orang. “I give thanks for the continuing experience of God’s call to hospitality to all” (Russell 2009, 22). Karena itu, setiap pembaca bukunya diharapkan lebih maju dari pengetahuan hospitalitas yang ada sebelumnya, kemudian lebih berani menerima tantangan hidup di tengah perbedaan yang sangat tajam (riotous difference), untuk terus memberi ruang dan menjamu orang asing: “Hospitality is not the only answer to difference, but it is one way to respond to this challenge. It points us to the future that God intends, where riotous difference is welcomed” (Russell 2009, 74).

Sebab menurut Russell segala perbedaan itu sesungguhnya bisa diterima di dalam proses hospitalitas. Semua berkedudukan sama, bukan untuk dijadikan sama, tetapi sebagai mitra satu dengan lainnya dalam memberlakukan keadilan. Hospitalitas dengan keadilan membuat semua pihak untuk bersama-sama melihat perbedaan dan keanekaragaman itu adalah anugerah dari Allah, bahkan bagi Russell, bisa disamakan dengan anugerah iman, pengharapan dan kasih.

Hospitality is a gift of God to us, one that we need to practice, so that we are more open to its                                blessing. Like the gifts of faith, hope, and love, hospitality has to be used. It is a relationship to be                           shared, not buried in a field, or in our studies, or in our jobs. Hospitality builds relationships                          across difference and in this way is a catalyst for community that is built out of difference.                      (Russell 2009, 117)

Praktik hospitalitas dijadikan Russell sebagai isu sentral, yang ditawarkan kepada jemaat atau gereja untuk lebih peduli kepada orang asing di locus berbeda, dan dengan budaya yang lebih beragam. Walaupun Russell tahu persis, baik dari perjalanan sejarah hospitalitas maupun pengalamannya, gereja tidak selalu bersedia menjadi tempat praktik hospitalitas dengan keadilan. Namun hal tersebut malah semakin menguatkan upaya ia berteologi, Russell berkata, “I seek to connect action and reflection by asking about all the ingredients in our theology: experience, social reality, tradition, and action” (Russell 2009, 1).

Kemudian dengan pertanyaan seperti, “Who is missing?” (Russell 2009, 14) juga pertanyaan, “Siapa yang belum diterima dan diberi ruang?” bahkan, “Siapa yang suaranya selama ini tidak didengarkan?” Russell berupaya mengubah pendapat yang sudah umum tentang hospitalitas. Sekaligus menantang pembaca di tiap komunitasnya masing-masing, untuk memastikan kembali apa arti sesungguhnya memberi ruang kepada orang asing. Russell juga ingin menunjukkan sambungan antara realitas sosial yang ada, berbagai fenomena dan dimensi manusia, termasuk gerakan feminisme dan berbagai upaya kepedulian kepada kaum marginal, dengan hospitalitas yang sudah lama telah menjadi tradisi kristen. Menjadi bahan penting bagi para pembaca bukunya untuk berefleksi, dan berjuang melakukan just hospitality di keseharian, sebagai praktik nyata dari God’s hospitality.

Practicing God’s hospitality means that I am constantly looking for ways to empower other outsiders in the institutions where I work and live. I always have to ask myself as I gather with group.”Who is         missing? Who are the ones whose voice is not heard?” As a Christian I learned to do this from the    gospel message of Jesus Christ, and I have found that these question also help to make sense of the rhetoric of feminist movement. (Russell 2009, 14)

Dengan bersyukur karena bisa terus menghadirkan hospitalitas Allah yang menerima semua, Russell sungguh-sungguh menegaskan bahwa hospitalitas adalah proses yang membutuhkan solidaritas dengan "yang lain". Bersama-sama menghadirkan panggilan Allah untuk memperjuangkan keadilan dan kedamaian bagi dunia, meminta gereja dan semua pihak bergabung dalam perjuangan melakukan hospitalitas dengan keadilan, hospitalitas untuk semua.

I give thanks for the continuing experience of God’s call to hospitality to all. As we pray for the                            renewal of the church as an instrument of justice and peace in the world, we must stand in                         solidarity with strangers by working against the oppressive structures that make them outsiders       within their own societies. In the process we may discover God’s hospitality in our own                         communities. (Russell 2009, 22)

Dua bab pertama buku ini menjadi cukup penting dalam rangka menjelajahi pemikiran Russell. Ada semacam otobiografi dan dilengkapi dengan ringkasan dari tema-tema yang umum seputar hospitalitas, juga hospitalitas dengan keadilan (just hospitality). Berlanjut bersama uraian Russell yang menulis tentang kolonialisme, imperialisme, kebijakan politik yang meremehkan dan menindas masyarakat termasuk gereja. Dari berbagai sudut hermeneutika termasuk hermeneutika feminisme, Russell juga coba menjawab berbagai perubahan dunia dan tantangan untuk menerima orang lain yang berbeda: “In facing the challenge of a world of abundant difference and more than abundant experiences of exclusion and suffering, often rooted in a disdain for the ‘other,’ a feminist hermeneutic of hospitality can make it clear that in God’s sight no one is ‘other’” (Russell 2009, 43).

Berdasarkan hermeneutik hospitalitas dan dengan dinamika kekuatan teologi yang konstruktif dari berbagai perbedaan itu, Russell mengusulkan agar pembaca bukunya membuat strategi konkret agar lebih banyak mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan, dan dengan berani Russell menyatakan bahwa, “God’s concern to welcome all persons and seek unity through the practice of hospitality. Hospitality is an expression of unity without uniformity. Through hospitality community is built out of difference, not sameness; there is no “either/or,” “right/wrong,” “win/lose” (Russell 2009, 65). Sebab sesungguhnya komunitas hospitalitas dibangun dari perbedaan, bukan dari kesamaan. Sehingga tidak ada “baik / atau tidak baik,” “benar / salah,” dan “menang / kalah” dalam praktik hospitalitas dengan keadilan. Hospitalitas dengan keadilan adalah ekspresi dari kesatuan tanpa keseragaman.

 

2. Justice dengan Just Hospitality

Sebagai seorang teolog, Russell mengajak pembaca bukunya lebih melakukan reframes hospitalitas, ”We turn now to reframing the idea of hospitality through identifying characteristics of God’s gift of welcome” (Russell 2009, 77). Russell menggunakan pemaknaan beberapa tema dan kisah yang ada dalam tradisi Ibrani, di konteks Perjanjian Lama, dan hubungannya dengan tradisi Kristen, lalu misalnya menyerukan “the meaning of safe space” (Russell 2009, 86) dalam kehidupan manusia. Berbarengan dengan itu Russell membahas juga aspek penerimaan dari Allah di konteks Perjanjian Baru, ia menyatakan bahwa, “In both the Hebrew Bible and the New Testament, God’s hospitality also involves welcome of and advocacy for the marginalized” (Russell 2009, 83). Selain itu, Russell juga menampilkan tentang mutual welcome di konteks Perjanjian Baru, tepatnya dalam dimensi Surat-surat Rasul Paulus:

Mutual welcome is another characteristic of hospitality. Hospitality is a particular theme in Paul’s                        letters as the apostle seeks to create community in his little house churches. Whether within the                              community or between the community and those outside, the hospitality he speaks of is to be one of             mutual welcome. He urges members to live in harmony with one another, in particular, overcoming                 the disagreements between Gentile and Jewish Christians over the requirements of the Jewish Law.      (Russell 2009, 83-84)

Russell mengupayakan keterbukaan untuk menempatkan hospitalitas ke dalam frame/bingkai yang baru. Juga seperti Paulus, Russell mendesak para pembacanya untuk bersedia hidup dalam harmoni satu sama lain, khususnya untuk mengatasi berbagai perbedaan (sekali lagi, bahkan di perbedaan yang sangat berbeda sekalipun), dengan terus berjuang mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan, “The solution is to reframe the way we practice hospitality and thus deform, re-form, or reshape our previous notions” (Russell 2009, 80).

Hal lain lagi yang menurut Russell sangat mendasar bisa dilakukan adalah men- "decolonizing" (Russell 2009, 82) pikiran. Menolak pandangan bahwa Kekristenan adalah kebenaran yang paling dominan, dan berbagai ajaran serta tradisi yang berbeda perlu untuk "diselamatkan, didominasi, dan dikendalikan". Kembali Russell serius mengajak semua pembacanya membingkai ulang format hospitalitas, menjadi hospitalitas yang lebih tulus untuk siap bermitra dengan siapapun yang “berbeda” atau “lain”, dan bukan lagi hanya sebagai hospitalitas berbentuk amal atau hiburan belaka / entertainment: 

When we decolonize our minds, we begin thinking from the margins rather than as from the center.      We reframe hospitality as a form of partnership with the ones we call “other,” rather than as a form of   charity or entertainment. One way to go about this metanoia, or conversion in our thinking, is to                reexamine the biblical tradition in order better to understand what God’s welcome and hospitality are             all about. (Russell 2009, 82)

Russell kemudian menjabarkan “Just” (pada topik dan judul bukunya: Just Hospitality) yang kepanjangannya adalah “Justice” (keadilan) dengan lebih mendalam diuraikan pada bab paling akhir (bab 5). Kemudian dilengkapi Russell dengan peninjuan Kitab Amos, yang berlanjut menjelaskan tentang keadilan sebagai hospitalitas dalam ibadah kristen. Serta tentang adanya “batasan” atau “limits” (Russell 2009, 116) , Russell mengakui bahwa dalam hospitalitas antar manusia tetap ada batas. Namun ia sekaligus memberi pencerahan bahwa perbedaan, pembatasan dan halangan apapun, tidak boleh dan tidak akan bisa membatasi hospitalitas Allah kepada semua manusia dan ciptaan-Nya. “There are limits, but they are ours. We need to be realistic, so we can be part of these realtionships of care, but we also do not need to limit God’s welcome” (Russell 2009, 117).   

Semakin menarik ketika pembaca menyadari adanya metode “pembatasan” juga dalam gaya penulisan Russell, yang kerap menjelaskan sesuatu dengan runtut, menggunakan poin-poin dan pola tertentu. Misalnya ketika ia dengan yakin menjelaskan bahwa sesungguhnya ada empat “underlying understandings essential” (Russell 2009, 118) untuk mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan di dalam dunia yang penuh perbedaan, yaitu: “1. Clarity of mission; 2. Reexamination of the Bible and traditions; 3. Partnership and power; dan 4. The goal of justice” (Russell 2009, 118-124). Kemudian tidak ketinggalan seperti pada akhir tiap bab sebelumnya, dengan konsisten Russell menutupnya dengan pertanyaan-pertanyaan, untuk lebih menggugah makna di seputar tantangan mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan.

Salah satu ungkapan yang bagus dari Russell dalam buku Just Hospitality ini adalah, “Perbedaan adalah anugerah.” Menurut Russell, “Difference is the gift that challenges us to practice such hospitality by resisting oppression and working for full human life and dignity for those with whom we stand in solidarity” (Russell 2009, 106). Hospitalitas membangun hubungan solidaritas manusia di seluruh perbedaan, dan Russell selalu menempatkan dirinya (minimal) sebagai seorang perempuan kulit putih, teolog feminis, seorang pendeta dan pengajar serta aktivis yang terlibat dalam begitu banyak program ekumenis dan perjuangan keadilan. Termasuk dalam pembahasan tentang pembatasan orientasi seksual, Russell dalam bukunya ini juga mengkritik adanya “textual harassment,” bahwa sejak lama ada teks tertentu dari Alkitab yang digunakan untuk membatasi atau merugikan seseorang dalam hal orientasi seksualnya. Termasuk lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang menurut Russell seharusnya juga mendapatkan ruang lebih luas dalam hospitalitas dengan keadilan.

“Textual harassment” describes situations in which a particular Bible text is used to limit or                    harm someone. Particular interpretations of Scripture have been used to force women, people of                racial/ethnic groups, and LGBT persons to adopt specific behaviors and restrict them from others.              The Bible has been used as justification for racism, sexism, heterosexism, ableism, and                               colonialism, (Russell 2009, 89)

Walaupun Russell seperti masih sembunyi-sembunyi, misalnya ketika ia berupaya “menyelundupkan” tema gay dalam interpretasinya atas beberapa ayat Alkitab:

One place to look for this vision is Paul’s emphasis on the unity of the resurrected body of Christ                          and the variety of gifts of the Spirit (1 Cor. 12). This new model is a vision from Act 2:6 or                           Galatians 3:28 that includes women and men, slave and free, Jew and Greek, Anglo and Arab, gay                         and straight, young and old, persons with disabilities and abilities, rich and poor, and so much                               more, as those who speak in the power of the Holy Spirit (Gal 3:28). (Russell 2009, 65). 

Satu hal lain yang lebih menarik, Russell menampilkan Indonesia di salah satu halaman bukunya ini. Dalam rangka membagikan cuplikan pengalamannya dengan Shannon Clarkson saat berada di Makasar, Sulawesi. Mereka mengalami pengalaman hospitalitas dengan keadilan yang penuh kesederhanaan, dengan seorang pemudi dan sepuluh orang pemuda berkebangsaan Indonesia, yang berbeda agama. Demikian cuplikan tulisan Russell tentang pengalaman mereka:

Shannon Clarkson and I went with a student from the Theological Seminary of Eastern Indonesia in Makassar on what was to be an interfaith exchange among students. When we three arrived at a small   house for the discussion, we found ourselves, two older white women and a young      Indonesian            woman, with ten young men from Lapar, a Muslim education group, sitting together on the floor           around a low round table. Lapar had, in collaboration with the local Muslim boys’ schools, developed                 a program that trained teachers to respect differing religious beliefs. The goal of the program was to              overcome the hatred and violence between Muslims and Christians in their area. (Russell 2009, 30)

Berdasarkan pengalaman-pengalaman seperti itu, Russell kembali menantang semua pembaca Just Hospitality untuk mengajak orang lain, siapapun mereka dan dengan perbedaan yang bagaimanapun, untuk bersama-sama mempraktikkan hospitalitas di “meja” komunitasnya masing-masing, dan untuk “meja” yang lebih lebar dan luas. Russell menggunakan citra pelayanan meja hospitalitas Allah yang memastikan bahwa:

Everyone is welcome here because they gather around the Table of God’s hospitality. The                     welcome Table is a sign of the coming feast of God’s mended creation, and its guest list is                           inspired by the announcements of the jubilee year in ancient Israel - “But when you give a                         banquet, invite the poor, the crippled, the lame, and the blind” (Luke 14:13). (Russell 2009,16)

Dan tentunya karena ada kasih, sebab menurut Russell, kasih itu termasuk keadilan, dan keadilan itu termasuk kasih: “Rather, love includes justice in the care for other persons, and justice includes love in our relationships” (Russell 2009, 106-107). Hospitalitas dengan keadilan akan terus mendorong diwujudkannya kasih saling menerima, yang menghubungkan perbedaan-perbedaan dan mengatasi berbagai pembatasan.

 

3. Catatan Kritis Sebagai Tanggapan

Catatan saya yang pertama atas buku Just Hospitality adalah, buku ini tidak benar-benar murni karya seorang Letty Mandeville Russell. Tetapi sesungguhnya diprakarsai dan dikerjakan oleh dua sahabat Russell, yaitu J. Shannon Clarkson dan Kate M. Ott, yang menjadi editor dalam proses pengumpulan tulisan dan penyusunan buku, dibantu beberapa murid Russell. Tetapi ide tentang “Just Hospitality” yang kemudian dijadikan judul buku dan seluruh bahan baku dari isi buku ini adalah memang tulisan-tulisan Russell.

When Stephanie Egnotovich, Letty’s editor, phoned asking the same question about Letty’s book on hospitality, I modified my response and said I would check and see. Kate Ott and I turned on Letty’s    computer to see what was there. Not surprisingly, we found many files and folders related to    hospitality. We found speeches, articles, class lectures, and notes. I had forgotten about the               technological revolution that had transformed writing! Yet we still did not have an outline or those                ever-important chapter titles and headings. (Russell 2009, xvii)        

Namun pengakuan dari para editor buku yang mengatakan bahwa, “In the end, we have sometimes combined examples and elaborated explanations to provide a fuller treatment of the subject, but when possible have not changed her sentences” (Russell 2009, xviii), menurut saya (pembaca), hal itu dapat mempengaruhi keaslian ide Just Hospitality dan versi murni tulisan Russell. Karena itu catatan berikutnya, khususnya untuk para editor, mungkin perlu untuk memberi tanda dan keterangan, mana saja bagian tulisan Russell yang sudah mengalami penambahan atau bahkan mungkin perubahan. Sebaliknya juga, bagian tulisan mana yang benar-benar asli. Hal ini minimal sebagai pengakuan profesionalitas, serta penghargaan akademis, kepada ide dan pemikiran seorang Russell. Terlebih lagi, ketika nama beliau yang dicantumkan sebagai penulis tunggal buku Just Hospitality ini.

Kemudian dari segi teknik dan isi, Russell “dijadikan” seperti kurang yakin dengan tulisan dan teorinya sendiri. Karena sampai berulang-ulang ia menuliskan definisi hospitalitas di beberapa tempat dalam buku. Seperti yang sudah pembaca sampaikan di awal laporan buku ini, misalnya definisi di halaman 2, 19 dan 53. Selain itu, juga ada beberapa pengulangan uraian lain yang ditulis Russell, bahkan dengan kalimat yang cukup panjang dan sama. Contoh kalimatnya, “Hospitality will not make us safe, but will lead us to risk joining in the work of mending the creation without requiring those whom we encounter to become like us” (Russell 2009, 74 & 123). Masih bisa dimengerti jika itu sebagai upaya editor untuk menegaskan hal-hal sangat penting.  Namun sebaliknya, akan menjadi “tidak penting,” ketika kalimat tertentu diulang-ulang dalam satu buku.

Pada bab 1 buku Just Hospitality, Russell cenderung lebih dulu melihat hospitalitas datang dari luar diri seseorang, secara mendasar tentu datang dari Allah, “hospitality is a gift of God to us” (Russell 2009, 117). Termasuk juga pengaruh-pengaruh dalam bentuk pengalaman pribadi yang dialami, dan pengaruh dari lingkungan keseharian seseorang. Semua itu dipandang Russell sebagai langkah awal terjadinya praktik hospitalitas. Setelah itu, barulah Russell membangun hospitalitasnya, tampak saat kemudian ia menggiring pembaca bukunya membangun hospitalitas dengan keadilan. “I want to look at the various social locations of my own life and work, asking in what way they pushed me to keep moving to the margin as part of my commitment to share in Christ’s welcome of all persons into God’s household or reign” (Russell 2009, 3).

Tetapi Delia Halverson dalam buku berjudul The Gift of Hospitality berpendapat sebaliknya, bahwa hospitalitas sesungguhnya sudah ada di dalam hati setiap orang, lalu ke luar berbentuk sikap dan tingkah laku menerima orang asing. “Hospitality has been interpreted in many ways, but I feel that true hospitality comes from the heart without expectation of anything in return” (Halverson 1999, 11). Bahkan menurutnya, hospitalitas sesungguhnya anugerah dari Allah kepada manusia, yang sudah ada sejak lahir (Halverson 1999, 6). Mungkin jika antara pendapat Russell dan pendapat Halverson, bisa “saling menerima perbedaan” (ini merefleksikan juga proses saling menerima dalam hospitalitas) dan “digabungkan,” maka perbedaan akan bisa saling melengkapi dan jadi sangat bermanfaat.

Begitu juga definisi dan makna dari justice (keadilan), menurut pembaca, tidak banyak dijelaskan dalam buku ini. Terkesan seperti ingin segera mengakhiri dan menutup proses penulisan atau penyusunan buku, contohnya hanya dengan kalimat, “In other words, justice and love flow into each other and are necessary components of each other. God’s welcome is then an act of both love and justice through the offer of unbounded hospitality” (Russell 2009, 107). Apalagi “justice” yang dihubungkan dengan “healing”, sangat kurang dijelaskan Russel, hanya sebatas menggunakan misalnya kalimat, “Just hospitality is the practice of God’s welcome by reaching out across difference to participate in God’s actions bringing justice and healing in our world of crisis and fear of the ones we call “other” (Russell 2009, 101). Pendapat Amos Yong yang disebut dengan istilah the eschatological hospitality, mungkin dapat menguatkan makna just hospitality yang benar-benar adil dan nyata merangkul berbagai batas juga perbedaan: ”Christian mission participates in what I call the eschatological hospitality of God that anticipates the redemption of every nation, tribe, tongue, and people. Hence, Christian mission engages in the practices of the kingdom of God” (Yong 2008, 140).

Juga praktik nyata hospitalitas dengan keadilan, yang “menyembuhkan/memulihkan” sehingga membuat orang asing yang sangat berbeda, bahkan bisa membuat “musuh” sekalipun, berpindah masuk ke dalam kehidupan “Spirit of Peace,” dan bertranformasi menjadi sahabat. Seperti dalam buku The Limits of Hospitality, penulisnya Jessica Wrobleski dengan lugas menegaskan, “It is my deep conviction in writing this book that the ability to open one’s heart in hospitality to God and to other people is not only a challenge but also a gift given to all - a gift that allows us to move beyond loneliness and hostility into the life of Spirit of Peace - and that our capacity to receive this gift grows in proportion to our gratitude for it” (Wrobleski 2012, 150).

Juga tentang kaum marginal, yaitu mereka yang “kalah” karena dipaksa minggir, jadi orang asing yang rentan karena terpinggirkan, buku Just Hospitality kurang banyak menyentuh dan mengangkat mereka. yang menjadi korban kekuasaan, kerakusan, kejahatan, kekerasan dan bahkan perang. Bila kembali dibandingkan dengan buku Making Room misalnya, Pohl cukup banyak membicarakan keterpinggiran, baik marginal sebagai orang asing sebagai tamu, juga sebaliknya, marginal sebagai tuan rumah: 

Vulnerable strangers is need of welcome are usually marginal to the society because they are                                 detached from significant human relationships and social institutions; often they are overlooked                               and undervalued by people more centrally situated. The marginality of hosts is somewhat different; it      most often involves a certain distance rather than detachment from important social institutions. It        may also involve a deliberate withdrawal from prevailing understanding of power, status, and               possesions. Such hosts are often distinguished from the larger society by their practices, commitments,                 and distinctive ways of life. (Pohl 1999, 105)

Menerima mereka yang marginal, layaknya menerima Kristus, dalam praktik hospitalitas dengan keadilan. Elizabeth Newman dalam bukunya yang berjudul Untamed Hospitality, Newman berkata, “Rather, since hospitality names a way of being, Christian hospitality names a way of seeking to be Christ to another and to receive the other as Christ, even when the other is hungry, thirsty, in prison, or naked (Matt. 25)” (Newman 2007, 103). Tentu dengan risiko yang ada, seperti Russel mengingatkan bahwa, “Hospitality will not make us safe, but will lead us to risk..” (Russell 2009, 74), risiko yang sama-sama diambil baik oleh tuan rumah atau orang asing, mereka yang mungkin sama-sama marginal dan jadi korban. Septemmy Lakawa mengangkat hal seperti itu dengan konteks terjadinya konflik dan kekerasan. Disertasi Lakawa yang berjudul Risky Hospitality menegaskan pentingnya risiko hospitalitas diambil dengan jalan menyediakan space, akan terkait ke dua arah secara bersamaan. Risiko mempraktikkan hospitalitas (dengan keadilan), baik ke dalam maupun ke luar: “In this space, risky hospitality manifests in two intertwined directions: toward the self (in opening a vulnerable space of trauma while protecting it from being harmed again) and toward the Other (in welcoming the Other into the sharing space of pain and healing)” (Lakawa 2011, 486).  

Saya suka sekali ungkapan Russell yang bunyinya, “Rainbow of difference!” (Russell 2009, 124). Penegasan sekaligus tantangan bahwa perbedaan adalah ciptaan Allah, dan Allah menyukai perbedaan itu, sebab perbedaan itu indah seperti pelangi. Russell mengajak semua pembaca tulisannya menerima (orang asing) siapapun, bahkan menyukai (orang asing) siapapun mereka.  Christine D. Pohl dalam Making Room juga pernah menantang hal “perbedaan” pada perspektif “orang asing,” dengan bertanya, Aren’t we all stranger at some level? If welcoming strangers is important, how do we reduce the possible risks; how can we get beyond some of the strangeness? Was it easier to offer hospitality in the past? Who needs welcome today?” (Pohl 1999, 15). Siapapun orang asing itu di kemudian hari bisa menjadi tuan rumah. Dengan hospitalitas, tampaknya semua bisa menjadi keduanya, dan keduanya menjadi semua. Sehingga tidak ada lagi “orang asing” atau “orang lain,” Russel mengangkat seraya menegaskan hal tersebut dari perspektif feminis bahwa, “a feminist hermeneutic of hospitality can make it clear that in God’s sight no one is‘other’” (Russell 2009, 43).

Perspektif perempuan dan feminisme juga masih kurang dalam Just Hospitality, di tengah uraian Russell yang tampaknya mayoritas membicarakan berbagai “difference” atau “perbedaan.” Salah satu yang mungkin bisa ditambahkan misalnya, tentang Yesus dan perempuan Siro-Fenisia. David Lose, presiden dari Lutheran Theological Seminary di Philadelphia, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa tindakan Yesus kepada perempuan Siro-Fenisia tanpa nama (Markus 7: 24-30), sebagai bentuk hospitalitas: “Let's face it: Hospitality, for most of us, means being patient and polite while we wait for newcomers to become more like us. But can we understand hospitality as a willingness to be open to the distinct gifts and perspectives of someone who is different? Can we even imagine that hospitality is an openness to receiving people who are different from us as gifts of God given to change and stretch us?” (Lose 2012). Orang asing yang kita sambut dalam hospitalitas dengan keadilan itu adalah anugerah dari Allah untuk mengubah dan membuka hati kita menjadi lebih luas.                   

Begitu juga sebaliknya, tidak melulu hospitalitas dengan keadilan untuk perempuan, tetapi juga oleh perempuan, misalnya perspektif perempuan yang membuka hati, sehingga dapat memberi pengertian baru kepada dan di pihak laki-laki, juga berbagai pihak lain yang berbeda. Seperti dalam bukunya I Was Stranger, Arthur Sutherland coba menjelaskan hal tersebut melalui hospitalitas sosok Lydia dalam misi pelayanan yang dilakukan Rasul Paulus: 

Lydia's open heart led Paul to a new understanding of place. By her persistent appeals, Lydia goes                       beyond the accepted tradition that a woman should only be host to those with whom she is familiar. Her reception of Paul opens her home to the public; a home that was once hidden becomes visible.         Prior to her meeting Paul, Lydia’s home was hidden from society and from view in the sense that her         status as a God-fearer, a migrant, and a member of despised trade contributed to her not being seen.       To enter into her household was to enter a world of complete otherness and only someone who was              willing to accept the marginalization of Lydia’s existence could cross over. (Sutherland 2006, 49)

Namun cukup disayangkan, Russel juga masih malu-malu menampilkan tema dan hal lain, yang tajam berbeda dan cukup peka. Misalnya tema-tema seputar lesbian, gay, biseksual dan transgender dalam tulisannya di buku ini. Mungkin sebaiknya Russell lebih berani dan jujur untuk mengkritisi berbagai praktik yang unhospitable, baik di dalam gereja, juga dalam keluarga dan kehidupan masyarakat. Christine Marie Smith, seorang pendeta, bisa menjadi contoh yang lebih berani menyatakan “just” sebagai “justice” (keadilan) dalam hospitalitas gereja. Dalam tulisan berjudul A Lesbian Perspective: Moving toward a Promised Place, di bukunya Preaching Justice, Smith membicarakan serta membagikan pengalamannya berkhotbah tentang keadilan kepada mereka yang kerap tidak didengarkan suaranya. Khususnya dalam mempraktikkan hospitalitas di perspektif LGBT:  

Perhaps the context to which I am most indebted is my own congregation, Spirit of the Lakes                                United Church of Christ, in Minneapolis. It was birthed in 1988 as achurch that would particularly            serve and respond to the lesbian, gay, bisexual, and transgender community. It is one of the few        congregations in the country within mainline Christianity where gay and lesbian people are the                                 majority of the congregation. In this context I have been fortunate to have a supportive and                     challenging place to discover some aspects of my lesbian preaching voice and to observe many                     other gay and lesbian preachers. (Smith 1998, 136)

Oleh karena itu Russell sebagai penulis, menurut saya, tidak perlu malu-malu, apalagi sampai menghadirkan “penumpang gelap” dalam kendaraan tulisannya. Contohnya tentang “Textual harassment” (Russell 2009, 89) yang sudah pembaca sampaikan di uraian sebelumnya. Juga penekanan tentang gay dalam tulisan Russell (Russell 2009, 65), begitu pula ketika Russel menuliskan pertanyaan (seperti yang biasa dilakukannya di setiap akhir bab) di no.1 dari Questions for Thought, akhir Bab 1 yang bunyinya, “1. Where do you most often find yourself, based on your gender, race, class, sexual orientation, age, and ability: in the center, at the margin, or moving in between?” (Russell 2009, 22).                       

Sebab hospitalitas adalah untuk semua, sebab Allah menerima semua, seperti Russell yang menegaskan pendapatnya bahwa, “God’s concern to welcome all persons and seek unity through the practice hospitality” (Russel 2009, 65). Pohl punya pendapat yang senada yaitu, “Hospitality is good for everyone” (Pohl 1999, 186). Selain itu, “kesamaan” mereka (Russell dan Pohl) adalah tentang wujud hospitalitas dalam makan bersama di atas satu meja Allah. Russel menulis, “Everyone is welcome here because they gather around the Table of God’s hospitality” (Russell 2009, 16). Russel menantang para pembacanya melakukan hospitalitas yang saling berbagi makanan di antara semua manusia, bahkan segala ciptaan Allah. Dunia adalah meja yang lebih besar, sebagai tempat kesempurnaan hospitalitas Allah dinyatakan. Begitu juga pendapat Pohl, yang menyatakan hospitalitas berwujud makan malam bersama, adalah praktik saling memberi ruang di satu meja besar dan yang terpenting saling menerima dan berbagi. “Shared meals are central to every community of hospitality -central to sustaining the life of the community and to expressing welcome to strangers” (Pohl 1999, 73).

Menambahkan daya tarik “sajian” hospitalitas yang disampaikan Russel dan Pohl, saya (pembaca) menambahkan pendapat Shawna Songer Gaines dan Timothy R. Gaines, yang juga tentang makan bersama di meja besar. Dalam buku mereka yang berjudul A Seat at The Table, Gaines menambah makna baru untuk praktik hospitalitas dengan keadilan, dengan bunyi ajakan mereka, “Set another place at the table” (Gaines 2012, 161). Mengingatkan pembaca dan semua pihak untuk tidak lupa, selalu bersiap sedia menyediakan tempat dan ruang di “meja hospitalitas” keluarga, gereja, masyarakat dan bahkan di “meja hospitalitas” dunia.

Sekaligus saya tambahkan pendapat dari Rebecca Blair Young dalam orasinya di Ibadah dan acara Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (pada tahun 2011). Mungkin akan semakin menambah “kelezatan hidangan” makna keramahan Allah, berdasarkan pendapat Russel, Pohl, dan Gaines, yang semuanya mengajak mempraktikkan hospitalitas dengan keadilan di satu meja Allah. Demikian cuplikan orasi Young, “When we come and repose at the table that the Lord offres us, at the same time we are putting into practice the best ways to love, to pray and to eat. We come to the table that is overflowing with God’s generosity to us, with all kinds of delicious food and drink for us to enjoy and indulge in as we feast together” (Young 2011, 67). Lalu semakin lengkap dengan catatan teologis Russell dalam bukunya yang lain, berjudul Church in The Round: Feminist Interpretation of The Church, refleksi kehadiran Kristus yang “melayani bukan dilayani” di satu meja besar kehidupan dunia, Russell menuliskan, We move forward with whatever piece we have received in expectation that Christ will be present among us as we crowd together around the table with the one who comes to serve and not to be served (Mark 10:45)” (Russell 1993, 45).

Karena itu tidaklah berlebihan, jika Russell dalam buku Just Hospitality ini, bisa lebih banyak menghubungkan konsepnya dengan usulan konkret dan contoh praktik yang dapat diaplikasikan. Misalnya menghubungkan hospitalitas dengan karakter manusia yang mempraktikkan hospitalitas. Dalam buku Practicing Hospitality karya Pat Ennis and Lisa Tatlock, mereka menguraikan setiap huruf dalam kata H O S P I T A L I T Y, mengajak setiap pelaku hospitalitas menjadi: “Humble, Obedient, Sincere, Prayerful, Integreted in Integrity, Trustworthy, Adopted into God’s Family, Led by the Spirit, Instrumental in Producing Righteousness, Thankful, dan Yielded” (Tatlock 2007, 20-43). Juga seperti Pohl yang menampilkan komunitas-komunitas hospitalitas kontemporer dalam bukunya Making Room. Hal ini penting, agar perspektif hospitalitas Allah yang menerima semua, akan lebih cepat diketahui dan tepat “ditangkap” maknanya oleh lebih banyak orang, dan segera nyata dilakukan.

Satu catatan terakhir yang sangat menarik, adalah Russell juga menampilkan Justice sebagai bentuk hospitalitas dalam ibadah, khususnya Ibadah Minggu. Dengan mengacu beberapa pertanyaan di konteks Nabi Amos, ketika nabi Allah itu menemukan ibadah Betel, di Israel utara, yang mencerminkan ketidakadilan dalam masyarakat Israel saat itu, Russell menghadirkan pertanyaan-pertanyaannya:

To illustrate the connection between justice and hospitality further, picture the Sunday worship in your               church. Are the women singing in the choir and caring for those who need prayer? Are the men                   preaching and counting the offering? Who decides about the worship service or liturgy and the                    language used for God and men and women? Who is not there and not welcome in the service? How     many people of different classes, races, or community groups attend worship? These are questions                               many of us ask for our worship services as we seek to reflect God’s way of justice and hospitality.                                 And we begin to discover that our worship usually reflects our community’s culturally assigned roles             of gender, race, and class. These are also the sort of question that the prophet Amos was asking long ago when he found that the worship at Bethel in northern Israel reflected the injustices in the Israelite              community, rather than God’s way of justice and hospitality. (Russell 2009, 107)

Pendapat Red B. Craddock dalam bukunya yang berjudul Preaching, mungkin sangat berhubungan dengan pendapat Russell tersebut. Craddock menjelaskan tentang posisi jemaat dalam ibadah (sebagai para pendengar khotbah) dalam hubungannya dengan pelayaan ibadah (khususnya sang pengkhotbah). Mereka disebut sebagai strangers, yang berbeda satu dengan lainnya, “to think of the listeners as an audience is to regard them as an assembly of men, women, youth, and children who will hear the sermon. It is to think of them as strangers, as if an usher were to say to the minister, ‘The people have gathered and are waiting, and I have never seen any of them before today” (Craddock 1985, 86). Dengan berbagai perbedaan yang ada, jemaat adalah orang asing yang semua disambut Allah, melalui pendeta atau pengkhotbah sebagai tuan rumah. 

Sang pengkhotbah menyambut dan menerima semua jemaat yang berbeda-beda itu dengan menyajikan khotbah (dalam kesatuan liturgi Ibadah Minggu). Hal ini menjadi refleksi yang kuat tentang hospitalitas dengan keadilan, dan menurut saya, juga bisa dilihat dan direfleksikan dengan penggambaran sebaliknya. Sang pegkhotbah sebagai orang asing yang disambut dan diterima, oleh jemaat sebagai tuan rumah. Sehingga sangat penting untuk tamu dan orang asing saling terhubung dalam kasih hospitalitas Allah, di dalam perayaan Ibadah Minggu, khususnya dalam sebuah penyajian khotbah.

If these listeners can leave the service with no sense of having been put down ; if their self-worth has   been affirmed or restored; if God’s love and grace are seen as realisties; if they are convinced that                repentance and trust are acceptable to God ; if there is more awareness of other persons and more      hunger for convenanted life; then even strangers will likely say to the preacher, “You understand us          quite well.” (Craddock 1985, 90)

Hospitalitas melalui penyajian khotbah yang baik, akan membuat orang asing (jemaat) merasa “at home” (Craddock 1985, 90). Jadi teringat dengan pendapat Pohl yang menegaskan bahwa, “Homes can be very modest, with little space to spare and few amenities, but they can be the site for wonderful hospitality. Making people feel welcome and “at home” is not the same as entertainment” (Pohl 1999, 154). Khotbah dalam Ibadah Minggu bukanlah entertainment, tetapi salah satu wujud hospitalitas Allah untuk menjadi berkat bagi semua jemaat, baik isi maupun cara penyajiannya.

Russell pernah mengingatkankan, “Hospitality is a gift of God to us, one that we need to practice, so that we are more open to its blessing” (Russell 2009. 117). Semakin dilatih dan dilakukan, maka ibadah dan khotbah juga akan semakin mengekpresikan hospitalitas keadilan Allah, mengajak jemaat pendengar khotbah untuk setiap hari membagikan berkat Allah, kepada semua yang berbeda namun tidak terpisahkan. Sangat mencerahkan, Russell menulis demikian, “We all have a long way to go to have our worship and our lives express God’s just hospitality, .. we can still know deeply that there is no separation between things spiritual and material, religious and political, sacred and secular in our lives. God is in all of it, calling us to make connections and work on mending our lives, churches, and world” (Russell 2009, 111). Hospitalitas yang membuat tidak ada lagi pemisahan, memastikan Allah ada di dalam dan untuk semua, merangkul semua perbedaan dan menghubungkan semua. Hospitalitas dengan keadilan / just hospitality.


 
Daftar Acuan
Craddock, Fred B. 1985. Preaching. Nashville: Abingdon Press.
Gaines, Shawna Songer & Timothy R. Gaines. 2012. A Seat at The Table: A Generation                   Reimagining Its Place in the Church. Kansas City: Beacon Hill Press.
Halverson, Delia. 1999. The Gift of Hospitality: In Church - In the Home - In All of Life.                   Missouri: Chalice Press.
Lakawa, Septemmy Eucharistia. 2011. Risky Hospitality: Mission in the aftermath of                        religious communal violence in Indonesia. Disertasi Th.D., Boston University School of         Theology.
Lose, David. Working Preacher. September 02, 2012.http:/www.workingpreacher.org/craft.aspx?    post=1625 (diakses 10 Oktober 2016).
Newman, Elizabeth. 2007. Untamed Hospitality: Welcoming God and Other Strangers.                    Michigan: Brazos Press.
Pohl, Christine D. 1999. Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition.
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
Russell, Letty M. 2009. Just Hospitality: God’s Welcome ia a World of Difference. Louisville:          Westminster John Knox Press.
Russell, Letty M. 1993. Church in The Round: Feminist Interpretation of The Church.                      Louisville: Westminster John Knox Press.
Smith, Christine Marie. 1998. Preaching Justice: Ethnic and Cultural Perspectives. Oregon:             Wipf and Stock Publishers.
Sutherland, Arthur. 2006. I was a stranger: a Christian theology of hospitality. Nashville:    Abingdon Press.


Tatlock, Lisa, dan Pat Ennis. 2007. Practicing Hospitality: The Joy of Serving Others. Illinois:          Crossway Books.

Yong, Amos. 2008. Hospitality and the Other: Pentecost, Christian Practices and the           Neighbor. New York: Orbis Books.

Young, Rebecca Blair. 2011. Love Pray Eat: God’s Love, Christian Prayer, and The Lord’s             Table. Orasi Dies Natalis ke-77 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: STT Jakarta.

Wrobleski, Jessica. 2012. The Limits of Hospitality. Minnesota: Liturgical Press.

 

(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak tidak rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar