13 Januari 2010

refleksi minggu kedua Januari 2010

Lukas 3: 15-22
KASUT
“.. membuka tali kasutNya pun aku tidak layak..” (Lukas 3: 15-22)


Melihat cuplikan keadaan dan isi kamar tahanan Artalita di siaran televisi dan foto di banyak media tulis, rasa keadilan kita benar-benar terusik. Dan dari sekian banyak hawa negatif, hal lain yang terasa sekali adalah hawa kesombongan demikian mengangkang. Saking tinggi besarnya, kesombongan itu tampaknya menggusur wadah penting dan nilai luhur pembelajaran yang bernama rumah tahanan (rutan).

Karenanya kini, mari saya ajak kita sama belajar dengan merenungkan kasut. Ya, kasut.

Kasut adalah alas kaki. Alas kaki yang sudah lazim digunakan sejak konteks Yohanes Pembaptis. Dan kasut sering digunakan untuk menggambarkan beberapa hal penting misalnya kesiapan bertugas melayani, tanggungjawab dalam tugas, kesediaan berlelah, pelindung melanjutkan perjalanan hidup dan sebagainya.

Kini, kasut bertambah maknanya. Yakni sebagai lambang rendah hati. Penulis Lukas dengan urut dan gamblang bagaimana Yohanes Pembaptis menjawab harap-harap cemas dan keingintahuan orang banyak saat itu yang mengira kalau-kalau dia adalah Sang Mesias yang telah lama mereka nantikan.

Di ayat 16, Yohanes menjawab,”Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan dating dan membuka tali kasutNya pun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.” Perhatikanlah penggunaan kata benda “kasut” sekali lagi, lalu ditambahkan dengan “tali” menjadi “tali kasut”. Jadi penekanan akan kasut yang rendah, berada di bawah, diinjak-injak, berdebu kotor dan siap haus habis dipakai, bertambah kuat permaknaannya ketika dikatakan,”..membuka tali kasutNya pun aku tidak layak”. Indah sekali!

Sebuah pengajaran Sabda yang mengoreksi kita kembali untuk mau merendah. rendah di hati, rendah menyembah dan percaya kuat kepada “Tuan” kita, Tuhan Yesus Kristus. Sebuah kesadaran yang membawa kita boleh beraktifitas apapun, mengalami suasana bagaimanapun juga bisa memiliki berapapun, itu semua takluk di bawah KakiNya.

Mari rendah hati kawan-kawan. Mari jadi kasut! Ya, sesungguhnya kita inilah kasut-kasut kecil Allah di dunia ini, si Kasut yang sesungguhnya. Kasut besar! Atau malah kita bisa juga menafsirkan lebih kuat lagi, bahwa saya dan anda sesungguhnya memang lebih murah dari kasut itu. Karena banyaknya kesalahan dan dosa kita.

Jangankan untuk disamakan dengan Dia, sekali lagi, membuka talinya, tali kasutnya pun kita tidak layak. Namun coba diam sebentar dan renungkan ini: kita yang lebih rendah dari yang rendah, lebih bawah dari yang paling di bawah. Tetapi Anak Tunggal Bapa mengangkat kita menjadi anak-anak Allah. Dikasihi oleh Allah hidup di dalam nama dan menjadi pengikut Tuhan Yesus Kristus. “.. dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atasNya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah AnakKu yang Kukasihi, kepadaMulah Aku berkenan.” (ayat 22).

Puncak perenungan kali ini adalah: Sudahkah kita berkenan?

Berkenan di hadapan Allah dan berkenan bagi sesama.
Mari teman-teman terkasih.. mari hidup berkenan. Layak disebut berkenan oleh Allah. Jika “alat penampi” atau “alat penyaring untuk memisahkan dan memilih yang berkenan” sudah ada di tanganNya. Mari buang dan bersihkan hati, pikiran dan diri dari “debu jerami” (ayat 17), dari kotoran kesombongan dan mengandalkan kekuatan sendiri.

                                                                                                                  foto: lt

Lalu apapun resikonya, bertobatlah! Berubahlah! Dan mari rendah hatilah.. melayaniNya dengan lebih sabar dan tekun membuat bahagia sesama sekitar di keseharian. Khususnya membantu, menolong dan mengangkat mereka yang dipandang "rendah" oleh dunia.

Allah yang Maha Besar telah dan akan selalu mengangkat harkat dan keselamatan kita. Allah sayang banget sama kita! Amin.



Pdt. Lusindo Tobing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar