12 April 2016

Refleksi Minggu Kedua April 2016 - Khotbah Pdt. Lusindo Tobing


Rut 1-4. 
Nats: Rut 1:11-13; Rut 1:16; & Rut 4: 17. 


 Aku dan Mama Naomi

(backsound: instrumental sedih)

Izinkan aku memperkenalkan diri terlebih dulu. Namaku Rut - Rut dari Moab. Perjumpaanku dengan Kilyon, pacarku, ups.. kekasihku, membawa kepada perjumpaanku dengan keluarganya. Kilyon adalah anak bungsu dari dua bersaudara, abangnya bernama Mahlon. Yang juga menjalin hubungan spesial dengan seorang perempuan Moab, bernama Orpa. Tetapi yang paling bermakna adalah perjumpaanku dengan Naomi, ibu kandung Kilyon. Seorang perempuan rendah hati dan tegar dalam imannya. Yang sejak awal, selalu menerimaku dengan kehangatan kasih dari hatinya dan tiada henti memberikan perhatian yang tulus. 

Mereka hanya bertiga. Mungkin Anda bertanya-tanya, dimana suami Naomi? Dimana sang kepala rumah tangga? Rupanya beberapa waktu lalu, saat mereka mulai menetap di Moab, Elimelekh -suami Naomi- telah pergi untuk selamanya, meninggal dunia. Aku tidak peduli dengan cap “orang asing” dari orang Moab kepada mereka, yang berkonotasi “merendahkan.” Dikarenakan mereka adalah orang-orang Efrata dari Betlehem-Yehuda. Terlebih kini, ayah atau suami atau kepala rumah tangga mereka tidak ada lagi. Bagiku, mereka adalah keluarga yang sangat baik dan penuh cinta kasih. 

Orangtuaku saja, menyukai Kilyon. Aku mencintainya, tentu. Dan setelah cukup waktu, akhirnya kami menikah. Dan terbukti nyata, Kilyon benar-benar menjadi suami yang baik kepadaku. Serta keluarganya menerimaku dengan sepenuh hati dan melimpah dengan kasih. Semakin lama bersama mereka, semakin membuatku tidak canggung menerima mereka di hati dan hidupku. Memanggil Mahlon sebagai Abang Mahlon, yang juga telah menikah dengan Orpa. 

Dan aku menyapa mertuaku: Mama Naomi. 

Dan mama Naomi memanggil aku dan Orpa sebagai, “anak-anakku.” 

 Karena beliau hidup sendirian, kami -aku dan Kilyon suamiku- sepakat mengajak mama Naomi untuk tinggal di rumah kami. Perjumpaan kamipun semakin sering dan kuat. Melalui hari demi hari dengan kesederhanaan hidupnya, namun kaya dengan keteladanan iman kepada Allah. 

Dan hari pergumulan terberat itu menghantamku. Ketika pria yang paling kusayangi, Kilyon suamiku meninggal dunia! Dengan jarak waktu yang tidak lama, abang Mahlon juga meninggal dunia, dipanggil-Nya untuk selamanya. 

Aku kehilangan suamiku. Itu sangat pedih. Tetapi kemudian hati, pikiran dan pandanganku berpaling melihat mama Naomi. Mama kehilangan putra-putranya. Dua putranya, Kilyon dan Mahlon. Sumber kebanggaan, semangat dan kebahagiaan di “sisa” hidupnya. Demikian banyak rasa, banyak harapan, juga mimpi-mimpi kami, hilang begitu saja! Yang tersisa tampaknya hanyalah kami. Mama Naomi, aku, dan Orpa. Tiga perempuan yang menangis sedih dan ditinggalkan. 

Kehilangan tiga pria yang terdekat dalam hidupnya, suami dan dua putranya. Mama Naomi juga merasa seperti ditinggalkan Tuhan Allah. Kesepian di Moab, seorang diri di negeri orang. Karenanya sangat wajar ketika mama memutuskan pulang kembali ke kampung halamannya, Betlehem. Aku ingat, saat aku dan Orpa menemaninya di awal perjalanan kami meninggalkan Moab menuju Betlehem, tiba-tiba mama Naomi berbalik badan, dengan lembut namun tegas ia berkata,” "Pulanglah, anak-anakku, mengapakah kamu turut dengan aku? Bukankah tidak akan ada lagi anak laki-laki yang kulahirkan untuk dijadikan suamimu nanti? Pulanglah, anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki, masakan kamu menanti sampai mereka dewasa? Masakan karena itu kamu harus menahan diri dan tidak bersuami? Janganlah kiranya demikian, anak-anakku, bukankah jauh lebih pahit yang aku alami dari pada kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?” (Rut 1: 11-13).

Orpa merespon dengan berbalik, pulang kembali ke Moab. Tetapi tidak dengan aku. Proses diterima dan menerima sebelumnya, di tiap hari perjumpaanku dengan mama Naomi, mungkin bagi Anda biasa. Tetapi tidak dengan hati dan pikiranku saat ini. Dengan kekuatan entah dari mana (yang kemudian aku sadar itu dari Tuhan Allah), pasti bukan sekadar kemampuanku saja, dengan berani, aku berkata kepada mama Naomi, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku.” (Rut 1:16). Berkali-kali aku mendengar dan melihat ibu mertuaku ini mengalami kepedihan hidup: Terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya Betlehem karena ada kelaparan yang hebat. Lalu tinggal di Moab dengan situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda, akhirnya kerap dipandang “asing”. Berkali-kali kehilangan orang yang dicintai-mencintainya, kehilangan suami, kehilangan dua putranya, kehilangan kebanggaan dan kehilangan kebahagiaan hidupnya. Tetapi, berkali-kali itu pula aku melihat, mama Naomi tidak kehilangan iman percayanya. Dan tidak pernah membenci Allah! Iman percaya dan kasih seorang perempuan yang sungguh setia kepada Allah.

Dan kini bagiku, mama Naomi adalah mamaku. 

Itu yang memantapkan aku untuk meninggalkan Moab, dan mama Naomi akhirnya mempersilakan aku menemani. Kepedihannya adalah kepedihanku. Pergumulannya adalah pergumulanku. Dan perjuangannya adalah perjuanganku. Dan proses perjalanan hidup yang pernah dialami mama Naomi, sepertinya kujalani sekarang, yaitu meninggalkan tanah kelahiranku, menuju ke tempat atau daerah yang sama sekali baru dan menetap di sana. Menemani mama Naomi pulang kembali ke Betlehem. 

Dua perempuan memasuki Betlehem. Tanpa suami, tanpa menantu dan tanpa disertai derai tawa anak atau cucu-cucu. Tanpa keturunan. Sepertinya tanpa harapan di masa depan. Bahkan mama Naomi sempat menyebut dirinya “mara” artinya “pahit”. Dua perempuan “yang kalah dan hancur” memasuki Betlehem. 

(pergantian backsound: instrumental semangat)

Tetapi itu dulu, kini tidak lagi! 

Aku memulai kehidupan yang baru di Betlehem-Yehuda. Di tengah kehidupan masyarakat dari mama Naomi. Perlahan keadaan kami berdua, mama dan aku, semakin membaik. Jika melihat keadaan sebelumnya saat di Moab, apa yang kami alami kini di Betlehem, sepertinya tidaklah mungkin. Tetapi Tuhan Allah memberkati kehidupan kami dengan kesehatan, kedamaian, lalu memiliki tempat tinggal layak, makanan kudapat dengan mengumpulkan bulir-bulir jelai di ladang milik Boas. Seorang pria yang takut akan Allah, baik hatinya, belum menikah, dan masih memiliki hubungan saudara dengan mama Naomi. 

Singkatnya, Boas memintaku untuk menjadi isterinya. “Menikah lagi?” Kataku dalam hati, bertanya-tanya kepada Allah, aku bergumul hebat. Menikah lagi adalah hal yang melampaui segala angan dan bayangan “gila” yang bisa kumiliki. Tetapi mama mendukungku untuk menikah dengan Boas. Mereka menyebutnya rencana pernikahan “levirat” (ganti tikar), karena sebelumnya, kudengar Boas telah memastikan penebusan atas tanah milik kepunyaan Elimelekh, almarhum suami mama Naomi. Dan pada akhirnya aku menikah dengan Boas. 

Dari pernikahan dengan Boas, lahirlah anak laki-laki kami, seorang putra yang sehat dan elok parasnya. Yang membawa kebahagiaan kepada semua orang. Tentu membawa kebahagiaan kepada aku sendiri dan Boas. Tetapi khususnya bagi mama Naomi. Aku ingat sekali, saat pertama kali mama Naomi mengangkat lembut dan memeluk bayi kami, ia seperti sedang memeluk putranya sendiri. Aku dan para tetangga bisa merasakan kebahagiaan-kegirangan di hati mama. “Dan tetangga-tetangga perempuan memberi nama kepada anak itu, katanya: ‘Pada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki’,...” (Rut 4: 17). Juga terasa lewat air mata mama, aku jadi ikut menangis. Menangis lagi bersama mama Naomi. Namun kali ini, Allah telah mentransformasi semua air mata kami yang dulu. Kini, menjadi air mata kebahagiaan tiada terkira. 

Bagaimana dengan Anda? Bagaimanapun dan di manapun, tetaplah percaya pada Kasih Allah yang mampu mengubah “mara” (pahit), menjadi manis. Hiduplah saling menerima, mendampingi, mari lebih peduli, mengasihi dan melayani. Hidup aku dan mama Naomi tidak lagi gelap, hidup jadi terang dan sangat indah. 

Bersama mama Naomi, juga Boas, keluarga besar dan para tetangga, kami sepakat memberi nama putraku: Obed. 


 

(lalu berlanjut, sebagai penutup khotbah, 
ditampilkan di layar lcd projector/multi media)

1.


2.


3.

Jika garis “pohon keturunan” diteruskan sampai ke konteks Perjanjian Baru, maka kita akan tiba kepada: Yesus.


Tuhan Yesus Kristus memberkati. 
Amin.



Tulisan-ppt-Khotbah: Pdt. Lusindo Tobing.
Foto "pohon keturunan": allacin.blogspot.com