27 Maret 2016

Filsafat Media dan Teologi

Lusindo Yosep Tobing 
Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta



Filsafat Media dan Teologi 

Abstrak 

Tujuan penulisan makalah ini adalah memperhatikan keberadaan teknologi media, penguasa-penguasa arus informasi, hingga kekuatan Net Generation (generasi internet), yang cenderung mengubah dunia. Juga tentang hakikat, pemahaman yang dipegang berbagai media, serta nilai filsafati yang digunakan. Juga menelusuri apakah ada standar, atau norma, berdasarkan Teologi yang bisa ditawarkan dan digunakan. Juga mengamati dampak semua kemajuan dan perkembangan media-media. Serta berusaha menentukan kemungkinan cara, yang bisa digunakan agar kita dapat memilih dan akhirnya mampu menentukan kebenaran, mana dan apa yang benar, di tengah sangat beragamnya informasi dalam kemajuan media dan komunikasi.

Kata-kata kunci: Media, Filsafat, Teologi, Komunikasi, Net Generation, Hubungan, Norma, Kolaborasi, Jaringan.


Pendahuluan    

Proses evolusi dunia media, informasi dan komunikasi terus berlangsung, dan hampir tidak pernah lambat, lambat laun apalagi terlambat. Dahulu, media yang tersedia dan yang biasa digunakan adalah koran, surat kertas, lalu radio dan maksimal Handytalky. Lalu mulai digeser dengan munculnya televisi (tv) dan radio mengalami pemutakhiran dengan ditambahnya gelombang FM.

Tetapi kemunculan tv, berlanjut dengan pesat dan bertambah banyaknya stasiun dan program tv yang disajikan. Bahkan ingat pergeseran dari tv hitam putih menjadi berwana bahkan colourful! Tetapi rupanya tidak berhenti di situ, selain ada media pager, ditemukanlah kedahsyatan telepon nir-kabel atau telepon genggam, yang kita sebut sampai hari ini (minimal saat makalah ini penulis buat) disebut handphone. Sejak itulah kecanggihan sms dan kemajuan tv, radio terus berlomba bersaing satu dengan lainnya, tetapi ada juga bahkan saling merger (bersatu dan bekerja sama).

Hingga mengalami ledakan terbesarnya adalah saat ditemukannya internet. Mulai beralihnya penggunaan surat-menyurat kertas, ke penggunaan e-mail atau surat elektronik. Dan kian melesat super canggih, menghasilkan hingga kini manusia-manusia multimedia, atau yang banyak disebut Net generation atau generasi internet. Berbagai gambar media dan komunikasi antar manusia, yang mempengaruhi bahkan membentuk “gambar” kehidupan dunia. Terus berkembang, terus baru.


Filsafat Media - Filsafat Komunikasi: Kekuasaan Perubahan 
  
Sebuah gambar, menurut Djoko Soekiman dalam buku “Tantangan Kemanusiaan Universal” (G. Moedjanto dan kawan-kawan, peny. 1994) dengan tulisannya berjudul Gambar Sebagai Media Pembawa Berita Peradaban, selalu berharga untuk kita, dalam mengikuti perubahan peradaban manusia:   

Dari lukisan yang didapat di dalam lekuk-lekuk gua di bawah tanah dan peralatan manusia purba sampai dengan rekaman potret filmatau video zaman modern sekarang ini, merupakan bahan-bahan berharga untuk mengikuti perkembangan peradaban manusia. Penemuan teknik merekam gambar yang canggih zaman kita sekarang, merupakan penyempurnaan merekam data peradaban manusia. (Moedjanto peny.1994, 330)   

Di awal buku berjudul “Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi”, Rulli Nasrullah penulisnya, menjelaskan proses terjadinya komunikasi selalu memerlukan tiga hal, yaitu objek, organ, dan medium. Saat menyaksikan satu program di televisi misalnya, maka televisi adalah objek, dan mata adalah organ. Perantara antara televisi dan mata adalah gambar atau visual. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa media merupakan wadah untuk membawa pesan, dalam sebuah proses komunikasi.   

Pengertian media cenderung lebih dekat terhadap sifatnya yang massa karena terlihat dari berbagai teori yang muncul dalam komunikasi massa. Namun, semua definisi yang ada memiliki kecenderungan yang sama bahwa ketika disebutkan kata ‘media’, yang muncul bersamaan dengan itu adalah sarana disertai dengan teknologinya. Koran merupakan representasi dari media cetak, sementara radio yang merupakan media audio dan televisi sebagai audio-visual merupakan representasi dari media elektronik, dan internet merupakan representasi dari media online atau di dalam jaringan. (Nasrullah 2015, 3)   

Dan jika kita perhatikan, kekuasaan manusia memang tetap pada posisinya yang mengatur dan menentukan berbagai informasi dan juga kecanggihan kerja media. Apalagi dengan lahirnya penguasa-penguasa media dan informasi. Namun sebaliknya karena semakin berkembang, kekuasaan media dan informasi cenderung mengepung segala aspek kehidupan manusia. Yang secara filsafat, bahkan seorang Friedrich Nietzsche pernah mengemukakan teorinya tentang prinsip dasar keinginan menjadi berkuasa dan tentang kekuatan kekuasaan dalam bukunya The Will To Power: Basic principle: only individuals feel themselves responsible. Multiplicities are invented in order to do things for which the individual lacks the courage. It is for just this reason that all communalities and societies are a hundred times more upright and instructive about the nature of man than is the individual, who is too weak to have courage for his own desires. (Nietzsche 1968)   

Dan sangat bagus I.R. Poedjawijatna menulis tentang kecenderungan kekuasaan dalam diri manusia dalam kehidupannya, dalam buku Filsafat Sana-sini 2 (Poedjawijatna1975b, 85), “Manusia tidak hanya mendiami dunia, tidak hanya menerima yang dihasilkan dunia, melainkan ia mengolah dunia: ia yang merupakan bagian kecil dari dunia itu, mencoba mempengaruhi dunia, mencoba mengatasi dunia, ia berusaha merajai dunia!”   

Terlebih ketika kemunculan berbagai media itu menjadi sebuah bisnis. Bisnis besar yang terus berkembang. Yang bagi Dian Budiargo dalam bukunya Berkomunikasi ala net generation (2015, 41), peluangnya berlaku di berbagai usia manusia. Khususnya di kaum muda, dimulai dari segmen para remaja, selalu jadi peluang terbesar pengembangan bisnis media ini.   

Terbukti sangat jelas ketika internet ditemukan, langsung menyebar digunakan dan penggunaannya. Dalam waktu singkat seluruh dunia mengalami perubahan budaya media dan komunikasi. Budiono Kusumohamidjojo, seorang guru besar untuk Filsafat Hukum dalam buku tulisannya Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21, menampilkan kekuasaan sekaligus kekuatan media teknologi informasi dengan mengangkat sosok seorang bernama Julian Paul Assange (1971- ), lebih dikenal dunia dengan Julian Assange, seorang berkebangsaan Australia, yang pada tahun 2006 membangun Wikileaks. Jaringan ini tidak ada hubungannya dengan Wikipedia yang dibangun oleh Jimmy Wales (Amerika Serikat, 1966- ).   

Wikileaks mulai menarik perhatian sejak membocorkan macam-macam rahasia mulai dari masalah pembuangan limbah beracun di pantai Afrika, pembunuhan liar di Kenya, skandal tahan di Guantanamo, sampai ke sepak terjang Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan. Meskipun demikian, Wikileaks baru menjadi persoalan besar ketika pada tanggal 28 November 2010 ketahuan telah membocorkan kira-kira 251.000 dokumen rahasia Amerika Serikat yang melibatkan hampir semua negara di dunia, termasuk juga Indonesia. (Kusumohamidjojo 2014, 384)   

Dan Kusumohamidjojo lanjut menjabarkan beberapa dampak besar dari ulah Wikileaks tersebut: Pertama, Wikileaks mengungkapkan nama dari orang-orang “baik” maupun “jahat” dari negara mana saja yang disebutkan dalam dokumen-dokumen itu dan mengungkapkan tindakan-tindakan mereka, sehingga keselamatan pribadi orang-orang ini akan langsung terancam oleh lawan-lawannya. Kedua, Wikileaks membuktikan, bahwa dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi informasi tidak ada lagi kata “rahasia.” Akibatnya, potensial tidak akan ada lagi informasi atau pengetahuan rahasia. Ketiga, jika selama ini para penguasa menjalankan tindakan-tindakannya dengan mengandalkan monopoli atas sejumlah informasi dan pengetahuan yang dirahasiakannya, ke depan pola seperti itu tidak bisa dipertahankan lebih jauh, karena Wiikileaks telah membubarkan monopoli itu dan total merubah regime behaviour. Akibatnya, di masa depan pemerintah harus siap menjawab pertanyaan rakyat mengenai alasan suatu kebijakan, apa kalkulasinya, dan hasil apa yang diperkirakan akan dapat dicapai. Artinya, di masa depan setiap hal yang biasanya disebut “kebijakan publik” dan cenderung dirahasiakan, akan semakin menjadi milik publik juga. Keempat, informasi atau pengetahuan canggih hanya bisa berguna efektif jika berada di tangan orang-orang yang memang mampu menggunakannya, terlepas dari itikad baik atau buruk dari orang-orang yang mampu itu. Artinya, informasi atau pengetahuan canggih yang bisa menentukan nasib orang banyak akan menjadi menjadi sia-sia atau malahan berbahaya jika berada di tangan orang yang tidak memahami dan menyadari kegunaan atau bahaya dari informasi atau pengetahuan itu.   

Jadi teringat seorang David Hume di tulisannya yang berjudul A Treatise of Human Nature, dalam buku Philosophy and Contemporary Problems A Reader (Popkin 1984, 205) menegaskan, “There is no foundation for any conclusion a priori, either concerning the operations or duration of any object, of which ‘tis possible for the human mind to form a conception.”   

Dan memang, sejalan dengan kemajuan daya pikir manusia, media bukan sekadar wadah atau perantara perubahan dan kemajuan. Bisa kita katakan media memang adalah perubahan itu sendiri. Perubahan seni, budaya dan peradaban manusia. Mengenai seni misalnya, kita ingat apa yang pernah dituangkan Diogenes Allen dalam bukunya Philosophy for understanding Theology (Allen 1985, 274), “A work of art has its true being in the fact it becomes an experience that changes the person who experiences it. What remains and endures is not the subjects who have experiences but the work of art itself.” Yang membuat manusia kian berubah atas jangkauannya yang semakin hari, semakin luas. Baik soal waktu maupun geografis manusia-manusia itu. Dalam buku Filsafat Sana-sini 1, tulisan I.R. Poedjawijatna:   

Dalam kebudayaannya itu ternyata, bahwa manusia tidak tidak sendirian di dunia, ia bekerja sama dengan manusia, ia saling membantu dan mengajar, saling menyempurnakan; semua manusia maju, manusia berkembang menuju kesempurnaan. Malahan ia dapat dan harus menoleh ke belakang untuk belajar karena tahulah dia, bahwa tidak hanya yang sekarang saja yang baik dan benar, yang dulupun dapat memberi ajaran yang baik, untuk mengusahakan kesempurnaan besok. (Poedjawijatna 1975a, 27)   


Lalu Bagaimana Dengan Kebenaran?   

Adalah sulit untuk membatasi, dengan terus memantau apalagi untuk menindak arus informatik di labirin dunia maya, menurut Kusumohamidjojo (2014, 387) justru karena realitas teknologi ini tidak kenal perbedaan tempat dan waktu. Penduduk Indonesia di berbagai daerah yang jauh dari Jakarta akan ada dan telah memiliki rujukan informasi dan tayangan yang berasal dari berbagai pusat informais dan tayangn lain, dengan segala dampak yang mungkin sulit kita bayangkan. Teknologi media informasi pada akhirnya memang buta terhadap apa saja yang merupakan perbedaan antarmanusia: ras, gender, status, bahasa, agama. Ujar-ujar yang menyatakan, “manusia itu semua sama di depan teknologi (media dan informasi)” adalah jauh lebih nyata dan berkuasa ketimbang ujar-ujar yang menyatakan, “manusia itu semua sama di depan hukum,” yang dalam kenyataan sejarah, termasuk sejarah bangsa, rakyat dan pemerintahan Indonesia, kelewat sering mudah dipelintir.   

Begitu pula dalam komunikasi politik misalnya, sebuah buku berjudul “Komunikasi Politik” (2013) karya Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru menjabarkan ada tiga generasi komunikasi politik (Heryanto 2013, 161): 1. Generasi pertama adalah melalui retorika politik. Hampir seluruh pesan komunikasi politik diarahkan oleh kemampuan seni berbicara (art of speech); 2. Generasi kedua ditandai dengan dominannya peran media massa yang belakangan kerap disebut sebagai media mainstream; 3. Generasi ketiga ditandai dengan perkembangan new media. Hal ini seiring dengan menguatnya sosial media, seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif.   Situs jejaring sosial (social network site) maupun weblog interaktif, kini sama-sama menunjukkan perannya yang menguat untuk menjadi ruang publik (public sphere) bagi komunitas virtual. Heryanto dan Rumaru (2013) memberikan contoh misalnya, saat terjadi konflik KPK vs Polri dan Skandal Bank Century, muncul perbincangan, tekanan, protes dan akhirnya ajakan menjadi gerakan aktual di kehidupan nyata. Di Facebook muncul akun (account) “Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto” yang anggotanya melebihi sejuta pengguna. Setelah itu, muncul juga “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung Penuntasan Kasus Bank Century.” Dukungan atas gerakan-gerakan tersebut, meluas dan dalam waktu singkat bisa menyatukan banyak orang dalam satu komunitas simbolik di dunia maya. Inilah potret kemunculan ruang publik (public sphere) kontemporer, yang telah mengakomodasi ekspresi serta partisipasi politik indvidu, warga negara secara leluasa saling memberi informasi bahkan berdiskusi politik dengan sangat intensif.   Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Pijar-Pijar Filsafat pernah menekankan tentang kebenaran dari pertimbangan yang dapat disetujui oleh semua:   

Hal itu berarti dua: Pertama, negara tidak boleh mendahulukan pandangan-pandangan tertentu tentang yang baik dan yang buruk (misalnya, berdasarkan keyakinan agama). Kedua, prinsip-prinsip keadilan yang mendasari tatanan masyarakat tidak boleh didasarkan pada keyakinan dan pandangan moral tertentu, melainkan hanya pada pertimbangan yang dapat disetujui oleh semua. Itulah tesis liberalisme tentang netralitas moral negara. (Suseno 2005, 209)   

Namun kekuasaan dan kekuatan komunitas tampaknya memang memegang peranan penting dalam dunia komunikasi dan media informasi. Komunitas jejaring sosial di dunia maya ini pun telah memberi tekanan pada tindakan sewenang-wenang atas Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Kita mungkin masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari versus Rumah Sakit (RS) Omni Internasional. Saat itu, muncul dukungan bagi Prita lebih dari 19.000 Facebookers, melampaui target pada awal pembuatannya sebanyak 7.500 simpatisan. Hasilnya, muncul empati meluas pada sosok Prita, hingga dia memiliki kekuatan luar biasa untuk berhadap-hadapan dengan korporasi yang telah menjeratnya dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Begitu pun gerakan “Koin untuk Prita” sukses melampaui angka 204 juta rupiah sebagaimana diminta oleh RS. Omni. (Heryanto 2013, 174-175)   

Pemikiran Soren Kierkegaard, bapak aliran eksistensialisme, diangkat oleh N. Drijarkara di bukunya Percikan Filsafat. Khususnya tentang bentuk ketiga dari kehidupan manusia, mungkin bisa kita jadikan salah satu “sambungan” antara Filsafat Media dan Teologi:   

Bentuk yang ketiga disebut bentuk religio atau keagamaan. Akan tetapi dalam pandangan Kierkegaard sebagai orang Kristen, bentuk ini mempunyai isi yang tertentu. Dalam bentuk ini manusia menyerah sama sekali kepada Kristus, mengikat diri sama sekali kepada Kristus. Dengan demikian manusia menyerahkan diri dan mengikat diri sama sekali dengan Tuhan. Hanya dengan demikianlah manusia berdiri di depan Tuhan dan hanya dengan berdiri di depan Tuhanlah manusia mempunyai eksistensi yang authentiek atau sewajarnya. (Drijarkara 1978, 68)   

Di kehidupan nyata sehari-hari, misalnya kini di tengah gempuran berbagai media, bagaimanakah maha belas kasihan Tuhan itu kita bisa alami? Dalam buku karya Drijarkara tadi, seorang Kierkegaard berpendapat bahwa maha belas kasihan Tuhan itu dialami dalam iman, dalam kepercayaan. Iman atau kepercayaan bagi Kierkegaard adalah pengertian kepastian dan kebenaran yang tertinggi.   

Pengertian dan kepastian yang sebetulnya itu tidak diperoleh dengan berpikir-pikir secara logis. Apa yang disebut benar, barulah benar, jika dan sesudah saya akui. Apa yang disebut pasti, barulah pasti, jika dan sesudah saya akui. Bagi Kierkegaard apa yang disebut kebenaran dan kepastian bukanlah sesuatu yang tergantung di langit! Baginya benar dan pasti adalah di dalam pelukan jiwa dan hati. Sebetulnya pikiran Kierkegaard bukanlah filsafat belaka. Tetapi juga hal-hal yang menjadi renungan, selalu merupakan kompleks dengan unsur-unsur dari agama. “Pikiran Kierkegaard adalah theologia atau pikiran keagamaan.” (Drijarkara 1978, 69).   

Michael Jindra dengan tulisannya berjudul “The Passions of Electronic and Media Alternate Universes” di dalam buku berjudul Passion in Economy, Politics, and the Media, In Discussion with Christian Theology: We have within us the power to spoil and diminish ourselves, not only physically, but spiritually. Our own creations will certainly assits us in this process, as our technology gives us the ability to create ever more virtual worlds to live in. Those technologies with characters that players create, modify, identify with, and which include a strong narrative element, will be powerfully addictive, competing with other more mundane addictive such as gambling or alcohol. The cost may be measured less in dollars and cents (thoug jobs are lost by game addicts), but in lost relationships, and mental and physical health. Media theorist Arthur Asa Berger is hopeful that reading will reamning strong, since the imagination is more powerful than the visual. The success of Harry Potter gives us some evidence of this, but I fear that the ease and addictiveness of electronic realities will hurt reading practices unless strong afforts are made to reinforce reading. (Palaver 2005, 441)   

Daniel Goleman dalam bukunya Sosial Intelligence (2015, 39) menguatkan kebenaran tentang hubungan dan keterhubungan, yang umpan-balik, “Ketika orang masuk bersama-sama ke lingkaran umpan-balik ini, otak mereka mengirim dan menerima aliran sinyal terus-menerus yang memungkinkan mereka menciptakan keselarasan tak terucap, dan, jika berjalan dengan benar, aliran ini memperkuat resonansi otak mereka. Proses larut bersama ini memungkinkan perasaan, pikiran dan tindakan menyelaras. Kita menerima dan mengirim keadaan internal, apa pun hasilnya, entah itu tertawa atau sabar, atau tegang dan benci.”      
     

Tantangan Dalam Kekuasaan Media   

Buku “Komunikasi Politik” (Heryanto 2013), menampilkan kekurangan yang dilihat oleh penulis sebagai tantangan, terutama implementasi internet sebagai ruang publik baru yang efektif. Pertama, menyangkut aksebilitas internet. Harus diakui akses terhadap internet masih belum merata di segala level sosial masyarakat Indonesia. Kedua, masih lemahnya diskursus online. Diskusi di internet kerap bersifat common sense sehingga harus disikapi secara hati-hati dan diverifikasi secara ilmiah. Sering kita melihat banyak diskusi politik di internet, apakah di jejaring sosial atau di weblog interaktif, diskusi tidak jelas arahnya, asal, dan tidak berorientasi pada penguatan diskursus. Ketiga, belum tentu diakui secara formal. Keempat, tidak terdapat batasan dan standar baku dalam proses interaksi berlangsung di dunia maya. Kelima, interaksi di Internet juga kerap miskin solusi. Maksudnya, banyak hal dibahas, tetapi sangat sedikit, tetapi sangat sedikit yang menawarkan solusi.   

Oleh karena itu, jikalau tidak bisa mengetahui dan tidak bisa melakukan sesuatu, tidak usah dipikirkan. Lakukan saja bagian kita. Kita tidak bisa tidak, pasti membutuhkan dan menggunakan media, apapun bentuknya, tetapi apakah kita tahu apa yang kita gunakan? Pahami betul-betul apa yang kita pahami. Cak Nun (Emha Ainun Najib) pernah menegaskan, “Jangan terlalu pentingkan siapa engkau. Pentingkan lakukan yang terbaik dari dirimu untuk orang lain.” Ia coba mengkategorikan manusia di tengah media juga informasi yang menawarkan “kebenaran-kebenaran”: Pertama, manusia yang tahu sedikit tentang sedikit hal. Kedua, manusia yang tahu sedikit tentang banyak hal. Ketiga, manusia yang tahu banyak hal tentang sedikit hal. Empat, manusia yang tahu banyak hal tentang banyak hal. (Emha Ainun Nadjib, Youtube/dirilis oleh Naila Al Hasna: Cak Nun 11/10/2015 ; Jawaban top bahaya tv, kultus cak nun, hukum bermusik)   

Yang juga sedang menghalangi pertumbuhan rasionalitas kita di Indonesia secara khusus belakangan ini, menurut Rocky Gerung dalam tulisannya “Kultur, Politik, Humanis” dalam buku Penyerbukan Silang Antarbudaya (Mauludi peny. 2015, 183) adalah “Soal kekaguman kita pada ‘kedigdayaan masa lalu.’ Pandangan bahwa kebesaran kerajaan Nusantara di masa lalu adalah identitas kultural yang harus ditiru, memperlihatkan ketidakmampuan kita untuk melihat masa depan yang dinamis. Termasuk psikologi politik poskolonial telah memprovokasi diskursus sosial untuk memusuhi semua yang ‘ada di luar’ sana sebagai berbahaya bagi ‘kebudayaan nasional’. Di sini politik identitas tidak tumbuh dalam upaya perjuangan hak-hak asasi, tetapi justru ditumbuhkan untuk mencurigai perkembangan global.”   

Salah satunya, tantangan tentang apa disampaikan George Friedman, seorang penulis sekaligus ilmuwan politik dan pendiri Stratfor (perusahaan intelijen swasta di Amerika), dalam bukunya The next 100 years, A Forecast for the 21st century. Menarik bila memaknai “ramalan” Friedman tentang masa depan, apa yang akan terjadi dengan kehidupan dunia, di tengah kecanggihan media informasi yang membuat dunia semakin kecil dan terasa dekat satu tempat dengan tempat lainnya di berbagai belahan dunia. Dari berbagai aspek, (Friedman 2009, Author’s Note) “In this book, I am trying to transmit a sense of the future. I will, of course, get many details wrong. But the goal is to identify the major tendecies -geopolitical, technological, demographic, cultural, military- in their broadest sense, and to define the major eventsthat might take place.” Salah satu contoh yang Friedman paparkan dengan gamblang kecenderungan bahkan kemungkinan yang akan terjadi:   

But three nations will have both the power and the need to do something dramatic. Japan will expand its plower to include both maritime Russia and areas of China. Turkey will expand its power not only into the Caucasus but also throughout the areas to its northwest and south. Poland, leading coalition of Eastren European power, will push eastward and deep into Belarus and Ukraine. By the mid-2030s, however as all three continue to increas their power, the United State will begin fell uneasy. By the 2040s, it will be down-right hostile. The fifth geopolitical principle for the United State is to oppose any power controlling all of Eurasia. Suddenly there will be three regional hegemons emerging simultaneously, and two of them (Japan and Turkey) will be significant maritime power -one in the northwest Pasific and one in the eastern Mediterranian. Both will also have developed significant capabilities in space, and we will see in the next chapter how that becomes relevant by mid-century. The bottom line is as follows: 2040s, the United State will do what it does when it become uneasy. It will begin to act. (Friedman 2009, 152).   

Mungkinkah hal seperti ini hanya sebuah visi? Atau apa yang terjadi dan akan terjadi di sebuah negara bahkan dunia, memang sudah dirancang dan disiapkan oleh beberapa orang atau kelompok, hanya segelintir manusia dunia? Atau memang perubahan terjadi mengikuti berjalannya waktu bersama pesatnya penggunaan media massa dan berkembangnya kehidupan manusia itu sendiri? Sehingga yang mendekati benar adalah: Di dunia yang sangat multimedia dan sangat canggih terhubung seperti sekarang, maka prediksi bisa kita konstruksikan secara rasional, berdasarkan berbagai fakta, data dan file yang ada bahkan terjadi berlaku sekarang.   

Misalnya lagi yang lebih bisa kita kritisi adalah teori atau visi Friedman tentang “frenemy-ship” adalah hubungan (antar manusia, khususnya antar negara) sebagai friends maupun enemies. Kusumohamidjojo (2014) sempat mengutip istilah serta menghadirkan ramalan Friedman ini dalam buku Filsafat Politik: “Yang jelas, nampaknya dalam abad ke-21 ini Tiongkok memang akan menjadi saingan utama Amerika Serikat, terutama setelah mengambil alih posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi dunia nomor dua. Tiongkok juga giat sekali meningkatkan kemampuan militernya serta penguasaan teknologi angkasa luuarnya. Friedman memang meramalkan bahwa strategi pertahanan di abad ke-21 ditentukan tidak lagi di atas muka bumi, melainkan di angkasa luar. Keduanya (Tiongkok dan Amerika Serikat) akan bersaing habis-habisan untuk mendominasi dunia, tetapi keduanya juga akan (terpaksa) bekerjasama sedemikian rupa.”

Friedman ini menurut Kusumohamidjojo sangatlah rasional apalagi jika kita belajar dari apa yang sudah pernah terjadi antara India dan Pakistan (Kusumohamidjojo 2014, 381). Dua musuh bebuyutan sejak mereka merdeka pada tahun 1974, terlibat perang sampai empat kali (1974, 1965, 1971 dan 1999) dan sama-sama bersenjata nuklir, ternyata tidak menghalangi kedua negara tersebut untuk saling berniaga satu sama lain. Pakistan mempunyai tambang gypsum di Jhelum di provinsi Punjab, di timur laut di dekat perbatasan dengan India, dan menjualnya ke India yang memprosesnya untuk menghasilkan semen. Para pihak yang mendapatkan keuntungan dari hubungan dagang ternyata bisa melupakan permusuhan.   Namun yang pasti, kali ini berdasarkan survei (bukan sekadar ramalan), seorang Don Tapscott, salah satu pakar cyber terkemuka dunia, yang coba membagi generasi dalam bukunya Grown Up Digital (2013, 18-24) mulai dari fase kehidupan manusia yang lahir Januari 1946: Generasi Baby Boomer (lahir 1946 - 1964); Generasi X (lahir 1865-1976), Y (lahir 1977-97), Generasi Z (lahir 1998-2010) bahkan kini mulai muncul Generasi Alpha (manusia yang lahir tahun 2011- selanjutnya). Bersama tim-nya telah melakukan survei 6000 kaum muda di seluruh dunia pada tahun 1997. Menghasilkan 8 (delapan) norma dari generasi media, informasi dan internet yang canggih sekarang ini, yaitu: 1. Kebebasan; 2. Kustomisasi (atau personalisasi); 3. Penyelidikan; 4. Integritas; 5. Kolaborasi; 6. Hiburan; 7. Kecepatan; dan 8. Inovasi.   

Kedelapan norma ini berakar dalam pengalaman berbeda kaum muda masa kini terutama terkait dengan asupan media mereka. Mereka telah dibesarkan untuk menjadi aktor, pemrakarsa, pencipta, pemain, dan kolaborator. Internet telah menjadikan mereka apa adanya, kaum muda yang berbeda dalam banyak hal dibanding para orangtua dan kakek-nenek mereka pada usia yang sama. Internet telah menjadi sesuatu yang baik bagi generasi ini. Dan saya percaya bahwa bahkan mereka yang sangsi akan melihat bahwa anak-anak Grown Up Digital ini akan baik bagi kita. (Tapscott 2013, 105)      


Kebaikan, Norma dan Kebenaran   

Di Buku Open To Go (2015) yang ditulis dan disusun bersama oleh Christina Brudereck dan kawan-kawan, mempertanyakan ulang, dari mana visi hidup tentang kebaikan, norma (nilai) dan kebenaran dan hal-hal lain di seputar itu berasal, dan bagaimana perbuatan, sikap dan kebiasaan itu dibentuk. Oleh kita bersama, baik sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat, apalagi sebagai orang-orang percaya (gereja) dalam jaman media dan kemajuan daya pikir dan derasnya berbagai informasi seperti sekarang ini (Brudereck dan kawan-kawan 2015, 101), “Sekali lagi bagaimana visi kita dibentuk? Kita memiliki tubuh -bukan hanya pikiran, melainkan juga indera, otot dan tulang. Yang mendasari perbuatan kita adalah gambar dan cerita, bukan kebenaran abstrak. Gambar dan cerita tersebut menyatu dengan perbuatan jasmani, “liturgi” kita sehari-hari, yang membentuk kebiasaan dan sikap kita. Sangat sulit menolak citra dan kebiasaan yang membudaya di masyarakat kita. Budaya konsumtif sangat menggiurkan dan menarik. Satu cara untuk menangkalnya adalah dengan menarik diri dari dunia - hidup tanpa tv, internet dan shopping. Beberapa kelompok Kristen radikal memang telah memilih untuk hidup seperti itu. Kelompok lainnya memilih untuk sedikit menjauhi - dan inilah salah satu alasan mengapa gereja Protestan sering enggan bercampur dengan budaya populer. Namun, jika ingin tetap menjadi sebuh gereja misioner, kita harus hadir di tengah masyarakat, tanpa terpengaruh keinginan dan kebiasaan yang tidak benar, ‘di dalam dunia’, tetapi bukan di ‘luar’ dunia.”   

Belum lagi adanya tantangan, tentang keberadaan Net Religion dalam buku Digital Religion (Heidi A. Campbell, peny.) juga menarik untuk diperhatikan dan dimaknai, agama apapun. Bahwa tentang kebaikan, nilai dan kebenaran dilihat secara filfafat dan teologinya adalah upaya semakin melihat kepada Allah yang berkomunikasi dengan seluruh ciptaanNya, khususnya dengan semua manusia, siapapun dia:   

More generally, the idea of Net Religion can challenge the idea that physical interaction is central to religious practice, by offering a form of religion in which the physical presence of participants is secondary to the achievement of spiritual goals. (Campbell, peny. 2013, 213)   

Daripada kita tergoda jadi “mengawang-awang,” mungkin baik di bagian akhir makalah ini kita memperhatikan, sekaligus coba sama-sama berjuang memberlakukan apa yang diusulkan oleh Tapscott di bukunya Grown Up Digital yakni 7 (tujuh) panduan menjadi orangtua dari anak-anak yang menjadi dewasa di dunia media dan informasi digital (Tapscott 2013, 347-348):

Miliki visi keluarga. Ciptakan keluarga terbuka yang didasarkan pada komunikasi multiarah, saling percaya, dan hormat kepada prinsip otoritas yang cair.   

Interaksi. Libatkan diri secara aktif dalam kehidupan keluarga Anda; prioritaskan penyediaan waktu yang berkualitas bagi sesama anggota keluarga.   

Sesuaikan metode menjadi orangtua Anda. Bedakan lingkungan dan kesempatan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak secara individu.   

Rancang dengan sadar keluarga Anda untuk menyeimbangkan kerja dan kehidupan pribadi. Kenali kompromi-kompromi yang ingin Anda lakukan untuk menyelesaikan semua masalah satu demi satu.   

Kolaborasi dalam menjadi orangtua. Hargai keragaman dan bangun komunitas dalam membesarkan anak-anak Anda; kehidupan mereka akan jauh lebih kaya karenanya.   

Biarkan anak-anak tetap anak-anak. Ambil petunjuk-petunjuk dari anak-anak, junjung tinggi minat spontan mereka, dan dukung motivasi untuk belajar yang hanya demi kepuasan karena menemukan sesuatu.   

Bermain. Ikut bermain di lantai bersama anak-anak Anda dan tertawalah dengan tulus atas kekonyolan-kekonyolan mereka.   

Karena sesungguhnya dalam bahasa Daniel Goleman, di dalam tiap makhluk hidup, khususnya manusia, terdapat apa yang disebut “WiFi saraf” (Goleman 2015, 41), “Para ilmuwan saraf menemukan WiFi saraf ini secara kebetulan pada tahun 1992. Mereka sedang memetakan area sensori-motorik otak monyet dengan menggunakan elektroda-elektroda yang begitu tipis seperti laser yang bisa mereka tanamkan dalam satu sel otak. Ketika pada suatu siang hari yang panas ketika seorang asisten riset kembali dari istirahat sambil makan es krim. Para ilmuwan terpesona melihat sel sensori-motorik menjadi aktif ketika seekor monyet melihat si asisten mengangkat contong es krim itu ke bibirnya.”   

Dan melalui media apapun juga, hubungan semakin jelas di antara manusia. Dalam bukunya yang berjudul Social Intelligence itu, Daniel Goleman mengisahkan penelitian yang dilakukan Carl Marci, seorang psikiater di Harvard Medical School:   

Karena sebelumnya, ilmu saraf hanya mempelajari satu otak pada setiap kesempatan. Namun sekarang dua otak dianalisis pada saat yang sama, menyingkapkan duet saraf yang hingga kini tak terbayangkan antara otak dan otak ketika orang-orang berinteraksi. Marci telah menyarikan dari datanya apa yang ia sebut sebagai “logaritma untuk empati,” suatu proses saling memengaruhi respons keringat dua orang selama mereka menikmati hubungan baik. Logaritma itu mereduksi pola fisiologi dua orang pada waktu puncak hubungan baik, ketika seseorang merasa dimengerti oleh yang lain, ke dalam persamaan matematis. (Goleman 2015, 24)   

Coba bayangkan hubungan baik ini, bisa terjadi di antara bermilyar manusia di atas muka bumi! Secara teknis, dalam buku Teaching and Learning With Multimedia, para penulisnya Janet Colins, Michael Hammond dan Jerry Wellington berpendapat (1997, 123) “When they can share knowledge and information. We believe it is talk between learners which help them toassimilate new information in the light of their previous knowledge and which provides the stimulus for extending a topic or inquiry.”         


Kesimpulan Dan Refleksi Teologis   

Di pesatnya perkembangan media serta informasi, makna atau arti hanya bisa ditemukan dalam interaksi. Dalam proses interaksi atau hubungan antar manusia itulah, pengguna media memilih, lalu nyambung dan bersama-sama berupaya. Selalu berupaya mencari serta menyepakati kebenaran, di tengah sangat beragamnya informasi dan media komunikasi.   

Jadi kekuasaan sebenarnya bukan lagi sekadar pada informasi, kekuasaan juga bukan lagi berada pada media-media. Namun mungkin tepat kita katakan ada pada yang menerima informasi-informasi yang saling berinteraksi. Bahkan makin lebih tepat sesungguhnya ada di hubungan (interaksi) itu sendiri. Jadi tidak lagi pada satu atau dua orang saja. Ya, kekuasaan itu kini ada di generasi. Generasi sekarang ini (penulis/saya lebih menyebutnya sebagai generasi multimedia). Generasi penuntut ilmu yang baru, generasi yang selalu bisa mencari dan mendapatkan informasi baru. Generasi yang menentukan kebenaran berdasarkan kolaborasi.

seperti yang diingatkan Tapscott bahwa: Guru-guru harus berhenti berceramah. Sebagai ganti mereka harus menjadi mentor bagi kaum muda yang sedang menggunakan alat (media-media) dahsyat ini untuk mengeksplorasi dunia. Pendidikan harus dikustomisasi (di
personafikasi), disesuaikan dengan kebutuhan tiap siswa. Kemudian biarkan mereka berkolaborasi. Akan seperti itulah dunia kita. (Tapscott 2013, 448)   

Hebatnya dalam hubungan dan kolaborasi terus-menerus itulah, kita akan bisa menemukan “saling.” Saling percaya, saling peduli, saling terbuka, saling mengingatkan bahkan saling menegur, saling mengasihi, saling mendukung, saling membangun, dalam rangka berjuang bersama untuk perbaikan, perubahan serta untuk menuju kehidupan bersama yang terus lebih baik. Berhasil menemukan Allah. Yang dalam Yesus di konteks Injil Yohanes 15:12 meneladankan “saling” dan mengajar “saling”, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Ada jaringan saling mengasihi.   

Dan akhirnya, sekaligus untuk masa berikutnya, perhatikan, ada gelombang serta frekuensi yang sama di pendapat Tapscott (2013, 449), “Karena pengaruh berbagai media termasuk internet yang terus tumbuh, kecenderungan akan mengarah ke jaringan, bukan hierarki. Mengarah ke kolaborasi terbuka, bukan sistem komando, mengarah ke konsensus, bukan ke aturan yang sewenang-wenang, dan mengarah ke pemberdayaan, bukan ke pengendalian. Sebagai siswa, sebagai anak-anak, dan sebagai konsumen, mereka memberikan tekanan kepada sekolah, keluarga, dan pasar untuk berubah. Sebagai pekerja berpengetahuan, sebagai pendidik, sebagai pejabat pemerintah, sebagai wirausaha, dan sebagai pelanggan, mereka akan menjadi kekuatan yang tak terhentikan untuk transformasi.”   









 Daftar Acuan 

Allen, Diogenes. 1985. Philosophy for understanding Theology. London: SCM Press Ltd. Brudereck, Christina, dkk. 2015. Open To Go: Bagaimana menjadi gereja masa depan. Jakarta: Gunung Mulia. Budiargo, Dian. 2015. Berkomunikasi ala net generation. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia.
Campbell, Heidi A, (peny.). 2013. Digital religion, Understanding religious practice in new media worlds. New York: Routledge.
Collins, Janet, Michael Hammond and Jerry Wellington. 1997. Teaching and learning with multimedia. London: Routledge.
Drijarkara, N. 1978. Percikan filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Friedman, George. 2009. The next 100 years, A Forecast for the 21st century. New York: Doubleday. Goleman, Daniel. 2007. Social intelligence, ilmu baru tentang hubungan antar-manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Heryanto, Gun Gun dan Shulhan Rumaru. 2013. Komunikasi politik: Sebuah pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. Kusumohamidjojo, Budiono. 2014. Filsafat politik dan kotak pandora abad ke-21. Yogyakarta: Jalasutra.
Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-pijar filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Mauludi, Sahrul (peny.). 2015. Penyerbukan silang antarbudaya, membangun manusia Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia.
Moedjanto, G. (dan kawan-kawan, peny.). 1994. Tantangan kemanusiaan universal. Yogyakarta: Kanisius.
Nasrullah, Rulli. 2015. Media sosial, perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Nietzsche, Friedrich. 1968. The will to power. A New Translation bby Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale. New York: Vintage Books.
Palaver, Wolfgang dan Petra Steinmair-Posel (peny.). 2005. Passion in Economy, Politics, and the Media, In Discussion with Christian Theology. Vienna: LIT Verlag.
Poedjawijatna, I.R. 1975. Filsafat sana-sini 1. Yogyakarta: Kanisius. Poedjawijatna, I.R. 1975. Filsafat sana-sini 2. Yogyakarta: Kanisius.
Popkin, Richard H. dan Avrum Stroll. 1984. Philosophy and contemporary problems a reader. New York: CBS CollegePublishing.
Tapscott, Don. 2013. Grown up digital: Yang muda yang mengubah dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.






(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak kurang rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar