10 Mei 2016

Pembangunan Jemaat? Pembangunan Jemaat!


Lusindo Yosep Tobing. 
Mahasiswa Pascasarjana STT Jakarta. 



Pembangunan Jemaat? Pembangunan Jemaat! 

Abstrak 
Tujuan penulisan makalah (akhir) semester 2 Kelas Pembangunan Jemaat ini adalah seturut dengan Tujuan Instruksional Umum yang diberikan dosen pengajar dan disepakati bersama mahasiswa sejak awal kelas. Yakni menjelaskan pemahaman secara elaboratif dan kritis mengenai prinsip-prinsip pembangunan jemaat. Juga menguraikan hal mendasar tentang kecakapan melaksanakan pembangunan jemaat. Dan uraian tentang proses-proses transformasi jemaat yang bersifat menyeluruh, terpadu, terarah, dan bersinambung demi pelaksanaan misi jemaat di tengah masyarakat. Penulisan ini juga diharapkan bisa mengajak semua pihak dalam gereja, terus mempertanyakan keadaan yang ada, melihat keinginan yang ingin dituju, dan mengupayakan proses pembangunan jemaat bisa semakin baik di tiap jemaat gereja lokal. Kata-kata kunci: Jemaat, Gereja, Pembangunan Jemaat, Transformasi, Misi, Lingkungan, dan Masyarakat. 


Pendahuluan   

Penggunaan dua tanda baca (tanda tanya dan tanda seru) pada kalimat Pembangunan Jemaat di judul makalah ini, sesungguhnya menjelaskan: Pertama, seluruh proses belajar-mengajar di kelas Pembangunan Jemaat, harus terus dipertanyakan dengan diupayakan benar-benar diterapkan nyata, berlanjut di lapangan pelayanan kehidupan berjemaat. Dan kedua, berarti pasti, dan terus berupaya tiada henti. Karena tidak boleh ada kata puas dalam pembangunan jemaat. Terus-menerus menjadi jemaat serta gereja yang lebih hidup, lebih vital dan lebih menarik. Menuju gereja yang hidup, vital dan menarik dengan proses pembangunan. Pembangunan Jemaat. 

                             Prinsip-prinsip Pembangunan Jemaat   

Jemaat ada karena Allah. Jemaat gereja tidak berada karena dirinya sendiri. Itulah sebabnya, pembangunan jemaat-gereja harus melihat dirinya dalam desain besar “rencana pembangunan” dari Allah. Dalam desain Allah itu jemaat juga tidak berada untuk dirinya sendiri, melainkan berada untuk melaksanakan rancangan dan misi Allah. Proses pembangunan jemaat tidak boleh pada upaya manajerial dan organisasional belaka. Karena itu, kita perlu memahami apa atau siapa jemaat dan gereja itu dan apa misinya secara teologis dan memperjumpakannya dengan realitas dan konteks yang ada. Dan dari sana kita baru bisa melakukan upaya-upaya transformasi. Gereja tidak bisa meninggalkan dunia, namun jemaat-gereja juga tidak boleh menjadi sama atau serupa dengan dunia. Ketika pembangunan jemaat diberlakukan, maka proses transformasi akan berlaku nyata, saat itulah jemaat-gereja menjadi hidup, bukan tertidur (apalagi mati).   

Dan menurut Jan Hendriks, dalam bukunya yang berjudul Jemaat Vital & Menarik, justru dalam relasinya dengan Allah, manusia dengan sepenuh-penuhnya menjadi subjek. Jemaat menjadi subjek dalam pembangunan jemaat itu sendiri! Dalam bukunya yang berjudul Jemaat Vital & Menarik (2002, 59), Hendriks bahkan menulis anggota jemaat dari sebuah gereja, dengan istilah: Anggota jemaat “biasa”. Jemaat “biasa” sebagai subjek. Dengan tanda khusus (tanda kutip) pada kata “biasa” di sana, ia ingin menampilkan respek yang besar kepada seluruh jemaat. Karena maksud Hendriks sesungguhnya tidak ada yang namanya anggota biasa. Tidak ada orang yang “kurang” daripada pimpinan, jabatan, imam, sebagaimana disugestikan oleh istilah anggota jemaat biasa. Karena jika ada anggota biasa maka juga ada anggota luar biasa bukan?   

Benar-benar pembangunan dari yang terdalam, yakni spiritual jemaat yang hidup. Meminjam istilah Eka Darmaputera, jemaat-gereja harus terus memiliki “api.” Dalam tulisannya berjudul “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar” pada buku Penuntun - Jurnal Teologi dan Gereja Vol. 3, No.12, Juli 1997. Darmaputera menegaskan spiritualitas itu ibarat “api” panas menyala yang dialami para tokoh pendiri agama-agama. Tanpa kehangatan “api” itu setiap agama dan kehidupan jemaat akan menjadi “abu” dan “ampas” saja, meskipun dalam hal-hal lahiriah bisa tampak besar dan berkembang. “Awas, hati-hati, bahaya spritualitas narsisme!” demikian tambah Darmaputera (1997, 395) mengingatkan adanya spiritualitas yang bertujuan hanya mencari kenikmatan rohani bagi diri sendiri.   

Pembangunan jemaat juga harus nyata diberlakukan dan dilaksanakan, dalam dan dari kehidupan semua jemaat Tuhan, tiap hari. Bersama dan untuk lingkungan manusia. Juga komunitas dan masyarakat di manapun jemaat itu hidup berkarya serta menjadi saluran berkat-Nya bagi dunia. Gagasan ini berakar dalam dasar teologis bahwa Roh dicurahkan atas semua (Kis 2:17). Sehingga jemaat sebagai subjek benar-benar bisa dilihat sebagai gereja sesungguhnya, yang tidak bisa dan tidak boleh lepas dari masyarakat secara utuh. Oleh Ford (2008, 650), dasar untuk memahami ini sesungguhnya bisa langsung kita temukan di bagian awal Alkitab. Tepatnya di Kitab Kejadian 1: 26-27, yang menjadikan bergandengan baik subjek dan kata kerja, dalam "Tuhan menciptakan." Menciptakan siapa? Perhatikan, mahkota ciptaan Allah itu adalah manusia.   

Community is God’s essence. He not only created community, but He Himself also experiences it as part of His very nature. To say that God exists in community means that He is not isolated but is in reciprocal relationship. He knows others and is known. He gives and receives. For humans, being part of a community means that we are bound together in love and that we are aware of others’ need and put them ahead of our own (Phil. 2: 3-4). Not only do we develop meaningful relationships, but also we are united by a common mission. This is a great mystery. But it is not mysterious at all to say that if we exist in God’s image, and if God exists in community, the we are created for community as well. (Ford 2008, 66)   

Sehingga akhirnya, seperti pandangan Hendriks, jemaat yang menjadi subjek itu bisa benar-benar menerima satu sama lain. Ada kaitan antara jemaat yang satu dengan lainnya (2002, 61). Juga baik ke dalam maupun keluar. Dengan mengulang penekanannya tentang “jemaat biasa,” yaitu jemaat sebagai subjek, bukan sekadar objek. Hendriks (2002, 62) menambahkan bahwa anggota jemaat yang biasa itu sesungguhnya adalah imam. Dan oleh karena itu mereka ikut bertanggung jawab atas pembangunan jemaat. Sekali lagi, karena jemaat adalah subjek. Mereka dipanggil untuk tugas itu dan menerima potensi untuk itu juga. Semua menerima pemberian rahmat, karisma-karisma untuk mengabdikan diri kepada pembangunan jemaat.   

Sekali lagi yang dimaksudkan di sini tentu jemaat dan gereja-Nya di kehidupan nyata. Dengan berbagai perubahan jaman, serta tantangan untuk selalu mengubah diri, serta misinya, mewartakan Keselamatan Allah kepada dunia. Sudah seharusnya selalu ada yang diubah dan ditingkatkan. Tantangannya menurut pendapat Ford (2008, 91), “People will resist change when decisions don’t align with the code.” Yang oleh Hendriks, juga ada beberapa tantangan untuk pembangunan jemaat menjadi “jemaat ber-Misi,” jemaat yang siap dipanggil untuk mewartakan Kabar Baik (2008, 178-182) yaitu: Ketidakpastian mengenai identitas, ketika konsepsi yang jelas selama beberapa dasawarsa terakhir digerogoti (undermind) dan kepastian yang mula-mula ada dalam rumusan itu diganti dengan ketidakpastian yang semakin bertambah; Pluralitas dalam konsepsi identitas, hal ini terjadi ketika dalam satu Gereja atau jemaat/paroki, ada dua atau lebih konsepsi yang berdiri satu di samping yang lain, dan; Konsepsi identitas yang pecah, hal ini sering terjadi misalnya kalau dalam satu jemaat ada satu grup yang mau solider dengan orang marginal, dan grup yang lain menganggap perlu supaya bahasa Alkitab dipelajari oleh jemaat. Terjadilah ketegangan bahkan pecahnya konsepsi identitas jemaat.   Namun jika tantangan tersebut (dan tantangan lainnya) dapat dihadapi dan dijawab oleh jemaat bersama-sama, maka Hendriks meringkasnya demikian:   Jawaban yang jelas dan dimiliki bersama atas kedua pertanyaan siapakah kita dan apa penugasan kita mendorong terjadinya iklim yang menggairahkan, memudahkan perkembangan tujuan yang konkret, memperbesar kemungkinan bahwa struktur akan jernih, -terutama kalau finalisasi distimulasikan- dan memperluas kemungkinan bagi pengembangan serta evaluasi kebijakan. (Hendriks 2002, 189)   

Yang oleh J.B Banawiratma dikenal dengan ungkapannya “melibatkan teman-teman.” Dalam bukunya yang berjudul Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry, Banawiratma menyatakan (2014, 40-41), “Salah satu mimpi pemberdayaan diri jemaat bersama Yesus adalah bahwa semua ikut serta, tidak ada seorangpun yang ditinggalkan, semua dianugerahi karisma untuk pembangunan jemaat.” Sama seperti Hendriks tidak dimaksudkan hanya kepada kategori tertentu, elite, melainkan semua (jemaat). Jemaat adalah dan sebagai subjek penuh, bersama dan utuh.   

Dapat diringkas sebagai berikut: anggota jemaat biasa adalah subjek penuh maka ikut bertangungjawab atas jemaat; setiap anggota mempunyai nilai khas bagi jemaat atas dasar karismanya sendiri, sehingga ia dibutuhkan. Nilai itu perlu diakui dan bagi nilai itu perlu juga diciptakan ruang. Maka perlu menciptakan kemungkinan bagi mereka untuk berpengaruh dan memikul tanggung jawab. Dan kalau dicari rekan sekerja maka harus diperhitungkan -dengan teliti- apa karisma khas mereka. (Hendriks 2002, 62)        

Dan juga seperti harapan Hendriks (2002, 64-65): Semua jemaat dilibatkan dalam menentukan kebijakan jemaat; Semua jemaat mendapat informasi yang mereka butuhkan dan diundang memberikan informasi dalam komunikasi terbuka; Semua jemaat dilibatkan dalam penentuan kebijakan; Semua jemaat dapat mempengaruhi hidup jemaat pada umumnya; Dan semua jemaat diterima dan diperlakukan dengan respek.   

Jika tidak, maka jemaat hanya akan dipandang sebagai tool of management atau gimmick. Dan akan memunculkan problem besar. Jemaat akan berfungsi di bawah kemampuan dan tarafnya. Kemudian vitalitas jemaat menjadi sangat berkurang, perlu kita ingat, menurut Hendriks (2002, 63-64) hal seperti ini akan lebih terasa bagi jemaat daripada organisasi yang lain, karena jemaat sebagai organisasi normatif lebih mudah terluka. Karena itulah, Hendriks mengingatkan betul khususnya untuk iklim yang positif, jemaat harus dilihat sebagai subjek, sebagai manusia yang dipanggil untuk memikul tanggung jawab dalam kebebasan. Tiap anggota jemaat bertanggung jawab tidak hanya atas pelaksanaan kebijakan, namun juga atas perumusan kebijakan.  


  Transformasi Jemaat - Menyeluruh, Terpadu, Terarah dan Berkesinambungan 

  Kevin G. Ford dalam bukunya Transforming Church (2008, 249-250) mengakui bahwa menjadi “transforming church” membutuhkan proses yang tidak mudah dan tidak bisa cepat. Ford bahkan mempertanyakan apakah jemaat dan gereja di mana kita berada, sesungguhnya sudah menuju ke sebuah proses transformasi itu? Benar-benar siap dengan perubahan, siap bertransformasi? Apalagi transformasi yang menyeluruh, terpadu dan terarah?  
 
Is your church ready for a change? Are there problems that need to be addressed? If you have the courage to face the adaptive issues, the tenacity to deal with ine vitable resistance, and the humility to ask for God’s help, then be assured: Your church can and will be transformed into the image of Christ - one step at a time. (Ford 2008, 250)   

Dibutuhkan keberanian menghadapi masalah. Sekaligus keuletan untuk menghadapi perlawanan yang tak terelakkan, dan kerendahan hati untuk meminta bantuan Allah. Setia menegaskan tidak hanya tentang status jemaat sebagai subjek, namun harus bersinergi untuk berlangsungnya proses yang biasa disebut transformasi. Agar selangkah demi selangkah, jemaat serta gereja kita dapat dan akan berubah menjadi sesuai gambar Allah di dalam Kristus.         
Hendriks secara khusus memaparkan relasi antara kelompok-kelompok dalam organisasi. Biasanya kelompok itu dibentuk untuk menjalankan tugas-bagian, maka disebut kelompok fungsional atau kelompok tugas. 

Dan khusus dalam organisasi normatif, seperti Gereja, partai politik, lembaga pendidikan, dsb., di mana kelompok lebih sering dibentuk atas dasar kategori (seks, umur, profesi) atau aliran tertentu, misalnya dalam partai politik (liberal, sosialistis), atau dalam Gereja (gerakan fransiskan, gerakan awam) atau macam-macam pendekatan dalam institut pendidikan. (Hendriks 2002, 111)   

Ditambahkan juga oleh Hendriks (2002, 116), bahwa struktur adalah erat hubungannya baik dengan transformasi, yakni perealisasian tujuan maupun dengan iklim dan kepemimpinan. Oleh karena itu, kiranya relevan menyelidiki bagaimana relasi-relasi kelompok dapat distrukturalisasi sedemikian rupa sehingga vitalitas organisasi bertumbuh.   

Lebih menarik lagi misalnya transformasi yang diuraikan dan diceritakan Diana Butler Bass. Tentang “Imagining A New Old Church” dalam bukunya The Practicing Congregation. Bass mengambil salah satu contoh nyata (2004, 7) yakni proses transformasi yang terjadi pada Gereja Epifani (Church of the Epiphany), berlokasi hanya 3 blok dari White House, Washington D.C., berdiri sejak tahun 1842, lalu hampir tutup di sekitar tahun 1992, namun sepuluh tahun kemudian (tahun 2002) dapat menjadi jemaat yang vital dan semakin menjadi saluran berkat Allah bagi dunia.   

The Prostestant mainline is, to quote plague victims being hauled to the graveyard in an old Monty Python movie, “not dead yet.” Some congregations are sensing the cultural sea change and finding new ways of navigating their life together. In the process, they are expetiencing unexpected vitality, theological deepening, and spiritual growth. Church of The Epiphany is one of those places -an old, establishment church in an establishment city- creating new ways of being authentically Christian in a post Protestant, post-traditional, post-everything age. (Bass 2004, 20)      

Tentang menuju transformasi jemaat, Hendriks juga menambahkan (2002, 121-123), ada empat ciri yang penting bagi struktur organisasi vital. Keempat ciri itu adalah: 1. Sederhana. Struktur organisasi hendaknya sederhana; artinya jelas untuk siapa saja yang ada hubungan dengannya; 2. Desentralisasi. Ada kecenderungan yang jelas ke arah desentralisasi, maka juga ke arah pembagian kuasa; 3. Komunikasi tinggi. Kata kunci untuk komunikasi itu ialah luas, informal, terbuka. Komunikasi itu diharap langsung maka tidak (hanya) lewat pimpinan atau dengan perantaraan organ yang “lebih tinggi.” Hal itu berlaku bagi kelompok-kelompok, tetapi juga untuk anggota-anggotanya; 4. Datar. Jelas ada preferensi untuk struktur yang datar, maka untuk sesedikit mungkin lapisan. Juga yang tidak kalah pentingnya mengolah, keterkaitan “pohon-pohon” (= faktor-faktor) yang berjumlah 5 faktor (iklim, kepemimpinan, struktur, tujuan/tugas dan konsepsi identitas) secara integral “membentuk hutan” (=keseluruhan). Bersama jemaat lokal di mana kita melayani, dengan seluruh jemaat lainnya, bahkan bersama gereja-gereja di Indonesia dan seantero dunia. Berangkat dari konteks jemaat kita masing-masing, tantangan dan pergumulan di tiap jemaat dan terus melakukan transformasi, membantu vitalisasi atau revitalisasi jemaat.(Hendriks 2002, 47)   

Khusus tentang pengertian “konsepsi identitas”, bagi Hendriks dapat dipakai dalam dua arti: dalam arti yang lebih objektif sebagai yang-tetap-sama dalam segala perubahan dan dalam arti yang lebih subjektif sebagai definisi diri. Hendriks (2002, 172) lebih memilih memakai kata identitas dalam arti yang kedua. Dan kata “konsepsi” dipilihnya karena lebih mengungkapkan sekaligus menjelaskan bahwa identitas jemaat sebagai kategori empiris. Bukan sekadar identitas dalam pengertian filosofis ataupun teologis sistematis.   

Istilah konsepsi identitas mengungkapkan dengan baik bahwa kita berbicara mengenai pandangan tentang realitas: sesuatu yang harus dikembangkan oleh grup. Saya memakai kata itu dalam arti kedua, yaitu sebagai definisi diri karena realitas yang di belakang pengertian itu mempunyai fungsi-fungsi yang penting bagi organisasi. (Hendriks 2002, 174-175)   

Bila kita berbicara “konsepsi identitas” gereja khususnya tentang kehidupan jemaat, Kevin G. Ford dalam bukunya Transforming Church pernah mengungkapkan istilah menarik serta kuat makna yang mungkin berhubungan, yakni: Code.   

Code can be tricky to define. We can talk about code as the essence or soul of a church. We can talk about what code does, which is to shape the face of how the church displyas itself to the world. Code shapes tradition, values, and mission. Code is not usually rational. Most often, it reveals itself indirectly and symbolidally, through the myths, heroes, and stories that give a church its texture and flavor. (Ford 2008, 89)   

Dari pandangan Hendrik yang cenderung konseptual dan Ford yang lebih praksis ini, keduanya tampaknya bisa saling mengisi untuk semakin mendukung kita (juga semua pembaca buku mereka), memahami lebih utuh kenyataan yang ada, berusaha dan mampu menjawab pertanyaan siapakah kita? Dan pertanyaan apa penugasan kita? Juga menuju impian dalam dan milik sebuah komunitas jemaat, serta kondisi-kondisi yang dibutuhkan agar proses kehidupan berjemaat di sebuh gereja lokal tertentu semakin ditransformasi menjadi gereja dan jemaat yang vital.   

E. Stanley Ott punya konsep transformasi jemaat yang menarik, berhubungan dengan relasi-relasi seperti Hendriks sajikan. Ott memunculkan ungkapan “Ministry Team” dalam bukunya yang berjudul Transform Your Church with Ministry Teams:   

Just think of a ministry in which face-to-face fellowship, spiritual gift deployment, interpersonal ministry-skill development, leadership expansion, and discipleship growth are all rolled into one experience. A ministry team does all of this while simultaneously accomplishing its vision or task in ministry. For this reason, ministry teams are among the most efficient and effective approaches to ministry available to us today. (Ott 2004, 3)   

Transformasi dalam kehidupan jemaat-gereja menurut Hendrik (2002, 97), dimensi paguyuban atau relasi paguyuban berperan besar dalm Gereja-gereja, baik dalam jemaat lokal maupun dalam macam-macam diskusi. Sebab yang dituntut ialah iklim di mana manusia dilihat sebagai subjek; di mana pendapatnya dianggap penting; dan di mana diusahakan komunikasi terbuka. Perlu juga kepemimpinan yang tidak mau memerintah atau berkomunikasi dari atas ke bawah, melainkan melayani orang dan oleh karena itu memperhatikan apa yang menjadi kemungkinan mereka yang spesifik: suatu kepemimpinan yang melatih diri untuk mendengarkan. Dan mengenai relasi, Hendriks meringkasnya dalam konklusi akhir. Konklusi ini berlaku baik untuk keseluruhan jemaat maupun untuk masing-masing kelompok di dalam jemaat, bahwa (2002, 101): vitalitas jemaat dimajukan kalau tidak ada tipe relasi yang dimutlakkan, melainkan kalau ketiga tipe relasi diiakan bersama: ‘Gemeinschaft’ (paguyuban) beserta aturan mainnya yaitu keterbukaan, pengorbanan dan kelangsungan. ‘Organization’ (organisasi) dengan tersimpul di dalamnya bahwa orang diundang dan diberi ruang untuk mempergunakan bakat spesifiknya demi tujuan bersama. ‘Gesellschaft’ (hubungan lebih sakelek, formal atu yuridis) berdasarkan pengakuan bahwa manusia berhak untuk membela kepentingan diri, asal menurut peraturan main yang berlaku untuk relasi yang diiakan.   Dengan berbagai cara yang bisa jemaat gunakan bersama, lebih effektif dan lebih effisien lagi. Memberlakukan transformasi jemaat di jaman yang sangat sibuk, seperti sekarang ini, haruslah terus berkesinambungan. Untuk itu dibutuhkan cara bahkan inovasi-inovasi baru. Bahkan bagi Ott, tidak masalah jika kita membangun tim atau model kelompok kita, yang ia sebut sebagai “Minsitry Team” itu dengan bertemu dan melakukannya dalam cara yang setiap orang bisa dan biasa melakukannya. Dengan cara atau waktu makan. Ya, santap bersama atau makan bersama.   

When you begin meal, acknowledge the Lord’s presence with you in the prayer of Grace. Then relax and enjoy one another’s company. Spend some time in general conversation, sharing news about recent events in your lives. You may then move on to the ministry issues that your team needs to resolve.. Then do it! (Ott 2004, 105)    


Misi Jemaat di Tengah Masyarakat   

Hendriks (2002, 187) lebih tajam lagi mempertanyakan tentang konsepsi identitas dan misi jemaat, “Dapatkah kita (sebagai jemaat) menolong orang untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tentang makna. Apakah jemaat kita merupakan contoh yang menggairahkan sebagai paguyuban. Apakah kita dapat memberi sumbangan bagi perdamaian dan keadilan. Pendeknya: apakah kita dapat mengaktualisasikan inti keberadaan sebagai jemaat dalam masa dan masyarakat kita sendiri?” Upaya perwujudan misi yang berangkat dari kejernihan konsepsi identitas jemaat. Yang oleh Ford ditegaskan:   

Being missional is simply unleashing the collective passions of the church -its code- into the world. What makes the task difficult is the enormous emphasis on self that leaks from our culture into the church. Our default mode is to think of the church in trems of how it meets each of our or our family’s needs. In moving people’s focus outward, away from self, the church faces enormous obstacles and embedded cultural dysfunction. Transforming churches are figuring out how to overcome these obstacles and unleash the power of passion into their surrounding communities. (Ford 2008, 182)   

Mungkin karena itulah Hendriks memilih kata “menggairahkan” dalam bukunya, membantu kita, untuk mengerti pentingnya misi dari dan bersama jemaat. Dan memang bagi Hendriks (2002, 172), yang juga sangat nyata riil terjadi menurut Ford, bahwa, “Organisasi yang mempunyai konsepsi identitas yang jelas dan yang di miliki bersama lebih menarik daripada organisasi yang tidak mempunyai konsepsi atau konsepsi identitasnya kurang jelas. Namun demikian tidak dapat dikatakan juga bahwa konsepsi yang jelas selalu meningkatkan sifat menarik. Penting isi konsepsi juga dan lebih-lebih kecocokan konsepsi itu dengan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap menariknya organisasi. Organisasi dengan identitas yang jelas dan bersama biasanya berpengaruh positif terhadap vitalitas organisasi.   

Misi jemaat dalam konteks lingkungan dan masyarakat oleh J. Campbell-Nelson pada tulisannya berjudul Sumber-sumber Identitas Gereja: Bahan Baku Eklesiologi Kontekstual (dalam buku Seputar Teologi Operatif, peny. B.A. Abednego, 1994, 56) bebrunyi demikian: “Bila eklesiologi tak berkaitan dengan realitas konkret suatu Gereja di suatu masa dan tempat tertentu, eklesiologi bagaikan layang-layang yang putus. Karena tujuan eklesiologi adalah menolong Gereja agar keberadaannya sesuai dengan panggilan Allah, dan panggilan ini selalu diberikan di dalam konteks waktu dan tempat tertentu, entah di pantai Galilea ataupun di jalan-jalan kota Jakarta.”   

Menjalankan misi jemaat dengan cara baru, menjadi jemaat yang dinamis, bahkan semakin terbuka mengaktualisasikan misinya. Termasuk tentang dimensi spiritual, misi Allah di dalam misi gereja dan jemaat berlaku nyata pada kehidupannya sehari-hari, dengan lingkungan dan semua orang. Nancy Tatom Ammerman dalam bukunya Sacred Stories Spiritual Tribes, menegaskan bahwa:   

Are people who are most actively engaged in spiritual practices and religious participation too busy with other-wordly concerns to pay attention to public life? Do religious organizations absorb all the social energies of their participants, leaving nothing for the larger community? Do highly religious people think that only God can change the world? We will look for the limits that may be present on the power our participants perceive themselves to have and the constraints they experience. (Ammerman 2014 , 212)      

Sekali lagi yang dimaksudkan di sini tentu misi jemaat dan Gereja-Nya di kehidupan nyata. Dengan berbagai perubahan jaman, serta tantangan untuk selalu mengubah diri, serta misinya, mewartakan Misi Keselamatan Allah kepada dunia. Sudah seharusnya selalu ada yang diubah dan ditingkatkan. Tantangannya menurut pendapat Ford (2008, 91), “People will resist change when decisions don’t align with the code.” Yang oleh Hendriks, juga ada beberapa tantangan untuk pembangunan jemaat menjadi “jemaat ber-Misi,” jemaat yang siap dipanggil untuk mewartakan Kabar Baik (2008, 178-182) yaitu: Ketidakpastian mengenai identitas, ketika konsepsi yang jelas selama beberapa dasawarsa terakhir digerogoti (undermind) dan kepastian yang mula-mula ada dalam rumusan itu diganti dengan ketidakpastian yang semakin bertambah; Pluralitas dalam konsepsi identitas, hal ini terjadi ketika dalam satu Gereja atau jemaat/paroki, ada dua atau lebih konsepsi yang berdiri satu di samping yang lain, dan; Konsepsi identitas yang pecah, hal ini sering terjadi misalnya kalau dalam satu jemaat ada satu grup yang mau solider dengan orang marginal, dan grup yang lain menganggap perlu supaya bahasa Alkitab dipelajari oleh jemaat. Terjadilah ketegangan, dan ini menjadi tantangan dalam jemaat melakukan misi. Apalagi misi dari jemaat bagi lingkungannya dan masyarakat luas.   

Dan bagi Ott (2004, 89), cara undangan secara pribadi atau individu untuk bergabung dalam misi jemaat di tengah masyarakat sangatlah penting. Yesus tidak berkata, “mohon bergabung ke dalam grup yang terdiri dari 12 orang.” Tetapi Ia berkata, “Ikutlah aku.” Mengundang orang untuk bergabung ke dalam tim atau grup kita sebaik mungkin. Undangan tidak hanya untuk mencapai target pendaftar. Tetapi yang paling pertama dan terpenting adalah menjadi bagian dari persekutuan (a band of brothers and sisters) yang saling berkomitmen dalam misi Kristus, satu dengan lainnya dalam hubungan yang personal dan individu. Diharapkan konsisten dalam misi yang berlanjut menjadi jemaat bergerak maju, mengikuti konteks dan situasi masyarakat. Bahkan seharusnya misi kita bisa “selangkah lebih maju” dari tantangan dan perkembangan keadaan dunia. Terus melakukan bersama pembangunan jemaat untuk mewujudkan gereja yang hidup, gereja yang vital dan gereja yang menarik. Gereja yang hidup, vital dan menarik!      


Catatan Kritis dan Refleksi   

Dibutuhkan pembangunan jemaat yang berlaku nyata. Pada kehidupan jemaat-gereja sehari-hari, juga nyata dengan lingkungan di mana konteks jemaat lokal ada dan nyata juga bagi semua orang. Nancy Tatom Ammerman dalam bukunya Sacred Stories Spiritual Tribes, menegaskan bahwa:   

Are people who are most actively engaged in spiritual practices and religious participation too busy with other-wordly concerns to pay attention to public life? Do religious organizations absorb all the social energies of their participants, leaving nothing for the larger community? Do highly religious people think that only God can change the world? We will look for the limits that may be present on the power our participants perceive themselves to have and the constraints they experience. (Ammerman 2014 , 212)      

Veli-Matti Karkkainen pernah memaknai hal ini melalui dimensi ekklesiologi, di bukunya An Introduction to Ecclesiology bahwa (2002, 233), ”Gereja dan jemaat di jaman yang semakin maju seperti sekarang, dalam terang dari teologi Kristen, menghadapi tantangan bagaimana berhubungan dengan banyak orang, bahkan dengan agama-agama lain dan teologi, eklesiologi tidak bisa lagi mencapai tujuannya berdasar isolasi diri dari kehidupan luas dunia.”   Pembangunan jemaat bukan waktunya lagi hanya menjadi milik para “pemimpin gereja” saja. Sesungguhnya gereja dengan kepemimpinannya, harus menyesuaikan diri dengan kemerdekaan dan tanggung jawab jemaat sebagai subjek tersebut. Artinya pimpinan Gereja tidak boleh mengambil oper tanggung jawab itu dari jemaat, melainkan sebaliknya harus menolong jemaat untuk menerima tanggungjawab itu. Kevin G. Ford dalam bukunya Transforming Church menegaskan tidak hanya tentang status jemaat sebagai subjek, namun harus bersinergi untuk berlangsungnya proses yang biasa disebut transformasi. Transformasi dalam jemaat yang adalah subjek tadi. Dan ini tidaklah mudah. Ford misalnya menampilkan contoh perjalanan transformasi dari “consumerism to community” di konteks masyarakat Amerika, tepatnya di wilayah California. Konsumerisme sudah berakar dalam masyarakat, dan karenanya, proses transformasi jemaat tidak bisa berlangsung dengan singkat:   

A “successful” church can offer outstanding programs and ministries, but if its members are not being transformed, it is not a healthy church. The church in California scored well on several parts of the Transforming Church Index. But their lowest scores, compared to national norms, were all related to how people perceived their level of connection to the church.. The quality of the community is the quintessential test of the health of a church. But few church leaders are skilled at developing an environment where meaningful and transforming relationships will occur. They desire community but often don’t know how to build it, and they fail to recognize the impact the American consumer culture has on the church. The journey from consumerism to community is not a quick one, because the problem of consumerism has deep roots. (Ford 2008, 56-57)   
Transformasi harus berlangsung. Dan untuk itu, sekali lagi, tidak bisa kita hanya mengandalkan “kemampuan” pendeta dan majelis beserta para aktifis gereja yang terlibat. Proses transformasi haruslah kembali dalam upaya kita memaknai jemaat sebagai subjek. Semua jemaat harus terlibat dan terus dilibatkan. Karena di dalamnya mereka semua diterima dalam kategori jabatan yang paling religius yaitu imamat. Seperti Petrus menyapa jemaat sebagai “Kamulah imamat rajani” (1 Ptr 2:9).   

Bahkan Lazarus Purwanto dalam Buku Orasi Dies Natalis STT Jakarta Ke-70, Menjadi Batu Hidup, juga mengangkat konteksnya dalam 1 Petrus 2: 4-10. Yang secara mendasar menekankan terjadinya dan memang harus terjadi “peralihan” atau bisa juga kita maknai terjadinya transformasi teologis jemaat, dalam peta lokasi gerejanya, sebagai rumah rohani di tengah kehidupan nyata dunia, yang isinya adalah “batu-batu hidup” yakni orang-orang percaya, di mana jemaat dan gereja tertentu (lokal) berada:   

Dengan demikian gereja sebagai persekutuan iman adalah rumah rohani yang dibangun oleh Allah dengan orang-orang percaya sebagai batu-batu bangunannya. Meskipun tidak dikatakan secara eksplisit, Allah adalah Pembangun rumah rohani itu. Rumah ituu disebut sebagai “rumah rohani” karena Roh Allah diam di sana. Yang hendak ditekankan di sini adalah karakteristik mendasar dari gereja sebagai yang berada di tengah dunia: ia adalah satu persekutuan yang dibentuk dan dibangun oleh Allah di sekitar Kristus, yang terdiri dari orang-orang percaya sebagai batu-batu bangunannya. (Purwanto 2004, 9)   

Semakin jemaat dibangun, sebagai “batu-batu yang hidup,” maka jemaat harus semakin dipersilakan berkembang. Sesuai dengan keadaan dan kebutuhan jemaat lokal bersama lingkungannya. Di mana konteks gereja lokal berada, bahkan ke berbagai tempat meluas di manapun untuk pembangunan jemaat. Sebab proses transformasi haruslah kembali dalam upaya kita menempatkan jemaat sebagai subjek. Semua jemaat harus terlibat dan terus dilibatkan. Hendriks di bagian awal bukunya Jemaat Vital dan Menarik (2002, 24) bahkan sudah memberikan catatan kuat, yang bisa lebih dalam kita jadikan refleksi. Bahwa,”Ada perbedaan antara fakta alamiah dan fakta sosial. Misalnya antara gerhana bulan dengan ‘gerhana Allah.’ Istilah ‘gerhana Allah,’ dipakai kalau sejumlah manusia tenggelam dalam keduniawian sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana Allah hadir dalam dunia mereka. Gerhana yang pertama terjadi di luar batads kemampuan kita, sedangkan gerhana Allah kita sebabkan sendiri karena sikap materialistis kita. Yang ingin saya tekankan di sini ialah bahwa kita harus bersikap tepat terhadap fakta. Maka pentinglah bahwa kita tidak menjadi putus asa kalau menghadapi fakta-fakta sosial.” Masih ingat, dan sebaiknya tetaplah kita ingat 2 skema dari Hendriks (2002, 27&198) berikut ini:            

Karena bisa ada banyak faktor negatif yang akan merusak upaya dan proses pembangunan jemaat-gereja lokal di konteks tertentu. Tetapi dari pengalaman di lapangan (jemaat yang saya layani), juga ditambah dengan banyak pengetahuan serta penelitian (jemaat-jemaat lainnya) selama Kelas Pembangunan Jemaat (PJ) di program Pascasarjana STT Jakarta. Masih banyak potensi dan kekuatan yang belum digunakan. Sehingga seringkali kita, jemaat-gereja, hanya berhenti di titik bertanya dan mempertanyakan, “pembangunan jemaat?” Kurang berhasil melihat secara utuh jemaat sebagai subjek, dan bukan sebagai objek. Dan gagap mengurai permasalahan yang harus dilihat sebagai tantangan dan ujian. Ya, ujian untuk “naik kelas.” Bahwa proses pembangunan jemaat itu memberi perspektif dan harapan. Jangan terus-menerus menjadi jemaat yang “tidak berdaya,” lalu hanya mencari-cari kesalahan satu dengan lainnya.   

Tetapi mari berupaya menemukan kekuatan-kekuatan yang sudah disediakan Allah dalam kehidupan berjemaat kita. Bersama-sama bersyukur dan mengalami transformasi. Karena semua berpartisipasi mewujudkan jemaat yang hidup, vital dan menarik. Secara sistematis dan utuh, jemaat dibangun atas Rahmat Allah, jemaat dibangun bersama dalam iman, pengharapan dan kasih. Menjadi “garam dan terang dunia,” terus-menerus jemaat dibangun, untuk menjadi saluran pembangunan lingkungan sekitar jemaat-gereja, pembangunan masyarakat dan bahkan pembangunan kehidupan seluruh ciptaan yang terus semakin baik. Mari menuju seperti bunyi judul di awal tulisan ini. Bukan lagi hanya bertanya-mempersoalkan, “pembangunan jemaat?” Tetapi kini dengan doa dan terus-menerus secara sistematis menjadi jemaat yang berjuang bersama, memberlakukan nyata: Pembangunan Jemaat! 





Daftar Acuan 

Ammerman, Nancy Tatom. 2014. Sacred Stories Spiritual Tribes-Finding Religion in Everyday Life. New York: Oxford University Press. Bass, Diana Butler. 2004. The Practicing Congregation-Imagining a New Old Church. Virginia: The Alban Institute. Banawiratma, J.B. 2014. Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry (AI). Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Pusat Pastoral Yogyakarta. Darmaputera, Eka. 1997. Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar. Penuntun - Jurnal Teologi dan Gereja, Vol. 3, no. 12 (Juli): 387-396. Ford, Kevin G. 2008. Transforming Church - Bringing Out the good to get to great. Colorado Springs: David C. Cook. Hendriks, Jan. 2002. Jemaat Vital & Menarik - Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Karkkainen, Veli-Matti. 2002. An Introduction to Ecclesiology. Illinois: InterVarsity Press. Ott, E. Stanley. 2004. Transform Your Church with Ministry Teams. Grand Rapids, Michigan    William B. Eerdmans Publishing Company. Purwanto, Lazarus H. 2004. Menjadi Batu Hidup - Mengembangkan STT Jakarta dengan Orientasi pada Jemaat untuk Pembangunan Jemaat. Orasi Dies Natalis ke-70 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta 27 September 2004. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta. Van Hooijdonk, P.G. 1996. Batu-batu Yang Hidup - Pengantar ke Dalam Pembangunan Jemaat. Yogyakarta dan Jakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.         


(cat: mohon maaf.. tata ketikan tampak kurang rapi, karena format sebelumnya berbeda dan cukup sulit untuk merapikannya ke dalam format blog ini. Terima kasih. - Lusindo Tobing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar