27 Oktober 2019

Renungan: Keluarga Hidup dalam Spiritualitas Pertobatan

Keluarga Hidup Dalam Spiritualitas Pertobatan (Lukas 18: 9-14)
“Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Lukas 18: 13
Dalam hidup berkeluarga, di durasi akhir Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB) GKJ Nehemia kita sekarang ini, apakah masih ada asa untuk penyesalan, yang didasarkan pada kerendahan hati dan pertobatan? Bahkan mulai dari doa-doa yang terdalam setiap kita (sebagai anggota keluarga), masih adakah nada pertobatan yang dinaikkan sungguh? Sehingga membuat setiap anggota keluarga benar-benar dimurnikan dan bersemangat meneruskan perjalanan hidup serta pelayanan kita. Karena menurut penulis Injil Lukas hanya dengan demikianlah cara kita mendekat pada Allah. Di bacaan dan refleksi Firman Allah kali ini, Tuhan Yesus Kristus menyoroti sikap orang Farisi yang begitu yakin akan kebenaran dirinya dan memandang rendah orang lain. Sikap ini jelas berbahaya! Lihat saja, dalam doanya bagaimana ia melaporkan kepada Allah mengenai semua kewajiban agama yang telah dia laksanakan (baca ulang ayat 11-12). Seolah-olah keberadaannya menjadi berkat bagi Allah, bukan sebaliknya. Orang Farisi itu menganggap dirinya itu benar karena usahanya sendiri; tidak sadar akan perangainya yang berdosa, ketidaklayakan dirinya. Dan tidak memerlukan kasih karunia pembenaran dan pemurnian dari Allah.
Berbeda dengan sang pemungut cukai. Ia menyadari keberadaan dirinya sebagai orang berdosa, yang sesungguhnya tak layak menghadap Allah (coba baca dan maknai lebih dalam ayat 13). Namun demikian, orang semacam ini, yang dianggap tak layak oleh orang-orang disekitarnya, justru disambut di dalam Kerajaan Allah. Sebab pemungut cukai itu betul-betul menyadari dosa dan kesalahannya, dan dengan spiritualitas serta sikap pertobatan yang sejati ia berpaling dari dosa kepada Allah.
Mari menjadi seperti “sang pemungut cukai itu” di zaman now: Zaman yang penuh keangkuhan dan semakin sulit untuk mengakui kesalahan, datang mohon ampun dosa kepada-Nya. Pemungut cukai itu datang dengan penuh kerendahan diri dan penyesalan akan keberdosaannya. Ia menyadari diri tidak layak untuk diampuni, oleh karenanya ia hanya memohon belas kasihan. Tetapi, justru spiritualitas pertobatan seperti itulah yang akan membuat sang pemungut cukai di konteks bacaan Lukas 18:9-14, juga kita konteks sekarang, akan menjadi keluarga-keluarga yang dilayakkan menerima dan menyalurkan nyata anugerah pembenaran Keselamatan-Nya. Amin.

Oleh: Pdt. Lusindo YL Tobing, M.Th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar